49 : Kevin vs Buto Dhegen

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

Suara dedaunan berbisik ditiup angin malam. Rambut hitam Kevin tergerai angin, pria tampan itu berdiri sambil memainkan belati di kedua tangan dengan sorot mata yang tajam ke arah pria bertubuh besar dengan banyak tato di tubuhnya.

Buto Dhegen menatap Cakra yang sedang duduk bersila di belakang si tampan. Ia berjalan pelan ke arah mereka.

Kevin menatap tanah di mana pria itu berpijak. Setiap langkah Buto Dhegen membuat tanah yang dipijaknya sedikit turun tenggelam, seperti berjalan di atas lumpur.

'Bobotnya terlalu berlebihan untuk ukuran tubuhnya.' Batin Kevin.

Dari hal kecil seperti itu, Kevin paham bahwa bentuk asli iblis yang satu ini mungkin lebih besar dari yang terlihat.

"Burisrawa ingin manusia yang di belakang mu mati, minggir, atau kau akan ikut mati," kata Buto Dhegen pada Kevin.

Dengan ekspresi datarnya, Kevin melangkah maju perlahan ke arah Buto Dhegen. "Cakra ingin siapa pun yang mengincar nyawanya mati, pergi, atau kau akan terbunuh," balas Kevin.

Angin malam melintas di antara pepohonan, menghasilkan suara gemerisik yang melengking di halaman belakang Mantra Coffee. Cahaya purnama memantulkan kilauan samar di mata mereka yang saling menantang.

"Baiklah, spertinya kau juga tidak layak hidup," ucap Buto Dhegn dengan suara menggema.

"Hidup atau mati itu hak Tuhan, bukan hakmu," sahut Kevin tegas.

Tak ada kata-kata lagi yang terlontar dari mulut mereka. Dengan gerakan cepat, Buto Dhegen meluncurkan pukulan pertamanya, mengirimkan angin ganas yang menghentak tanah di sekitarnya. Namun, Kevin, dengan refleks yang cepat, menghindar dengan lincah. Tubuhnya seolah menyatu dengan kegelapan malam, meluncur di antara serangan ganas yang dilancarkan Buto Dhegen.

Melihat Kevin menghindar, Buto Dhegen langsung menyambarnya lagi, kini dengan serangkaian pukulan bertubi-tubi yang menyisakan jejak hitam di udara. Namun, Kevin lagi-lagi mampu menghindari serangkaian pukulan itu. Setiap gerakan Kevin bagaikan sebuah karya seni, kecepatan dan ketepatan instingnya membuat pria tampan itu tampak seperti dewa yang menari di antara hujan tinju.

Sesekali, serangan Buto Dhegen nyaris berhasil mengenai Kevin. Saat Yaksa itu terlalu percaya diri, di situlah serangan balasan terjadi. Belati Kevin menyayat leher Buto Dhegen. Darah segar tumpah membasahi halaman Mantra.

Kevin memicing sinis. "Ah, kurang dalam, ya?"

Buto Dhegen menggeram seperti hewan buas. Matanya merah memandang gusar ke arah Kevin. Ia memegangi lehernya yang sedikit berdarah akibat serangan Kevin barusan.

Kevin tersenyum dalam hening. Senyumannya seolah meledek Buto Dhegen. Pertarungan pun berlanjut, suara benturan dan embusan angin menjadi musik yang mengiringi pertempuran mereka.

Sementara itu, Cakra masih duduk bermeditasi tak jauh di belakang Kevin, energinya semakin terkonsentrasi dan kuat. Sebelumnya Cakra dan Kevin sudah merancang sebuah strategi untuk melawan Buto Dhegen. Kevin hanya perlu bertahan cukup lama untuk memberikan Cakra waktu, agar Cakra dapat menyelesaikan persiapannya.

Cakra sedang berkumpul bersama ketiga alternya di alam bawah sadar. Ia menatap Nameless, atau yang bernama asli Utomo itu.

"Jadi gimana rencananya?"

Pria berwujud Cakra dengan anting hitam berkemeja putih dan celana pendek hitam itu tersenyum sinis. Ia menunjuk ke arah Petang, si pria berwujud Cakra yang mengenakan pakaian retro. "Dia kuncinya."

"E-enggak bisa, a-aku enggak bisa," ucap Petang dengan mata berkaca-kaca dan tubuh gemetar.

"Bangsat! Lu harus bisa!" balas Buan, si pria berwujud Cakra dengan kaos hitam lengan pendek dibalut rompi jeans rombeng ala-ala preman.

Cakra menghela napas melihat ketiga alternya yang kurang akur itu. "Jelasin dulu deh, gimana bisa si Petang jadi kunci?"

Utomo berjalan mendekat ke arah Cakra. Petang agak mundur saat alter yang paling berbahaya itu maju. Pada satu titik, Nameless menatap ke arah Buan. "Si bar-bar itu punya kekuatan, kau punya keteguhan, saya punya kecerdasan, lalu si cengeng itu punya apa? Apa gunanya dia di antara kita?" tanyanya pada Cakra.

"Dia enggak berguna," balas Buan.

Utomo tersenyum sinis ke arah Buan, lalu berpindah dari Cakra, berjalan ke arah si bar-bar itu. "Fisik, hati, pikiran, terakhir aspek spiritual. Alasan kenapa saya bisa mengambil alih kendali Cakra beberapa waktu lalu adalah karena menemukan kunci kendali itu." Utomo menoleh ke arah Petang, lalu menunjuknya. "Dia adalah kuncinya, sosok yang menjadi simbol spiritual kita."

Cakra memicing. "Terus apa rencananya?"

Senyum sinis itu kembali hadir. "Dengan waktu yang tersisa ini, satu-satunya cara adalah dengan pertaruhan. Kalau gagal, kita semua mati, kalau berhasil lawan yang mati."

"Ta-tapi aku lemah," balas Petang.

"Kau hanya takut," balas Utomo. "Bukan lemah."

"Jadi gimana caranya?" tanya Buan.

"Saya butuh sebuah objek," jawab Utomo. "Dan objek itu hanya bisa diciptakan oleh Petang."

Cakra, Buan, dan Nameless menatap ke arah Petang. Diharapkan oleh ketiga pria itu membuat Petang tertkan, tapi di satu sisi ia pun menyadari betapa perannya sangat penting saat ini. Petang pun berusaha memberanikan dirinya.

"Ja-jadi apa yang harus saya buat?"

Nameless tersenyum sinis. "Jadi, buatkan saya ...."

Seiring berjalannya pertarungan, momentum mulai bergeser. Kekuatan dan ketahanan Buto Dhegen mulai menunjukkan superioritasnya, memberikan tekanan yang semakin intens kepada Kevin. Setiap pukulan yang dilancarkan Buto Dhegen, membuat tanah di sekitarnya bergetar.

Kevin mulai kelelahan. Napasnya terdengar berat, dan gerakannya sedikit melambat, memberi Buto Dhegen kesempatan untuk menutup jarak di antara mereka.

Pada satu titik, hal yang ditakutkan pun terjadi. Sebuah pukulan berat berhasil mengenai sisi kanan Kevin, menghantamnya dengan kekuatan yang cukup untuk membuat pria dingin itu terpental dan tersungkur di tanah, tak jauh di sebelah Cakra.

Pohon-pohon di sekitar mereka gemetar, daun-daun berguguran akibat gelombang kejut yang diciptakan oleh kekuatan Buto Dhegen. Kevin merasakan sakit yang tajam menyebar di seluruh tubuhnya, sebuah pengingat bahwa setiap serangan Buto Dhegen membawa ancaman serius. Ia tak bisa bergerak sejenak karena efek kejut tersebut. Pukulan Buto Dhegen membuatnya kesulitan untuk bernapas karena menghantam sisi kanannya.

Buto Dhegen berjalan ke arahnya dengan santai. "Riwayat kalian sudah tamat."

Kevin berusaha bangkit, tetapi rasanya terlalu sulit. Ia hanya bisa menyaksikan Buto Dhegen yang semakin mendekat, hingga berdiri di hadapannya.

"Titipkan salam ku pada para penghuni Alam Suratma," ucap Buto Dhegen.

Yaksa itu menghunuskan tinjunya ke arah Kevin. Benturan yang terjadi membuat tanah bergetar dan kepulan asap yang mengepul. Namun, di satu sisi Buto Dhegen memicing ketika tak merasakan apa pun. Ia pun menarik tinjunya dan memandang kepalan tangannya sendiri.

"Nyari apa sih, bansat?!"

Buto Dhegen menatap ke arah Cakra yang berdiri di posisi berbeda dari sebelumnya. Kevin duduk terengah-engah di belakangnya.

"Kau cukup cepat rupanya, manusia," ucap Buto Dhegen. "Terlambat sedikit saja, kalian pasti sudah mati."

Cakra menghela napas sambil memasang kuda-kuda tinju. "Dan kuat, berengsek." Buan telah mengambil alih pertempuran ini.

Buan memusatkan atma di kepalan tangannya, dan bersiap untuk baku hantam dengan Sang Yaksa. Buto Dhegen pun menerima tantangannya dan ikut memasang kuda-kuda bertempur. Ketegangan semakin tajam ketika Buan dan Buto Dhegen saling memandang, dan mengukur satu sama lain dengan pandangan tajam yang penuh kalkulasi.

Buto Dhegen mengambil langkah pertama, ia menerjang maju dengan kecepatan yang mengejutkan untuk ukuran tubuhnya. Ia melayangkan sebuah pukulan pada Buan.

Berbeda dengan Kevin yang gemar menghindar dan mencari celah untuk serangan balik, Buan justru menyeringai dan ikut menerjang. Ia menghantam tinju Buto Dhegen dengan kepalan tangan berlapis atmanya.

Tangan Sang Yaksa terhempas ke udara, Buto Dhegen terbelalak karena baru saja kalah kekuatan. Tanpa memberi kesempatan kepada Buto Dhegen untuk memasang kuda-kuda kembali, Buan meningkatkan intensitas serangannya. Ia meluncur dan mengirimkan pkulan uppercut dan hook yang mengguncang dasar pertahanan musuhnya.

Namun, Buto Dhegen tidak mudah dikalahkan. Dengan raungan penuh amarah, ia melepaskan aura yang menakutkan, mendorong Buan mundur beberapa langkah. Bumi di bawahnya retak, mencerminkan kekuatan yang ia bebaskan. Lalu, dengan gerakan mendadak, Buto Dhegen mengejar Buan, melepaskan sebuah pukulan berat yang menghasilkan gelombang kejut, memaksa Buan untuk menghindar. Hanya saja, karena itu adalah Buan, bukannya menghindar, ia justru memaksa untuk langsung menyerang balik saat itu juga.

Pertarungan itu menjadi adu kekuatan, di mana setiap serangan dari Buto Dhegen dijawab dengan serangan balik yang cepat oleh Buan. Mereka berdua bertukar pukulan dalam pertarungan yang sengit. Buan menggunakan kecepatannya untuk mengurangi keefektifan kekuatan Buto Dhegen, sementara Buto Dhegen berusaha untuk menghentikan Buan dengan serangan yang mematikan.

Kevin kehabisan kata-kata melihat pertarungan brutal di depan matanya. Satu pukulan telak dari Buto Dhegen membuatnya hampir mati, tetapi tidak untuk Cakra. Rekannya itu malah tampak kegirangan dan bertukar pukulan dengan Sang Yaksa.

Mungkin, karena Yaksa merupakan iblis yang bergantung pada wadah, lambat laun Buto Dhegen pun merasa kelelahan mengimbangi pergerakan lawannya. Ketika kedua petarung bar-bar itu mencapai batas kelelahan mereka, Buan menemukan celah dalam pertahanan Buto Dhegen. Dengan satu teriakan yang membara, ia melepaskan sebuah pukulan penuh atma yang menghantam perut Buto Dhegen, hingga membuatnya terdorong mundur, terpukul oleh kekuatan yang tidak pernah ia duga akan datang dari seorang manusia.

Hanya saja, yang membuat mata Sang Yaksa terbelalak bukanlah dampak dari pukulan tersebut, melaikan efek sampingnya. Buto Dhegen dan Cakra sama-sama terkapar tak sadarkan diri di tanah setelah serangan barusan.

Saat memberikan serangan terakhir, Buan melepaskan seluruh atmanya dan mengirimkan hadiah pada Buto Dhegen. Mereka bukan hanya sekadar kehilangan sadar, tetapi berpindah medan tempur ke alam bawah sadar wadah Sang Yaksa.

"Apa-apaan ini?" tanya Buto Dhegen yang heran ketika diseret paksa masuk ke dalam alam bawah sadar wadahnya. Ia menatap seseorang yang berdiri tak jauh di depannya. "Siapa kau? Kau orang yang berbeda dengan pria yang barusan ku hadapi. Hawa kalian berbeda."

Seorang pria berwujud Cakra dengan pakaian retro berdiri di hadapan Buto Dhegen, yang saat ini tampil dengan wujud aslinya. Sosok hitam bertubuh besar dengan mata merah menyala dan taring yang tajam diiringi tetesan-tetesan liur dari mulutnya.

Sosok Cakra itu adalah Petang. Petang mengarahkan tangan kanan yang terkepal ke arah Buto Dhegen, lalu memutarnya dan membuka kepalan tangan itu. Sebuah kunci melayang di atas telapak tangan Petang.

"Tu-tubuh itu bu-bukan milik mu, jadi ka-kamu enggak punya kuasa atas ke-kendalinya," ucap Petang gemetar.

Buto Dhegen memicing. "Lantas apa sekarang?"

Dari kegelapan yang berada di belakang Petang, tiga pria lain berjalan keluar dan berdiri sejajar bersama Petang. Wajah mereka semua sama, hanya saja berbeda outfit dan style rambut.

Nameless tersenyum sinis. "Mulai detik ini, kau tidak punya kendali atas tubuh ini lagi. Ini kudeta, kami akan menghabisimu di tempat ini."

Buto Dhegen tidak gentar. Ia mengeluarkan aura membunuh yang sangat pekat lewat teriakannya yang menggelegar dan menggema ke seluruh penjuru alam bawah sadar. Sebagai pimpinan sipir di kerajaan Burisrawa, ia akan bertempur habis-habisan untuk menghabisi Cakra.

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top