6 : Dongeng Dari Keluarga Gardamewa
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
"Aku pulang dulu ya," ucap Sekar.
"Hati-hati ya, nanti kabarin kalo udah sampe kosan," balas Harits.
Sekar mengangguk, kemudian ia berjalan ke arah Iris yang sudah duduk di atas motor. Malam ini Jaya akan menginap di Mantra, jadi Iris pulang sendirian.
Kebetulan Iris menawarkan tumpangan, Sekar tak ingin merepotkan Harits karena harus bolak-balik jika mengantarnya, ia lebih memilih ikut dengan Iris. Belakangan ini juga mereka jadi akrab karena sering bertemu.
Seperginya mereka, Harits kembali ke dalam dan berkumpul dengan semuanya.
Malam ini acara sudah selesai, menyisakan Chandra, Rava, dan Ippo yang tersisa.
Melodi duduk agak jauh dari Ippo. Sejujurnya ia agak malu dengan apa yang terjadi sebelumnya. Secara refleks ia berlari dan memeluk seorang pria di depan banyak pasang mata.
Malu-malu, tapi mau. Ya, mungkin itu ungkapan yang cocok untuk Melo. Sebab, meskipin duduk berjauhan, matanya selalu membidik Ippo dan tak jarang pandangan mereka bertemu, kemudian saling terpental.
Harits yang menyadari kecanggungan itu karena duduk di sebelah Melodi pun terkekeh kecil.
Kretek ...
"Liatin aja kali, takut bener abis dicicil-cicil gitu nyahahaha." Dengan kedua tangan, Harits mengarahkan kepala Melodi menghadap ke arah Ippo.
Aaaaaa!" pekik Melodi yang lehernya sempat bunyi akibat perbuatan Harits. "Sakit tau!"
"Hey!" Ippo sontak berdiri sambil menatap Harits.
"Hey juga," balas Harits.
"Aaaaa ... itu bukan sapaan, sial."
Sebuah tangan menggenggam tangan Ippo. Ippo menatap Nada yang menggandengnya.
"Sini, sini." Ia berjalan membawa Ippo mendekat pada Melodi. Pada satu titik ia mengambil topo Harits dan membuangnya ke kursi Ippo sebelumnya. "Hus, hus, hus."
"Wah, bangke." Harits mengejar topinya sehingga meninggalkan satu kursi kosong di samping Melodi.
"Duduk di sini aja ya, temenin Melodi," ucap Nada.
Ippo mengangguk malu, ia duduk di samping Melodi. Wajah mereka berdua memerah.
Deva menatap Ippo. Bukan tatapan cemburu, tetapi pandangan penuh tanda tanya.
"Keajaiban yang bisa dibilang mustahil, tapi terjadi. Waktu itu jelas-jelas lu, gua, Harits, sama Melodi ngeliat jasad Ippo. Enggak mungkin dia masih hidup dalam kondisi kayak gitu," ucap Deva.
Chandra menyeruput kopi hitamnya, lalu menatap Deva dan juga anak-anak Mantra yang berkumpul. "Aku pikir juga begitu, tapi setelah kalian pergi, ada kejadian yang cukup menarik."
Harits mengerutkan kening. "Semenarik apa? Sampe seorang Yudistira yang bilang sendiri."
"Awalnya Ippo memang sudah mati, tapi ketika menunggu unit untuk evakuasi, jasadnya menunjukan sebuah pergerakan. Meskipun tipis, tapi hawa kehidupannya kembali. Nyawanya belum sepenuhnya pergi," jawab Chandra.
"Nyawanya belum pergi?" tanya Cakra. "Terus selama ini dia ada di mana? Kenapa semua orang enggak ada yang tahu kalo dia masih hidup?"
"Termasuk Bunda Sofia, keluarganya sendiri," celetuk Melodi.
"Aku yang membunuh identitasnya," jawab Chandra. "Seandainya saat itu Ippo tidak dianggap mati, kalian pikir Satu Darah akan melepaskannya? Dia sudah membunuh Baskara yang menjadi salah satu pilar mereka. Untuk berjaga-jaga, aku membawanya ke Amerika dengan alasan study. Kabar kematian Ippo dibuat untuk melindunginya."
"Jadi maksudnya, kamu selama ini enggak kuliah di sana gitu, Chan?" tanya Nada.
Ippo memandang sendu ke arah meja. Selama ini Chandra berbohong pada semua orang demi melindunginya. Yudistira itu terlalu banyak mengorbankan diri untuk menjaga dan merawat Ippo.
Chandra mengangguk. "Di sana teknologinya lebih maju. Meskipun kecil harapan, tapi Ippo masih bisa ditolong jika itu ada di Amerika. Dan lagi, selama beberapa tahun ini aku sibuk mengembangkan sesuatu di sana."
"Sesuatu?" tanya Kevin.
Chandra tersenyum. "Rahasia." Tak ada informasi lebih untuk dibagikan olehnya.
"Langsung aja ke intinya, gimana caranya dia bisa hidup setelah menggunakan Dasa Hasta Antargata? Kita semua yang pergi ke sana tau betapa mengerikannya ledakan atma yang terjadi. Tidak ada manusia yang masih bisa hidup setelah semua itu," lanjut Harits.
Chandra menghela napas. "Ada sebuah dongeng dari keluarga Gardamewa. Jika Dasa Hasta Antargata memiliki kekuatan merusak, maka seorang Gardamewa pun seharusnya bisa melakukan hal sebaliknya. Mereka memiliki sebuah teknik untuk bertahan hidup. Sayangnya, selama berabad-abad, tidak ada satu pun catatan atau bukti yang mengarah ke sana. Itu sebabnya teknik ini disebut dongeng."
"Teknik apa?" tanya Deva.
"Akcaya," jawab Ippo. Kini ia menjadi sorotan yang lebih kuat dari Chandra.
Harits memicing. "Tak kunjung binasa ..., gumamnya lirih. Pria bertopi biru itu kaya akan bahasa, ia paham arti kata yang keluar dari mulut Ippo barusan.
"Benar, sebuah teknik untuk hidup kembali," timpal Chandra. "Untuk mengoptimalkan Dasa Hasta Antargata yang mempertaruhkan nyawa, keluarga Gardamewa mempelajari tentang sebuah kekuatan untuk meregenerasi tubuh menggunakan atma. Bahkan aku pun terkejut bahwa ada manusia yang benar-benar mampu melakukannya."
Kembali pada pertarungan Ippo dengan Baskara beberapa tahun lalu ...
Atma yang menyelubungi pedang itu semakin stabil dan solid. Ippo menahan napas hingga pipinya menggembung. Ia lemparkan sekuat tenaga pedang berlapis badama tersebut lurus ke arah Baskara. Pedang itu melesat dengan cepat dan pada akhirnya mata pedangnya membentur perisai atma milik Baskara. Namun, rupanya serangan Ippo belum cukup kuat untuk menembus perisai mutlak milik Baskara.
"Masih belum." Ippo berlari ketika pedang itu melesat. Kini telapak tangannya ia gunakan untuk mendorong pedang itu untuk melakukan penetrasi pada perisai atma Baskara.
Retak. Perisai itu pecah dan kini pedang Ippo melesat lurus ke jantung Baskara.
"Sudah, istirahatlah," gumam Baskara. Ia menangkap pedang itu dengan tangannya hingga berdarah. Serangan terakhir Ippo gagal membunuh pria itu.
Namun, Ippo tak memasang wajah tertekan sama sekali. Ia justru menyeringai. Ippo memusatkan seluruh atma yang tersisa di pergelangan tangannya. "Selamat tidur, wahai Satu Darah."
Baskara terbelalak dalam tayangan lambat. Ia benar-benar tak menduga bahwa Ippo melesatkan satu tangannya itu untuk menusuk dadanya sendiri. Darah segar mengalir dari dada dan mulut Ippo. Pria itu terjatuh dalam dekap Baskara.
Kembali ke Mantra Coffee ...
"Aku memancing ledakan Dasa Hasta Antargata untuk menghabisi Baskara karena aku tahu aku tidak bisa menang," ucap Ippo.
Deva menatap tajam ke arah Ippo. "Bentar, bentar, bukannya ledakan bisa terjadi karena ...."
Chandra memotong. "Ketika jantung penggunanya berhenti berdetak. Ippo memang terlihat seperti bunuh diri, tapi yang sebenarnya ia lakukan adalah memusatkan atma di tangan untuk memberikan perintah terakhir pada tubuhnya."
"Perintah?" Jaya mengerutkan kening.
"Aku percaya dengan dongeng keluarga Gardamewa dan mencoba teknik itu meskipun kemungkinan berhasilnya sangat kecil, bahkan hampir mustahil. Dengan atma terakhir yang aku kumpulkan di tangan, aku memerintahkan atma tersebut untuk meregenerasi syaraf dan pembuluh darah ketika jantung berhenti berdetak," jawab Ippo.
Harits terlihat sangat serius. "Memerintah atma?"
Ippo mengangguk. "Bukan menggunakan atau mengendalikan, tetapi memerintahkan. Terdengar mustahil, tapi aaaaaa ... itulah kenapa aku bisa bertahan."
'Gardamewa memang memiliki kemampuan terbaik dalam pengendalian atma, tapi apa mungkin bisa memerintah?' Batin Harits.
"Ajaibnya cara itu berhasil, tapi jika kita terlambat sedikit saja waktu itu mungkin takdir akan berkata lain. Meskipun bisa bertahan, kemungkinan Ippo untuk hidup sangatlah tipis. Aku membawanya pada Abimanyu sebagai bentuk pertolongan pertama."
"Ragil Kuning ...," gumam Deva lirih. "Masuk akal."
"Abimanyu Martawangsa memiliki topeng Ragil Kuning yang mampu menyembuhkan berbagai macam luka. Ia bisa menyembuhkan luka fisik dan non fisik," ucap Chandra. "Sebelum terbang ke Amerika, Ippo ditangani oleh Abimanyu. Setelah kemungkinan hidupnya meningkat, barulah kami berangkat ke Amerika untuk pemulihan."
"Yaaaa, intinya itu kampret masih idup dah nyahahaha, kasian temen gua soalnya," ucap Harits. Pria bertopi biru itu menatap Melodi. "Enggak ada yang mau lu ucapin gitu?"
"A-apaan?" tanya Melodi.
Nada yang duduk di samping Melodi menyenggolnya. "Itu loh, kasih kata-kata apa kek buat Ippo."
Melodi menoleh ke arah Nada dengan raut panik. "Ih, apa? Kok aku?" Semakin salah tingkah gadis itu karena semua mata menatapnya.
Melodi hanya berani menoleh ke sebelah kirinya. Ia tak berani menatap ke arah kanan, tempat Ippo berada.
"Lu juga lu, biasanya cengengesan mulu," ucap Deva pada Ippo. "Sekarang jadi diem."
Ippo tersenyum, tetapi berbeda dengan senyum bahagianya beberapa saat lalu, kali ini ia menyematkan senyum penuh getir. Pada satu titik ia menyentuh mata kirinya.
"Pria cacat kayak aku enggak pantes buat cewek sesempurna dia," tuturnya. Entah, tak seperti Ippo yang mereka kenal, kali ini pria itu sangat pesimis dan terlihat rapuh. "Dulu sok-sokan mau nembak dia abis selesai urusan sama Baskara, tapi ternyata emang enggak bisa. Masih banyak cowok yang lebih sempurna."
Melodi menggenggam tangan kiri Ippo. "Jangan gitu."
Air mata pria itu luruh. "Bahkan aku enggak bisa ngerasin tangan kamu ...."
Chandra menghentakkan kakinya sehingga semua mata memandangnya. Mata biru itu menatap semua pasang mata kecuali milik Melodi dan Ippo. "Bubar."
Sontak semua membubarkan diri atas perintah mata Raja. Chandra menyediakan ruang untuk Melodi dan Ippo berdua. Ia pun beranjak dari duduknya dan ikut pergi dari sana.
"Kenapa kamu merasa gitu?" tanya Melodi.
"Aku yang sekarang enggak bisa ngelindungin kamu dari apa pun ...."
"Dalam sebuah hubungan itu bukan cuma ada rasa aman, tapi ada juga rasa nyaman. Udah lama aku enggak pernah ngerasa nyaman kayak sekarang."
"Kenapa?" tanya Ippo.
"Cuma di samping kamu aku merasa nyaman. Jadi tolong, jangan pergi lagi."
"Apa yang kamu harapkan dari cowok kayak aku?" tanya Ippo.
"Enggak ada," jawab Melodi. "Aku enggak berharap apa pun dari kamu."
Ippo terkekeh mendengar jawaban Melodi.
"Yang aku tau cuma ... aku suka kamu. Mungkin waktu udah mengikis perasaan kamu, mungkin sekarang kamu udah enggak suka sama aku, enggak ngejar aku kayak dulu. Aku pun sadar, aku jahat sama kamu, aku pernah nampar kamu, ngusir kamu dari kehidupan aku, nolak semua mawar kamu, aku bukan gadis yang baik buat kamu, aku pun paham, tapi aku tetep suka. Kalo kamu merasa minder dan enggak mau ngomong apa pun enggak apa-apa."
"Kalo aku udah enggak suka, enggak akan aku dateng ke sini," ucap Ippo. "Tapi aku juga sadar, masih banyak cowok lain yang lebih baik buat kamu. Jadi aku enggak akan ngomong apa-apa."
"Aku mau nerima semua kekurangan kamu, aku mau kamu selalu ada di sisi aku nemenin perjalanan panjang kehidupan. Terserah kalo kamu enggak mau ngomong apa-apa, aku yang akan ngomong duluan. Kamu bilang kamu enggak bisa ngelindungin aku, tapi aku percaya masih ada yang bisa kamu jaga. Aku suka kamu, kamu mau enggak saling jaga hati sama aku?"
Tangan kanan Ippo memegangi tangan kirinya, saat ini pria itu sedang merasa resah.
"Kamu ke sini bawa mawar, kalo kamu nerima aku sini mawarnya, tapi kalo kamu nolak ... silakan bawa mawarnya pergi."
"Satu hal. Jawab satu pertanyaan ku." Ippo memberanikan diri menatap Melodi. "Apa yang bikin kamu sejauh ini sampe nembak seorang cowok duluan?"
"Aku enggak peduli sama apa kata orang. Aku itu kayak anak kecil yang enggak butuh alasan selama aku seneng. Dan akan nangis ketika enggak bisa dapetin apa yang aku mau. Sebelum kamu direbut wanita beruntung lain, aku mau lebih beruntung dari wanita itu dengan cara dapetin kamu sebelum dia. Buat apa gengsi kalo pada akhirnya yang tertinggal cuma penyesalan?"
Ippo tersenyum. Ia memberikan mawar yang sedari tadi ia genggam pada Melodi. "Aku suka sama kamu lebih dari apa pun. Air mata kamu, Alunan ... air mata kamu yang jadi alasan aku buat bertahan. Aku lampaui apa yang terlihat mustahil demi kamu." Ippo mengusap pinggiran mata Melodi yang berkaca-kaca. "Kamu tau? Jauh dari kamu dan enggak bisa menghapus air mata kamu di saat kamu sedih itu adalah penderitaan terbesar aku. Jadi, jangan nangis lagi."
"Kalo aku enggak nangis, kamu jadi enggak bisa ngapus air mata aku ... nanti kamu menderita?"
Ippo terkekeh. "Enggak gitu konsepnya." Ia mengusap rambut Melodi.
Dari kejauhan, yang lain menatap kedua orang itu. Entah sudah berapa lama Melodi tak pernah terlihat sebahagia malam ini.
"Ippo!" seru Melodi. Kini ia tak malu lagi menatap wajah Ippo.
Ippo pun sama, kini ia sudah berani memandang Melodi. "Ya?"
"Welcome to my life."
"Aaaaaaa, thank you for choosing me."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top