44 : Pengintip Mimpi

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

"Evakuasi, Vin!" teriak Cakra, sementara dirinya sibuk memadamkan api yang berkobar membakar Mantra dengan ember berisi air.

Belasan ember berisi air berjejer di sekitarnya. Dari arah depan, Kevin berlari keluar dari pintu kafe yang sudah berkobar api sambil menggendong seorang gadis kecil dan menurunkannya di depan ibunya yang sedang menangis di halaman depan bersama pelanggan lainnya. Setelah itu Kevin langsung mengambil air, membantu warga untuk memadamkan api.

"A-apa-apaan nih?" ujar Ippo dengan mata terbelalak menatap pemandangan Mantra Coffee yang dilahap kobaran api. Titik pandangnya berhenti saat menangkap kehadiran seseorang berjubah hitam yang berdiri di atap Mantra, menatap tajam ke arahnya juga. Cahaya purnama membuat wujudnya jelas. "Rawantu ...," lirih Ippo.

Rawantu menunjuk ke arah kerumunan manusia. Ia menyerap kegelapan dan menembakan api hitam ke arah para warga dari energi yang ia serap.

Ippo berlari, berusaha mementahkan serangan Rawantu. "JANGAAAN!"

Tiba-tiba Ippo terbangun dari tidur dengan napas terengah-engah. Keringat dingin membanjiri tubuhnya.

"Mimpi?" gumamnya bermonolog sambil mengatur napas kembali.

Selain memiliki kemampuan kendali atma yang tinggi sebagai Gardamewa, Ippo juga memiliki sebuah berkat berupa precognition dream, yang mana meskipun sangat jarang, tetapi ia mampu melihat kepingan masa depan lewat mimpinya, seperti kematian Reki. Hanya saja, mimpi itu terlalu mentah dan samar, sehingga sering kali Ippo dibuat kerepotan karena harus memecahkan teka-teki takdir untuk menghindari takdir buruk yang ada di depannya. Atau mungkin ia tak sadar jika mimpi itu adalah sebuah pesan dari masa depan.

"Bangsat! Enggak ada petunjuk," gerutunya memukul kasur. Namun, pada satu titik matanya membulat saat menyadari bahwa sebenarnya ada satu petunjuk yang tertinggal. "Purnama ...."

Ippo langsung bangun dari tempat tidur dan berjalan cepat ke jendela menatap langit malam. Kini tatapannya tajam menyorot bulan paruh awal di langit. Yang ia ingat hanya ... Rawantu berdiri di bawah bulan purnama.

Dengan wajah serius penuh konsentrasi, Ippo mulai menghitung bulan dengan ilmu astronomi dasar.

"Rata-rata periode perubahan fase bulan itu sekitar 29 hari. Minggu pertama udah lewat, artinya fase bulan lagi transisi dari kuartal awal ke bulan cembung. Dari bulan cembung ke purnama itu mungkin intervalsnya sekitar tiga hari, jadi kalo ditarik estimasi dari malem ini ke bulan purnama itu kurang dari seminggu, mungkin masih ada waktu sekitar empat sampe lima hari," gumam Ippo bermonolog.

Ippo berjalan kembali ke tempat tidurnya lalu duduk di tepi kasur. Tiba-tiba pintu kamar terbuka dan ruangan mendadak terang karena lampu kamar dinyalakan. Ippo sontak menatap ke arah pintu.

"Belum tidur kamu?" tanya bunda.

"Tadi kebangun. Ini mau tidur lagi. Kenapa, Bun?"

Bunda terlihat gelisah. "Entah, bunda tiba-tiba aja khawatir. Kamu enggak lagi terlibat sesuatu yang berbahaya kayak dulu kan?"

Ippo tersenyum.  "Enggak ada yang perlu dikhawatirin kok, Bun, Riffo enggak kenapa-napa."

"Ya udah, kalo gitu lanjut tidur deh," kata Bunda. "Istirahat yang cukup."

"Selamat malem, Bunda," tutur Ippo lembut.

"Malam," balas Bunda mematikan lampu kamar Ippo dan menutup pintu.

Ippo berbaring dan memejamkan mata untuk tidur kembali.

Keesokan malamnya, selesai shift dan menunggu semua pelanggan Mantra Coffee pergi, Ippo menghampiri Cakra yang sedang merapikan meja dan kursi. Di dalam kafe juga ada Kevin yang sedang membersihkan mesin-mesin kopi. Malam ini hanya ada mereka bertiga.

"Gaes, ada yang mau gua omongin," ucap Ippo tanpa raut bercandanya.

Cakra dan Kevin sekilas saling lirik, lalu menatap Ippo bersamaan. "Kenapa, Po?" tanya Cakra.

"Soal Yaksa ...," Ippo agak ragu untuk menceritakan mimpinya, tetapi ia takut jika mimpi itu memanglah wujud dari takdir yang akan datang. "Dalam waktu kurang dari seminggu, kemungkinan mereka bakal nyerang lagi ke sini."

"Kemungkinan?" tanya Cakra.

"Ippo punya pengelihatan mimpi," sahut Kevin dengan suara berat yang terdengar datar. "Meskipun cuma kemungkinan, tapi bisa 99% akurat."

"Hmmm ...." Cakra tampak sedang berpikir. "Tapi seenggaknya kita punya Satu Darah di pihak kita. Mungkin keadaannya bakal beda dari sebelumnya."

"Masalahnya itu, mereka ngincer Satu Darah. Jadi sebetulnya, kemungkinan besar kenapa mereka itu balik ke sini karena mau cari Rizwana sama Raksaka," balas Ippo. "Ngomong-ngomong ke mana tuh dua kambing? Sejak insiden terakhir belum pernah nongol."

"Raksaka enggak bisa dihubungi," kata Kevin.

Seharusnya malam ini adalah jadwal shift Saka, bukan Kevin. Hanya saja sudah hampir tiga hari pria itu tiba-tiba menghilang dan tak bisa dihubungi.

"Oke, gua coba kontak Rizwana. Kita perlu urgent meeting buat menyambut para iblis." Cakra mengambil ponsel dan menghubungi Rizwana. Sialnya, seperti Saka, ia pun tak bisa dihubungi. "Enggak diangkat juga."

"Coba telpon lagi," kata Ippo.

Cakra dan Kevin mencoba menghubungi mereka berdua. Namun, sudah lebih dari lima kali panggilan di udarakan, tak ada respons dari kedua Satu Darah itu.

"Di mimpi lu, ada sosok mereka berdua?" tanya Cakra.

Ippo menggeleng sebagai jawaban.

"Kemungkinan buruknya, mereka berdua udah ...." Belum selesai Cakra bicara, tiba-tiba Ippo memotong.

"Mereka enggak mungkin tumbang. Malam itu, di pengelihatan gua Sangkala enggak ada, jadi spekulasinya ada medan perang lain. Rawantu cuma sendiri, kita bertiga, kita punya kesempatan," celetuk Ippo. "Kemungkinan besar, lima hari lagi purnama, Cak. Saran gua, pegawai-pegawai lemah diliburin aja, terus kayaknya kita harus tutup Mantra buat sementara waktu."

"Sepakat," balas Cakra. Ia kini menatpa ke arah Kevin. "Vin, tolong bikinin postingan di sosial media kalo mulai besok kita tutup dulu. Kalo Harits, Deva, Nada atau Melodi nanya, bilang aja apa kek, jangan kasih tau detail masalah di sini dulu, biarin anak-anak yang di luar fokus KKN."

Kevin mengangguk sebagai jawaban.

"Persiapan kita sekitar tiga hari, karena lima hari itu cuma estimasi aja. Sebetulnya bisa lebih, bisa kurang. Seumpama purnama dateng lebih cepet, kita harus udah siap," ucap Ippo. "Lawan kita Yaksa."

"Kalo gitu gua butuh bantuan mantan nomor tiga Katarsis buat latihan tiga hari ini," tutur Kevin pada Ippo.

Ippo tersenyum. "Tapi kayaknya gua ada agenda lain, Vin, maaf enggak bisa nemenin lu latihan."

Kevin terdiam dengan wajah datar, entah bagaimana perasaan pemuda itu, Ippo tak bisa menerkanya.

"Oh, ok," balas Kevin.

"Aaaaa ... gomen, gomen."

"Oh iya, Po, Rawantu itu tipe iblis kayak apa? Lu udah pernah ketemu dan ngerasain langsung kan gimana lawan dia?" tanya Cakra.

Ippo menggeleng. "Sebetulnya gua satu lawan satu sama Sangkala, jadi enggak banyak tau tentang kemampuan Rawantu, tapi dari sifatnya kayaknya Sangkala itu levelnya di atas Rawantu."

"Buktinya ada? Syukur-syukur kalo Rawantu lebih lemah," tanya Cakra.

"Insting aja, tapi meskipun Rawantu lebih lemah dari Sangkala, tetep enggak bisa diremehin."

"Ya udah, kalo gitu kita buruan beres-beres deh terus istirahat. Besok udah mulai siap-siap," ucap Cakra.

Ippo segera membantu Cakra membersihkan meja dan kursi, sementara Kevin mengurus dapur. Setelah selesai membenahi Mantra, Cakra langsung menghubungi Johana dan Maya untuk info libur sementara waktu.

Malam ini Ippo pulang dengan perasaan dan pikiran yang tak bisa digambarkan. Begitu pintu rumah dibuka, Bunda Sofia duduk di ruang tengah memandang ke arahnya.

"Loh, bunda belum tidur?" tanya Ippo.

Bunda tersenyum. "Lagi nunggu kamu, Bunda kangen."

Ippo terkekeh. "Riffo kan udah pulang, udah enggak akan pergi jauh lagi kok." Ia kemudian menatap sebuah buku yang sedang ditatap oleh bunda. "Lagi baca apa, Bun?"

"Oh, ini. Ini album foto lama. Bunda lagi kangen sama semua anak-anak bunda yang masih di sini sama yang udah enggak di sini, jadi bunda liatin deh foto-foto mereka."

Ippo mendekat dan ikut memandangi setiap gambar di dalam foto. "Wah ada si Reki. Dari kecil mukanya gitu, datar."

"Kamu kecilnya pemalu, sekarang udah gede petakilan!" balas Bunda.

Ippo dan Bunda tertawa bersama, hingga pada satu titik, Ippo memicing menatap gambar seorang pria paruh baya yang tak asing dalam ingatannya. Usianya tak setua para sesepuh Mantra, mungkin sedikit lebih muda dari Abimanyu.

"Ini siapa, Bun?" tanya Ippo yang merasa familiar, tetapi tak bisa mengingat siapa itu.

"Masa kamu lupa?" tanya Bunda. "Dulu sebelum kita semua pindah ke sini waktu kamu masih kecil, kita itu sempet tinggal di daerah Gunung Kidul. Beliau ini yang bantu kita pindah ke sini dan bangun Kolong Langit."

Ippo tak pernah ingat bahwa ia pernah tinggal di tempat lain, tetapi ingatannya tak bisa berbohong bahwa jauh di dalam memorinya, ada kenangan yang terkunci rapat di dalam kotak. Perlahan kepalanya mulai pusing dan terasa sakit.

"Kamu kenapa, Nak?" tanya Bunda Sofia yang menyadari gelagat aneh Ippo.

Ippo berusaha menyembunyikan sakit kepalanya. "Bun, Riffo boleh minta alamat bapak itu?"

Bunda memicing dan menunjuk foto pria yang Ippo maksud. "Yang ini?"

Ippo mengangguk. "Iya, boleh?"

"Mau ngapain nyariin dia?"

Sakit kepala Ippo semakin menjadi-jadi, dalam ingatannya terbayang seringai dari sesosok iblis hitam yang belum pernah ia lihat.

"Anak ini milikku, aku akan membawanya pergi."

"Tidak, dunia mu berbeda dengannya."

"Dia sudah melanggar batas wilayah perjanjian kita, dan sekarang dia milikku."

"Dia bukan milik siapa-siapa, lepaskan dia atau aku akan membunuhmu, iblis jahanam."

Kesadaran Ippo kembali. Ia terbelalak memegangi kepalanya dengan napas terengah-engah.

"Riffo, kamu kenapa? Mau bunda buatin teh?"

Ippo menggeleng sambil mengatur ulang napasnya. "Bun, waktu aku kecil, apa pernah aku lupa ingatan?" tanya Ippo.

Bunda berusaha mengingatnya. "Bunda enggak yakin, tapi waktu kecil kamu pernah hilang di hutan, terus ...." Bunda Sofia terdiam sejenak.

"Terus?" tanya Ippo.

"Terus kalo enggak salah inget ... Pak Kani yang nemuin kamu dalam kondisi enggak sadar di dalam hutan. Waktu itu kamu enggak sadar lama banget, ada mungkin tiga hari," lanjut Bunda.

"Pak Kani?" tanya Ippo.

"Iya, cowok yang kamu tunjuk tadi. Dia kepala yayasan sebelum Bunda. Waktu panti pindah ke sini, dia enggak mau ikut dan mutusin tetep di Sanggar Matahari, Gunung Kidul."

"Sanggar Matahari? Aku minta alamat lengkapnya ya, Bun."

"Emangnya ada apa sih? Bunda jadi penasaran."

"Enggak ada apa-apa, cuma mau mastiin sesuatu aja. Bukan hal yang penting, tapi agak ngeganjel rasanya."

Bunda menghela napas, lalu merobek kertas dan menuliskan sebuah alamat di atasnya dengan pena biru.

"Kalo ada apa-apa cerita sama Bunda ya, Nak, Bunda khawatir sama kamu."

Ippo mengambil kertas itu sambil tersenyum. "Kalo sekarang, aku bingung harus cerita apa dan mulai dari mana, tapi nanti kalo udah waktunya, aku bakal cerita segalanya yang belum bisa aku ceritain sekarang kok, Bun."

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top