50 : Rizwana vs Buriswara

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

"Aku ambil yang kanan," ucap Sangkala menampilkan seringainya pada Burisrawa. "Hawa membunuhnya terlalu kentara."

"Kebetulan aku ada urusan dengan yang di kiri," balas Burisrawa.

Mereka berdua berpencar di persimpangan jalur hutan. Burisrawa pergi ke arah kiri, berjalan hingga mendapati sesosok pria yang duduk di atas sebuah batu besar di pinggir curug. Pria itu tersenyum ramah.

"Kali ini kau tidak akan bisa lolos," ucap Burisrawa pada Rizwana. "Pembobolan penjara, penculikan mempelai, dan mengobrak-abrik istana ku, dosa mu terlalu besar."

Rizwana terkekeh. "Jangan bicara tentang dosa, Iblis." Ia turun dari batu dan berdiri menghadap Burisrawa. "Seharusnya kau yang lari selagi aku masih bersantai. Situasinya agak berbeda kali ini."

"Tidak seperti manusia yang takut bertempur di Alam Durjana, kami tidak gentar bertumpah darah di alam kalian," balas Burisrawa.

"Tolong bedakan, antara berani dan naif, Bung."

Udara malam di tempat ini sejuk, tetapi benturan energi yang membara dari Rizwana dan Buriswara cukup menghangatkan atmosfer di sekitar mereka.

Burisrawa melangkah maju dengan tenang, tatapan tajamnya tak lepas dari mata Rizwana. Tangan kanannya terangkat, telapaknya terbuka lebar, menampilkan simbol-simbol ilmu hitam.

Di sisi lain, Rizwana mengambil posisi kaki kanan di depan, badannya condong maju, siap untuk menyerang maupun menghindar. Udara di sekelilingnya seakan bergemuruh, memancarkan atma yang kurang bersahabat untuk Yaksa di hadapannya.

Pada satu titik Rizwana meluncur maju. Pukulannya lurus dan tajam mengarah ke dada Burisrawa, tetapi iblis itu mengelak dengan lincah, membalas dengan sebuah pukulan balik yang penuh dengan energi kegelapan.

Rizwana menghindar, ia melompat ke samping dan membalas dengan tendangan rendah yang cepat. Tendangan itu berhasil mengenai kaki Burisrawa, membuatnya terhuyung sejenak. Namun, Burisrawa tidak membiarkan kesempatan itu berlalu begitu saja, ia meraih kaki Rizwana, mencoba menghancurkan porosnya. Tapi Rizwana cepat bereaksi, ia menggunakan kaki lainnya untuk melepaskan diri, lalu memberikan pukulan tajam ke arah wajah Burisrawa.

"Satu kosong," ucap Rizwana meledek.

Burisrawa tak banyak bicara. Ia kembali memasang kuda-kuda tangan kosong. Intensitas pertempuran meningkat. Rizwana melesat kembali, ia memberikan sedikit variasi antara pukulan dan tendangan pada Burisrawa.

"Serangan-serangan kecil begini hanya bisa membuatku gatal! Lagak mu tadi hanya lelucon?" ledek Burisrawa. Ia melancarkan sebuah pukulan keras ke arah wajah Rizwana.

Rizwana tersenyum melihat pukulan itu. Ia fokus untuk menghindari pukulan tersebut, lalu menghentakkan kaki kiri di depan sekeras-kerasnya. Burisrawa terbelalak menatap sekumpulan atma yang terhisap ke dalam genggaman tangan Rizwana. Sebelum mampu bereaksi, Rizwana melepaskan sebuah pukulan lurus ke arah perut Burisrawa.

"Waringin Sungsang!"

Burisrawa terpental beberapa meter sambil memuntahkan darah hitam dari mulutnya. Ia menatap gusar ke arah Rizwana sambil memegangi perutnya yang terluka akibat serangan barusan. Meskipun terhuyung, ia berdiri.

"Bukan hanya ini kan, kekuatan yang kau bangga-banggakan itu sampai berani datang ke dunia manusia?" tanya Rizwana.

Namun ... detak jantugnya terasa sesak, tiba-tiba saja kedua mata Rizwana berkedut saat menatap gelombang energi hitam yang menyelimuti Burisrawa. Mata merah menyala itu sejenak terlihat menakutkan. Yaksa tersebut memfokuskan energi hitamnya ke dalam satu titik, seolah sedang mempersiapkan serangan balasan yang tak kalah ngeri.

Menyadari perubahan atma gelap Burisrawa, Rizwana berusaha tak memberinya celah dan waktu untuk pulih. Ia segera melesat dengan kecepatan penuh. Namun, aura Burisrawa terasa sangat tajam sehingga membuat Rizwana tak bisa mendekat. Rizwana berlari mengelilingi Yaksa tersebut, mencari titik lemah dalam pertahanannya.

Udara di sekitar mereka mendadak lembab, membebani setiap napas Rizwana dan membuatnya sedikit merinding.

Langit seketika menggelap saat awan hitam berkumpul menutupi sang purnama. Burisrawa mengepalkan kedua tangan, dari telapak tangannya muncul bola energi hitam yang perlahan membesar, dan terlihat mengancam.

Rizwana tak berhenti bergerak. Ia terus berlari mengitari Burisrawa dan fokus mengamati gumpalan bola energi hitam di tangan Yaksa tersebut. 'Serangan yang satu ini berbahaya.'

Dengan satu raungan keras, Burisrawa melepaskan bola energi tersebut ke arah Rizwana dengan hawa membunuh yang sangat pekat.

Proyektil atma besar itu meluncur dengan kecepatan tinggi, meninggalkan jejak distorsi di udara. Rizwana menghentikan langkahnya dan hanya bisa memperhatikan bola tersebut dengan konsentrasi penuh tanpa bisa menghindarinya. Sebuah ledakan besar terjadi, menutupi area sekitar dengan asap dan debu yang pekat.

"Kau harus bangga karena sudah membuatku mengerahkan sedikit kekuatanku, manusia," gumam Burisrawa.

Yaksa itu memutar arah dan hendak pergi meninggalkan Rizwana. Namun, suasana mendadak berubah. Angin berembus lebih kencang dengan aroma air laut yang tercium jelas di udara pegunungan. Langit yang gelap mendadak terang kembali, awan-awan di langit menyebar dan membiarkan cahaya bulan menerangi medan tempur.

Dari balik tirai asap yang terkikis angin, Rizwana berjalan keluar menggenggam sebilah tombak. Tombak tersebut berkilau dengan cahaya kemerahan, menyinari sekitarnya dan membelah asap dengan atmanya.

Rizwana mengarahkan mata tombaknya ke arah Burisrawa. "Waktunya serius, Burisrawa."

"Karara Reksa ...." Burisrawa memicing menatap tombak tersebut. "Salah satu dari tujuh tombak laut milik Roro Kidul."

Senyum itu belum luntur dari wajah Rizwana. "Hoo ... kalau begitu aku tidak perlu repot-repot memperkenalkan diri, kan?"

"Aku akan membunuhmu, Maheswara," ucap Burisrawa penuh tekanan.

"Yaaaa ... kita lihat saja." Rizwana menggenggam mata tombak Karara Reksa hingga telapak tangannya berdarah. "Lindungi aku dengan zirahmu, Nyai." Darah itu mengalir tak wajar di lengannya, seolah berjalan menyelimuti seluruh tubuh Rizwana hingga membentuk zirah berwarna merah.

"Jangan harap zirah itu cukup untuk melindungimu!" seru Buriswara. Ia meselsat cepat ke arah Rizwana dengan kedua tangan terkepal bersiap memukul.

"Pertahan terbaik adalah menyerang." Rizwana pun menerjang ke arah lawannya.

Kilatan-kilatan cahaya dari tukar serangan mereka menjadi pemeriah malam. Setiap tusukan Karara Reksa meninggalkan jejak darah yang menerjang udara, sementara serangan Burisrawa menghasilkan ledakan energi hitam.

Rizwana bergerak lincah, ia menusuk dengan cepat secara bertubi-tubi, setiap goresan tombaknya menyisakan bekas cahaya kemerahan. Suara logam bertabrakan dengan energi hitam memecah keheningan malam.

Pada satu momen, Burisrawa mengayunkan tinju yang penuh dengan atma hitamnya, hanya saja Rizwana menghindar dengan gesit, dan langsung mengambil posisi untuk menyerang balik. Tombaknya menembus pertahanan Burisrawa dan menghantam perutnya.

Darah bercucuran di atas rerumputan. Rizwana bersiul saat menatap tangan Burisrawa yang berhasil menggenggam mata Karara Reksa sebelum melubangi perutnya.

"Sepertinya, ini akan segera berakhir, Bung," ucap Rizwana.

Burisrawa menyeringai. "Aku ini, Raja."

Rizwana terbelalak. Dari bayangan Burisrawa, bermunculan makhluk-makhluk mengerikan. Jumlahnya tak bisa dihitung dengan jari. Rupanya Yaksa yang satu itu tak sendirian, ia membawa seluruh pasukan kerajaannya dari Alam Durjana.

Burisrawa berteriak keras hingga membuat gelombang yang mendorong Rizwana mundur beberapa meter. Telinga Rizwana sedikit mengeluarkan darah, kepalanya pun mendadak pusing.

"Aku akui, kemampuanku berbenturan dengan atmosfer Alam Dunia dan berkurang cukup banyak, aku bisa bertahan berkat efek purnama. Tapi melihatmu yang hampir kehabisan napas, sepertinya untuk melawan makhluk Alam Durjana di sini pun cukup menguras stamina kalian, para manusia. Sementara aku mengumpulkan energi kembali, kau boleh bermain-main dengan para prajuritku. Semoga beruntung."

Rizwana menyeringai. Ia terkekeh hingga tertawa gila mendengar ucapan Burisrawa. Burisrawa memicing heran menatap lawannya. "Apanya yang lucu?" tanya Burisrawa.

Rizwana berhenti tertawa dan menatap Burisrawa cukup tajam, tetapi masih dengan senyum khasnya. Ia mengangkat tangan kirinya ke udara, memperlihatkan luka kecil yang masih segar di telapak tangannya. Dengan gerakan tegas, ia memperdalam luka tersebut dengan kukunya yang tajam, membiarkan tetesan darahnya menetes dan merembes ke tanah di bawahnya.

"Karo getih iki, kula bakda waregaken pitara segara," gumam Rizwana lirih.
(Dengan darah ini, kuhormati para penjaga lautan)

Dengan mata tertutup, ia mengingat kehadiran keenam tombaknya, memanggil mereka dengan kekuatan yang berasal dari darah Maheswara di dalam dirinya.

"Karo getih iki, kula bakda, tapa kulo ngagemang, putra-putri gandheng segara."
(Dengan darah ini, kuteguhkan panggilan ku. Aku meminta kehadiran kalian, para penjaga lautan yang setia)

Tanah di bawahnya gemetar diikuti angin yang berembus kencang, melahirkan aura misterius di sekeliling Rizwana.

"Sangka Nusa."
(Enam pulau)

Lima tombak lain milik Nyi Roro Kidul muncul dari tanah, menyembul dengan gemerlap cahaya yang memancar dari tiap-tiap mata tombak. Melesat tinggi ke langit, lalu terjatuh dan menancap kembali di tanah, berjajar di depan tuannya.

Rizwana membungkuk hormat saat kelima tombak lainnya muncul di hadapannya, menyambut kehadiran mereka dengan penuh hormat. Rizwana mencabut salah satu tombak sehingga ia menggeggam dua bilah tombak di tangan.

Perlahan kabut berdatangan dan mulai menebal menyelimuti medan tempur. Burisrawa dan pasukannya merasakan hawa yang mencekam dari balik kabut tersebut. Di tengah suasana yang tegang itu, terdengar suara lonceng yang menggema di udara, membangkitkan ketegangan yang melilit hati setiap prajurit yang hadir pada malam itu. Namun, ketegangan tersebut tak seberapa dibandingkan dengan rasa ngeri yang menyelinap begitu sebuah siluet menyeruak dari balik kabut.

Kencana hitam muncul, menembus tirai kabut yang melingkupi medan pertempuran. Ditarik oleh kuda-kuda tanpa kepala, kencana itu seakan datang dari alam yang lebih gelap daripada malam itu sendiri. Gemuruh langkah kuda yang berlari kencang menghantam tanah, seolah mengumandangkan kedatangan kematian.

Di atas kencana tersebut, ada empat sosok dengan jubah hitam yang melambai-lambai dihempas angin malam. Wajah mereka tak terlihat, tersembunyi di balik bayangan jubah. 

"Enggak nyangka, bakalan ada di sisi yang sama bareng lu lagi," ucap seorang pria berjubah yang duduk di depan kencana.

"Bukan artinya gua maafin apa yang udah terjadi, gua dateng karena rasa keadilan," balas pria yang duduk di sebelahnya.

"Untuk sementara waktu, kalian berdua itu rekan. Jangan saling membunuh satu sama lain," celetuk pria yang duduk di sisi kiri kencana. "Simpan dendam kalian sampai pertempuran selesai."

Sementara satu orang yang duduk di sisi kanan kencana tak berkomentar. Ia hanya duduk diam di bawah payung hitamnya.

Rizwana menyeringai memandang Burisrawa. "Aku lupa bilang, aku ini juga Raja. Rizwana Radja Maheswara."

Sisa-sisa pasukan Kencana Selatan bergabung ke dalam pertempuran antara Rizwana melawan Burisrawa. Pertempuran individu itu seketika berubah menjadi pertempuran pasukan.

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top