54 : Pertarungan Partial
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
"Apa-apaan ini?" tanya Buto Dhegen yang heran ketika diseret paksa masuk ke dalam alam bawah sadar wadahnya. Ia menatap seseorang yang berdiri tak jauh di depannya. "Siapa kau? Kau orang yang berbeda dengan pria yang barusan ku hadapi. Hawa kalian berbeda."
Seorang pria berwujud Cakra dengan pakaian retro berdiri di hadapan Buto Dhegen, yang saat ini tampil dengan wujud aslinya. Sosok hitam bertubuh besar dengan mata merah menyala dan taring yang tajam diiringi tetesan-tetesan liur dari mulutnya.
Sosok Cakra itu adalah Petang. Petang mengarahkan tangan kanan yang terkepal ke arah Buto Dhegen, lalu memutarnya ke atas dan membuka kepalan tangannya. Sebuah kunci melayang di atas telapak tangan Petang.
"Tu-tubuh itu bu-bukan milik mu, jadi ka-kamu enggak punya kuasa atas ke-kendalinya," ucap Petang gemetar.
Buto Dhegen memicing. "Lantas apa sekarang?"
Dari kegelapan yang berada di belakang Petang, tiga pria lain berjalan keluar dan berdiri sejajar bersama Petang. Wajah mereka semua sama, hanya saja berbeda outfit dan style rambut.
Nameless tersenyum sinis. "Mulai detik ini, kau tidak punya kendali atas tubuh ini lagi. Ini kudeta, kami akan menghabisimu di tempat ini."
Buto Dhegen tidak gentar. Ia mengeluarkan aura membunuh yang sangat pekat lewat teriakannya yang menggelegar dan menggema ke seluruh penjuru alam bawah sadar. Sebagai pimpinan sipir di kerajaan Burisrawa, ia akan bertempur habis-habisan untuk menghabisi Cakra.
Cakra dan dua alternya berjalan maju, sementara Petang masih diam di belakang. Ketiganya melapisi diri dengan perisai atma berwarna kuning. Petang mempertebal perisai mereka sehingga memiliki proteksi ganda, dengan atma berwarna biru.
"Aku duluan! Pertarungan kami belum selesai!" Dengan seringai di wajahnya, Buan melesat mendahului kedua rekannya. Tangan pria itu terkepal dengan tinju yang membara oleh atma.
Buto Dhegen hendak menerjang, tetapi tiba-tiba saja kakinya terbelenggu oleh rantai. Ia sontak menoleh ke arah Nameless yang sedang tersenyum sinis dengan tangan kiri terjulur ke arahnya. Makhluk itu meraung keras dan memutus belenggu rantai di kakinya, tetapi sebuah tinju berkobar atma menghantam kepalanya hingga membuat seluruh tubuh besar Buto Dhegen terangkat dan terpental.
"Rantai-rantai itu tidak bisa membelenggu, tapi bisa memperlambat dan mempersempit gerak," ucap Nameless.
Di sisi lain, Cakra berlari membawa dua bilah pedang atma ke arah Buto Dhegen. Meskipun sempat terhuyung akibat serangan Buan, makhluk buas itu segera bangkit, bersiap menghadapi serangan berikutnya. Cakra mengayunkan pedang pertama, mengincar sisi kiri tubuh Buto Dhegen.
Buto Dhegen dengan cepat menangkis serangan tersebut menggunakan tangan kirinya yang besar dan keras. Dentuman keras terdengar saat pedang atma Cakra beradu dengan lengan Buto Dhegen. Namun, bukan hanya itu yang Cakra miliki. Pedang kedua berayun dari kanan, mengincar perut makhluk ngeri itu. Buto Dhegen menghindar ke belakang dengan kecepatan yang tak mencerminkan ukuran tubuhnya, lalu ia melompat untuk menerkam mangsanya.
Buan tidak tinggal diam melihat Cakra yang terpojok. Dengan tinju berlapis atma, ia menghantam tanah di bawahnya. Ledakan energi dari tinju Buan membuat retakan yang mengarah pada Buto Dhegen dan mengeluarkan gelombang kejut. Gelombang itu menghantam Buto Dhegen dan membuatnya terpental kembali, menjauh dari Cakra.
"Thank you very much," ucap Cakra.
"Welcome," balas Buan.
Nameless segera memanfaatkan kesempatan tersebut. "Rantai Jangga Lodra." Rantai atma hitam melesat dari tangannya dan mengikat kedua tangan Buto Dhegen sebelum ia sempat bangkit. "Jiwa neraka, gandhenan karo Jangga Lodra. Kekancing, amarmeng."
(Jiwa neraka, terikat dengan Jangga Lodra. Tersegel, terkutuk)
"Aku akan mengirim mu ke dalam kehampaan," gumam Nameless dengan suara dingin. Ia menarik rantai itu kuat-kuat, membuat Buto Dhegen tertarik maju.
Aura kegelapan menyelimuti rantai hitam tersebut. Rantai Jangga Lodra mulai mengeluarkan bercak hitam dengan bentuk huruf-huruf hanacaraka yang merayap perlahan di atas kulit Buto Dhegen. Setiap huruf yang tercetak memancarkan kegelapan, seolah mengakar hingga ke tulang. Bercak-bercak itu bergerak dengan cepat, menyebar ke seluruh tubuh Buto Dhegen.
Buto Dhegen meraung marah, berusaha melepaskan diri dari belenggu tersebut. "Tidak ada yang bisa menyegel ku!" teriaknya dengan suara yang menggetarkan seluruh alam bawah sadar, hingga membuat empat lawannya serentak menutup telinga.
Cakra, Buan, dan Petang menjaga jarak dari makhluk itu, seketika itu juga mereka gemetar takut oleh tekanan yang diberikan Buto Dhegen. Di sisi lain, Nameless tetap memfokuskan energinya untuk menjaga rantai jangga lodra tetap erat mengikat Buto Dhegen.
"Lepaskan ...," lirih Buto Dhegen, dengan suara yang terdengar lebih seperti ancaman. Nameless terbelalak, bulu kuduknya merinding.
Dengan kekuatannya, Buto Dhegen mencoba melepaskan diri, ia menarik rantai-rantai itu meronta-ronta dengan brutal. Keadaan berbalik, kini Nameless yang terseret-seret karena kalah power dengan iblis itu. Pada satu titik, rantai jangga lodra putus. Buto Dhegen langsung berlari cepat ke arah Nameless.
"Utomo, lari!" teriak Cakra.
"Oi, oi, oi ... seharusnya Cakra masih bertempur di dalam sana, kan?" Mata Kevin berkedut disertai bulu kuduk merinding ketika melihat Buto Dhegen bangkit, sementara tubuh Cakra masih tak sadarkan diri. "Bangun, Cakra!"
Buto Dhegen tak berbicara, ia hanya berdiri dan menatap Cakra dan Kevin dengan pandangan tajam. Ia mengambil kuda-kuda seolah hendak berlari.
Kevin meletakkan Cakra di tanah, lalu maju beberpaa langkah dan melebarkan kakinya, memasang kuda-kuda bertahan sambil memutar-mutar dua belati di tangannya.
"Badama ...," lirih Kevin, ia mengalirkan atma ke dua senjatanya.
Buto Dhegen berlari seperti badak yang mengamuk, Kevin tak bisa menghindar karena ada Cakra di belakangnya. Ia pun melesat dengan cepat ke arah lawannya, kedua belatinya siap untuk mengoyak pria bertubuh besar di hadapannya.
Begitu Kevin masuk ke dalam jarak serang Buto Dhegen, sang yaksa mengayunkan tinjunya dengan kekuatan penuhke arah Kevin. Angin dari pukulannya membelah udara.
Kevin berputar dengan gesit untuk mengelak, lalu melompat ke samping dan maju menggunakan satu kaki tumpuannya. Belati pria tampan itu mengarah ke sisi samping Buto Dhegen dan menusuk rusuknya. Namun, matanya terbelalak ketika mata belatinya tak mampu menembus kulit Buto Dhegen, dan malah patah dan terpental ke tanah.
"Apa itu serangan terkuat mu?" tanya Buto Dhegen dengan suara beratnya.
Kevin mundur menjaga jarak, lalu berlari mengitari makhluk tersebut, ia berlarian hingga pada satu titik menyerang kembali dengan satu belati yang masih ia genggam. Namun, ujung belati tersebut pun hancur seperti yang sebelumnya. Aliran atma yang melapisinya kalah kuat dengan kekuatan gelap yang menyelimuti Buto Dhegen.
Pada satu titik, dengan tubuh gelap karena bayangan dan mata merah menyala, satu bogem Buto Dhegen menghantam perut Kevin hingga membuat kedua mata pria itu membulat utuh disertai muntahan darah. Ia terpental mundur dan tergeletak di tanah tak berdaya. Satu pukulan Buto Dhegen mungkin rasanya seperti tabrakan motor.
"Tamat sudah riwayat kalian," ucap Buto Dhegen.
Saat ia maju perlahan mendekat ke arah Kevin, tiba-tiba pipinya tergores sesuatu dan berdarah. Buto Dhegen mengusap darah di pipinya dan menatap kevin. Pria tampan itu tersenyum sambil menahan sakit. "Ini belum berakhir."
"Apa yang kau lakukan?"
"Aku tidak melakukan apa-apa. Kau hanya masuk ke dalam sarang kematian," jawab Kevin dengan suara tenang.
Di sekitarnya dan Cakra, benang-benang tajam tak kasat mata terbentang seperti jaring laba-laba. Ia menggunakan teknik benang kematian milik salah seorang Ashura di masa lalu yang menyandang gelar Widyatama.
Buto Dhegen tak bisa bergerak, ia sudah terlilit oleh benang-benang tersebut. Alasan Kevin berlari dan berputar-putar adalah untuk mempersiapkan semua ini. Kini Buto Dhegen berada dalam genggamannya. Semakin ia rapatkan genggaman tangannya, benang-benang itu semakin erat membelenggu dan mengiris kulit lawannya.
"Kau akan menemui ajalmu," gumam Kevin.
Sebelum Harits pergi KKN ...
"Lu ngapain sih? Mau jadi tai gua apa lu?" tanya Harits ketika mendapati Kevin yang mengikutinya terus seharian ini.
"Ashura," ucap Kevin dengan ekspresi dinginnya.
Harits memicing. "Ashura?"
"Widyatama," jawab Kevin singkat.
Nalar Harits langsung terkoneksi dengan dua ucapan pria dingin itu. "Oh, Hara. Kenapa?"
"Gua ngerasa masih banyak kekurangan. Dari kecil gua enggak pernah dididik jadi pembunuh, karena emang orang tua gua mau mutus rantai darah dari keluarga Wijayakusuma, tapi faktanya gua butuh kemampuan dan teknik-teknik membunuh keluarga Wijayakusuma buat membela diri. Dan gua merasa enggak ada yang bisa bantu gua sekarang, selain salah satu arwah yang lu punya."
Harits menatap keluar Mantra Coffee, tepatnya pada area kosong menuju gapura depan. "Hara itu liar, ada kalanya gua sendiri dibuat merinding sama tekanannya, padahal dia udah mati dan cuma arwah doang. Gua khawatir dia enggak bisa banyak ngebantu. Sejujurnya penjara jiwa udah enggak ada, dia enggak punya alasan buat ngikutin gua, tapi sampe sekarang dia masih di sini, itu agak janggal. Di satu sisi, dia itu masih anak-anak dan enggak bisa di atur, dia berbahaya."
Kevin menghela napas, nampaknya ia hendak menyudahi percakapannya dengan Harits. Hanya saja Harits kembali bicara. "Tapi kalo lu mau interaksi, gua bisa bantu."
Kevin mengangguk pelan, setuju untuk berinteraksi dengan Hara. Harits pun menghela napas dan segera menyiapkan mediumisasi.
"Gua yang jadi media penghubungnya. Lu tunggu di sini dulu, selang 15 menit lu masuk ke kamar gua." Harits berjalan pergi meninggalkan Kevin.
***
15 menit berlalu. Kevin menuju kamar Harits dan membuka pintunya. Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya lilin yang tersebar di berbagai sudut. Harits duduk di tengah ruangan, mengatur posisinya untuk memulai ritual.
Kevin masuk, lalu menutup pintu kembali dan duduk di depan Harits. Ia sama sekali tak berbicara dan hanya fokus memperhatikan Harits.
"Ada beberapa hal yang harus lu tau, berkaitan dengan kondisi nanti," ucap Harits serius.
Kevin meneguk ludah dibuatnya dan mengangguk. Harits pun melanjutkan ucapannya, ia menunjuk pojok ruangan. "Kalo lu enggak kuat, lambain tangan ke kamera. Pffttt ... serius amat lu ah, santai aja napa nyahahaha kaku bener lu kayak BH baru."
Kevin hanya diam, Harits pun kembali ke ekspresi normalnya, ikut menjadi datar. "Oke, lanjut."
Harits menutup mata, perlahan hawa di sekitar mereka semakin dingin, seolah ada seseorang dari alam sebrang yang datang. Lilin-lilin bergoyang, dan bayangan-bayangan mulai menari di dinding. Kevin sontak merinding dengan suasana ini.
Tiba-tiba, suara aneh terdengar dari mulut Harits. "Sapa sing ngundang kulo?"
Kevin terkejut, bulu kuduknya merinding saat mendengar suara itu keluar dari mulut Harits. "A-aku, Mbah," balas Kevin berkeringat.
"Pffttt ... serius amat dah lu. Tenang, ini bukan setan jawa, dan dia masih bocah. Lu santai aja, jangan bikin gua ngakak mulu, Pin, nyahahaha."
Kali ini Hartis menutup matanya kembali. Hawa dingin kembali merambat masuk. Keadaan mendadak senyap beberapa detik, sampai akhirnya Harits membuka matanya perlahan seraya dengan padamnya seluruh api di lilin. Seiring dengan terbukanya mata, seringai itu muncul.
"Hoo, kau punya nyali juga mencariku, bocah tampan," gumam Harits.
Mendengar suara Harits yang agak berbeda kali ini, Kevin bergidik ngeri. Hawa pria itu benar-benar berbeda, setiap kata yang keluar dari mulutnya penuh dengan tekanan yang mengancam. Namun, Kevin mencoba untuk memberanikan diri. "Ajari aku teknik membunuhmu, Ashura."
Harits tiba-tiba berdiri, ia berjalan mengitari Kevin. "Setiap anggota keluarga Wijayakusuma memiliki teknik yang berbeda-beda. Ada yang membunuh dengan racun, ada yang gemar menggunakan tangan kosong, ada pula yang mengandalkan senjata. Rata-rata mereka piawai memainkan belati, karena belati adalah senjata yang fleksibel dan mematikan. Namun, di antara semua itu, ada juga keluarga Wijayakusuma yang memiliki teknik atma tingkat tinggi."
Harits menempelkan kelima jari kanan dan lima jari kirinya. Tak lama berselang, ia melepaskan kesepuluh jarinya. Kevin terbelalak saat melihat benang tipis yang terhubung di antara jari-jemari kanan dan kiri Harits.
"Atma bisa direpresentasikan menjadi elemen seperti listrik, api, angin, batu, air, dan sebagainya dalam bentuk energi. Namun, merepresentasikan atma menjadi bentuk solid adalah hal yang hampir mustahil. Saat merogo sukmo, mungkin seseorang bisa membuat pedang astral dari atma, tetapi pertanyaannya adalah apakah atma bisa membentuk pedang nyata?" Harits terkekeh sambil menggeleng tipis. "Jawabannya tidak. Namun, jika membentuk benda solid yang tipis atau kecil, itu mungkin dilakukan, contohnya seperti membentuk benang tipis yang tajam."
Buto Dhegen berusaha melepaskan diri, tetapi semakin ia berusaha, wadahnya justru terluka semakin dalam, seolah benang-benang yang melilitnya semakin kencang mengikatnya. Darah menetes dari benang atma ke tanah.
"Jangan terlalu bersemangat, aku ingin membunuhmu secara perlahan, Yaksa," tutur Kevin dengan seringai di mulutnya. Ia seperti menikmati saat lawannya tersiksa, gejolak darah Wijayakusuma yang mengalir di tubuhnya mendidih sampai tingkatan tertentu, namun, bukannya panas, suhu tubuh Kevin saat ini menurun seolah menjadi cerminan makhluk buas berdarah dingin.
"Eskpresi itu ...," lirih Buto Dhegen. "Wijayakusuma. Akhirnya kau menunjukkan jati dirimu, ya?"
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top