5 : Hujan
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Menatap teman-teman dan kembarannya yang sudah menemukan orang terkasih mereka, Melodi ikut merasa bahagia, meskipun jauh di lubuk hatinya, gadis itu berharap.
Ia memandang mereka semua dari panggung kecil dan mulai memainkan gitar. Melodi membawakan lagu Sen No Yoru Wo Koete dari Aqua Timez.
'Seandainya dia masih ada di sini.' Batin Melodi.
Semua menikmati lagu yang Melodi bawakan, hingga pada satu titik, suara lonceng di pintu membuat perhatian mereka teralihkan.
Melodi menutup mata, berusaha meresapi setiap lirik dan makna dari lagu yang ia bawakan.
"Chandra," gumam Deva.
Chandra berjalan diikuti kedua temannya di belakang. "Yo, long time no see."
Melodi membuka mata, ia tersenyum pada Chandra yang baru saja tiba. Dari gelagat teman-temannya, mereka semua terkejut ketika kedapatan hadir seorang Yudistira di Mantra Coffee. Namun, Melodi terlambat menyadari, bahwa bukan sosok Chandra yang membuat mereka semua terkejut, melainkan salah seorang pria yang datang bersamanya. Pria itu berdiri tepat di belakang Chandra, mematung memandang Melodi menggenggam setangkai mawar.
Keadaan mendadak hening, Melodi menghentikan permainannya. Kini rasanya dunia Melodi ditelan kesunyian, tak bisa lagi ia dengar obrolan para pelanggan yang masih terlihat asik saling berbincang di meja mereka. Pandangan pun mulai kabur, semuanya mendadak gelap menyisakan sosok pria di hadapannya. Hanya ada mereka berdua dalam pandangan Melodi.
Masih teringat jelas dalam benak Melodi perjumpaan mereka yang tergolong unik. Rasanya baru saja kemarin kejadiannya. Waktu memang mahir mempermainkan logika dan perasaan.
Malam itu Melodi diganggu oleh segerombolan pria. Namun, di tengah rasa takutnya, tiba-tiba seseorang datang menghajar para gerombolan orang yang mengganggu Melodi.
"Kamu enggak apa-apa?" tanyanya. Melihat Melodi yang shock, pria tersebut membuka jaket dan memakaikannya di bahu Melodi. "Di sini rawan begal. Rumah kamu di deket sini? Biar aku anter. Sekarang kamu aman, ada aku."
Tiba-tiba muncul seorang pria berhoodie hitam dari arah depan dan berjalan ke arah mereka berdua. Melodi pikir dia bosnya, tapi ternyata ...
"Ippo ...." Pria itu berdiri di depan mereka sambil menatap orang-orang yang terkapar. "Kenapa pada berantem?" Kemudian pria misterius itu menatap Melodi. "Siapa ini orang?"
Pria misterius itu menatap salah satu orang yang terkapar. Orang yang terkapar itu memberikan sebuah kode lewat kedipan matanya.
"Ah-gitu ternyata," gumamnya. Kini ia menatap pria yang dipanggil Ippo. "Siapa kau?! Berani-beraninya menghajar anak buahku!" Kepribadiannya mendadak berubah seperti sedang memainkan peran penjahat.
Ya, semua hanyalah sandiwara dari Ippo dan teman-temannya sebagai upaya memikat Melodi.
"Ippo ...." Kristal di mata Melodi mulai mencair dan luruh.
Pria itu baik, hanya saja sifatnya unik dan kala itu agak menyebalkan untuk Melodi yang berusaha menjaga hati. Tiba-tiba teringat satu kejadian di sore itu ...
Sore itu Melodi sedang menunggu Deva menjemputnya, tetapi entah sudah berapa jam berlalu, Deva tak kunjung tiba.
"Boleh aku duduk di sini?" tanya Ippo, dan Melodi meng-iyakan.
Terjadi dialog di antara mereka yang intinya Ippo ingin mengantar Melodi daripada gadis itu harus menunggu lama, tetapi Melodi menolak keras. Pertama ia tak suka dengan Ippo, dan yang utama ia sedang menjaga hati Deva.
Hingga pada satu titik, tak ada kata yang terucap di antara mereka. Melodi diam-diam melirik ke arah Ippo. 'Ini orang sebenernya ngapain sih?'
"Kamu ngapain sih sebenernya?" tanya Melodi yang mulai penasaran.
"Nunggu kamu yang lagi nunggu pacar kamu yang lupa kalo kamu nungguin dia," jawab Ippo tersenyum.
"Buang-buang waktu aja, emangnya kamu enggak ada kegiatan lain?"
"Ada," jawab Ippo.
"Yaudah tinggalin aja sih, ngapain juga malah nungguin orang yang lagi nungguin pacarnya yang lupa kalo lagi ditungguin pacarnya?"
"Tatapan kamu, Alunan ... itu bukan tatapan orang yang suka sendirian."
Gelagar petir membuat mereka berdua menoleh ke langit. "Ih! Deva lama baget, keburu ujan," gerutu Melodi. "Kamu juga kalo ada kegiatan ya sana, enggak usah ngurusin orang!" Ippo terkena semprotannya.
"Kalo kamu marah, apa yang pacar kamu lakuin?" tanya Ippo.
"Ya minta maaf lah!"
"Seandainya aku punya pacar yang marah, aku akan biarin dia marah sampe marahnya abis. Setelah itu baru aku minta maaf dan janji enggak akan ngulangin lagi kesalahan yang buat dia marah."
"Emang pernah pacaran?" tanya Melodi.
"Aaaaa ... belum sih."
"Enggak usah sok romantis kalo gitu! Kamu itu terkenal di ISI. Ippo, si tukang godain cewek. Enggak usah sok-sokan."
Ippo hanya tersenyum mendengar itu. "Apa lagi yang kamu denger?"
"Tukang cari gara-gara! Tukang gangguin mahasiswa lain! Suka tebar pesona!"
"Udah?" tanya Ippo. Ia menghela napas. "Aku juga suka denger tentang kamu. Kamu itu selebgram, musisi, anak artis, cantik, populer."
Itu bukan kali pertama Melodi mendengar pujian seperti itu.
"Tapi aku enggak pernah denger kalo kamu itu galak," sambung Ippo. "Orang lain berkata dengan apa yang mereka lihat dan mereka tahu. Yang enggak mereka lihat? Mereka enggak tahu dan enggak mau cari tahu." Ippo beranjak dari duduknya. "Hati-hati dijalan ya, Alunan." Ia berjalan pergi.
Ia lempar gitar di tangannya dan refleks meninggalkan panggung kecil. Melodi berlari ke arah pria yang ia panggil 'Ippo' dengan lirih.
Terbesit sebuah penyesalan dalam dadanya, ketika Melodi menampar pria baik itu dan mengusir Ippo dari kehidupannya. Dulu ia pernah menghindar mati-matian dari pria itu, tapi sekarang Melodi justru berlari ke arahnya.
Melodi mencari keberadaan Ippo siang itu, tapi tak bisa ia temukan di mana pun. Jelas saja, Ippo bersembunyi dari Melodi. Karena gadis itu tak ingin lagi melihatnya, maka Ippo akan berikan apa yang ia mau. Namun, melihat Melodi yang berusaha mencarinya, Ippo tak tega, pada akhirnya ia menampakkan diri.
"Maaf ...," tutur Melodi. "Maaf udah nampar kamu kemarin dan marah-marah. Kamu enggak salah kok, aku aja yang lagi banyak masalah dan jadi pengen ngelampiasin semuanya."
"Kamu inget? Kemarin, waktu nemenin kamu nungguin pacar kamu jemput, aku bilang ... seandainya aku punya pacar yang marah, aku akan biarin dia marah sampe marahnya abis. Setelah itu baru aku minta maaf dan janji enggak akan ngulangin lagi kesalahan yang buat dia marah."
"Terus?" Melodi mengerutkan dahinya.
"Aku emang bukan siapa-siapa, tapi kalo kamu butuh seseorang buat jadi pelampiasan kamu, cari aja aku. Enggak masalah jadi samsak kamu, tapi jangan usir aku," ucap Ippo sambil menyematkan senyum sendu. "Aku baru tahu, rasanya sesakit itu diusir dari kehidupan orang lain."
"Maaf ya, aku minta maaf banget." Melodi mengambil sesuatu dari dalam tasnya. "Ini buat kamu." Ia memberikan sebuah amplop kecil berwarna cokelat. Ippo mengambilnya, lalu membuka amplop tersebut. "Sekali lagi maaf ya udah jahat ngusir kamu."
Terukir senyum ketika menatap sebuah kertas yang bertuliskan 'sorry'. Hanya sebuah kertas biasa dengan tulisan tangan yang juga biasa, tetapi rupanya itu sangat berarti untuk Ippo. "Aaaaaa ... terimakasih buat hadiahnya."
"IPPO!" Melodi berlari sekencang yang ia bisa dan langsung melompat memeluk pria yang selama ini menawan rindunya.
Seumur hidup baru kali ini Nada melihat Melodi menangis sekeras itu. Ia pun ikut menitihkan air mata karena merasakan apa yang Melodi rasakan.
Aneh. Entah sejak kapan Melodi menyukai pria itu, ia pun tak tahu. Yang jelas, perasaannya terhadap pria itu sangat besar hingga berdampak banyak ke dalam hidupnya yang semakin hari semakin sepi ketika pria itu pergi. Satu hal yang pasti, Melodi mulai menyukai Ippo karena sebuah percikan kecil, ketika sosok Deva memudar dari hatinya.
Malam itu Jashinta datang menyalakan api cemburu. Melodi duduk di bagian luar Mantra. Gadis itu menghindar sekaligus mencari angin untuk memadamkan api di dadanya.
Genjrengan gitar membuyarkan lamunan Melodi. Gadis itu menoleh, kemudian menoleh lagi ke posisi semula karena moodnya semakin rusak melihat kedatangan Ippo.
Ippo paham hal itu. Ia pun diam dan hanya meletakkan gitar itu di samping Melodi, lalu berjalan pergi kembali.
"Mau ke mana?" tanya Melodi tanpa menoleh. "Kenapa letakin gitar di sini?"
Ippo tersenyum getir menatap kedua kakinya. "Aku tau kamu cemburu, dan aku tau cemburu itu enggak enak. Aku pun sadar kalo aku adalah seseorang yang paling tidak kamu harapkan kehadirannya, tapi aku juga tau kalo kamu enggak suka sendirian. Aku suka musik, aku suka permainan kamu bermusik. Setiap petikan yang aku denger ketika kamu main adalah nada-nada yang jujur. Gitar enggak pernah bohong, apa yang kamu mainkan adalah apa yang kamu rasakan. Kalo kamu merasa sedih, jangan menangis. Luapin semua dalam permainan indah itu. Kamu punya jari-jari yang merdu."
"Kalo menurut kamu jari-jariku adalah pelantun ulung, sebaiknya kamu duduk di sini sekarang. Mereka butuh pendengar," balas Melodi. Ia meraih gitar itu dan mulai meluapkan perasaannya. Emosinya perlahan sirna dilumat alunan senar.
"Jika sebuah lagu hanya satu notasi, maka tak ada nada yang sumbang ...."
Ippo tersenyum mendengar Melodi bernyanyi.
"Jika sebuah lagu hanya satu notasi, maka tak akan ada hidup yang bergelombang...."
Kini giliran Melodi yang melirik Ippo. Tak ia duga bahwa pria bersuara berat itu mengetahui lagu yang ia bawakan. Sebab itu adalah lagu jadul tahun 2018. Satu Notasi dari Hyndia.
Isaknya semakin keras. Melodi memeluk erat tubuh Ippo tak membiarkannya pergi lagi. Sudah cukup rasa sakitnya selama ini. Melihat kehadiran pria itu di sini sekarang merupakan obat dari segala obat.
Dahulu kala, Melodi sering singgah ke Malioboro ketika ia merasa gundah, tapi rasanya sudah lama sekali gadis itu tak pernah menginjakan kaki di sana. Sejak malam itu, pergi ke Malioboro hanya membuat lara nya semakin pilu.
Malam itu Melodi pergi ke Malioboro untuk memudarkan lara. Tak sengaja ia berjumpa dengan Ippo yang sedang berjalan-jalan membawa kamera. Pada satu titik, Ippo membelikannya minum dan mereka duduk bersama.
"Tumben sendirian?" ucap mereka bersamaan. Sontak membuat keadaan hening kembali. Seperti memberikan isyarat untuk mempersilakan lawan bicaranya untuk menjawab.
"Lagi pengen sendirian aja," jawab Melodi. "Kamu sendiri? Biasanya sama Reki?"
"Aaaaa ... itu ... lagi pengen sendirian juga sih."
Melodi melirik tas kamera milik Ippo. Menyadari itu, Ippo membuka tasnya dan mengeluarkan polaroid. "Ini kerjaan sampingan aja, jualan foto hasil polaroid. Kalo yang DSLR buat iseng ikutan lomba fotografi."
"Bedanya apa dua kamera itu? Aku enggak begitu paham. Nada yang suka fotografi."
Ippo memotret Melodi dengan kamera polaroidnya. Sejujurnya Melodi tak suka difoto, apa lagi tanpa izin. Namun, malam ini ia biarkan. Melo sedang malas berdebat. Tak lama berselang, kamera itu memunculkan sebuah kertas yang tercetak keluar. Ippo menggoyangkan kertas putih itu hingga perlahan muncul sebuah gambar. Wajah Melodi terpampang dalam kertas foto itu. Ippo menyodorkannya pada Melodi, tentu saja gadis itu menyambutnya, ia mengambil foto itu dan menatapnya.
"Keren juga, ya. Aku ketinggalan jaman banget berarti, ya? Baru tau kamera model begini," ucap melodi.
"Aaaaa ... itu kamera jadul tahun orang tua kamu masih sekolah maybe ...."
Melodi tiba-tiba saja tertawa. "Anjir, jadul banget. Asli, kurang apdet masalah fotografi."
"Enggak apa-apa, bukan sesuatu yang bermanfaat juga buat diketahui karena enggak berdampak besar." Ippo menyodorkan polaroid itu pada Melo. "Mau coba?"
Melodi meraih kamera itu. Ia tampak bingung cara mengoperasikannya. Ippo membantunya. "Pencet yang ini kalo mau motret."
CEKREK!
Tanpa basa-basi Melodi langsung menekan shutternya. Ippo memasang wajah datar. "Seharusnya diarahin dulu, habis itu baru dipencet kalo udah dapet target fotonya."
Melodi hanya terkekeh. Ia mengambil kertas yang tercetak dan menggoyang-goyangkannya seperti yang Ippo lakukan sebelumnya. Perlahan penampakan wajah Ippo terpampang jelas. Wajah-wajah tak siap difoto itu membuat Melodi tertawa setengah mati.
"Asli parah." Ippo menatap wajahnya yang memang seperti orang beler. "Belum siap. Kalo gini ketampananku enggak keliatan." Mendengar itu Melodi malah semakin terbahak-bahak hingga membuatnya menangis.
"Gitu dong, kamu lebih cantik kalo ketawa."
Sayangnya bukan senyum atau tawa seperti malam itu yang dihadirkan Melodi pada pertemuan pertama mereka setelah perpisahan panjang. Melodi menangis keras untuk mengekspresikan perjumpaan tersebut.
Sebaliknya, di sisi lain Ippo malah tersenyum, ia tak kuat membendung betapa bahagianya ia melihat Melodi kembali. Sama halnya seperti Melodi, Ippo pun melewati hari-hari yang sulit. Pria itu membalas dekapan Melodi. "Aaaaa ... aku pulang."
Tuhan menjaga doa-doa Melodi. Dengan hadirnya pria itu di sini memantapkan bahwa Ippo masih hidup. Meskipun kondisinya agak terlihat berbeda.
Mata kirinya buta, tubuhnya lebih kurus, juga dipenuhi banyak bekas luka. Yang paling membuat Melodi semakin terisak adalah tangan kiri Ippo. Tangan itu putus ketika berhadapan dengan Baskara. Memang, secara visual tangan Ippo masih dua, tapi yang satunya merupakan tangan buatan yang terbuat dari besi.
Melodi mencengkeram kerah baju Ippo sambil memukul-mukul pria itu pelan. Banyak hal yang ia ingin dengar, tetapi Melodi tak bisa bertanya. Jangankan bertanya, berkata-kata pun ia tak sanggup.
"Maaf ...." Hanya itu yang keluar dari mulut Ippo.
Di sisi lain Deva menatap Chandra seolah berharap pria itu akan menghadiahinya jawaban atas semua kejutan ini. Chandra pun mengerti arti tatap Deva.
"Chan ...."
"Malam masih panjang," tutur Chandra. "Pesan americano satu, kita habiskan semua pertanyaan di kepalamu."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top