56 : Taring Keluarga Terkutuk

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

Kencana hitam muncul menembus tirai kabut yang melingkupi medan pertempuran. Ditarik oleh kuda-kuda tanpa kepala, kencana itu seakan datang dari alam yang lebih gelap daripada malam itu sendiri. Gemuruh langkah kuda yang berlari kencang menghantam tanah, seolah mengumandangkan kedatangan kematian.

Di atas kencana tersebut, ada empat sosok dengan jubah hitam yang melambai-lambai dihempas angin malam. Wajah mereka tak terlihat, tersembunyi di balik bayangan jubah.

Rizwana menyeringai memandang Burisrawa. "Aku lupa bilang, aku ini juga Raja. Rizwana Radja Maheswara."

Sisa-sisa pasukan Kencana Selatan bergabung ke dalam pertempuran antara Rizwana melawan Burisrawa. Seketika, pertempuran individu itu berubah menjadi pertempuran pasukan.

Melihat jumlah pasukan Rizwana yang sedikit, Burisrawa terbahak-bahak. Ia membuka mulutnya lebar-lebar, seketika itu atma hitam di sekitarnya terhisap masuk.

"HAAA!" Sebuah gelombang hitam besar melesat cepat ke arah kencana Cakra Langit.

Ledakan keras terjadi ketika gelombang itu mengenai targetnya. Namun, dari asap dan debu ledakan, kereta kencana yang ditarik kuda-kuda tanpa kepala itu masih berlari dengan perkasa ke arah Sang Yaksa.

Burisrawa memicing ketika menatap payung hitam yang terbuka dan berputar-putar seolah menjadi tameng, melayang cepat di depan kencana.

"Harusnya enggak perlu ditahan," ucap gandring sambil menatap Radika. "Gua mau coba ketahanan jubah ini."

"Coba waktu bertarung," balas Radika singkat

Gandring menghela napas. "Padahal tadi serangan yang oke."

Jubah yang mereka kenakan merupakan pusaka buatan Gandring. Sebuah jubah yang merupakan prototipe dari selimut sisik naga besukih milik Kei Yudistira. Meskipun materialnya berbeda, tetapi daya tahan fisik dan resistensi sihirnya cukup tinggi.

"Bener kata Radika, lu kalo mau nyoba barang ya nanti pas perang. Kalo sekarang namanya taruhan. Seumpama jubah lu ampas piye? Modar kita," kata Ettan.

"Enggak akan," gerutu Gandring.

"Masalahnya pusaka lu kan barang KW semua," celetuk Wira tertawa.

Ettan ikut menertawakan guyonan itu. Wira dan Ettan sama-sama tertawa, lalu hendak melakukan tos tinju. Hanya saja Wira mengurungkan niatnya, wajahnya mendadak datar. "Ngarep lu."

"Cih, sampah," balas Ettan.

Kuda-kuda yang menarik Kencana Cakra Langit berhenti tepat di belakang Rizwana. Keempat punggawa Kencana Selatan pun melompat dari atas kencana.

Rizwana tersenyum. "Kalian urus semua jendral tempur dan seluruh pasukan. Biar aku yang urus hidangan utamanya."

"Oke." Gandring maju, ia mengeluarkan sebuah keris yang masih tertutup sarung.

Burisrawa menatap pancaran yang dikeluarkan oleh keris tersebut. "Benda itu, tidak salah lagi. Pusaka milik bocah dari Singosari."

"Hooo, kau kenal pengguna terdahulunya?" tanya Gandring yang tersenyum.

"Ya, aku tahu dia," balas Burisrawa.

Gandring perlahan melepaskan keris itu dari sarungnya. "Kutuklah dunia ini, keris Mpu Gandring."

Keris Mpu Gandring merupakan warisan nenek moyang keluarga Gandring. Keris itu adalah senjata pusaka yang terkenal dalam riwayat berdirinya Kerajaan Singhasari. Keris ini terkenal karena kutukannya yang memakan korban dari kalangan elit Singasari termasuk pendiri dan pemakainya, yaitu Ken Arok.

"Dik, lu sama gua bertahan. Kita serang demit yang mau nyerang Raja kita," ucap Gandring pada Radika, kemudian berganti tatap pada Wira dan Ettan. "Terus, kalian berdua terserah. Enjoy it."

Ettan menyeringai sambil melakukan pemanasan ringan dengan lengannya. Ia melirik Wira. "Jangan mati lu." Lalu melangkah ke arah kiri dari Rizwana.

Wira meludah ke arah yang berlawanan dengan Ettan. "Urus diri lu sendiri aja." Ia pun melangkah ke arah yang berlawanan dengan Ettan, arah kanan Rizwana. "Lu juga jangan mati, bangsat ...," lirih Wira.

Seringai di wajah Ettan semakin lebar, ia menatap kerumunan dedemit di hadapannya. "Nah, sekarang--waktunya membuang sampah!" Kedua lengannya sedikit membesar, bulu-bulu putih merambat dari siku hingga ke punggung tangan, serta kuku tajam menambah kesan hewan buas diri Ettan Rawasura. Ia mengambil ancang-ancang berlari. "On the way."

Ettan melesat dengan cepat, dalam sekejap ia sudah berkeliaran di antara kerumunan pasukan setan yang mengerubungi medan tempur. Tangannya bergerak lincah, mencabik-cabik dan mematahkan tulang-tulang musuh yang ia lalui. 

Di tengah hiruk-pikuk pertempuran, Ettan berhenti sejenak saat merasakan kengerian yang mencekam, hingga membuat bulu-bulu putihnya berdiri. Matanya menangkap sesosok makhluk yang berjalan ke arahnya, tubuhnya tinggi besar dengan mata merah menyala dan taring tajam yang mencuat dari mulutnya. Rambutnya terbuat dari api yang berkobar-kobar. Makhluk itu membawa sebuah gada besar yang dipenuhi paku besi dan terbakar api, ia mengayunkannya dengan mudah seperti mainan anak kecil. Sepertinya yang satu ini adalah jendral.

"Manusia setengah siluman, Rawasura," gumam jenderal setan itu, suaranya berat dan bergema. Ia bernama Agniroka, iblis dengan perwujudan api.

Ettan tidak menjawab, ia hanya menyeringai menatap bawahan Burisrawa tersebut. Rasanya darah Rawasuranya membara, sudah lama ia menekan hasrat bertarung dan membunuhnya.

Agniroka mengayunkan gada besarnya ke arah Ettan. Ettan melompat mundur, menghindari serangan tersebut, lalu langsung mengambil posisi dan melompat ke depan dengan cepat, kakinya kini juga berubah menjadi kaki siluman. Ettan menghantam keras makhluk itu dengan tinjunya, Agniroka agak terpental mundur, tetapi kemudian ia tertawa mengejek.

"Hanya itu?" ledeknya.

Ettan membuka kepalan tangannya, dan melebarkan kelima jarinya. Kuku-kukunya yang tajam kini siap mencabik-cabik. "Menarik, sialan." Namun, ia kembali mengepalkan tangannya. 'Gua enggak boleh bertarung kayak mereka, gua bisa mencabik-cabik sialan itu, tapi gaya bertarung manusia itu ... pake tinju, kan?'

Di tengah pemikiran itu, sebuah gada melayang dari atas. Ettan memicing dan melompat ke samping, menghindari serangan gada kedua, lalu dengan cepat ia melesat dan memukul sisi kanan kepala Agniroka. Sang Jenderal terhuyung lebih keras, kali ini darah hitam mengalir dari telinganya.

"Jangan bilang kau cuma keroco yang cuma menang badan bongsor?" ledek Ettan.

Agniroka menggeram, wajahnya meyiratkan gusar. Ia mengayunkan gada dengan kekuatan penuh, tetapi Ettan menangkap gadanya dengan satu tangan, dan mencengkeramnya dengan kuku-kukunya yang tajam. Karena api yang berkobar dari gada tersebut, bulu-bulu putih Ettan perlahan memerah karena menyerap panas.

"Akan ku perlihatkan perbedaan kekuatan kita, sialan," gumam Ettan. Ia menarik gada tersebut dengan satu tangan kirinya dan menghantamkan lututnya dengan keras ke perut Agniroka. Serangan itu membuat salah satu jendral terkuat Burisrawa terhempas ke belakang, menabrak beberapa pasukan demit yang ada di belakangnya.

Ettan berlari ke arah Agniroka yang masih tersungkur, ia tidak ingin memberikan waktu bagi sang jenderal setan untuk bangkit. Dengan kecepatan ras wanaranya, Ettan menghujani jenderal setan dengan pukulan bertubi-tubi, setiap tinju dipenuhi niat membunuh yang tajam.

Agniroka berteriak hingga atma hitam di sekelilingnya menjadi pilar api yang membakar Ettan dan juga dirinya. Makhluk itu mencoba melawan, tetapi serangan-serangan Ettan tidak berhenti, malahan menjadi lebih cepat dan kuat.

Di dalam pelintiran pilar api, Agniroka terbelalak menatap wujud asli dari seorang Ettan Rawasura yang kini menjadi kera berbulu merah.

"Kenapa kau masih sanggup melawan?!" bentak Agniroka.

Ettan menghentikan serangannya, ia menyeringai pada lawannya. "Ada api yang lebih panas dari ini. Api yang menyimpan tekad membara dari pemiliknya, sekobar api yang bahkan mampu membunuh iblis. Jika dibandingkan dengan panasnya api itu, api mu jauh lebih sejuk." Ettan mengepalkan tangan kanannya dengan keras, dan mengambil posisi untuk satu serangan terakhir. "Dan api itu bernama WIRA SAKAGENI!"

Dengan satu pukulan terakhir, Ettan memukul kepala Agniroka dan menghancurkan tengkorak sang jenderal. Saat pilar api perlahan padam, sang siluman kera berdiri tegak dengan napas tersengal. Pasukan setan di sekitarnya terdiam sejenak, menyadari kekuatan luar biasa dari musuh yang sudah mengeksekusi jendral mereka.

Ettan menyeringai dan menoleh, menatap mereka semua. "Who next?"

Tanpa membuang waktu, Ettan kembali melesat ke tengah kerumunan pasukan setan, mencari target berikutnya. Di belakangnya, Radika dan Gandring tetap bertahan, melindungi Rizwana dengan kekuatan mereka, sementara Wira mengambil alih sisi lain medan pertempuran, sisi yang terbalik dengan Ettan.

Wira Sakageni berjalan santai. Meskipun santai, tetapi tak ada satu pun makluk yang berani mendekatinya. Pada satu momen, Wira melihat makhluk dengan kulit berwarna kelabu dan mata kuning menyala yang terlihat seperti pemimpin. Sama seperti Agniroka, ia merupakan salah satu dari jendral Burisrawa. Makhluk itu memegang pedang besar yang terlihat sangat berat. Makhluk itu bernama Raksapati.

"Anak kecil tidak seharusnya berada di sini. Pergi sebelum aku berubah pikiran, Nak," ucap Raksapati pada Wira.

Mendengar celotehan tersebut, dari kejauhan Rizwana pun berkeringat. "Wah, gawat ini."

Urat-urat kemarahan mencuat dari lehernya, Wira menatap gusar pada makhluk yang telah meledeknya ... kecil.

"Woy, bajingan!" teriak Wira, menarik perhatian Raksapati. "Tarik kata-kata lu barusan."

Raksapati terkekeh, ia mengangkat pedangnya dan berlari ke arah Wira. Wira mengepalkan tinjunya, merasakan aliran atma panas yang mengalir lewat pembuluh darahnya. "Agni ...." Ia menyalurkan seluruh gusarnya, dan mengubahnya menjadi energi panas yang membakar.

Raksapati mengayunkan pedangnya, tetapi Wira menghindar ke samping dengan lincah. Wira langsung membalas dengan pukulan keras yang mendarat tepat di rusuk lawannya. Terdengar suara desisan seperti logam yang dipanaskan saat tinju Wira menghantam kulit makhluk tersebut, membuat Raksapati berteriak kesakitan.

"Tarik lagi kata-kata lu barusan!" Wira tidak memberi kesempatan sedikit pun. Ia melesat cepat dan melayangkan pukulan bertubi-tubi. Raksapati semakin terdesak, panasnya pukulan Wira menembus kulit tebalnya dan menyebabkan luka bakar.

Pada satu kesempatan, Raksapati mengayunkan pedangnya kembali dengan sekuat tenaga. Wira mundur untuk menghindarinya. Sang jendral sengaja menjauhkan diri dari Wira untuk memulihkan diri.

Wira menatapnya dengan tajam. "Dingin banget di sini," ujar Wira dengan nada mengejek, matanya berkilat dengan api kemarahan. "Sini gua angetin lu sampe mampus." Jari tengahnya teracung pada Raksapati.

"Mulai sekarang, aku akan serius," gumam Raksapati. Dengan satu gerakan cepat, ia mencoba membalas Wira dengan mengayunkan pedangnya lagi.

Namun, Wira menangkis serangan tersebut dengan tinjunya yang berkobar atma api, sehingga membuat pedang itu melenting ke samping. Wira kemudian memutar tubuhnya dan menghantamkan tinju kanannya ke rahang Raksapati dengan kekuatan penuh.

Raksapati jatuh terduduk, mulutnya mengeluarkan darah hitam yang mendidih. Wira menatapnya dengan kasihan, ia mengacungkan jari telunjuknya dan menempelkannya di kening Raksapati.

Wira mengingat memori beberapa bulan lalu, saat dirinya dan Jiwasakti masih menjadi satu kesatuan.

"Untuk menggunakan lebur saketi tanpa kekuatanku rasanya mustahil. Tubuhmu itu sudah mencapai batasnya, masih bisa hidup saja sebuah keajaiban. Aku hanya bisa membuatmu menggunakan atma, tetapi untuk serangan berskala besar, kau tidak bisa mengandalkan atma kehidupan lagi," ucap Jiwasakti.

"Lalu, saat bertemu dengan lawan yang lebih kuat, apa udah enggak ada harapan?" tanya Wira.

"Ada dua teknik agni yang mungkin keluarga Sakageni pun enggak tau. Teknik ini diciptakan oleh Sakageni terkuat pada era lama. Seseorang yang menjadi wadahku dulu, Koso."

Wira memicingkan mata. "Koso?"

"Kau mungkin tidak mengenalnya, tidak perlu juga untuk mengenalnya. Kau hanya perlu meneruskan warisan itu dengan kemampuanmu. Teknik ini tergolong sulit, karena memanfaatkan atma bebas yang ada di alam, karena itu agak sulit melakukan sinkronisasinya."

"Meskipun sulit, gua enggak akan pantang menyerah. Gua akan kuasai teknik itu."

"Kekeke menarik. Kalau begitu persiapkan dirimu, bocah. Teknik pertama ini bernama ...."

"Telukara," ujar Wira.
(Telunjuk api)

Seketika itu kepala Raksapati meledak karena suhu tinggi yang dihantarkan oleh jari telunjuk Wira. Ia mengumpulkan atma di sekitarnya dan mengurungnya hingga membaur dengan atma tubuhnya sendiri. Saat Wira melepaskan atma berskala besar itu pada satu titik, energi panas itu akan meledak ketika menyentuh apa pun.

.

.

.

TBC



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top