53 : Ippo vs Rawantu part 3
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
Suara dentuman menjadi instrumen utama di Negeri Niroga. Rawantu terlempar membentur tebing akibat tamparan keras salah satu tangan tersembunyi milik Ippo.
Rawantu bangkit dengan sabit hitam di tangannya, ia langsung melesat cepat ke arah Ippo, api hitam dari sekitarnya berkobar seolah menjadi tarian dalam setiap embusan napasnya. Dalam sekejap, sabitnya melengkung ke arah leher Ippo.
Ippo hanya diam. Tangan-tangan atma biru melindunginya, menangkap sabit Rawantu tepat sebelum memenggal kepalanya. Pedang Ngrejeng Iblis di tangannya bergerak cepat, menyabet tubuh Rawantu hingga memberikan luka berbentuk silang di tubuh iblis tersebut.
"Jika kau punya kesempatan untuk membunuhku, sebaiknya manfaatkan dengan baik. Karena setelah serangan yang gagal barusan, kau tidak akan bisa mendaratkan luka lagi," ucap Ippo membalikkan kalimat Rawantu.
"Cih!"
Tangan-tangan atma melesat dan memegangi Rawantu. Ippo berputar cepat sambil mengayunkan pedangnya ke arah leher Rawantu.
"Negeri Niroga adalah tempatku. Di sini, aku tak terkbantahkan!"
Api hitam membakar tangan-tangan biru tak kasat mata milik Ippo sehingga Rawantu terbebas dari belenggunya. Dengan cepat, ia mengayunkan sabitnya ke tanah hingga membelah tanah, dan menciptakan retakan yang mengeluarkan api hitam. Api tersebut berkobar mengarah ke Ippo.
Ippo melepaskan Rawantu dan melompat ke udara, menghindari retakan tersebut. Ia merapalkan mantra garjita pertama, Ashura Bhutara, lagi. "Cahya Suci, Rungokno Atimu. Kekuatan Alam, Mlayu Dhemen. Kanti Garwa, Aku Tanoyo. Ing Pangawas Gusti, Amanaku!"
Semburat cahaya dari mantra Ashura Bhutara melesat, menghantam tubuh Rawantu. Iblis tersebut meraung kesakitan, namun ia masih mampu bertahan. Rawantu mengangkat sabitnya, siap melancarkan serangan balik. Namun, Ippo sudah berada di hadapannya, dan menyerangnya dengan pukulan telapak tangan.
"Wiraga!" seru Ippo. Dari tangan kirinya, keluar gelombang atma yang menyambar Rawantu dengan gelombang kejut.
Rawantu terpental akibat serangan tersebut dan memuntahkan darah hitam. Belum cukup sampai di situ, satu tangan besar dari Dasa Hasta Antargata menimpanya dengan tinju yang mengguncangkan Negeri Niroga.
Di saat sedang mendominasi jalannya pertempuran, Ippo terbelalak, tiba-tiba saja perutnya merasa sakit, ia sontak berlutut sambil memuntahkan darah dari mulutnya. Setiap serangan yang Ippo lancarkan agaknya membebani tubuhnya, seolah tubuhnya tak mampu menanggung beban energi besar yang dikeluarkannya. Keringat bercucuran dari pelipis, napasnya pun terasa semakin berat.
Terbesit wajah Melodi dalam benaknya dan secuil memori.
"Kamu jangan pergi lagi, ya," ucap Melodi.
"Aaaaa ... janji, aku enggak akan pergi ninggalin kamu lagi."
"Enggak ... enggak ... gua enggak boleh kalah di sini," gumam Ippo lirih, sambil berusaha tetap berdiri tegak.
"Akhirnya kau mulai merasakan bebannya, bukan? Sepertinya kau sudah mencapai batasmu, manusia." Rawantu bangkit kembali. Ia mengangkat sabitnya dengan ekspresi datar ke arah Ippo, api hitam dari Negeri Niroga terhisap ke dalam sabit hitam Rawantu. "Negeri Niroga memberikan kekuatannya padaku. Di sini, aku tidak terkalahkan. Kau mungkin bisa melukaiku, tapi tidak mengalahkanku di tempat ini."
Pandangan Ippo mulai buram, ia pun tak terlalu mendengar jelas apa yang dikatan oleh Rawantu. Negeri Niroga merupakan tempat yang buruk, jika Ippo tak melapisi dirinya dengan mantra perlindungan, mungkin panasnya tempat ini bisa membunuhnya secara perlahan. Namun, pada satu titik, Ippo merasakan hawa membunuh yang kelam dari Rawantu, ia pun segera mengangkat pedangnya, bersiap untuk bertahan.
Dengan cepat, Rawantu melesat ke arah Ippo, sabitnya berayun deras. Ippo mengangkat pedangnya untuk menahan, namun kekuatan Rawantu yang lebih kuat membuat Ippo terdorong mundur, dan nyaris jatuh. Untung saja ia masih bisa menangkis serangan maut barusan.
Melihat Ippo yang kelelahan membuat Rawantu menyeringai. Seluruh tubuh Ippo merinding melihat seringai di wajah sang Yaksa. Baru kali ini iblis berwajah datar itu mengeluarkan ekspresinya. Tanpa basa-basi, ia melayangkan serangan bertubi-tubi dengan sabitnya. Setiap ayunan diiringi oleh sabetan api hitam yang mengaga.
Ippo berusaha menghindari serangan-serangan tersebut, namun tubuhnya semakin lemah dan tak mampu mengimbangi lawannya. Beberapa serangan Rawantu berhasil mengenai pria berambut belah tengah itu, mengiris lapisan kulit luarnya dan meninggalkan luka bakar.
"Sial ... gua harus bertahan ...," desis Ippo, merapalkan mantra perlindungan dengan susah payah.
Rawantu melihat celah. Ia mengangkat sabitnya tinggi-tinggi, seketika itu juga api hitam dari Negeri Niroga terhisap ke sabit tersebut. Dengan kekuatan penuh, ia layangkan serangan terakhir. "Ini akhirnya, Manusia!" Bola api hitam besar melesat ke arah Ippo.
Ippo melebarkan kakinya dan memperkuat kuda-kudanya. Ia genggam pedangnya erat-erat seolah hendak memotong bola api hitam yang mengarah padanya. Pada satu titik, ia angkat pedangnya, lalu melakukan gerakan menebas secara vertikal.
Saat bola api hitam itu bersentuhan dengan pedang Ngrejeng Iblis, ledakan besar terjadi. Seketika itu kobaran api hitam makin merajalela. Keadaan mendadak hening. Sejenak, Negeri Niroga bagaikan neraka yang membisu. Sampai pada akhirnya, perlahan kepulan asap mulai terkikis angin.
Di saat yang kritis itu, Ippo berhasil menangkis serangan Rawantu, tangan-tangan atma birunya melindungi Ippo dari kobaran api hitam. Ippo mengerahkan seluruh sisa tenaganya, melapisi pedangnya dengan energi atma, dan berusaha menusuk Rawantu.
Hanya saja iblis itu mundur untuk menghindari serangan Ippo. Di sisi lain, Ippo juga mundur menjaga jaraknya dengan Rawantu. Pria itu lagi-lagi memuntahkan darah dari mulutnya.
"Kau sudah sampai batasnya, semua perlawananmu hanya upaya untuk mengulur waktu kematian," ucap Rawantu.
Ippo tersenyum mendengar ucapan itu sambil menyeka darah di sekitar mulutnya. "Ini pertaruhan." Ia mengepalkan tangan besinya yang gemetar dan mengarahkannya pada Rawantu.
"Untuk apa tangan gemetar itu?" tanya Rawantu.
Ippo memejamkan matanya sejenak, membayangkan senyum Melodi untuk membuatnya tenang dan percaya diri.
"Laki-laki sejati itu adalah laki-laki yang bisa memegang omongannya. Aku enggak akan pergi ke mana-mana lagi, Alunan. Aku akan selalu ada di sisi kamu, sampai nanti kamu yang enggak butuh aku lagi, baru aku akan pergi. Selama kamu berharap aku ada ... aku akan ada."
Amerika, beberapa tahun sebelumnya ...
"Intinya lu enggak bisa pulang sekarang, Po. Alesannya karena Satu Darah pasti ngincer lu, lu udah ngeruntuhin salah satu pilar mereka. Nah, alasan kedua karena kondisi fisik lu masih kayak mayat idup," ucap Surya.
"Enggak perlu khawatir soal itu, gua cuma mau liat Melodi aja," balas Ippo.
Surya menghela napas sambil menggaruk kepalanya karena pusing berbincang dengan orang yang keras kepala. "Kalo Satu Darah gerak, lu bisa nyeret Melodi, anak Mantra, Katarsis, Dharma, banyak kubu buat ngulang walpurgis jilid dua. Terus kondisi lu enggak bisa apa-apa, lu sadar diri dong."
Mendadak wajah Ippo murung, ia pun harus menerima kenyataan pahit bahwa dirinya telah mengekang dirinya sendiri dengan paku atma yang menopang kehidupannya.
"Kalo paku atma itu kecabut, kita enggak tau apa efeknya, Po. Pertama, lu bisa mati karena jantung yang mendadak berhenti, atau ada organ tubuh lu yang rusak karena setelah lu selamat dari ledakan Dasa Hasta Antargata, seluruh tubuh lu ditopang sama inti atma itu, kan? Terus kalo pun ternyata enggak ada efek sampingnya, apa lu yakin kalo lanjutan ledakan Dasa Hasta Antargata udah enggak akan balik lagi? Bisa aja kan paku atma di jantung lu itu yang nyegel sisa ledakannya? Pikirin orang-orang di sekitar lu."
Ippo menatap jendela kamar rumah sakit. "Lebih baik gua mati aja enggak sih? Gua egois dan nyusahin banyak orang."
"Enggak gitu konsepnya. Justru karena kasus lu ini, kita jadi ngembangin alat yang mungkin bisa berguna buat orang lain ke depannya," balas Surya.
Ippo memicing. "Alat?"
Pintu kamar terbuka, Gandring berjalan mendekati Ippo dan Surya, ia membawa sebuah tangan palsu yang terbuat dari perak.
"Nah, pas banget. Ini penelitinya," ucap Surya.
"Keluarga Gandring?" tanya Ippo.
"Setelah kejadian walpurgis, dia ditahan, tapi ngeliat kondisi lu ... cuma dia yang bisa bantu. Jadi di Amerika, kita kolaborasi ilmu medis modern sama ilmu kuno punya keluarga Gandring."
"Tangan ini bisa gantiin pusat atma lu," ucap Gandring. "Dia enggak akan bisa ngelakuin apa yang biasa dilakuin Gardamewa, tapi paling enggak dia bisa ngalirin atma."
"Jadi pengganti, ya?" gumam Ippo melamun.
"Yang utama, benda ini bisa menghisap atma di sekitarnya termasuk di dalam tubuh. Meskipun belum teruji, tapi tujuan alat ini diciptakan adalah buat memperbesar harapan lu lewat kondisi kedua, di mana jantung dan organ lain lu aman, tapi efek Dasa Hasta Antargata masih ada. Dalam kondisi itu, lu cuma bisa bertaruh, Po, kalo benda ini bisa jadi pengganti inti nyawa lu," jawab Surya.
"Hah? Nuker inti atma Dasa Hasta Antargata?"
"Makanya ini gua bilang pertaruhan, jadi jangan nekat kalo lu lagi enggak dalam kondisi hidup atau mati. Seenggaknya, kalo gagal ... lu mati karena pertaruhan ini," ucap Surya dengan wajah sedih. "Meskipun gua enggak berharap pertaruhan itu gagal."
Ippo tersenyum dan menepuk pundak Surya. "Aaaaa ... itu udah lebih dari cukup. Meskipun cuma ada 1% harapan, itu udah lebih dari cukup. Makasih, Sur, Chan, Dring, dan siapa pun yang terlibat."
"Jadi jangan asal cabut paku atma di jantung lu karena rasa penasaran," sahut Gandring.
"Iya, elah. Cuma di kondisi hidup-mati, kan?"
"Gemetar?" tanya Ippo terkekeh menghadap ke arah Rawantu. "Apa pengelihatanmu menurun juga?"
Rawantu memicing dan memperhatikan tangan kiri Ippo dengan teliti. Rupanya itu bukanlah getaran akibat gemetar, tetapi Ippo sedang mempreteli baut-baut pada tangan besinya. Tangan-tangan atmanya secara perlahan melepaskan syaraf-syaraf dan juga baut-baut yang terhubung dengannya.
"Tangan inilah yang diciptakan oleh Chandra, Gandring, dan para peneliti dunia. Benda ini adalah kolaborasi antara ilmu modern dan ilmu kuno. Fungsinya banyak, tapi yang paling vital hanya satu. Tangan ini mampu menyerap atma dan membuatnya menjadi gelombang serang atau pun pertahan. Terbukti dari wiraga dan juga badama."
"Itu tidak merubah apa pun bahwa saat ini kau sedang sekarat," balas Rawantu.
"Enggak. Ini ngerubah segalanya," sahut Ippo dengan senyuman. "Di Amerika kami semua berspekulasi bahwa ledakan Dasa Hasta Antargata belum selesai. Kami bertaruh pada benda ini, untuk menggantikan nyawa penggunanya."
Mata Rawantu berkedut. Ia merasakan energi atma yang besar, sebuah energi yang sedari tadi Ippo sembunyikan dan kini meluap-luap karena hampir mencapai klimaksnya. Rawantu pun mengambil kuda-kuda untuk menerjang, sebelum sesuatu yang membuatnya merinding itu mewujudkan mimpi buruknya.
Hanya saja ... baut-baut itu sudah terlepas dari tangan besi Ippo, serta kabel-kabel yang terhubung dengan syaraf Ippo sudah terputus. Dengan tangan tak kasat matanya, Ippo melesatkan tangan besinya yang kini menjadi bagian inti dari Dasa Hasta Antargata menggantikannya.
Api-api hitam dari Negeri Niroga bergerak untuk menghentikan laju tangan tersebut, tetapi dengan sisa kekuatannya, Ippo menggerakkan tangan-tangan Dasa Hasta Antargata untuk menghancurkan segala penghalang jalur tinjunya.
Di saat mereka sedang sibuk saling melumat, tiba-tiba pedang Ngrejeng Iblis menembus perut Rawantu dari belakang. Dalam tayangan lambat, Rawantu menatap senyum di wajah Ippo. "Aku ini ... Gardamewa loh."
"Ini belum berakhir, manusia ...," lirih Rawantu dengan darah yang mengalir dari pinggiran mulutnya.
Ledakan besar pun melumat api hitam di Negeri Niroga hingga ke seluruh penjuru. Ledakan besar yang hampir setara dengan ledakan atma beberapa tahun lalu dari pertempuran Ippo melawan kakaknya.
Samar-samar Rawantu membuka matanya. Tubuhnya menerima banyak luka, tetapi ia masih hidup. Kepalanya menghadap ke arah Ippo yang duduk dengan wajah tertunduk ke bawah.
"Kau sudah mati, ya?" tanya Rawantu.
Ippo tak menjawab, ia diam seperti patung. Untuk memastikan kematian lawannya, Rawantu menunjuk ke arah Ippo dan mengumpulkan sisa-sisa api hitam dari Negeri Niroga. Ia tak sanggup lagi berdiri, tetapi nampaknya masih bisa melakukan satu serangan terakhir.
"Selamat tidur, manusia." Ia melepaskan lesatan api hitam yang tajam mengarah ke jantung Ippo.
Namun, matanya terbelalak ketika api hitamnya tiba-tiba lenyap seolah dinetralisir oleh sesuatu yang tak kasat mata.
Di sisi lain Ippo menyeringai. "Aaaaa ... menyebalkan, bukan?" Ia terkekeh. "Perisai atma ini memang seeee----menyebalkan itu."
Ada perisai atma yang melindungi Ippo, sebuah perisai kokoh yang tak memiliki celah, teknik bertahan terkuat milik Baskara Gardamwa.
Ippo mengerahkan tenaga terakhirnya, membentuk segitiga dengan menempelkan jari-jari di kedua tangannya.
"Kala tattwa, jagat adohin, Pisag-pisagan sira wadahi, Bhuta adohin, iblis wadahi, Sira pati, adohin adohin ...," gumam Ippo merapalkan mantra pembunuh iblis milik keluarga Kanigara. Ia mengarahkan kedua tangannya ke arah Rawantu. "Bhuta kala, sira pati."
(Esensi kematian, dunia bergetar, Segala yang jahat akan tersegel, Iblis tersegel, roh jahat tersegel, Engkau mati, tersegel tersegel ... roh jahat, engkau mati)
Rawantu tiba-tiba saja terbakar oleh api hitam yang bukan api miliknya atau pun api dari Negeri Niroga, tetapi merupakan efek dari mantra yang dirapalkan Ippo.
"Mantra terlarang keluarga Kanigara, Niskala Prabha ...," gumam Ippo lirih. "Sebelum kau mati, aku akan menjawab pertanyaan mu. Orang yang mengajarkan mantra padaku, adalah Yasa Kanigara."
Rawantu memejamkan matanya, terbesit sebuah kenangan lama tentang empat orang yang saling merangkul. "Yasa, ya?" Perlahan api hitam melumat dirinya hingga habis menjadi kepulan asap hitam.
Begitu Rawantu mati, langit retak di Negeri Niroga runtuh. Ippo tak sadarkan diri, tergeletak di rerumputan halaman belakang Mantra Coffee.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top