46 : Ensiklopedia Iblis
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
Setelah selesai sarapan dan mandi, Ippo segera menuju Sanggar untuk menemui Pak Kani lagi. Hanya saja, kali ini ia agak menggerutu.
"Ya elah, harus banget pake baju-baju begini nih?" gumamnya bermonolog.
Pak Kani menitipkan pesan padanya untuk menggunakan pakaian yang ada di rumah ini, dan Ippo pun kini mengenakan kain jarik berwarna putih yang melingkari pinggangnya sebagai bawahan. Motif klasik pada kain jarik itu memberi sentuhan tradisional yang elegan. Di bagian atas, ia mengenakan kemeja berwarna putih netral, sehingga memberikan keseimbangan dengan warna kain jarik yang ia kenakan.
Sesampainya Ippo di Sanggar, rupanya Pak Kani tidak sendirian. Ada seorang anak kecil yang duduk menemaninya.
"Siapa itu, Pak?" tanya Ippo.
"Satu-satunya penghuni di sini, selain saya. Namanya Dewastra," jawab Pak Kani.
"Deva berarti Dewa dan Astra artinya senjata," sahut anak itu. "Dewastra bermakna senjata dewa."
"Woh! Keren banget tuh nama," balas Ippo.
Ippo duduk di depan mereka berdua. Namun, saat Ippo duduk, Dewastra malah bangun dan beranjak pergi meninggalkan Sanggar.
"Mau ke mana tuh bocah?" kata Ippo sambil kepalanya menoleh mengikuti arah tubuh Dewastra pergi.
"Biasa, paling main ke luar," jawab Pak Kani. Raut wajahnya tiba-tiba berubah serius. "Jadi perihal Yaksa, kamu tahu siapa yang pernah kamu hadapi?"
Ippo mengangguk. "Namanya Sangkala."
"Sangkala, salah satu iblis yang cukup berbahaya. Dia bisa mengendalikan bayangan, menciptakan ilusi, dan memanipulasi waktu dalam wilayah tertentu. Kekuatannya agak merepotkan, terutama mantra genta bayangan."
Ippo tekejut saat tahu bahwa Pak Kani ini paham betul seluk-beluk tentang Sangkala. "Ba-bapak udah pernah ketemu atau ngelawan Sangkala?"
"Guru," balas Pak Kani. "Panggil saya guru."
"O-oke, Pak guru."
"Guru. Enggak pake pak," tegas Pak Kani.
"Oke guru," balas Ippo.
Pak Kani bangkit dan berjalan ke rak buku di ujung sanggar. Ia mengambil sebuah buku dan memberikannya pada Ippo. Buku itu memiliki tulisan hanacaraka di sampulnya.
"Ashura Veda ... buku apa ini, guru?" tanya Ippo.
"Ensiklopedia Iblis," jawab Pak Kani. "Jurnal berisi macam-macam dedemit."
Ippo membuka buku itu dan menatap setiap detail deskripsi perihal iblis yang tertulis di dalam jurnal Pak Kani. Ia menemukan nama Sangkala di antara beberapa nama iblis. Hanya saja Ippo tak menemukan nama Rawantu di sana.
"Guru pernah tau atau denger nama Rawantu?"
Pak Kani mengerutkan kening sambil mencoba mengingat memori lalu. "Belum pernah dengar. Kenapa?"
"Waktu itu Sangkala enggak sendiri, dia berdua sama Iblis bernama Rawantu," balas Ippo. "Masalahnya, dalam waktu dekat ini yang kemungkinan jadi masalah itu Rawantu."
"Terus persiapan kamu apa buat menghadapi Rawantu itu?" tanya Pak Kani.
"Aaaaaaaa ... itu saya masih bingung, makanya saya ke sini mau minta diajarin sesuatu. Terlebih, saya punya insting kuat kalo Pak Kani tau sesuatu tentang Iblis atau Yaksa."
"Selama kamu hafal isi di dalam buku yang kamu baca semalam, kedepannya kamu punya dasar buat lawan mereka."
"Tapi saya ...." Ucapan Ippo berhenti saat Pak Kani memotong.
"Enggak bisa gunain atma lagi?"
Ippo memicing. "Kok tau?"
"Saya itu dari kecil ngurusin kamu dan anak-anak Kolong Langit yang lain. Sebelum di sana, kalian semua ini anak-anak penghuni Sanggar Matahari. Kamu itu keturunan Gardamewa, tapi yang saya rasakan saat ini kamu enggak punya atma, atau lebih tepatnya lagi kamu nutup aliran atma ke titik-titik cakra. Wajar saya tau, karena saya dan Sofia itu memang punya kelebihan."
Wajah Ippo terlihat murung. "Karena itu ... saya merasa cacat. Gardamewa yang enggak bisa ngendaliin atma itu ... apa ya ... enggak berdaya. Dan sekarang, saya sedang merasa enggak percaya diri."
"Masih ada satu setengah hari," balas Pak Kani. "Bukan cuma atma yang bisa ngasih kerusakan ke makhluk-makhluk itu. Ada cara lain buat kita, manusia, untuk menghancurkan mereka."
Ippo memicing. "Tanpa atma? Terus pake apa? Pusaka?"
Pak Kani tersenyum, lalu bangun dari duduknya. "Ayo, bangun. Saya ajarkan maksud dari buku yang kamu baca dan hafalkan semalam itu. Tanpa atma dan pusaka pun, kita bisa membunuh mereka. Sebab kita adalah senjata itu sendiri. Kita makhluk yang lebih sempurna."
Ippo berjalan di belakang Pak Kani. Mereka berjalan menyusuri lanjutan lorong, sampai pada sebuah ruangan dengan pintu yang memiliki banyak huruf-huruf hanacaraka. Pintu tersebut memiliki tujuh gembok besi, dan setiap besinya pun ditempeli kertas bertuliskan huruf Jawa kuno.
Aura yang tak menyenangkan membuat Ippo meneguk ludah. "Ru-ruangan apa ini, Guru?"
Pak Kani mengambil kunci dan membuka satu per satu gembok di pintu. "Kamu bisa ngerasain auranya?"
"Ada apa di dalam sana, Guru?" tanya Ippo dengan keringat dingin.
Pintu tersebut kini terbuka dengan sedikit dorongan. Angin kencang menerjang keluar ruangan itu hinga membuat rambut Ippo menari-nari, seirama dengan merindingnya seluruh tubuh.
Pak Kani menoleh ke belakang. "Kalau kamu ragu, kamu boleh mundur. Setiap pertanyaan yang keluar dari mulut kamu adalah tanda keraguan. Kalau memang mau jadi murid saya, ikuti apa yang saya perintah tanpa bertanya, paham? Kita tidak sedang bermain-main, kalau kamu ragu silakan pergi. Saya takut Sofia marah karena kematian kamu nantinya."
Ippo mengepalkan tangan dan mempertagas tatapannya. "Saya enggak akan mundur."
"Kalau begitu, ayo masuk." Pak Kani berjalan masuk ke ruangan gelap itu diikuti Ippo.
Waktu bergulir. Di sisi lain, Cakra sedang duduk bersama salah satu alternya di alam bawah sadarnya sendiri. Mereka berdua diam sambil memandangi bulan hitam di atas langit. Dua cangkir kopi menemani suasana yang syahdu itu.
"Udah lama kita enggak ngobrol berdua gini," ucap Cakra.
"Aku sudah berusaha menyembunyikan keberadaan, tapi semakin aku bersembunyi, kenapa malah dicari?" tanya Nameless.
Cakra menghela napas. "Petang itu penakut, Buan itu terlalu berani. Enggak ada yang lebih cocok buat nyari solusi daripada lu. Meskipun lu itu licik, enggak terprediksi, dan agak jahat, tapi di satu sisi yaaaa ... sekarang cuma lu yang bisa gua andelin."
Nameless menghela napas. "Aku punya rencana, tapi harganya terlalu besar."
"Yaa ... apa pun itu yang penting bisa ngelindungin Mantra Coffee sih udah cukup," balas Cakra. "Apa rencananya?"
Nameless menyeringai. "Sekarang masih rahasia. Nanti kalau ada kesempatan, rencana itu baru bisa dijalankan, karena enggak sembarangan bisa dipake. Ada situasi dan kondisinya."
"Apa?" tanya Cakra.
"Ketika musuh kehabisan tenaga."
"Kalo gitu sebisa mungkin, gua sama yang lain bakal buatin celah itu biar rencana lu bisa berjalan."
Nameless bangkit dari duduknya, ia sama sekali tidak menyeruput kopi yang dibuat dengan imajinasi Cakra. "Kalau begitu, sampai berjumpa lagi di medan tempur." Ia berjalan dan menghilang di antara sisi gelap Cakra.
Begitu alter tersebut pergi, Cakra kembali tersadar. Ia membuka mata dan menatap ke arah Kevin yang sedang berdiri memandang keluar jendela.
"Sebentar lagi purnama," tutur Kevin.
"Ya, kita harus siap-siap," balas Cakra. Ia bangkit dari duduknya dan hendak berjalan keluar kamar.
"Mau ke mana?" tanya Kevin.
"Perkuat pelindung astral di sekitar Mantra," jawab Cakra. "Mau ikut?"
"Boleh."
Saat berjalan menuju halaman depan bersama Cakra, Kevin merasa ada sesuatu yang mengganjal. Cakra pun menyadari raut wajah Kevin dan bertanya. "Lagi mikirin apaan?"
"Seharusnya keadaan di Mantra Coffee itu ramai," kata Kevin. "Tapi sekarang sepi."
"Wajar, kan? Kita ngelakuin tindakan preventif."
"Tapi sejak Ippo cerita tentang pengelihatannya, dan sejak kita mutusin buat tutup sementara ... takdir berubah, kan? Kalo di sisi kita ada yang berbeda, enggak menutup kemungkinan juga kalo musuh kita berubah."
"Masuk akal sih, tapi apa pun itu kan tetep aja mengancam kita dan apa pun pilihannya selalu maksa kita buat ngelawan. Jadi berubah atau pun sama, enggak ada bedanya, Vin. Cepat atau lambat, semua bertemu pada satu titik yang sama," balas Cakra. "Siap enggak siap, kita harus kasih yang terbaik."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top