57 : Pertarungan Dua Raja
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
Aroma pepohonan tak sesegar yang seharusnya. Rizwana menoleh ke arah Radika dan juga Gandring. "Kalian berdua bantu Ettan sama Wira aja," ucap Rizwana.
"Tapi ...."
"Nanti kalo di sini kalian malah bisa mati konyol. Toh, Wira sama Ettan kan punya stamina, meskipun mereka kuat, tapi ada batasnya."
Gandring meneguk ludah. Ekspresi Rizwana yang tenang dan selalu tersenyum itu memiliki tekanan tersendiri. Di sisi lain Radika berjalan menyusul Wira.
"Oke, kalo gitu." Gandring pun pergi menyusul Ettan.
Rizwana kembali menatap Burisrawa. "Maaf, maaf, sekarang udah enggak ada pengganggu lagi."
"Ini perang, bukan duel satu lawan satu," balas Burisrawa. Tanpa kehadiran Gandring dan Radika, kini pasukannya mengepung Rizwana.
Burisrawa mengerahkan seluruh pasukannya untuk mengepung Rizwana. Namun, Rizwana tetap tenang, berdiri dengan gagah di tengah lingkaran musuh, memegang dua tombak dengan penuh kepercayaan diri.
Burisrawa mengangkat tangannya tinggi-tinggi. "Hancurkan dia!"
Rizwana menarik napas dalam-dalam, ia tahan sejenak, lalu membuangnya sambil berteriak. "MAJU, IBLIS!".
Rizwana mengangkat tombak Cakra Langit tinggi-tinggi. Dari balik gelapnya malam, kencana berwarna hitam keemasan yang ditarik oleh kuda-kuda tanpa kepala melesat turun ke medan tempur, menerobos barisan pasukan Burisrawa dengan kecepatan dan kekuatan yang memporak-porandakan lawannya.
Dengan gerakan yang cepat, Rizwana menukar tombaknya. Ia mengambil tombak Tulungagung, lalu memutarnya di udara. Angin bertiup kencang, dan ketika Rizwana membanting pangkal tombaknya ke tanah hingga bergetar, gelombang ombak raksasa muncul dari dalam tanah, dan menyapu bersih musuh-musuhnya.
"Kalau ada rekanku, aku tidak bisa membersihkan tempat ini dengan cepat, heee," kata Rizwana.
Pasukan setan Burisrawa berteriak panik saat sebuah gelombang tsunami menghantam mereka, menghancurkan formasi perang. Burisrawa yang melihat pasukannya melemah pun melompat ke depan dengan ekspresi gusar, mencoba menyerang Rizwana secara langsung.
Rizwana menyambut serangan tersebut dengan tombak Punjul Wilayah. Ia menancapkan mata tombak itu ke tanah. Seketika itu badai besar datang. Angin kencang dan petir melesat turun, menambah kekacauan di medan pertempuran.
"Aku tidak suka kondisi ini," gumam Burisrawa yang berusaha berdiri tegak, menahan angin.
Burisrawa menghentakkan kakinya, menciptakan retakan di tanah yang melesat ke arah Rizwana. Rizwana dengan sigap menukar tombak Punjul Wilayah dengan Karara Mulya. Dengan satu ayunan tombak, ia memanggil hujan darah. Namun, hujan darah itu tak seperti sebuah jawaban atas pertahanannya, sebongkah batu besar keluar dari dalam tanah dan menghantam tubuh Rizwana.
Melihat momentum, Burisrawa pun melesat cepat hendak mengakhiri Rizwana sebelum ia bangkit. Hanya saja, saat suara tepuk tangan terdengar, tubuhnya terdiam membatu seolah kendali tubuhnya bukan lagi miliknya. Burisrawa memicing melihat kedua tangan Rizwana yang saling menempelkan telapak tangan.
"Apa yang kau lakukan?"
"Darah kita sudah bercampur," jawab Rizwana.
Burisrawa memicing. "Darah?"
"Aku belum melakukan perkenalan dengan benar. Oke, kita ulang." Senyum di wajah Rizwana semakin lebar. "Rizwana Radja Angkhara."
"Angkhara?" tanya Burisrawa heran. "Mereka harusnya sudah musnah ratusan tahun lalu."
Pasukan Burisrawa yang tersisa mulai ragu, melihat Raja mereka terpojok oleh kekuatan luar biasa Rizwana yang seolah tak terkalahkan. Rizwana melangkah maju dengan tombak Alam Jagat Raya di tangannya.
"Aku tidak perlu membuka gerbang kerajaan Nyai hanya untuk membunuhmu, kan?"
Burisrawa terlihat payah, ia bertekuk lutut di hadapan Rizwana. Mata tombak Alam Jagat Raya kini berada tepat di depan dadanya, siap menembus dan merengut nyawanya.
"Raga neraka, jagad suwung, Wana Rudraksa, kawulaning dosa ...," lirih Burisrawa.
Rizwana merinding, ia memiliki firasat buruk. Dengan cepat ia menarik tombaknya, untuk mengambil ancang-ancang mengakhiri Burisrawa. Namun, terbesit tersenyum jahat di wajah Burisrawa.
"Kau pikir aku akan membiarkanmu menang dengan mudah?" Burisrawa menempelkan jempol dan kelingkingnya. "Penjara dosa, Wana Rudraksa."
Tanah di sekitar Rizwana dan Burisrawa bergetar hebat. Gelombang energi hitam memancar dari Burisrawa, menciptakan pusaran yang menyedot mereka berdua ke dalam kegelapan yang pekat. Dalam sekejap, mereka berdua menghilang dari medan tempur.
Ettan, Radika, Wira, dan Gandring terbelalak.
"Oi, oi ... ke mana Rizwana?" tanya Ettan yang bingung. Namun, tak ada yang tahu jawabannya.
Pohon-pohon tropis khas Kaliurang lenyap digantikan oleh hutan yang mengerikan, penuh dengan pohon-pohon besar mati yang mengeluarkan aroma busuk. Angin kencang bertiup membawa bisikan-bisikan mengutuk.
Rizwana menyadari bahwa mereka telah berpindah ke dimensi lain. Wana Rudraksa adalah hutan kutukan yang dipenuhi dengan energi kelam dan berisi makhluk-makhluk terkutuk. Tanahnya lengket seperti lumpur hitam, dan air berwarna merah darah mengalir perlahan di antara akar-akar pohon besar.
Rizwana mencengkeram tombaknya lebih erat, menajamkan fokusnya dan berusaha beradaptasi dengan lingkungan barunya. Ia paham betul, bahwa saat ini Burisrawa berada dalam elemen aslinya, tak ada pembatas kekuatan seperti sebelumnya. Iblis itu akan muncul dengan wujud asli dan kekuatan penuhnya.
"Waktunya serangan balasan."
Suara berat Burisrawa membuat Rizwana agak terkejut dan sontak merinding. Dari balik kegelapan Wana Rudraksa, Burisrawa muncul. Tubuhnya membesar, kulitnya berubah menjadi kelabu gelap dengan tanduk melengkung. Sayap hitam besar yang bersisik menjulur dari punggungnya, memberikan kesan ngeri pada siapa pun yang menatapnya.
"Bersiaplah, Angkhara. Tempat ini adalah Wana Rudraksa, tempat di mana kutukan dan penderitaan berkuasa. Di sini, aku Rajanya!"
Burisrawa memulai serangan dengan menciptakan gelombang energi kegelapan yang melesat ke arah Rizwana. Rizwana menangkisnya dengan tombak Alam Jagat Raya, namun gelombang itu terlalu kuat, hingga mendorongnya mundur beberapa langkah.
"Terasa lebih berat, kan?" Burisrawa tertawa. "Di sini, setiap gerakanmu akan terasa seperti membawa beban ribuan dosa!"
Dari dulu memburu setan, baru kali ini Rizwana melawan iblis tingkat atas yang mampu menggunakan penjara dosa. Sang maheswara pun merasakan beban yang menekan tubuhnya, membuat setiap gerakannya menjadi lamban dan berat.
Burisrawa merentangkan sayapnya dan melayang di udara, ia mengeluarkan energi hitam dari kedua tangannya. Energi itu berubah menjadi makhluk-makhluk bayangan yang menyerang Rizwana dari segala arah. Rizwana berusaha menghindari serangan-serangan itu, tetapi gerakannya terlalu lamban di bawah pengaruh kutukan Wana Rudraksa. Makhluk-makhluk bayangan itu berhasil mencakar dan melukai tubuhnya.
"Matilah secara perlahan, manusia," ucap Burisrawa dengan suara penuh keangkuhan. "Kau tidak akan bisa keluar dari sini hidup-hidup!"
'Aku tidak bisa memanggil kelima tombakku, dan di sini hanya ada tombak Alam Jagat Raya. Tempat ini punya penghalang yang kuat, kemampuan Alam Jagat Raya tidak berfungsi di sini, aku tidak bisa memanggil pasukan laut selatan. Masalahnya ....'
Rizwana mencari keberadaan Burisrawa yang menghilang, iblis itu bagaikan binatang buas yang kini mendominasi di habitatnya. Selain cepat dan kuat, kini ia didukung oleh lingkungan dan kemampuannya untuk membuat summon dari energi kegelapan. Hutan ini berbeda dengan hutan Kaliurang. Hampir tidak ada tempat berpijak yang sempurna, karena lumpur dan juga akar pohon.
'Meskipun ada tombak lain, aku tidak yakin bisa menang di sini.'
Rizwana membantai satu per satu makhluk bayangan milik Burisrawa. Saat ia sedang sibuk, dari arah belakang Burisrawa menyerang dengan kuku-kuku tajamnya. Beruntung Rizwana menyadari keberadaannya dan menghindar, tetapi tak dapat dipungkiri bahwa serangan itu melukainya.
"Bertahan dari makhluk bayangan, dan mencari keberadaan ku adalah dua aktivitas yang tidak bisa dicampur, bukan?" tanya Burisrawa. "Berisiaplah, aku akan membuatmu menderita."
Dengan luka-luka di tubuhnya, Rizwana menggertakkan gigi. Ia mencengkeram tombaknya erat-erat, mencoba mencari celah untuk melawan balik. Dengan napas berat, ia mengumpulkan energi terakhirnya untuk memanggil kekuatan tombak Alam Jagat Raya. Namun, sebelum ia bisa melakukan serangan, Burisrawa muncul di hadapannya dengan kecepatan yang tak dapat dirinya imbangi.
Burisrawa mengayunkan cakar besarnya, menghantam Rizwana dengan keras hingga ia terhempas ke tanah berlumpur. Darah bercucuran dari tubuh Rizwana karena terkoyak oleh cakar tajam Burisrawa. Ia berusaha bangkit, tetapi tubuhnya terasa semakin berat. Burisrawa mendekat dengan senyum jahat di wajahnya, seolah sedang menikmati penderitaan yang dialami Rizwana.
"Dalam Wana Rudraksa, kekuatanmu tidak ada artinya," kata Burisrawa. "Di sini, aku adalah penguasa segala dosa dan kutukan."
Samar-samar Rizwana melihat pria yang penuh dengan lilitan perban di tubuhnya hingga menutupi wajah.
"Kau memang tidak berguna."
Rizwana terbelalak, ia mulai berhalusinasi melihat Ayahnya. "Nagara Sailendra ...," lirih Rizwana.
Nagara terbahak-bahak melihat Rizwana yang sekarat. "Akan ku tunggu kau di dasar neraka, Rizwana."
Rizwana menutup mata dan merenggangkan tombaknya. Rasa-rasanya ia telah kehilangan seluruh tenaganya.
'Sudah berakhir, kah?' Pikirnya.
"Hey, ayolah." Seorang pria duduk di samping Rizwana. Pria itu tersenyum dengan mata menyipit. Senyum mereka senada.
Samar-samar Rizwana kini menatap sosok Septa. Terkadang, Ayahnya memang seperti memiliki dua kepribadian. Menjelang ajalnya, ia menyadari sesuatu.
"Apa kau juga ... dikendalikan?" lirih Rizwana. "Jika iya, maafkan aku, Ayah ... karena tidak bisa menolongmu ...."
Septa mengelus kepala Rizwana. "Ayah sudah ajarkan, bukan? Teknik bela diri terkeren di dunia? Lawanmu ini iblis, daripada pusaka nampaknya teknik yang Ayah ajarkan lebih berguna."
'Ahh ... teknik itu, ya?' Rizwana berusaha meraih sesuatu di dengan tangannya.
Di sisi lain, Burisrawa bersiap untuk membunuh Rizwana. "Kau mulai berhalusinasi, ya? Tenang saja, aku akan segera mengakhiri penderitaanmu."
Meskipun tubuhnya terasa semakin berat dan pandangannya mulai kabur, Rizwana masih berhasil menyatukan pikirannya. Ia memfokuskan energi terakhirnya untuk menghadapi serangan terakhir Burisrawa.
Dengan gerakan yang cepat, Rizwana menghindari cakaran tajam yang melesat ke arahnya. Tubuhnya meluncur ke samping, seolah bergerak dengan sendirinya. Ia melompat mundur untuk menjaga jarak, Rizwana menghela napas lega, tetapi agak terpogoh-pogoh.
Rizwana merentangkan kedua tangannya ke samping dengan lebar, perlahan ia lebarkan posisi kuda-kuda kakinya seiring dengan tanganya yang mengayun lembut seperti air yang mengalir.
"Kau sudah putus asa, kah? Tombak-tombakmu tertinggal di dunia mu dan hanya membawa satu tombak yang bahkan tidak bisa berfungsi dengan baik, hah?"
Rizwana tak menjawab, ia tak terprovokasi oleh ledekan Burisrawa. Melihatnya diam begitu membuat Burisrawa marah, ia berlari ke arah Rizwana dan melesatkan cakaran. Namun, hanya dengan sedikit gerakan efektif, Rizwana menghindari serangan itu dan mementahkan serangan Burisrawa dengan sikunya. Ia hentakkan kaki kiri ke depan dengan keras, lalu melesatkan pukulan telapak tangan pada perut Burisrawa.
"Waringin Sungsang."
Saat telapak tangan Rizwana menyentuh tubuh Burisrawa, energi putih meledak keluar, membentuk cahaya terang yang menyilaukan. Sebuah ledakan energi terjadi, menghancurkan aura gelap yang melingkupi Burisrawa.
Burisrawa terpental mundur. Ia terkejut dan terluka cukup parah hingga memuntahkan darah hitam dari mulutnya.
"Sialan!" desis Burisrawa, mencoba mengatasi rasa sakit yang menusuk tubuhnya.
Burisrawa mengumpulkan energi Wana Rudraksa di cakar kanannya, ia berniat untuk mengumpulkan energi hitam berskala besar dan menyerang Rizwana pada sati titik. Rizwana pun menutup matanya dan mulai mengatur napas, sebab ia tahu bahwa ini akan menjadi serangan terakhir entah baginya atau bagi Burisrawa.
'Ketergantungan pada tombak-tombak Maheswara dan darah terkutuk Angkhara membutakan ku dari banyak hal. Hitam bisa dilawan dengan hitam, tetapi sejatinya putih ada untuk menghapus yang hitam itu. Aku bukan pahlawan dari keluarga agung, dan bukan penjahat dari keluarga terkutuk. Pada dasarnya, aku hanya manusia biasa.'
Waringin Sungsang merupakan istilah dalam ilmu bela diri tradisional Jawa yang memiliki makna simbolis. 'Waringin' adalah nama sebuah pohon besar dan tua yang sangat dihormati dalam budaya Jawa, sedangkan 'Sungsang' memiliki arti terbalik. Jadi, secara harfiah, 'Waringin Sungsang' dapat diartikan sebagai 'pohon beringin terbalik' atau yang 'berbalik dari keadaan semula'.
Secara metaforis, Waringin Sungsang menggambarkan kebijaksanaan, kekuatan, atau keterampilan yang dapat mengubah arah pertarungan atau mengatasi kesulitan dengan membalikkan situasi yang tampaknya sudah pasti.
Burisrawa yang penuh dengan kebencian dan keputusasaan, mengumpulkan energi gelap di cakarnya. Ia bersiap untuk melancarkan serangan terakhir. Mata merahnya memancarkan kemarahan dan keinginan untuk menghancurkan Rizwana.
"Kalacitrasura!" seru Burisrawa dengan suara menggelegar. Ia melesat cepat ke arah Rizwana.
Rizwana bereaksi dengan cepat. Ia memutar tubuhnya dan menangkap lengan besar Burisrawa dengan tangannya yang sudah dilapisi ilmu putih. Perlahan Rizwana membuka matanya. Ketika Rizwana membuka mata, satu mata yang tak kasat mata terbuka di keningnya. Dalam tayangan lambat, pandangan mereka bertemu. Burisrawa terbelalak, dikejutkan oleh mata ketiga Rizwana yang bangkit tanpa ia sadari. Saat ini senyum itu sepenuhnya sirna, Rizwana terlihat sangat tenang, dan ... berbahaya.
Rizwana mengangkat tangan kirinya ke atas, sementara tangan kanannya tetap menahan lengan Burisrawa. Ia ayunkan tangan kirinya untuk mematahkan lengan Burisrawa menggunakan siku.
"AAAAARRRGHH!" pekik Burisrawa kesakitan.
Rizwana menghentakkan kakinya ke tanah, lalu meninju perut Burisrawa dengan kepalan tangan yang keras. Saat Burisrwa berlutut sambil memuntahkan darah hitam dari mulutnya, Rizwana menarik napas dalam-dalam, dan menghantam wajah makhluk itu dengan lututnya.
Burisrawa tak mampu lagi melawan. Pada satu titik, Rizwana menempelkan telapak tangannya di dada Burisrawa.
"Teknik terakhir Waringin Sungsang, Kalasurya," gumam Rizwana.
Ledakan energi terjadi. Burisrawa sirna menjadi kepulan asap hitam, Wana Rudraksa pun lenyap dan Rizwana telah kembali ke Hutan Kaliurang.
Keempat rekannya sedang duduk dengan wajah putus asa. Saat melihat Rizwana kembali, mereka berlari dan memeluknya. Pertempuran di tempat ini pun sudah berakhir manis.
"Bangsat! Gua pikir mati lu!" seru Ettan.
Rizwana tersenyum. "Mana mungkin, kan?"
Wira menggaruk kepalanya sambil menghela napas. "Ya udah, bubar yuk. Di sini juga udah kelar."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top