59 : Titik Darah Penghabisan

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

Samirana Samara, tempat yang dipenuhi dengan angin brutal yang mengerikan. Begitu Sangkala merapalkan mantra dan menyebutkan namanya, angin-angin yang haus darah mulai berdesir dengan ganas, seakan-akan merasakan panggilan dari Sang Iblis.

"Di mana ini?" gumam Raksaka menatap sekelilingnya.

Kini ia berpindah lokasi di suatu tempat yang dikelilingi oleh kabut hitam tebal. Angin berembus liar dengan suara ngeri  yang terdengar seperti ratapan jiwa-jiwa yang merintih dan sesekali terdengar gemuruh seperti raungan hewan buas yang lapar dari balik kabut itu.

Langit di atas Samirana Samara tampak gelap, seolah tak pernah terkena cahaya matahari. Bulan dan bintang-bintang tersembunyi di balik awan tebal yang bergerak dengan lambat, meninggalkan tempat itu dalam kegelapan total.

Angin yang bertiup di Samirana Samara terasa menusuk tulang dan mengoyak jiwa. Suasana yang mencekam dari angin ganas itu memberikan kesan bahwa tempat ini adalah penjara angin maut, di mana tidak ada cahaya dan tidak ada harapan bagi mereka yang terperangkap di dalamnya.

Saat Sangkala berdiri di tengah-tengah Samirana Samara, Raksaka sontak merinding dan gemetar, seolah iblis itulah yang menjadi biang dari segala jenis kengerian di tempat ini.

Wujudnya berubah ke bentuk asalnya, dengan kepala tengkorak bersigil merah di kening. Sigil tersebut terdiri dari pola-pola yang rumit dengan bentuk utama dekagon (segi sepuluh). Di tengah-tengahnya terdapat gambaran mata badai, dengan ekor angin yang melingkar mengelilingi sigil tersebut.

Selain itu, Sangkala juga memiliki dua tanduk hitam. Rambutnya putih berkibar seolah terbuat dari angin panas. Sepasang mata merah menyala menatap tajam menembus kabut tebal Samirana Samara, tajam menyorot Raksaka. Tangannya hitam kekar dengan tato-tato aksara Alam Durjana berwarna putih. Cakar-cakar tajamnya berkilauan di antara gelapnya Samirana Samara, dan kaki yang menapak di atas angin.

"Selamat datang di penjara dosaku, Satu Darah," gumam Sangkala. "Dengan rasa hormat, aku akan menghancurkanmu, Raksaka. Kau adalah salah satu lawan terbaikku selama beberapa puluh tahun ini."

Raksaka menatap Sangkala dengan waspada, ia merasakan ancaman yang mengintai di sekelilingnya. Namun, sebelum ia sempat mempersiapkan diri, Sang Yaksa langsung melancarkan serangan.

Sangkala mengayunkan tangannya dengan cepat secara horizontal, gelombang angin melesat cepat ke arah Raksaka dan menebasnya.

"Aaarrghh!" Raksaka memekik kesakitan, angin itu membuat bahunya berdarah, seolah ada pedang yang menebasnya.

Dengan perlahan, Sangkala melayang di udara, ia bergerak dengan ritme tertentu di antara bayangan, seolah menjadi bagian dari angin di Samirana Samara. Ia menyerang Raksaka dengan sebuah tarian yang mana tiap gerakannya adalah serangan-serangan yang ganas. Serangan-serangan tersebut membuat Raksaka terluka dan tak berdaya.

Raksaka berusaha menghindar dari serangan-serangan Sangkala, tetapi kekuatan Samirana Samara sangat membatasi gerakannya. Setiap angin di tempat ini adalah musuh. Serangan Sangkala terasa seperti hantaman yang tak terhindarkan, membuat Raksaka semakin terpojok di dalam penjara angin maut itu.

"Kau tidak bisa mengimbangi kecepatan angin, ya?" tanya Sangkala terkekeh. "Makanya aku tidak suka serius, karena mangsaku akan mati dengan cepat. Lihat dirimu sekarang, Raksaka! Bahkan seorang Kaladarma tidak punya kesempatan menang di tempat ini."

Raksaka berdiri dengan tubuh penuh luka. Darah segar mengalir dari irisan dan irisan yang dilahirkan oleh angin-angin maut Samirana Samara.

"Apa kau berpikir untuk menyerah sekarang, hah? Tapi percuma, kau akan membusuk di sini sampai mati! Aku akan membunuhmu perlahan, menyiksamu sampai kau memohon untuk dibunuh! Ampunmu tidak berlaku di sini."

Pada satu titik, Raksaka menutup kedua matanya, seketika itu juga waktu terasa melambat untuk dirinya. Ia mencoba mengatur napas, mencari ritme untuk tidak berantakan. Dalam waktu singkat, ia merasuki alam bawah sadarnya.

Di dalam sana, ada sosok Adistri yang duduk di tengah kehampaan. Melihat Raksaka yang datang, Adistri tersenyum. "Sudah waktunya, ya?" tanya Adistri.

Raksaka mengangguk tanpa komentar. Tatapannya terlihat sendu dan penuh kesedihan. Matanya pun terlihat seperti menahan getir sampai berkaca-kaca.

"Aku ingin memutuskan hubungan darah denganmu," ucap Raksaka lirih.

"Apa kau sudah siap kembali pada sejatimu?" tanya Adistri. "Apa kau sudah siap kehilangan segalanya?"

Raksaka tersenyum. "Aku sudah puas dengan segalanya sampai saat ini. Bisa berada di sisimu, menjadi keluarga dari Satu Darah, diberikan kesempatan untuk memilih jalan hidup sendiri, memiliki teman ... terimakasih atas segala bantuanmu, Ibu."

Adistri bangkit dan berjalan menghampiri Raksaka. Ia bukanlah ibu secara harfiah, Raksaka hanya menganggapnya ibu karena memang ia sudah tak lagi memiliki sosok wanita tersebut dalam hidupnya. Sejak Adistri muncul ke dalam hidupnya yang terasa mati dan memberikan sebuah harapan, hal itu membuatnya merasa hidup. Wanita itu memeluk Raksaka erat-erat.

"Kalau begitu selamat tinggal, akan ku kembalikan apa yang seharusnya kau miliki. Aku harap kau berumur panjang, dan bahagia ...," lirih Adistri. Perlahan sosok itu berubah menjadi debu yang beterbangan dan menghilang dari alam bawah sadar Raksaka.

***

Telaga Naga.

Di tempat yang berbeda, Adistri tiba-tiba saja menitihkan air mata. Menyadari hawa kesedihan itu, Ngarai pun bertanya.

"Kenapa kau bersedih?"

"Lagi-lagi ... aku kehilangan sesuatu yang berharga."

Tato angka satu berwarna merah pudar dari lengan Raksaka, ia telah memutus hubungannya dengan Adistri, tak ada lagi satu darah, kini darah yang mengalir dalam dirinya hanyalah darahnya sendiri.

Aura mencekam yang memancar dari tubuh Raksaka membuat Sangkala merinding. Berada di dekat pria gondrong dengan luka di mata itu membuat Sangkala agak sesak bernapas. Sang Iblis mengikuti instingnya untuk mundur dan menjaga jarak dari Raksaka yang hanya diam berdiri sambil membuka matanya perlahan.

'Aura mencekam apa ini?' Batin Sangkala. 'Orang yang sekarat ini membuatku gemetar?'

"Sepertinya kau masih punya kartu AS, Kaladarma?" tanya Sangkala.

"Kaladarma bukanlah julukan, tetapi nama seorang maut di masa lalu. Ia mendapatkan tugas untuk mencabut nyawa seorang manusia, tetapi sayangnya ia tak melakukan tugasnya dengan benar. Karena jatuh cinta dengan manusia itu, ia memperpanjang umur manusia tersebut dan kabur bersamanya. Sejak saat itu, Kaladarma menjadi aib maut dan dicap sebagai pengkhianat kematian. Sebagai hukuman dari Sang Suratma, Kaladarma dikutuk menjadi reinkarnasi manusia dan setiap pewaris darahnya akan selalu dihantui oleh kesendirian. Setelah ia mati dari kehidupan, Kaladarma akan tertahan di dunia dan bergentayangan mencari wadah baru. Para pewaris belum tentu terhubung darah atau memiliki ikatan tertentu, ia memilih pewaris atas dasar keinginannya sendiri, dalam rangka mencari manusia yang ia cintai," ucap Raksaka.

Sangkala memicing. "Bicara apa kau?"

"Singkatnya, Kaladarma itu bukanlah julukan seperti istilah Peziarah dan Belatung." Raksaka melukai lengannya sendiri dengan tangan wirang aswangsara hingga berdarah, lalu mengarahkan tangan yang terluka itu ke arah Sangkala. "Kaladarma, adalah maut itu sendiri."

Sangkala memiliki firasat buruk, ia mengumpulkan angin di tangannya hingga membentuk angin puting beliung kecil yang melingkari lengannya. Dengan menjadikan angin sebagai pijakan, ia melesat cepat ke arah Raksaka.

"Asal muasal." Sebiji tetesan darah hitam dari tangan wirang aswangsara jatuh ke tanah. "Mandala Ashura."

Iblis dan Maut merupakan musuh bebuyutan. Maut memiliki tanggung jawab pada nyawa dan jiwa manusia, sementara iblis gemar melahap jiwa manusia dan merepotkan para Maut. Mereka sudah bertempur dalam waktu yang lama, dan karena kekuatan para Maut, iblis bersembunyi di dalam kegelapan terdalam Alam Durjana. Iblis-iblis tingkat atas mempelajari teknik penjara dosa hanya untuk sebuah alasan, yaitu mengimbangi asal muasal para Maut.

"Asal muasal?!" pekik Sangkala, matanya terbelalak melihat dunia baru yang terbentuk di dalam penjara dosanya. Kini ia menyadari bahwa yang berdiri di hadapannya bukanlah manusia biasa, tetapi perwujudan dari kekuatan yang telah lama menjadi musuh bebuyutannya.

Di tengah Samirana Samara sebuah pagoda kuno muncul. Pagoda itu dibangun dari batu besar yang penuh dengan ukiran-ukiran aksara kuno. Di sekeliling pagoda tersebut, patung-patung Asura berdiri dengan gagah. Patung-patung tersebut tampak hidup dan memberikan intimidasi tersendiri. Di tengah pagoda itu ada sebuah lonceng besar yang diukir dengan simbol-simbol kuno Alam Suratma.

Udara di Samirana Samara tiba-tiba terasa berat dan penuh dengan tekanan. Setiap tarikan napas terasa seperti menyedot nyawa dan kepingan-kepingan kematian itu sendiri, menciptakan perasaan tercekik dan sulit bernapas, seolah-olah semua harapan telah sirna di hadapan kekuatan gelap yang menguasai tempat itu.

"Nah, pertarungan yang sesungguhnya baru dimulai sekarang, Iblis," gumam Raksaka.

Sangkala merasakan tekanan yang luar biasa di dada dan kepalanya saat Mandala Ashura terbentuk di tengah Samirana Samara. Suara gemuruh angin dan samar-samar suara doa dalam bahasa Alam Suratma dari dalam Mandala Ashura menjadi musik latar yang mencekam. Namun, berada di tengah tekanan bukan membuatnya melemah, ia justru menyeringai lebar.

"KAU YANG TERBAIK, RAKSAKA!" teriak Sangkala kegirangan.

Sangkala mengerahkan seluruh kekuatannya, ia menciptakan angin puting beliung yang besar. Angin yang dihasilkannya kini tidak hanya memotong, tetapi juga menghisap segala sesuatu di sekitarnya dengan kekuatan yang mengerikan.

Raksaka tak gentar sedikit pun. "Para Asura, bangkitlah." Empat patung Asura raksasa yang mengelilingi Mandala Ashura mulai bergetar dan hidup. Mata mereka yang awalnya kosong kini bersinar merah, tubuh mereka yang penuh ukiran kuno mulai bergerak. Mereka bergerak dengan gemuruh berat. Raksaka menopang dirinya dari angin kematian Sangkala dengan berdiri dan berpegangan di atas pundak salah satu patung Asura.

Pertarungan pun dimulai dengan intensitas yang luar biasa. Sangkala melesat cepat dengan puting beliung kecil yang melapisi lengannya, mengarah langsung ke arah Raksaka. Patung Asura pertama dengan senjata pedang besar, menghadang Sangkala dengan satu ayunan kuat yang membelah laju angin Samirana Samara. Sangkala berhasil menghindar dengan menjadikan angin sebagai tumpuan, tetapi patung Asura lainnya sudah menunggu dengan busur dan anak panah, ia melesatkan anak panah api raksasa ke arah Sangkala. Sangkala mengelak lagi, namun sebuah pukulan telapak tangan dari patung Asura ketiga membuatnya terhempas cukup jauh.

Sangkala bangkit sambil menahan rasa sakit, ia memanggil angin yang lebih kuat. Ia menciptakan badai besar yang mengelilingi tubuhnya, memotong segala sesuatu yang mendekat. Patung-patung Asura bergerak serentak, menyerang dari berbagai arah dengan kekuatan destruktif mereka.

Patung Asura keempat dengan tongkat panjang berapi, menyerang Sangkala dengan serangkaian pukulan berapi yang menyulut tanah di sekeliling mereka. Namun, Sangkala terlalu lincah, dengan berpijak pada angin, ia mampu menghindar dan mendekati Raksaka, lalu menyerang dengan pukulan badainya. Raksaka menangkis serangan Sangakala dengan tangan wirang aswangsara.

"Aku tidak akan kalah!" Sangkala mengeluarkan angin yang semakin gila. Ia menciptakan tornado besar yang berputar di sekelilingnya, menarik patung-patung Asura ke dalam pusarannya. Satu per satu patung Asura terhempas ke dalam badai, tetapi mereka terus bangkit dan menyerang kembali dengan ganas seolah abadi.

Sangkala melihat celah dan melesat maju, ia menghantamkan serangan ke patung Asura pertama. Dentuman keras terdengar saat patung itu retak dan hancur menjadi kepingan-kepingan batu. Namun, Sangkala tak sempat bernapas lega karena patung Asura kedua sudah menyerang dengan anak panah berapi. Ia mengelak dengan cepat, meluncur ke samping dan menyerang patung itu dengan kekuatan penuh. Anak panah berapi melesat ke arah Sangkala, namun dengan tangan berlapis badai, ia menangkisnya dan langsung menghantam patung Asura kedua hingga hancur berkeping-keping.

"Kalian semua akan hancur di tanganku!" Sangkala menciptakan gelombang angin yang memotong seperti pisau, menyerang patung Asura ketiga dan keempat dengan kekuatan penuh. Patung Asura ketiga terkena serangan langsung, retak dan hancur menjadi debu. Patung Asura keempat, meskipun terluka parah, masih berdiri dan mencoba menyerang Sangkala dengan tongkat berapi. Namun, Sangkala melompat maju dan menghantam patung itu dengan tangan berbalut badainya dan mengakhiri keberadaan patung terakhir tersebut.

Sambil terengah-engah, ia menatap Raksaka yang berdiri dengan susah payah menahan angin. "Sekarang tinggal kau sendiri."

Dengan keempat patung Asura yang hancur, udara di sekitar Mandala Ashura menjadi lebih tenang, tetapi penuh dengan aura kematian yang malah semakin mencekam.

"Apa kau yakin, Sangkala?" tanya Raksaka dengan wajah datarnya. "Aku sudah menduga bahwa kau mampu menghabisi keempat patung Asura itu."

"Kalau begitu, tamat riwayatmu," balas Sangkala.

"Tapi menurutmu, apa hanya itu kemampuan Mandala Ashura?"

Sangkala memicing. "Apa?" Seketika itu ia merinding, matanya menoyorot ke arah pagoda Mandala Asura.

"Ketika empat penjaga kalah, yang tersisa adalah ... kematian."

Lonceng di tengah pagoda mulai bergetar, mengeluarkan suara rendah seolah siap melepaskan kekuatan yang besar dan mengerikan.

"Ini adalah akhir dari pertarungan panjang kita," kata Raksaka dengan suara tegas. Ia tersenyum pada Sangkala. "Aku tidak bisa membiarkan iblis berbahaya sepertimu berkeliaran di Bumi. Ada hal-hal yang harus ku jaga."

Sangkala yang terluka dan kelelahan berusaha mengumpulkan sisa kekuatannya untuk serangan terakhir. "Aku tidak akan menyerah pada Maut sepertimu!" teriaknya, sambil melesatkan tinju pada lawan di hadapannya, gelombang angin hitam pekat melesat langsung ke arah Raksaka.

Raksaka tak menghindar karena kehabisan tenaga, ia juga tak mampu menahan serangan itu dan dengan pasrah menerimanya. Sangkala terbelalak ketika serangan angin hitamnya menebas dan menghempaskan Raksaka dengan mudahnya hingga terlempar jauh dan membentur lonceng pagoda Mandala Ashura. Darahnya menjadi penghias lonceng tersebut.

Dengan napas yang berat dan sisa tenaganya Raksaka mengangkat tangan kanannya perlahan, lalu menempelkan jempol dan jari tengahnya membuat lingkaran. Ia menyeringai.

"Kau tahu ... Sangkala. Ada yang lebih cepat daripada angin ... ia adalah suara." Dengan tangan satunya, Raksaka memukul lonceng itu hingga berdentum pelan. "Lonceng Genta Pati Muksa ...,"

Genta Pati Muksa mulai berayun pelan. Beriringan dengan suara pertama yang keluar, gelombang kematian menyebar ke seluruh Mandala Ashura dan melumat Samirana Samara. Sangkala tak bisa menghindar. Suara lonceng itu menembus tubuhnya, merusak setiap bagian dari dalam. Darah mengalir dari mata, telinga, hidung, dan mulutnya. Sangkala berteriak kesakitan, tubuhnya mulai hancur menjadi serpihan debu.

"Kau mungkin bisa menghancurkan wadahku. tapi tidak dengan jiwaku!" bentak Sangkala. Jiwanya keluara dari wadahnya dan hendak kabur.

Namun, dalam hitungan detik, jiwanya pun ikut dilumat kematian. Sangkala lenyap tanpa jejak menjadi kepulan asap hitam. Mandala Ashura runtuh dengan perlahan, meninggalkan Raksaka yang duduk bersandar di tengah sisa-sisa reruntuhan. Raksaka menarik napas panjang, ia tersenyum sambil memejamkan mata saat beban berat itu akhirnya terangkat.

Perlahan rintik hujan turun membasahi bumi. Tetesan-tetesan air langit membasuh luka, menghapus jejak pertarungan sengit yang baru saja usai, seolah-olah semesta sendiri turut merasakan perihnya luka-luka itu. Hujan itu bukan sekadar air yang jatuh dari langit, melainkan nyanyian perpisahan yang merdu, mengiringi akhir dari sebuah babak penuh penderitaan dan permulaan yang baru bagi jiwa yang telah berjuang dengan gagah berani.

.

.

.

Di tempat yang berbeda.

Rama duduk di teras menikmati angin malam sambil menatap layar ponselnya.

"Ram, udah ada kabar dari Saka?" tanya Noris yang menghampiri Rama di teras. Wanita itu masih dalam tahap pemulihan.

Rama menggeleng. "Belum ada kabar."

"Ya udah masuk aja dulu, tunggu di dalem. Di luar dingin."

Rama bangkit dari kursi hendak masuk ke dalam rumah, tetapi langkahnya terhenti dan berubah arah, ia malah berjalan keluar teras.

"Ngapain, Ram?" tanya Noris.

Rama menatap telapak tangannya yang perlahan basah, lalu merubah arah pandang menatap langit yang perlahan gerimis.

"Ujan," jawab Rama. "Saka enggak bawa payung."

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top