47 : Bulan Penuh

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

Tiga hari pun berlalu sejak mimpi Ippo perihal tragedi Mantra. Siang ini pria rambut belah tengah itu tengah bersiap-siap untuk pergi dari Sanggar Matahari.

"Hati-hati kamu," ucap Pak Kani.

Ippo tersenyum. "Makasih buat segala bantuannya, Guru. Nanti, kalo semuanya udah beres kita ngopi bareng lagi di sini."

Pak Kani ikut tersenyum. "Saya tunggu."

Dewastra ikut mengantar Ippo hingga ke halaman depan. "Entuk wengi liyane, Mas Ippo.
(Sampai jumpa lagi, Mas Ippo)

"Nanti kita main lagi ya, Cil," balas Ippo.

Setelah berbincang-bincang, Ippo pun pergi mengendarai motornya. Seperginya Ippo, senyum di wajah Dewastra berubah menjadi seringai yang menampilkan deretan gigi-gigi runcingnya.

"Belum pernah dengar nama Rawantu?" ucapnya sambil terkekeh dengan tatapan meledek ke arah Pak Kani. "Kau tahu, kan? Iblis seperti apa Rawantu itu?"

"Rawantu bukan iblis," jawab Pak Kani.

"Dulu kuwi, nanging saiki dheweke wis setan," balas Dewastra sambil tertawa kecil. "Yen bocah itu mate, piye?"
(Dulu begitu, tapi sekarang dia udah jadi setan) (Kalo bocah itu mati, gimana?)

"Hei, Dursasana." Pak Kani menatap Dewastra dengan sorot mata tegas. "Yang akan Yaksa itu hadapi adalah seorang manusia. Adalah seorang manusia. Sampai sini paham?"

Wajah bocah itu berubah menjadi datar. "Kau terlalu meremehkan kami, bocah Kanigara."

"Justru sebaliknya. Kalian yang terlalu meremehkan kami, Iblis," balas Pak Kani.

Hampir satu jam setengah jam berlalu. Sesampainya Ippo di Kolong Langit, ia melihat kehadiran Surya dan seorang wanita yang tak ia kenali komuknya. Mereka sedang berbincang dengan Bunda Sofia di beranda rumah. Namun, meskipun Ippo tak mengenali wajah wanita itu, tetapi ia mengenali auranya.

Wanita itu mengenakan kaos hitam lengan panjang dengan rok merah panjang. Ekspresi wajahnya tegas dengan alis tebal. Sorot matanya tajam, lengkap dengan bibir yang selalu tertutup rapat. Rambut hitamnya panjang disanggul sehingga membuat leher jenjangnya terlihat menawan.

Ippo meneguk ludah, lalu turun dari motor dan berjalan ke arah mereka bertiga. "Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawab mereka bertiga.

"Ngapain lu ke sini?" tanya Ippo tajam pada Surya.

"Heh! Enggak boleh ketus sama tamu," balas Bunda.

Surya tersenyum. "Santai aja, Bun, enggak apa-apa kok."

"Lu udah ngobrol apa aja sama Bunda?" tanya Ippo.

"Enggak banyak," jawab Surya tersenyum tipis. "Cuma lagi liburan di Jogja dan mampir mau ketemu lu. Sekalian mau ngenalin anggota baru Katarsis."

Ippo memandang wanita itu sejenak, lalu memandang Surya kembali. "Lu enggak lupa sama ucapan gua waktu di telpon, kan?"

"Bunda, boleh minta tolong? Aku mau ngobrol sesuatu sama Ippo," ucap Surya.

"Boleh kok, tapi jangan berantem ya." Bunda bangkit dari duduknya dan berjalan ke dalam rumah.

Kini hanya ada mereka bertiga. Surya menghela napas. "Bunda belum tau apa-apa kok. Gua ke sini juga bukan karena punya maksud terselubung. Intinya kalo lu mau nanganin masalah ini sama internal Mantra ya oke aja, tapi kalo keadaan memburuk, Katarsis yang ambil alih. Yaksa itu bukan mainan."

Ippo menatap kerumunan atma berbentuk manusia yang mengelilingi Kolong Langit. "Jadi ini Gardamewa pengganti gua?"

"Namanya Saraswati," balas Surya.

Ippo menghela napas. "Sorry kalo tiba-tiba tensi, gua takut lu cerita yang enggak-enggak ke Bunda." Ippo duduk di sebelah Surya.

"Santai, aman aja." Surya kini menatap Saras. "Ras, tolong barangnya."

Saras mengambil sebuah kain hitam panjang dan memberikannya pada Ippo. Ippo mengambil benda itu.

"Apaan nih?"

"Buka aja," jawab Surya.

Ippo membuka kain penutupnya. Rupanya benda itu adalah sebuah pedang bergagang putih. Ia pun mengeluarkan pedang itu dari sarungnya. Matanya terbelalak menatap sebuah pedang yang ditempa dengan baja hitam dan memiliki ukiran hanacaraka bertuliskan 'Ngrejeng Iblis'.

"Dari mana lu dapet pedang ini, woy?!" seru Ippo.

"Dharma itu nyimpen banyak pusaka. Sebagian barang itu jarahan dari para pengguna ilmu hitam, dan sebagian lagi merupakan warisan Sepuluh Keluarga Agung yang enggak punya pemilik. Beberapa keluarga kayak Martawangsa, Maheswara, Sagara, dan termasuk Saksana itu tergolong keluarga yang sekarang sulit ditemui, terlebih kebanyakan mereka udah putus hubungan sama masa lalu, yang artinya kebanyakan mereka mungkin enggak tau sejarah marga mereka sendiri. Nah, pedang itu harusnya diturunin ke Reki, tapi karena dia udah enggak ada ... jadi keputusannya pedang itu diturunin ke lu."

"Aaaaaa ... tapi kan gua bukan Saksana, Sur," balas Ippo.

"Enggak ada hubungannya," balas Surya. "Pedang ini yang milih pemiliknya sendiri. Selama dia layak, enggak masalah. Beda sama tombak-tombak Maheswara yang punya ritual tersendiri atau harus punya darah turunan keluarga mereka, pedang tiga jagad ini tempaan keluarga Gandring."

Ippo bangkit dari duduknya, ia berjalan ke halaman dan melakukan sedikit demonstrasi kemampuan berpedangnya. Di sela-sela itu, Saras membuka suara.

"Panyumpah Getih, Pangsa Sukma, Ngerejeng Iblis," katanya. "Kita punya salah satnya, tapi yang dua lagi ada di mana?"
(Penumpah darah, pemangsa jiwa, pembunuh iblis)

"Ngerejeng Iblis itu simbolik Surgawi, pedang yang mampu membunuh iblis. Pangsa Sukma melambangkan Alam Suratma, pedang yang bisa melahap jiwa. Panyumpah Getih, pedang Neraka yang haus darah manusia." Surya menatap Saras. "Kemungkinan dua pedang lagi itu berada di tangan karakteristiknya."

Di tengah percakapan itu, Ippo berjalan kembali ke arah mereka. Surya menatap lengan Ippo. "Gimana?"

"Aaaaa ... gimana ya, yaaa ... biasa aja sih."

"Kalo gitu aman," balas Surya. "Kalo di tangan yang salah, bakal ada efek sampingnya. Kalo gitu tugas gua udah selesai, sekarang gua mau pamit."

"Maaf tadi agak kurang baik sambutan gua, dan makasih buat pedang ini," ucap Ippo.

Surya menepuk pundak Ippo. "Santai, yang penting jangan kalah. Oh iya, dapet salam dari Gandring, katanya jangan rusak tangan kiri lu lagi."

"Ahahaha oke. Ngomong-ngomong dia ke mana?" tanya Ippo.

"Gandring ada urusan katanya, dia enggak bisa dateng buat ngasih sendiri. Makanya gua yang wakilin."

Setelah itu, Surya dan Saras pamit dari Kolong Langit. Mereka berjalan pergi dikawal oleh para pasukan atma. Ippo pun mempersiapkan diri, ia masuk ke kamar dan mengambil sebuah topeng berwarna putih. Setelah bersih-bersih, ia izin pada Bunda untuk bekerja seperti biasa, tetapi malam ini bukan sebagai barista.

Sore itu Cakra duduk tenang di tengah ruang kamar dengan mata terpejam di kelilingi lilin-lilin aroma terapi. Ia berusaha meresapi energi alam, memusatkan diri untuk merasakan getaran spiritual di sekitarnya.

Sementara itu, Ippo sedang berdiri di tengah-tengah ruang kamar Melodi yang kosong dengan jaket parka hitam dan celana kargo berwarna serupa. Ia memandangi setiap sisi dan sudut ruangan tersebut sambil mengendus aroma Melodi yang memudar akibat sudah lama tak dihuni oleh pemiliknya.

"Dulu kamu pernah kehilangan rumah kamu waktu aku pergi jauh ... tapi sekarang aku ada di sini. Enggak ada siapa pun yang bisa ngusik rumah kamu lagi. Yang nantinya nyambut kamu pulang itu adalah senyumku, bukan kehancuran."

Di sisi lain, dari jendela kamar, Kevin menatap bulan purnama yang mulai hadir menggantikan matahari tenggelam.

Saat matahari sirna dari langit dunia di malam keempat, Cakra yang masih bermeditasi membuka matanya dengan sorot mata yang tajam, bertepatan dengan padamnya seluruh lilin di sekitarnya.

"Dia datang," gumam Cakra saat meraskan hawa dingin mencekam yang hadir di Mantra Coffee. Ia bangkit dari duduknya dan berjalan ke luar.

Kevin yang sedari tadi hanya berdiri di kamarnya pun mulai bergerak. Ia keluar dari kamar dan berjalan di belakang Cakra menjuju halaman. Sesampainya mereka berdua di halaman, rupanya Ippo sudah berada di sana.

Dari arah gapura depan, hawa dingin semakin datang menusuk, membuat ketiga manusia itu merinding serempak.

Ippo mulai mengenakan topeng putih milik almarhum Reki dan menggenggam sebilah pedang bersarung putih.

Dari arah depan, siluet pria berjubah pun mulai terlihat. Hanya saja Rawantu tidak sendirian, melainkan bersama tiga sosok lainnya.

Cakra yang berkeringat dingin pun menyenggol Ippo dengan sikunya. "Lu bilang dia sendirian, anying."

Ippo meneguk ludah. "Aaaaa ... mana gua tau kalo temennya nebeng."

"Terus gimana ini?" tanya Cakra lagi.

"A-a-a- ... mau enggak mau ya harus dilayanin. Inget, mereka berempat itu tamu, dan kita barista peracik mautnya. Seduhan utama malem ini darah iblis, jangan sampe ada yang enggak bayar."

Di dataran yang lebih tinggi, tetapi masih tak terlalu jauh jaraknya dari Mantra, Rizwana dan Raksaka berjalan. Mereka menyusuri hutan, sampai berhenti di persimpangan jalur.

"Gua ke kiri," ucap Rizwana dengan senyum khasnya.

Raksaka berjalan ke kanan tanpa kata. Ia berjalan dengan cool tanpa menghiraukan Rizwana. Mereka terus berjalan berlawanan arah sampai kira-kira terbentang jarak sekitar lima ratus meter. Pada satu titik, keduanya berhenti serempak dan memancarkan aura membunuh yang sangat pekat, hingga membuat hewan-hewan berlarian keluar dari hutan.

***

Di tempat yang berbeda, tiga punggawa Mantra yang sedang menjaga istana mereka pun sontak merinding dan menatap ke arah bukit. Burung-burung beterbangan secara tak wajar seolah menjauhi area tersebut.

Sementara itu Sangkala dan Burisrwa saling bertatapan sejenak. Sangkala kini menatap Rawantu sambil menyeringai. "Satu Darah."

"Pergilah, aku urus yang di sini," ucap Rawantu datar. "Selamat bersenang-senang."

Sangkala tiba-tiba menghilang dari pandangan Cakra, Kevin, dan Ippo.

Burisrawa pun menepuk pundak Buto Dhegen. "Si penunggang Kencana Cakra Langit itu ada di sana. Kau urus saja si rambut abu-abu itu di sini."

Buto Dhegen menatap Cakra sambil mengangguk. "Saya pastikan manusia-manusia yang terlibat penyerangan di istana kita mati."

"Bagus."

Burisrawa pun menghilang tanpa jejak. Dari gelagatnya, ia mengincar Rizwana yang sudah membawa kabur tahanan dan calon mempelainya.

Ippo menatap tajam ke arah Rawantu. "Paling enggak sekarang cuma ada dua. Kayaknya si gede itu ada urusan sama lu, jadi tolong lu pegangin. Biar gua yang urus Rawantu."

Masing-masing mereka berjalan perlahan ke arah lawannya. Pertempuran melawan para Yaksa pun dimulai.

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top