58 : Kaladarma

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

Ketegangan antara Raksasa dan Sangkala hampir bisa dirasakan udara malam. Angin berderu, membawa bisikan-bisikan kematian yang seolah menunggu siapa yang akan menjadi korban selanjutnya. Kedua makhluk itu tahu, hanya satu dari mereka yang akan keluar hidup-hidup dari pertempuran ini.

Sangkala meluncur maju dengan cepat, bayangan-bayangan hitam di sekitarnya menyatu menjadi satu di kaki kirinya. Ia melompat sambil berputar di udara dengan kaki kiri mengarah langsung ke kepala Raksaka. Namun, Raksaka dengan refleks yang tak kalah cepat, menunduk dan menghindari tendangan itu dengan gesit. Mereka bertarung dengan intensitas kecepatan tinggi, hampir sulit diikuti mata biasa.

Sebelum Sangkala sempat mendarat, Raksaka sudah berada di belakangnya, tangan hitamnya terulur dengan kuku-kuku tajam mengarah ke punggung Sangkala. Dengan gerakan cepat, Sangkala memutar tubuhnya di udara, menangkis serangan tersebut dengan lengan berbalut bayangan. Percikan api hitam muncul saat kekuatan mereka beradu.

Sangkala mendarat, tanpa basa-basi ia langsung melancarkan serangan balasan. Sang Yaksa menghantamkan tinjunya ke tanah, menciptakan gelombang kegelapan yang merayap cepat ke arah Raksaka. Namun, Raksaka dengan cepat melompat ke udara, menghindari gelombang itu dan melancarkan serangan dari atas. Ia menukik turun dengan tangan terulur, kuku-kuku hitamnya siap merobek Sangkala.

Sangkala menghindar ke samping, tetapi Raksaka tak memberinya jeda. Ia kembali melesat dan terus menyerang dengan rentetan pukulan cepat, setiap serangannya membawa aura kematian yang mengancam. Sangkala menangkis dengan gesit, namun kekuatan Raksaka mulai menekan. Setiap kali mereka bertukar serangan, suara dentuman keras dan gemuruh angin terdengar, menciptakan pemandangan yang hampir seperti badai kecil di sekitar mereka.

Dengan gerakan akrobatik, Sangkala melakukan salto mundur untuk mengatur jarak. Ia menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan lebih banyak bayangan di sekitarnya. Tanpa suara, ia meluncur kembali ke arah Raksaka, tangan-tangan bayangan menyertai serangannya, menciptakan ilusi bahwa ia memiliki banyak lengan.

Raksaka menghadapinya dengan tenang. Ia menangkis setiap serangan maut Sangkala dengan presisi, sambil sesekali membalas dengan tusukan kuku jari. Namun, Raksaka selalu gagal, Sangkala selalu mementahkan tusukannya dengan menghadang lengannya menggunakan siku.

Sangkala langsung menyerang balik dengan melompat tinggi ke udara, berputar cepat dan menghantamkan kakinya ke bawah. Raksaka melompat ke samping, menghindari tendangan yang menghantam tanah dengan kekuatan luar biasa tersebut.

Raksaka langsung bergerak cepat, tangan hitamnya mencengkeram pergelangan tangan Sangkala. Sangkala menggertakkan gigi, dengan sekuat tenaga ia berusaha melepaskan diri. Namun, dengan gerakan cepat, Raksaka memutar tubuh Sangkala dan menghantamkan lututnya ke perut. Tanpa memberi jeda, Raksaka menjambak rambut Sangkala, lalu membanting wajah makhluk itu ke tanah, dan berlari menyeret tubuh Sangkala dengan brutal, jejak darah mengalir di tanah saat wajah Sangkala bergesekan dengan permukaan kasar.

Sangkala meronta dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Raksaka. Ia melompat ke belakang, mengambil jarak sambil mengatur napasnya yang terengah-engah. Ia melirik pergelangan tangannya yang sempat dicengkeram Raksaka, lengan itu agak kehitaman.

"Berengsek," gumam Sangkala. Dari kedua tangannya keluar aura hitam yang sangat pekat. Sangkala melebarkan kuda-kuda, dalam sekejap ekspresinya berubah agak serius. Aura kelam semakin kental menyelimutinya.

"Angkara sangkara, rong sengkala kala. Tlatahing yuta, tanahing kerta. Kene kang-kanthi, kala kang gelap, amuk bener wus kelabu."
(Dengan kesaktian yang gelap, dua waktu terlipat. Terkoyaknya alam semesta, keruntuhan bumi. Di sini, dalam kegelapan waktu, kemarahan yang hakiki telah mengaburkan segalanya)

Iblis itu merapalkan sebuah mantra gelap. Getaran kegelapan menciptakan lingkaran hitam di sekitar areanya berpijak. Bayangan iblis itu bergerak keluar dari tanah, melesat dan melebar menjadi kegelapan berbentuk kubah yang menutupi medan tempur. Jangkauannya tidak terlalu luas, tapi mampu menjangkau Raksaka hingga radius lima ratus meter.

Raksaka merasakan tekanan yang mencekam di tengah suasana yang mendadak gulita. Ia sangat berhati-hati sekarang karena tak mampu melihat apa pun selain warna hitam sejauh mata memandang.

"Apa kau takut?" Suara Sangkala membuyarkan kesunyian.

Raksaka tak menjawab, ia masih merinding akibat tekanan luar biasa yang berasal dari kegelapan mantra genta bayangan. Di dalam kubah kegelapan ini penglihatan dan gerakan Raksaka sangat terbatas. Seluruh indranya seakan menumpul dilumat gelap.

Tiba-tiba, Sangkala melesat dan menghantam Raksaka dengan keras. Tubuhnya terlempar beberapa meter ke belakang, menghantam tanah dengan keras.

'Bajingan ini cukup licik ternyata.' Pikir Raksaka.

Sangkala muncul dari balik tirai kegelapan, seringai jahat menghiasi wajahnya. "Di sini, kegelapan adalah teman sejatiku. Kau tidak akan bisa lolos dari hukuman teman-temanku," gumamnya dengan suara berbisik mengintimidasi.

Raksaka mencoba bangkit, tapi sebelum ia sempat berdiri tegak, serangan lain datang dari arah yang berbeda. Sangkala memanfaatkan kegelapan untuk menyerang dengan kecepatan. Setiap serangan menghantam Raksaka dengan brutal, membuatnya terjatuh kembali ke tanah dan terluka. Napasnya berat dan terengah-engah. Darah mengalir dari luka-lukanya, mengotori tanah di bawahnya.

'Aku harus menemukan cara untuk melawan balik.'

Sangkala tak memberinya jeda. Sang Yaksa terus-menerus menyerang lawannya. Setiap pukulan, setiap tendangan, dan setiap cakarannya merusak tubuh Raksaka. Dalam waktu singkat, Raksaka langsung terpojok dan hampir kehilangan kesadaran.

"Kau akan mati di sini secara perlahan," desis Sangkala sambil terkekeh.

Sangkala kembali melesat dan menghantam Raksaka lagi. Tubuh Raksaka terhempas ke tanah dengan keras hingga membuatnya kehilangan sadar. Sangkala sangat menikmati waktu-waktunya saat menyiksa Raksaka, ia tertawa gila melihat ketidakberdayaan lawannya itu. Di sisi lain, sebuah memori usang terlintas dalam pikiran Raksaka.

Beberapa tahun silam.

"Menurut rumornya, anak itu berada di sini, Ratu," ucap seorang pria.

"Hmm ... dewa kematian kecil itu bersembunyi di sini, ya?" gumam Adistri.

Wanita bertubuh molek berkebaya merah itu berjalan mendekati sebuah pabrik tua terbengkalai. Menurut rumor, di dalam sana ada seorang anak pembawa kematian. Untuk memastikannya, ia langsung turun tangan bersama empat orang anggota Satu Darah.

Semakin mendekati bangunan utama, hawa di tempat itu terasa busuk dan mencekam. Ada sebuah tekanan misterius yang membuat keempat bawahan Adistri merinding. Rasa-rasanya seperti kadar oksigen di sekitar pabrik tersebut menipis.

"Kalian tunggu saja di luar," ucap Adistri.

"Tidak, kami akan masuk duluan untuk memastikan keadaan di dalam."

"Kalian bisa terbunuh," balas Adistri. "Yang satu ini mematikan."

Keempat pria itu tersenyum. "Kami ini Satu Darah, apa yang lebih buruk daripada kami? Tidak ada yang kami takuti selain Ratu kami sendiri."

Adistri menghela napas. "Baiklah, jangan lama-lama. Aku akan menunggu di sini."

Keempat anggota Satu Darah pun berjalan memasuki bangunan utama, sementara Aidistri diam berdiri di luar, menunggu hasil investigasi para bawahannya. Namun, tak berselang lama, angin berembus kencang dari area dalam hingga membuat kulit Adistri tergores. Hawa kehidupan keempat bawahannya mendadak sirna.

Adistri merubah raut wajahnya menjadi datar. "Sudah ku bilang, kalian seharusnya tunggu saja di sini, apa pun yang berada di dalam sana ... ia berbahaya." Sang Ratu melangkah masuk ke dalam bangunan utama pabrik.

Baru berjalan sebentar memasuki bangunan utama, di dalam sana empat bawahannya sudah tergeletak tanpa nyawa. Bola mata Adistri menangkap hadir dari seorang bocah gondrong tak terurus yang duduk bersandar di ujung dinding pabrik.

"Pergi, kalau masih mau hidup," ucapnya datar pada Adistri.

Bocah itu tampak lusuh, pakaianya sangat kotor dan penuh robekan. Ia benar-benar seperti pabrik ini, terbengkalai. Sorot matanya redup, seperti tak ada kehidupan di dalam tatapannya.

"Kau yang membunuh orang-orang ini?" tanya Adistri.

Raksaka menggeleng. "Mereka sendiri yang menjemput ajalnya."

Adistri tersenyum. "Kau menarik, Nak." Ia melangkah mendekati Raksaka. "Ikutlah denganku."

Raksaka hanya diam tanpa komentar. Di sisi lain Adistri berjalan semakin mendekat. "Sebaiknya kau pergi dari sini, Tante," ucap Raksaka dengan suara datar.

Namun, Adistri tak berkomentar, ia terus berjalan mendekati bocah itu. Melihat langkah Adistri yang justru semakin dekat, membuat Raksaka menatapnya. Mata bocah itu gelap dan terlihat penuh kesedihan.

"Setiap orang yang mendekatiku akan mati," ucap Raksaka kecil.

Adistri tertawa kecil. "Kau pikir aku takut dengan ancaman bocah kecil sepertimu, Nak?" Wanita itu berjongkok dan menatap Raksaka kecil dengan senyumnya.

Hawa kematian terpancar dari bocah itu. Sang Ratu paham bahwa Raksaka bukan anak biasa. Ada sesuatu yang sangat gelap dan kuat di dalam dirinya. Namun, ketua Satu Darah itu tidak mundur. Sebaliknya, ia justru sangat mengingkan anak dengan potensi yang luar biasa tersebut menjadi anggota Satu Darah.

Raksaka terbelalak ketika menatap Adistri yang masih hidup saat berada di dekatnya. "Ke-kenapa tante ini masih hidup?" gumam Raksaka seolah bertanya pada sendiri.

Wanita itu mengelus kepala Raksaka. "Kau hanya belum mampu mengontrol kemampuanmu."

Setiap orang yang berada di dekat Raksaka dalam radius tertentu akan tercabut nyawanya akibat kutukan Kaladarma. Namun, untuk pertama kalinya, ada seorang manusia yang tidak mati saat mendekatinya, bahkan menyentuhnya dengan tenang.

"Siapa namamu?" tanya Adistri.

"Raksaka Mintaraga," jawabnya singkat.

"Raksaka," ulang Adistri. "Kau punya potensi yang besar, Nak. Ikutlah denganku. Aku bisa membantumu mengendalikan kekuatanmu."

"Membantu--mengendalikan kekuatan?" tanya Raksaka memicing heran.

"Ya," jawab Adistri dengan senyuman. "Mau?"

Raksaka kecil mengangguk mau. Kalau boleh jujur, ia benci kesendirian. Hanya saja, keadaan yang memaksanya untuk selalu sendiri.

Adistri mengambil belati bersarung merah dari balik kebayanya, ia menggores telapak tangannya hingga berdarah.

"Bibi, apa yang kau lakukan?" tanya Raksaka dengan mimik ketakutan.

Adistri tak menjawab pertanyaan tersebut, ia meminta Raksaka mengulurkan tangannya. Hanya saja Raksaka takut, ia menyembunyikan tangannya rapat-rapat dari Adistri. Namun, Adistri langsung memeluk anak itu sambil menepuk pundaknya.

"Jangan takut, aku akan mengambil kutukanmu," kata Adistri. "Percayakan darahmu padaku." Ia melepaskan pelukannya dan menarik lembut tangan Raksaka, lalu menggores telapak tangan anak itu hingga berdarah.

Raksaka meringis kesakitan. Namun, setelah itu Adistri menempelkan telapak tangan Raksaka yang terluka dengan telapak tangannya sendiri yang terluka, tangan mereka saling menggenggam satu sama lain. Darah mereka bercampur dan saat itu pula kontrak darah dibuat. Muncul tato angka satu berwarna merah di lengan Raksaka kecil.

"Apa sekarang kekuatanku hilang?" tanya Raksaka dengan tatapan datar menatap tato angka satu di lengannya.

"Mulai sekarang, kau aman," tutur Adistri. "Kau boleh bermain dengan anak-anak lain, tapi jangan menyentuh mereka dengan tanganmu."

"Kenapa?"

Aura kelam yang menyelimuti Raksaka perlahan pudar. Adistri mengambil sebagian kekuatan Raksaka sehingga kutukan Kaladarma melemah.

"Sekarang kau harus menutupi telapak tanganmu, karena siapa pun yang kau sentuh secara langsung dengan telapak tangan itu, maka orang tersebut akan mati. Aku tidak bisa mengusir kekuatanmu, tapi kalau kekuatan itu terasa berat, aku akan membantumu menanggung beban itu."

Setelah kematian orang tuanya dan segala yang terjadi dalam hidupnya setelah bangun dari koma, ini pertama kalinya ada orang yang membuat Raksaka merasa hangat.

"Bo-boleh aku panggil tante ibu?"

Adistri tersenyum, ia memutar arah membelakangi Raksaka. "Boleh, sekarang ayo kita pulang, Nak."

Raksaka naik ke punggung Adistri dan bergelantungan di sana dengan senyum di wajahnya. Adistri bangkit dan berjalan pergi sambil menggendong Raksaka kecil di punggungnya.

Sepersekian detik, kesadaran Raksaka kembali, tepat sebelum serangan susulan dari Sangkala. Sang Yaksa melepaskan pukulan ke arah rusuk Raksaka.

"Rasakan itu!" ucap Sangkala sambil terkekeh ketika berhasil menghajar Raksaka.

Raksaka meringis dan mengeluarkan sedikit  darah dari mulutnya. Namun, kali ini Raksaka tak membiarkan Sangkala kabur. Ia menunggu dan sengaja diserang untuk menangkap iblis itu. Mata Sangkala terbelalak, dikejutkan oleh Raksaka yang berhasil menangkap lengannya seolah tak membiarkannya pergi setelah berhasil melayangkan pukulan.

"Sekarang kau tidak bisa bersembunyi lagi, Iblis," tutur Raksaka.

"Apa yang kau lakukan?" ucap Sangkala dengan suara rendah penuh tekanan.

Raksaka mengerahkan seluruh tenaganya, mencengkeram pergelangan tangan Sangkala. "Aku tidak akan mati di sini. Aku akan menghancurkan mantra gelapmu."

Dengan cengkraman kuatnya, Raksaka menarik Sangkala mendekat, kemudian dengan gerakan cepat dan penuh tenaga, ia memutar tubuhnya, dan melemparkan Sangkala ke tanah dengan bahu sebagai pendorong. Tubuh Sangkala terhempas keras ke tanah, menciptakan dentuman yang menggema di tengah kegelapan. Iblis itu terlihat kesakitan saat terhempas ke tanah.

Raksaka tak berhenti di situ. Ia segera melompat ke atas tubuh Sangkala, dan menghujamkan kuku tajamnya menusuk dada Sang Yaksa hingga menembus ke punggung. Seketika itu mantra genta bayangan sirna, kubah hitam yang mengurung mereka telah musnah seutuhnya. Raksaka mencabut tangannya yang menancap dan kini penuh dengan darah hitam Sangkala.

"Kesombonganmu yang sudah membunuhmu, Yaksa," tutur Raksaka. Ia pun berjalan pergi meninggalkan Sangkala yang terkapar tak berdaya.

Sanggar Matahari.

"Apa yang membuatmu gelisah begitu?" tanya Dewastra. "Apa sekarang kau berubah pikiran bahwa Yaksa yang akan menang?"

Yasa Kanigara menggeleng. "Kalau itu Rawantu, mereka masih punya harapan."

"Lantas?"

"Malam itu, sekilas, Ippo bertanya perihal Sangkala. Jika itu Sangkala, Ippo tidak akan punya harapan menang. Kau paham kan, seperti apa Iblis bernama Sangkala itu, Dursasana?"

"Si berengsek itu, ya?" Raut wajah bocah itu berubah, ia mengepalkan tangannya erat-erat. "Dia iblis yang paling buruk yang pernah ada."

"Seburuk itu, kah?"

"Kau pernah dengar istilah Ranjaka?" tanya Dursasana.

Kanigara menggeleng tak tahu, ia belum pernah mendengar istilah tersebut.

"Sebuah turnamen yang digelar seribu tahun sekali di Alam Durjana. Turnamen itu diikuti oleh para iblis-iblis kejam demi bersaing untuk mendapatkan mahkota kegelapan. Gelar Raja Iblis menjadi taruhannya."

"Dan Sangkala yang memenangkannya?"

Dursasana menggeleng. "Sangkala tidak menang, tapi juga tidak bisa dibilang kalah. Di Ranjaka terakhir, Sangkala masihlah bocah ingusan, tapi ia berhasil melaju cukup jauh dan pada akhirnya bertemu denganku."

"Apa yang terjadi setelah itu?" tanya Kanigara.

"Setelah kalah denganku, bocah itu selalu mengikutiku dan memohon agar aku menjadikannya murid. Karena keras kepalanya, aku terpaksa mengangkatnya menjadi anak buah pertamaku," jelas Dursasana.

"Bersama Bebasura dan Kerikala?"

Dursasana mengangguk. "Ia iblis yang berpotensi. Selain memiliki elemen utama, ia juga mampu menguasai elemen kegelapan yang ku ajarkan, tidak banyak iblis yang bisa mengusai lebih dari satu elemen. Sampai saat ini, ia tidak pernah menunjukkan kekuatan aslinya demi bersenang-senang. Anak itu serakah dan haus pertarungan, ia tidak punya ambisi lebih dari bertarung dengan musuh yang kuat."

"Biar ku tebak, anak liar itu pasti menantangmu, kan?" tanya Kanigara.

Dursasana mengangguk. "Saat itu terjadi pertarungan yang sengit, aku tidak menyangka bahwa Sangkala akan menjadi sekuat itu. Hanya saja, pemenangnya sudah ditentukan sejak awal pertarungan. Aku menang dan mengusirnya. Sudah ratusan tahun berlalu, aku tidak heran kalau sekarang makhluk itu jauh lebih kuat dari pertarungan terakhir kami."

"Dan sekarang ia berkeliaran dengan bebas di dunia ini. Aku agak kasihan dengan manusia yang bertemu dengannya. Sepertinya kita harus bergerak, Dursasana, sebelum jatuh korban lebih banyak."

Dursasana menyeringai. "Jangan salah paham, Kanigaraboy. Aku memang punya urusan dengannya, tapi aku tidak punya niat untuk mengalahkannya saat ini. Jika kau merasa punya tanggung jawab untuk menghentikannya, lakukan sendiri. Itu urusan kalian para manusia."

Yasa Kanigara menatap bulan purnama di langit. "Jangan membenciku karena membunuh mantan bawahanmu, Dursasana."

"Mau ke mana?"

Saat berjalan beberapa langkah meninggalkan Sangkala yang tergeletak tak berdaya, tiba-tiba Raksaka merasakan angin yang berembus di belakangnya, angin yang berbisik dan membuatnya merinding. Saat ia menoleh, Sangkala bangkit kembali dengan dada berlubang, ia seperti dibangkitkan oleh angin. Sang Yaksa memijat bagian tengkuknya sambil menguap seperti orang yang baru saja bangun dari tidur panjang. Ia menyeringai pada Raksaka.

"Bayangan ireng, jerat tanpo swara. Samirana pati, ingsun nimbali kowe, Kejiret ing peteng, mungsuhku ora bakal uwal saka kowe."
(Bayangan hitam, jerat tanpa suara. Angin pembawa maut, ku panggil engkau, Terperangkap dalam kelam, musuhku takkan lepas darimu)

Jari-jarinya tertekuk dan menempel dengan telapak tangan, membuat ujung jempolnya sejajar dengan keempat jarinya yang tertekuk itu. Telapak tangan bagian bawahnya saling menempel dengan posisi tangan kanan menghadap ke atas dan yang kiri menghadap ke bawah, mirip pose bertapa, tetapi sedikit berbeda.

"Penjara Dosa, Samirana Samara."

.

.

.

TBC

.

.

.


Kamus Mantra:

Samirana Samara = Angin Pembawa Kematian



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top