55 : Pengorbanan
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
Buto Dhegen berusaha melepaskan diri, tetapi semakin ia berusaha, wadahnya justru terluka semakin dalam, seolah benang-benang yang melilitnya semakin kencang mengikatnya. Darah menetes dari benang atma ke tanah.
"Jangan terlalu bersemangat, aku ingin membunuhmu secara perlahan, Yaksa," tutur Kevin dengan seringai di mulutnya. Ia seperti menikmati saat lawannya tersiksa, gejolak darah Wijayakusuma yang mengalir di tubuhnya mendidih sampai tingkatan tertentu, namun, bukannya panas, suhu tubuh Kevin saat ini menurun seolah menjadi cerminan pemangsa berdarah dingin.
"Eskpresi itu ...," lirih Buto Dhegen. "Wijayakusuma. Akhirnya kau menunjukkan jati dirimu, ya?"
Atma dari tubuh Kevin memancar keluar menjadi aura biru yang mencekam. Buto Dhegen memicing, meskipun Kevin ada di hadapannya, tetapi rasanya tak ada siapa pun di sekitarnya, hawanya terlalu sunyi.
Kevin tiba-tiba bergerak cepat ke arah Buto Dhegen yang terbelenggu benang-benang atma. Sang Yaksa hanya bisa pasrah menerima pukulan keras yang menghantam wajahnya. Ia masih berusaha melepaskan diri, tetapi agak sulit untuk bebas dari belenggu benang-benang tajam lawannya.
Kevin memukuli Buto Dhegen dengan brutal dengan seringai di wajahnya, sampai pada satu titik ia melompat mundur dan menjaga jarak. Seringainya luntur saat menatap Buto Dhegen menghisap atma hitam di sekitar Mantra.
Pria besar itu meraung keras sambil berusaha melepaskan diri sekuat tenaga, kali ini atma hitam yang kelam menyelimutinya, seolah melemahkan benang-benang atma milik Kevin.
Hal yang di takutkan Kevin pun terjadi. Buto Dhegen berhasil memutuskan belenggunya dan melesat cepat, menghantam ulu hati Kevin dengan tinjunya. Kevin terlempar ke dinding Mantra dengan keras, membuatnya terduduk di tanah, bersandar pada dinding tersebut. Tubuhnya seperti mati rasa, tak bisa bergerak.
Buto Dhegen mendekat perlahan. "Waktunya menjumpai Sang Suratma." Ia melesatkan tinju untuk mengakhiri riwayat Kevin.
Buto Dhegen meraung gusar, berusaha melepaskan diri dari belenggu jangga lodra. "Tidak ada yang bisa menyegel ku!" teriaknya dengan suara yang menggetarkan seluruh alam bawah sadar, hingga membuat empat lawannya serentak menutup telinga.
Cakra, Buan, dan Petang menjaga jarak dari makhluk tersebut, seketika itu juga mereka gemetar takut oleh tekanan yang diberikan Buto Dhegen. Di sisi lain, Nameless tetap memfokuskan energinya untuk menjaga rantai jangga lodra tetap erat mengikat Buto Dhegen.
"Lepaskan ...," lirih Buto Dhegen, dengan suara yang terdengar lebih seperti ancaman. Nameless terbelalak, bulu kuduknya merinding.
Dengan seluruh kekuatannya, Buto Dhegen mencoba melepaskan diri, ia menarik rantai-rantai itu meronta-ronta dengan brutal. Keadaan berbalik, kini Nameless yang terseret-seret karena kalah power dengan iblis itu. Pada satu titik, rantai jangga lodra putus. Buto Dhegen langsung berlari cepat ke arah Nameless.
"Utomo, lari!" teriak Cakra.
Namun, kejadiannya begitu cepat. Cakra, Petang, dan Buan terbelalak ketika menatap Nameless yang tergantung di mulut Buto Dhegen, tertancap gigi-gigi taringnya. Makhluk hitam besar itu menggigit Nameless seolah ingin membelahnya menjadi dua.
"Utomo!" teriak Cakra. Ia hendak maju, tetapi Buan membentangkan tangan kanannya, menahan Cakra untuk tidak terburu-buru.
"Gua enggak terlalu suka sama dia, tapi liat dia digituin ... gua lebih enggak suka. Gua enggak pengen lu juga ikutan ada di posisi itu, jadi sekarang tenang."
"Buan betul, kita harus buat strategi," sahut Petang, sepertinya ia sudah mulai bisa mengontrol rasa takut dan gugupnya.
Cakra menghela napas, berusaha menjaga ritme pertarungan agar tidak tergesa-gesa dan melahirkan banyak kecerobohan. "Kalian benar, kita harus tenang. Perasaan gua enggak enak, seakan dia punya kesadaran lain. Mikirin itu buat gua jadi panik, gua khawatir sama Kevin di luar sana dan Utomo di sini, jadi gua agak buru-buru."
"Dua orang bertampang dingin itu bakal baik-baik aja, mereka bukan orang yang harus dikhawatirkan," balas Petang.
"Nameless masih hidup, kita harus segera bertindak sebelum dia terluka lebih parah," ucap Buan dengan nada tegas.
Cakra mengangguk, lalu mengarahkan pandangannya ke arah Buto Dhegen. "Aku ada ide. Buan, maju duluan, serang dan jangan kasih waktu Buto Dhegen buat bernapas. Mainin serangan jarak pendek. Inget, serangan pertama harus kuat, usahain ke arah kepala bagian atas. Petang, tetap di belakang, kami butuh dukungan. Aku coba buat nolongin Utomo, dan lanjut cari celah buat nyerang iblis itu."
"Oke," balas Buan. Ia mengambil ancang-ancang, lalu berlari melesat ke arah Buto Dhegen dari arah depan.
Di sisi lain, Petang merapalkan mantra untuk memperkuat kembali perisai atma mereka. Semburat cahaya biru melapisi tubuh mereka, memberikan perlindungan ganda pada Cakra dan Buan.
"Sialan kau, Buto Dhegen!" Teriak Buan sembari melompat tinggi dan menghantamkan tinjunya ke bagian atas kepala Buto Dhegen dengan kekuatan penuh. Buto Dhegen tersentak mundur, melepaskan gigitan dari Nameless.
Buto Dhegen menggeram marah, darah hitam menetes dari mulutnya. Ia memusatkan pandangannya ke arah Buan dan bersiap untuk menyerang. Namun, sebelum ia sempat bergerak, Cakra muncul dari samping dengan dua bilah pedang atma, menusukkannya ke punggung Buto Dhegen.
"Ini untuk Utomo!" Cakra berteriak sambil memutar bilah pedangnya, melebarkan luka di punggung Buto Dhegen. Sang Yaksa meraung kesakitan. Ia mengayunkan lengannya, mencoba memukul Cakra, tetapi perisai atma dari Petang melindungi Cakra dari serangan tersebut.
Sebuah tinju berbalut atma menghantam kepalanya lagi sebelum ia sempat bersiap. Buan tak menyiakan kesempatan yang dibuat oleh Cakra untuk melepaskan serangan, sekaligus memberikan ruang untuk sang Inti.
"Arrgghh!" Buto Dhegen memekik sakit.
Selagi makhluk itu meronta kesakitan, dengan cepat Cakra berlari menarik Nameless dan membawanya pergi menjauh dari pertarungan Buan dan Buto Dhegen. Ketika dirasa jarak sudah cukup aman, Cakra meletakkan tubuh Nameless di tanah.
Dengan segenap tenaga, Nameless bangkit terseok-seok, sementara Buan dan Petang melindunginya dari serangan Buto Dhegen yang semakin ganas. Semakin marah, makhluk itu semakin kuat.
"Makhluk itu harus dikekang oleh jangga lodra. Aku butuh bantuan," ucap Nameless.
"Kondisi ...."
"Enggak ada waktu buat khawatir, enggak ada waktu buat ragu. Semakin lama pertempuran berjalan, makhluk itu semakin kuat. Sebelum kekuatannya tak terbendung, kita harus mengalahkannya," potong Nameless. "Aku butuh bantuan."
***
Buan dan Buto Dhegen saling beradu pukul. Namun, kini Buan hampir kehabisan tenaga, sementara Buto Dhegen semakin kuat seiring dengan memuncaknya amarah.
Saat sedang terpojok, pedang-pedang atma menusuk Buto Dhegen. Cakra terbang dengan cepat mengitari mereka berdua. Di atasnya ada banyak pedang atma yang melesat satu per satu ke arah Buto Dhegen.
"Kau pikir bisa mengalahkanku dengan mainan itu, hah?!" seru Buto Dhegen.
Cakra tersenyum. "Tidak. Kartu AS nya bukan pedang-pedang ini."
Buto Dhegen terbelalak saat mendengar suara rantai. Tubuhnya kembali terlilit rantai hitam jangga lodra tanpa ia sadari. Kini mata merah menyala itu menatap tajam ke arah Nameless yang sedang menggenggam rantai Jangga Lodra dengan tangan yang gemetar, matanya fokus pada Buto Dhegen yang meronta-ronta. "Rantai Jangga Lodra, Rantai Penyegel Jiwa." Aura gelap keluar dari rantai-rantai tersebut, huruf-huruf hanacaraka pun muncul dan melingkari tubuh Buto Dhegen lagi.
Buto Dhegen meraung marah, kali ini ia menghadapi serangan yang lebih terkoordinasi. Buan melesat ke depan, meninju kepala Buto Dhegen dengan kekuatan penuh, membuat iblis itu kehilangan keseimbangan. Petang merapalkan mantra untuk melemahkan kulit keras Sang Iblis untuk membantu rekan-rekannya yang menyerang. Sementara pedang-pedang atma Cakra masih berusaha menembus pertahanan astral Buto Dhegen.
"Terus, Utomo! Jangan berhenti!" Cakra menyerang dari belakang dengan pedangnya, menancapkan luka yang lebih dalam di punggung Buto Dhegen. Darah hitam mengalir deras, tetapi iblis tersebut masih berusaha melawan.
Petang kemudian mengubah strategi, ia mulai mengirim semburan cahaya biru ke arah Nameless, memberikan energi tambahan agar rantai Jangga Lodra bisa mengunci lebih erat.
Dengan energi tambahan dari Petang, Nameless berhasil menarik rantai itu lebih kuat lagi. Huruf-huruf hanacaraka bergerak cepat, membentuk pola yang semakin mengunci Buto Dhegen.
"Tidak! Aku tidak akan kalah!" raung Buto Dhegen semakin keras, tetapi perlahan kekuatannya mulai dilahap oleh Jangga Lodra.
Buan dan Cakra terus menghujani Buto Dhegen dengan serangan bertubi-tubi, tak memberikannya waktu untuk meregenerasi lukanya. Tinju-tinju Buan menghantam dengan kecepatan dan kekuatan luar biasa yang melampaui batas staminanya, sementara pedang-pedang Cakra mulai mengiris kulit keras iblis hitam raksasa itu. Setiap serangan mereka membuat Buto Dhegen semakin lemah.
Buto Dhegen mendekat perlahan. "Waktunya menjumpai Sang Suratma." Ia melesatkan tinju untuk mengakhiri riwayat Kevin.
Namun, tiba-tiba tinjunya berhenti tepat di depan wajah Kevin saat rantai jangga lodra mengikat jiwanya dari dalam.
"Aku tidak bisa lepas dari rantai sialan itu kalau memisahkan kesadaran. Sudah waktunya untuk fokus bertempur mengakhiri para keparat itu," umpat Buto Dhegen.
Dalam tayangan lambat, tangan besar Buto Dhegen tertarik maju. Kevin menariknya dan menjadikannya tumpuan untuk melompat. Pria tampan itu kini duduk di bahu besar Buto Dhegen. Kedua kakinya melilit leher sang Yaksa kuat-kuat, lalu dengan cepat ... krek ... tangannya memutar kepala Buto Dhegen hingga menghadap ke belakang.
Dalam waktu sesingkat itu, Buto Dhegen terkapar di tanah dengan kepala terbalik. Setelah merasa berhasil membunuh lawannya, Kevin berdiri seperti patung, menatap ke arah langit. Hanya saja, setelah dijatuhkan, makhluk itu bangkit kembali dan menatap Kevin sambil berdiri membelakanginya. Tubuhnya memang membelakangi, tetapi kepalanya menghadap Sang Wijayakusuma.
"Kalau aku manusia, mungkin aku sudah mati, tapi karena aku adalah Yaksa, kau harus menghancurkan jantungku untuk membunuhku."
Kevin menghilang dari pandangan Buto Dhegen, lalu muncul di hadapan pria itu dengan tangan kanan siap menusuk. Pria dingin itu merapatkan empat jarinya dan mempereratnya hingga urat-uratnya mencuat. Kuku-kuku jarinya keluar dan meruncing, sepertinya ia memanipulasi tulang-tulang jarinya untuk menjadi senjata mematikan. Atma hitam menyelimuti tangan kanan Kevin.
Buto Dhegen merinding ketika melihat kedua mata Kevin yang berwarna hitam pekat, dengan aura yang lebih hitam daripada kegelapan. Pria tampan itu seperti tak sadarkan diri, tetapi dalam kondisi yang mampu mengancam. Kondisi ini adalah kondisi yang pernah Emil Jayasentika alami. Mode insting liar Wijayakusuma, Sunya.
'Teknik badama sebelumnya tidak terlalu kuat, dan benang-benang atmanya pun juga masih bisa diatasi, tapi sensasi apa ini.' Buto Dhegen menatap tangan kanan Kevin. 'Atma di tangannya terlihat solid, ia juga mampu memanipulasi tulang jarinya menjadi senjata. Pria ini berbahaya. Ia harus cepat dihabisi!'
"Aku tidak akan kalah!" Buto Dhegen hendak memukul Kevin. Namun, tangan kanan Kevin lebih cepat.
Keempat kuku tajamnya menempel di dada kiri Buto Dhegen, setengah menancap. Sementara jempolnya menancap di posisi yang agak berjauhan.
Buto Dhegen mencengkeram tangan kanan Kevin, hendak melepaskannya. Hanya saja Kevin memutar pergelangan tangannya, melawan cengekraman Buto Dhegen sehingga membuat bagian yang tertancap itu saling terhubung dan luka tersebut menjadi sebuah lubang.
Sang Yaksa terbelalak ketika tangan Kevin mampu menembus kulitnya dan kini semakin dalam menembus, hingga mencengkeram jantung wadahnya yang masih berada di posisi aslinya. Tanpa kata, Kevin meremuk jantung itu hingga hancur. Buto Dhegen memuntahkan darah hitam dari mulutnya dan tumbang di tanah.
Kejadian di luar alam bawah sadarnya membuat jiwa Buto Dhegen semakin melemah. Namun, makhluk itu masih berusaha meronta seolah tak ingin mati begitu saja. Perlahan langit-langit alam bawah sadar sang wadah pun bergetar dan runtuh. Gempa terjadi seolah dunia sedang diambang kiamat.
"Kalau kita enggak bisa keluar dari sini sebelum napas terakhir wadahnya, kita bakal ikut ketarik mati!" seru Cakra.
Petang, Buan, dan Nameless mendorong dada Cakra dengan telapak tangan mereka. Dalam tayangan lambat, Cakra terpental ikut tertarik benang perak yang menghubungkannya dengan raganya. Ia hanya mampu melihat ketiga alternya tanpa bisa berbuat banyak.
"Kalo iblis ini berhasil keluar, semua usaha kita sia-sia," gumam Petang tersenyum.
"Seenggaknya, harus ada yang bantu nahan, dan enggak mungkin si bangsat psikopat ini sendirian! Dia aja sekarat," balas Buan sambil terkekeh. "Dan enggak mungkin lu juga, karena lu itu inti."
Nameless tersenyum pada Cakra. "Tetap hidup, sahabat."
Cakra berusaha meraih ketiga alternya yang masih berusaha menyegel Buto Dhegen, sampai pada satu titik matanya terbuka menatap langit bertabur bintang di halaman Mantra Coffee. Tangannya terjulur mengarah pada bulan purnama di atasnya. Cakra telah kembali pada raganya.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top