60 : Kembali

Perang melawan Yaksa telah berakhir. Setelah pertempuran di hutan Kaliurang, Rizwana tak mampu menemukan jejak-jejak kehadiran Raksaka saat pulang dan hendak memantau jalannya pertempuran antara Yaksa melawan Kaladarma tersebut. Tak ada Sangkala, tak ada Raksaka. Hanya menyisakan tanah lapang berbentuk lingkaran dengan pohon-pohon hitam di sekitarnya yang mengering seolah nyawa mereka terhisap oleh sesuatu.

Hamparan sawah terbentang sejauh mata memandang. Harits duduk di kursi kereta tanpa topi biru ala-ala Craig Tuckernya lagi. Kalimat pertama dalam paragraf ini merupakan kalimat pembuka saat dirinya dahulu menyandang predikat mahasiswa baru di episode pertama Mantra Coffee. Tak terasa, kini pemuda itu sudah berada di puncak masa kuliahnya.

"Dalam beberapa menit kereta api Bogowonto akan tiba di Stasiun Yogyakarta, kepada semua penumpang yang akan mengakhiri perjalanan di Stasiun Yogyakarta. Harap mempersiapkan barang-barang bawaan Anda, agar tidak tertinggal di dalam kereta. Kami mengingatkan Anda untuk tetap di kursi Anda sampai kereta berhenti. Terima kasih telah menggunakan jasa layanan kereta api dan sampai jumpa di perjalanan berikutnya."

Entah sudah berapa lama ia duduk di kursi kereta, kini Harits beranjak dari duduknya, mengambil ransel hitam di bagasi atas. Begitu pintu kereta api terbuka, ia segera turun dan berjalan keluar.

Sambil menatap hiruk-pikuk Stasiun Tugu, ia mengambil napas dalam-dalam. Aroma khas kota Jogja selalu menyambut hangat siapa pun tamu yang datang.

"One step closer ...," gumamnya lirih saat mengingat kedatangan pertamanya di Jogja sekitar tiga setengah tahun yang lalu. Kala itu Harits masih mengenakan topi birunya dan juga membawa sangkar kosong terbungkus kain hitam. Kini kedua benda itu telah menghilang dari hidupnya.

Waktu berlalu tanpa permisi, seperti angin yang tak terlihat namun terasa. Hari-hari berganti menjadi minggu, minggu-minggu mengalir menjadi bulan, membawa kenangan yang semakin memudar. Di tengah kesibukan yang tak pernah usai, detik-detik pun melesat tak terhalau, meninggalkan jejak-jejak samar yang hanya bisa dikenang. Sementara itu, kehidupan terus berjalan, tanpa menunggu siapapun yang tertinggal di belakang.

Empat bulan telah berlalu, kini Harits telah kembali ke tanah Jogja setelah menyelesaikan magangnya di Jakarta. Pria berjaket biru dongker itu berjalan ke arah pintu keluar stasiun menggendong ransel hitam di punggugnya.

Tak sengaja saat sedang berjalan sambil menatap layar ponsel, Harits menabrak seorang wanita dengan rambut sepanjang bahu berwarna golden brown yang tiba-tiba berhenti mendadak. Wanita itu agak terdorong ke depan dan hendak jatuh menyosor lantai, ia sontak menoleh ke belakang dengan wajah kesal.

"Eh, sorr ...." Harits terdiam dengan mata memicing ke arah wanita tersebut. "Sorrban."

"Lu kalo mau minta maaf yang bener dong, dasar boncel" ucap Melodi Regita Mahatama. Tak sengaja, mereka berdua bertemu di tempat yang tidak mereka janjikan sebelumnya.

Harits menatap rambut berwarna milik Melodi. "Lu—lagi seneng, Doy?"

"Kenapa nanya gitu?" tanya Melodi.

Harits menunjuk rambut gadis itu. "Girang."

Melodi menatap datar dengan ekspresi Tama. Ia menunjuk ke arah atas, Harits pun sontak mendongak, mengikuti arah tunjuk Melodi. Secepat kilat, sentilannya menyambar jakun rapuh Harits.

"A! Asu!" pekik Harits yang kesakitan dan refleks mengusap area lehernya.

"Nah, sekarang baru gua girang liat lu kesakitan," ledek Melodi diiringi kekehan kecil.

Harits mempertajam tatapannya, ia mendekat dan menatap Melodi dengan sinis. "Bukan girang yang itu," balas Harits.

Melodi memandang Harits agak mendongak. Ditatap sedekat itu oleh Harits membuat Melodi meneguk ludah dan agak salah tingkah, gadis itu mendorong Harits. "Ih, bau kambing! Jangan deket-deket."

"Deh, daripada lu ... bau biawak gurun," balas Harits.

Melodi tak merespons mulut pedas Harits, ia hanya diam dan berpikir sambil menatap pria itu bingung. 'Kok dia ... jadi tinggi sih?'

"Lu dijemput Bung Ippo?" tanya Harits.

Melodi menggeleng. "Sengaja enggak ngabarin, mau bikin kejutan. Kalo lu? Ada yang jemput?"

Harits menatap layar ponselnya. "Tadinya minta tolong Kevin jemput, tapi gua lupa ngabarin waktu lewatin Wates. Kalo sekarang baru ngabarin, lama urusannya." Namun, tiba-tiba ia mengerutkan keningnya. "Ngomong-ngomong lu juga naek kereta yang barusan nyampe?"

Melodi mengangguk. "Iya, kenapa?"

"Lah, lu kan dari Bali," jawab Harits.

Melodi menghela napas dengan wajah datar. "Gua kan pulang dulu ke Bandung, terus main ke jakarta ketemu temen-temen kecil gua. Kan enggak harus dari Bali langsung ke Jogja dong, hidup gua enggak cuma perihal kuliah."

Harits tiba-tiba terdiam sembari melamun. 'Ya, hidup enggak cuma perihal kuliah. Abis lulus hidup masih berjalan. Justru kehidupan yang sebetulnya baru dimulai.'

"Naik taxi aja yuk, Cel," ajak Melodi.

Pecah sudah lamunannya, Harits memandang Melodi. "Ya udah, mau gimana lagi. Nanti kita patungan aja."

"Oke, gua tiga puluh, lu tuju puluh ya," canda Melodi.

"Oke," jawab Harits datar.

Mendengar jawaban Harits, Melodi memicing. "Kok tumben lu--enggak itung-itungan sih soal duit?"

Harits tersenyum, tetapi Melodi tak bisa tertipu. Di mata gadis itu, senyum Harits terlihat menyembunyikan sesuatu.

"Sekali-kali enggak apa-apa," jawab Harits.

Mereka berdua pun memanggil taxi stasiun dengan presentase pembayaran 30:70.

Di dalam taxi yang melaju perlahan, suasana terasa hening. Harits dan Melodi duduk berdampingan di kursi belakang, namun terbenam dalam pikiran masing-masing. Udara di dalam taxi dipenuhi dengan aroma campuran dari pendingin udara dan jejak-jejak samar parfum yang memudar. Sementara jalanan kota Jogja yang sibuk berdenyut di luar, mereka seakan terpisah dalam dimensi waktu yang berbeda, seolah terperangkap dalam momen yang abadi namun rapuh.

Melodi mencuri pandang ke arah Harits, memperhatikan garis wajahnya yang tampak lebih dewasa dari saat pertama kali mereka bertemu. Ia tak mengajaknya bicara, sengaja, memberi ruang bagi pria itu untuk merenung. 

Di dalam hening itu, pikiran Melodi mengembara jauh, mengingat kembali setiap momen yang telah mereka lalui bersama. Ada kebahagiaan, tawa, dan juga tangis yang terekam dalam ingatan, menjadi bagian dari perjalanan menuju garis finish yang hampir terendus aromanya.

Sambil menatap jalanan yang berlalu di luar jendela, waktu seolah bergerak lebih lambat. Setiap detik yang berlalu seperti meninggalkan jejak kenangan yang perlahan memudar, namun tak pernah benar-benar hilang. Hidup ini, pikirnya, selalu berjalan maju tanpa henti, membawa mereka ke arah yang tak terduga.

"Cel, pernah enggak sih ... lu ngerasa kalo waktu tuh cepat banget berlalu?" tanya Melodi tiba-tiba.

Harits tersentak dari lamunannya dan menoleh ke arah Melodi. "Sering," jawabnya singkat, tapi dalam tatapannya, ada cerita yang tak terucapkan.

"Mungkin karena kita terlalu fokus ... terlalu sibuk ngejar mimpi, kadang, kita lupa nikmatin setiap momen yang ada," lanjut Melodi dengan suara yang hampir berbisik.

"Bisa jadi." Harits kembali menatap ke luar jendela. "Gua pikir-pikir, hidup tuh kayak perjalanan. Kadang kita terlalu fokus sama tujuan akhir, sampe lupa nikmatin pemandangan di sepanjang jalan."

Melodi menarik napas dalam-dalam, setiap detik yang berlalu seperti menyisakan segores gundah di dalam dirinya. "Abis lulus, rencana lu apa?"

Harits terdiam sejenak. "Entah, belum kepikiran."

"Jadi mulung?"

Pria itu menoleh ke arah Melodi. "Lah, lu  sendiri ... masih minat jadi tukang rujak cingur?"

Melodi terkekeh melihat ekspresi Harits dan juga counter setiap ledekan yang ia lontarkan pada pria itu, setiap serangan balasan Harits tak pernah gagal menghiburnya. Namun, kekehannya perlahan pudar, saat Melodi menyadari bahwa momen-momen seperti ini mungkin akan berakhir sebentar lagi.

Tak terasa perjalanan pun tiba di tujuan akhir, Mantra Coffee. Harits dan Melodi turun dari taxi dan berjalan ke arah kafe membawa barang-barang pribadi mereka.

Gemerincing lonceng di pintu berbunyi, pertanda kehadiran pengunjung yang datang.

"Selamat ...." kata-kata Ippo berhenti saat menatap gadis pujaannya memasuki Mantra Coffee. Pria itu mematung di balik bar, kegiatannya pun sontak terhenti mengikuti gerak bibirnya yang membisu.

"Kok diem?" tanya Melodi. "Selamat apa?"

"Selamat datang kembali." Ippo terseyum untuk Melodi. "Aku diem karena beradaptasi lagi, udah lama rasanya enggak liat cewek cantik berkeliaran di sekitarku."

Melodi tersenyum dengan wajah meledek. "Yakin cantik? Yakin enggak ada cewek lain?"

"Iya, cantik, cuma kamu."

"Kamu sadar enggak, ada yang beda dari aku?" tanya Melodi.

"Warna rambut kamu bagus, cocok sama kamu yang ceria," jawab Ippo.

Di sisi lain Harits yang menyusul masuk, spontan membatu menghadap ke arah dapur. Di balik bar, seorang pria rambut belah tengah dengan perban menutupi kening refleks menatap balik ke arahnya.

"Lah ...." Harits menunjuk pria itu. "Lu ngapain bego, cosplay Jaya?"

Satu mata Ippo melirik ke atas, ada perban yang melilit menutupi keningnya. "Aaaaa ... enggak cosplay sih, ada alesannya kenapa diperban gini. Enggak terinspirasi dari Kumar."

"Mana mirip lagi, rambutnya juga belah tengah, asu nyahaha."

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top