45 : Sanggar Matahari
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
Motor yang dikendarai Ippo terus melaju berliku-liku melewati transisi dari gedung modern ke pepohonan tinggi, terus mengikuti alur jalan hingga pada satu titik ia berbelok dan tiba di sebuah lokasi asri dengan nuansa tradisional.
Ippo turun dari motor dan menatap sebuah bangunan tua. Ia mengeluarkan secarik kertas dari dalam kantung jaket dan membaca alamat yang tertulis di dinding depan bangunan tersebut bergantian dengan kertas yang ia bawa sebagai petunjuk jalan.
Bangunan itu terlihat tradisional dengan warna dinding yang sudah memudar seiring berjalannya waktu. Terdapat jendela besar yang terbuat dari kayu tua, tetapi masih terlihat bagus karena dirawat. Pintu besar di depan pun terbuka lebar, tetapi tak terlihat seorang pun di tempat ini.
"Permisi," ucap Ippo dengan suara agak keras, tetapi tak ada seorang pun yang keluar dari bangunan itu sampai beberapa menit. "Assalamualaikum, permisi."
Karena tak ada jawaban setelah memanggil beberapa kali, Ippo berinisiatif untuk masuk ke dalam mencari pemilik rumah tersebut. Lantai kayu berderit saat Ippo memasuki pintu. Ia disambut oleh pernak-pernik kuno yang menjadi hiasan dan juga furnitur utama di dalam bangunan.
Ippo berjalan di dalam rumah besar itu hingga menemukan lorong di dalamnya, ia celingak-celinguk, lalu berjalan melewati lorong tersebut hingga kedua langkah kaki pemuda itu menuntunnya ke halaman belakang.
Di halaman belakang, ada sebuah sanggar tua yang diapit pepohonan rimbun. Bangunan sanggar itu terbuat dari kayu yang lebih baru daripada bangunan utama, tetapi tak mengurangi nuansa tradisionalnya. Di sekeliling sanggar terdapat taman dengan tanaman hias dan batu-batu besar yang disusun secara artistik.
"Sanggar Matahari," ucap Ippo saat menatap ukiran yang tertulis di atas pintu bagian depan.
"Cahaya adalah kuasa yang memunculkan rahasia seni. Seperti matahari yang menerangi dunia, seni juga memancarkan kejujuran dan keindahan yang tersembunyi di dalam diri kita," sahut seorang pria berkemeja putih dengan kain jarik putih bermotif hitam, rambutnya panjang disanggul seperti seorang bangsawan. Pria itu merupakan pria yang semalam Ippo lihat di album foto milik Bunda. "Itu makna dari nama sanggar ini."
Ippo terdiam menatap pria itu, ia tak menyadari kehadirannya. "Ma-maaf saya masuk seenak jidat. Aaaaaaa ... saya udah permisi-permisi, tapi enggak ada yang nyaut, jadi saya masuk karena pintunya terbuka."
"Tidak semua yang terbuka bisa dimasuki seenak jidat" balas pria itu. "Hutan di belakang sanggar ini misalnya."
Kedua mata Ippo berkedut saat mendengar perkataan pria itu. "Jadi bapak sudah tau siapa saya?"
"Ada perlu apa datang ke sini?" tanyanya lagi tak menjawab pertanyaan Ippo.
"Yaksa," ucap Ippo. Mendengar kata Yaksa membuat mata pria itu memicing. "Saya berurusan dengan Yaksa beberapa hari lalu, dan dalam waktu dekat ini kelihatannya akan ada benturan kedua. Selang kekalahan pertama, samar-samar ingatan masa kecil saya kembali, tapi pemicu utamanya adalah foto bapak yang ada di dalam album foto Bunda Sofia."
"Sebaiknya kamu pergi, di sini tidak ada jawaban yang kamu cari."
"Justru karena saya yakin jawaban itu ada di sini, saya datang ke tempat ini," ucap Ippo. "Iblis hitam yang muncul dalam ingatan saya, bapak pasti tahu sesuatu, kan?"
"Iblis ... memangnya kamu ini apa, hah? Pemburu?"
Ippo menggeleng. "Saya hanya manusia biasa, Pak."
"Manusia biasa bukan tandingan Yaksa. Saran saya kamu lari saja, jangan berurusan dengan apa yang sudah jelas lebih kuat dari diri kamu sendiri. Baik fisik dan mental, kamu sudah patah."
Ippo memasang wajah serius, ia berjalan hingga berada di hadapan pria itu. "Saya tau saya lemah, saya tau saya enggak punya apa-apa, dan udah rusak. Tapi makhluk itu mau ngerebut rumah orang yang penting buat saya. Saya enggak bisa biarin mereka ngerebut tempat pulang orang yang saya suka. Saya enggak mau liat orang yang saya suka sedih lagi, jadi apa pun akan saya lakukan untuk bisa melindungi tempat itu. Mungkin bagi bapak, itu hal kecil, tapi bagi saya dan orang-orang yang tinggal di sana, itu lebih dari sekadar bangunan."
"Tempat yang berharga, ya?" Pria itu diam sejenak seperti sedang mengenang sesuatu. Ia mengambil sebatang cerutu dari dalam kemejanya. Setelah membakar ujungnya, ia berjalan pergi meninggalkan Ippo seorang diri tanpa kata-kata.
Merasa mendapat penolakan, Ippo memasang senyum lesu. Ia berjalan lemas tanpa kata menuju halaman depan melewati lorong di dalam rumah. Saat melewati ruang tengah dan hendak menuju pintu, tiba-tiba pria tadi keluar dari salah satu ruang kamar di dalam bangunan utama.
"Mau ke mana?"
Ippo menoleh ke arahnya. "Pulang."
Pria itu mempersilakan Ippo untuk pergi. "Kalau mau pulang silakan, tapi kalau mau di sini juga boleh."
Ippo memicing. "Maksudnya?"
Pria itu meletakkan sebuah buku hitam tua yang terlihat usang di atas meja. "Kalau kamu mau tetap di sini, mungkin apa yang mau kamu jaga bisa terlindungi, mungkin. Tapi kalau mau di sini ada syaratnya. Hafalkan buku ini dalam waktu satu malam. Tapi kalau kamu enggak sanggup jangan maksain diri, pintu keluar ada di sebelah sana."
Ippo berjalan menghampiri pria itu dan menatap buku usang di atas meja. "Saya izin lihat."
"Monggo."
Ippo membuka buku itu dan memicing menatap tulisan jawa kuno dengan huruf hanacaraka. Ia bisa membaca huruf-huruf itu, tetapi memerlukan 120% kerja otaknya. Wajar, meskipun sedari kecil ia tinggal di Jogja dan bisa berbahasa Jawa, tetapi untuk aksara jawa ia kurang piawai.
"Bisa?" tanya pria itu dengan nada menantang.
Ippo meneguk ludah, awalnya ia ragu, tetapi saat senyum Melodi terlintas dalam pikirannya, Ippo memberanikan diri menatap pria itu dengan sorot yang yang tajam. "Bisa."
"Kalau begitu besok subuh temui saya lagi di Sanggar." Pria itu berjalan pergi meninggalkan Ippo seorang diri di ruang tengah.
Ippo pun segera mempelajari huruf-huruf hanacara lagi seperti waktu masih sekolah dahulu. Untuk menghafal buku itu tentunya ada dua cara, yaitu dengan mengorbankan banyak waktu atau mengorbankan banyak usaha. Dan saat ini hanya cara kedua yang bisa ia andalkan, karena sudah tidak banyak waktu yang tersisa sampai bulan purnama. Sepertinya malam masih terlalu panjang untuk ia habiskan bersama buku usang tersebut.
Di tempat dan waktu yang berbeda, Kevin berdiri dengan belati yang mengkilat di tangannya. Saat angin malam berbisik, Kevin memulai gerakannya menyayat angin malam dengan gerakan berirama. Ia berputar dan meliuk-luk di antara bayang-bayang pepohonan di halaman belakang Mantra. Setiap gerakan belati membentuk serangkaian serangan yang mematikan, sambil membayangkan lawan dari imajinasinya.
Kevin mempercepat ritme gerakannya. Sampai pada satu titik, ia melemparkan belati ke udara, kemudian menangkapnya kembali dan langsung menyambar ke bawah. Selain mempertajam keterampilan bertarungnya, rupanya Kevin juga melatih fokus, kecepatan, stamina dan keseimbangannya.
Setelah tiga puluh menit ia bertarung melawan angin, kini Kevin diam sambil mengatur napas. Ia berusaha mengalirkan atma ke belatinya. Karena lawannya Yaksa, Kevin pun harus menempa senjata tempurnya ke betuk badama agar bisa memberikan luka.
Sementara kevin sibuk berlatih di halaman belakang, Cakra justru melatih dirinya di dalam ruangan. Saat ini ia sedang duduk bersila di tengah ruangan yang tenang, dengan kedua mata terpejam. Napasnya seirama dengan laju atma yanga mengalir dengan lembut ke setiap titik cakra dalam tubuhnya. Di tengah kesunyian malam, Cakra memasuki alam bawah sadarnya sendiri, dan membuka pintu menuju dunia mimpi.
Cakra membayangkan tempat yang abstrak, penuh dengan kegelapan dan kengerian. Sosok iblis muncul dari balik kegelapan dengan aura membunuh yang sangat pekat. Caranya mungkin mirip seperti Kevin, tetapi Cakra mampu membuat lawan dengan wujud nyata dalam imajinasinya sendiri. Ia melakukan simulasi pertarungan melawan sosok yang ia buat dan perintahkan agar lebih kuat dari dirinya sendiri.
Daripada latihan fisik, Cakra lebih fokus mempertajam kemampuan spiritualnya. Ia menganalisa setiap pergerakan dan celah-celah kelemahan dirinya untuk diperbaiki. Selain itu, Cakra juga berusaha keluar dari situasi yang tidak menguntungkannya dan belajar membuat peluang dari setiap pergerakan di medan tempur.
Waktu terus bergulir, ketika selesai menunaikan shalat subuh, Ippo berjalan menemui Pak Kani di Sanggar. Pria itu sedang duduk sambil menyeruput kopi hitam yang masih panas. Ippo memberikan buku tua itu pada pemiliknya.
"Sudah mau pulang?" tanya Pak Kani.
Ippo menatapnya dengan mata hitam berkantung. Ia menggumamkan sesuatu yang membuat Pak Kani menyeringai dan terkekeh tipis.
"Istirahat dulu sana, nanti bangun tidur sarapan dulu, terus kita lanjut. Persiapkan diri kamu," ucap Pak Kani.
Belum sempat Ippo menjawab, tubuhnya tumbang dan terkapar di lantaia kayu Sanggar. Ia mendengkur dan terlihat sangat kelelahan.
Pak Kani tersenyum, ia menggendong Ippo di pundak, lalu membawanya ke salah satu kamar di dalam rumah dan membiarkan pemuda itu beristirahat sejenak.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top