43 : Yaksa

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

Cakra dan Kevin berjalan di koridor rumah sakit. Selepas kelas hari ini, mereka bertemu di kampus setelah mendengar kabar Ippo dari Maya. Bunyi langkah kaki mereka memantul di lantai marmer hingga berhenti di depan pintu sebuah ruangan.

"Ini bukan ruangan pasien kan, Vin?" tanya Cakra.

Kevin menggeleng pelan sebagai jawaban, lalu ia mengetuk pintu. Tak butuh waktu lama, pintu terbuka dan menampilkan seorang pria yang tak asing.

"Oh, Kevin sama anaknya Fajar, masuk aja," ucap dokter dengan name tag yang tertulis Abimanyu Martawangsa.

Kevin dan Cakra masuk ke dalam ruangan itu, terlihat Ippo yang sedang duduk di samping seorang Taruna Gandring. Saat ini Gandring sedang memasang tangan palsu Ippo kembali.

"Pin, Cak," sapa Ippo.

"Gimana kondisi lu?" tanya Cakra.

Kevin memberikan jempolnya. "Aman aja."

Ekspresi pria itu tak seperti waktu dihabisi Sangkala dan Rawantu, kini ia terlihat sudah ceria kembali.

Selesai Gandring memasang tangan baja itu di lengan kiri Ippo, ia mengukir mantra dengan sebuah keris kecil.

"Itu diapain?" tanya Cakra.

Gandring hanya diam tanpa komentar.

"Gua kan udah enggak bisa lagi ngalirin atma, jadi seenggaknya tangan ini dirancang biar bisa menghantar energi positif. Bisa dibilang, ini tuh senjata rahasia," jawab Ippo.

"Dah, beres." Gandring menepak bahu Ippo. "Jangan diancurin lagi, ini stok terakhir. Inget Po, model Jatiwara ini harganya enggak main-main. Tangan kecil begini senilai sama satu kendaraan tempur gede."

"Aaaaaaa ... oke, nanti kalo lupa ingetin lagi ya, Gan."

Tiba-tiba ponsel Gandring berdering. Ia segera mengangkat panggilan tersebut.

"Halo, Chan," ucap Gandring. Matanya langsung melirik ke arah Ippo. "Aman kok, lolos lagi dia dari kematian."

Gandring memberikan ponselnya pada Ippo. "Nih, Chandra mau ngomong."

Ippo mengambil ponsel itu dan menempelkannya di telinga. "Moshi, moshi," ucap Ippo.

"Siapa yang nyerang lu?" tanya Chandra.

Ekspresi Ippo berubah. Sejenak ia terdiam sambil melirik satu per satu bola mata rekannya yang berada di ruangan khusus Abimanyu.

"Yaksa," ucap Ippo dengan sorot mata yang tajam.

Mata Abimanyu, Gandring, dan Kevin berkedut, sementara Cakra memicing bingung.

"Yaksa?" lirih Cakra.

Yaksa merupakan sebutan untuk iblis yang berkeliaran dengan wujud atau kulit manusia. Berbeda dengan Rawasura yang merupakan perwujudan setengah manusia dan siluman yang bisa berganti kulit, Yaksa merupakan iblis yang mengambil jiwa manusia dan menjadikannya wadah.

"Tahun 2018, ada insiden berdarah yang cukup besar, tapi insiden tersebut ditutupi oleh pihak-pihak yang terlibat," jawab Abimanyu merespons kebingunan Cakra. "Salah satu iblis kuno dipanggil dalam sebuah ritual dan masuk ke dalam wadah yang kuat. Secara output dan input, Yaksa yang satu itu bencana pembawa sanghara."

"2018 itu berarti ...." Cakra ingat cerita dari Ajay tentang insiden itu, sebab salah satu sahabat ayahnya gugur dalam insiden tersebut.

"Rahwana," tegas Abi. "Kita belum tau apakah Yaksa yang nyerang Ippo itu lebih kuat atau lebih lemah dari Rahwana, tapi dilihat dari keursakannya, yang ini harusnya enggak sekuat Rahwana."

"Tapi biar pun gitu, Yaksa tetap aja Yaksa," sambar Gandring. "Taring mereka tajam."

Kembali pada perbincangan Ippo dan Chandra.

"Lu udah ngerasain sendiri kan, kekuatan mereka?" tanya Chandra. "Gua minta lu jangan gegabah, hindari pertarungan yang sia-sia. Gua harap lu bijak dalam urusan nyawa, inget, keberuntungan belum tentu datang dua kali."

"Lu itu penyelamat gua, Chan. Buat gua, lu itu bukan sekadar sahabat atau pun keluarga, tapi udah gua anggap jadi bagian dari diri gua sendiri," balas Ippo. "Tapi dengan segala hormat, gua enggak bisa nerima permintaan lu. Pertama, lu bukan lagi atasan gua, dan yang kedua, gua enggak peduli siapa dan apa. Ketika ada yang mengusik rumah gua, sampai mati gua akan mempertahankan apa yang pantas dipertahankan."

"Lu udah bukan lu yang dulu, sekarang lu enggak punya cukup kekuatan buat ngelawan Yaksa," ucap Chandra. "Kalo lawan lu itu manusia, gua percaya lu bisa lawan siapa pun. Tapi ini Yaksa, Po. Lu butuh dari sekadar fisik, dan tangan kiri tipe Jatiwara enggak cukup kuat."

"Darah Gardamewa mengalir dalam diri gua, Chan. Gua enggak bisa lari dari kegelapan. Gua adalah pilar yang berdiri paling depan ketika ada musuh dengan energi spiritual yang tinggi."

"Iya, gua ngerti, tapi sekarang kondisinya ...."

"Tempat itu adalah rumah seorang gadis, Chan!" seru Ippo dengan suara tegas. "Dan tugas seorang pria sejati adalah melindungi tempat pulang gadisnya, memastikan dia aman di rumahnya sendiri saat pulang nanti."

Kevin dan Cakra merinding, mereka berdua tak bisa menyembunyikan senyum bangga mereka terhadap seorang Riffo Gardamewa. Ippo menatap tegas Kevin dan Cakra. Wajah seriusnya kembali menemukan senyum tipis.

"Lagi pula gua enggak sendirian, ada orang-orang hebat yang berdiri di sisi gua. Mereka itu orang yang melumat habis malam Walpurgis, orang-orang yang terlibat sama kekacauan Satu Darah dan masih hidup sampai sekarang. Hidup bukan cuma soal keberuntungan, Chan, toh ... keberuntungan bisa dibuat."

Chandra menghela napas. "Ya udah, kalo emang gitu. Semoga beruntung, Po. Di Jogja ada beberapa anak Katarsis, kalo lu butuh apa-apa bilang aja."

"Oke, gua hargai itu," balas Ippo.

Panggilan dari Chandra pun berakhir. Kini Ippo menatap ke arah Abi dan Gandring yang sedang sibuk berbincang.

"Kemampuan mereka itu tergantung dari persembahan atau kesulitan ritualnya. Keberadaan mereka di dunia kita itu udah nguras banyak energi, tapi tergantung persyaratan dan persembahan, mereka bisa dateng dengan kekuatan penuh kayak Rahwana, atau cuma separuhnya aja," ucap Abi.

"Tapi belakangan ini ada rumor yang cukup rame di dunia bawah," sahut Gandring. "Katanya, ada seorang broker yang bisa memanggil iblis dan memberikan mereka wadah tergantung bayarannya."

"Berarti menyalahi hukum para dukun itu sendiri dong?" celetuk Cakra. "Yang harusnya mereka manggil iblis ke sini dengan bayaran buat nuntasin hasrat mereka, ini malah iblis yang suka rela bayar demi dateng ke dunia kita? Tujuannya apa?"

"Iblis itu kayak manusia, punya sifat dan watak, serta keinginan yang berbeda. Jadi motifnya apa pun, enggak bisa diterka, dan omongan mereka enggak bisa jadi acuan karena penuh tipu daya," jawab Ippo. "Gua yakin, dalam waktu dekat mereka pasti balik lagi ke Mantra. Sampai waktunya tiba, kita harus bersiap-siap melindungi rumah kita."

Di tempat yang berbeda, seorang wanita berbaring dengan banyak perban di tubuhnya. Di pinggir tempat tidurnya seorang pemuda duduk dengan pandangan kosong. Pemuda itu juga memiliki luka, tetapi tak separah wanita yang berbaring kehilangan sadar tersebut. Tiba-tiba pintu depan terbuka, pemuda itu sontak menoleh ke arah pintu rumah kabin tempatnya tinggal.

"Gimana keadaannya?" tanya Raksaka kepada Rizwana yang sedang duduk di pojok ruangan, tersenyum menatap dua manusia lainnya.

Rizwana hanya menunjuk ke arah Rama yang duduk di pinggir dipan dan juga Noris yang tak sadarkan diri.

"Mereka tiba-tiba dateng bawa kepala Khataka," ucap Rama. "Gua sama Rio agak kaget juga, dan akhirnya ngelawan dua orang itu, tapi perbedaan kekuatannya cukup jauh. Lu paham lah, gimana bebannya gua kalo ketemu musuh yang enggak ngaruh sama efek  Lullaby dan tipu daya Brujeria. Gua enggak bisa apa-apa, Sak."

"Terus?" tanya Saka.

"Ya gua kabur karena enggak mau ngebebanin Rio. Better dia all in kemampuannya, ketimbang fokusnya pecah gara-gara gua. Gua pikir, semua beres sampe di situ. Lu tau sendiri kalo Mertolulut udah bangkit gimana. Siapa pun, termasuk gua bisa mati."

"Terus?"

"Gua kabur ke tempat Noris, dan yang gua enggak abis pikir, waktu lagi nunggu kabar dari Rio, mereka berdua bisa nyusul dalam jangka waktu kurang dari 24 jam," jawab Rama. "Gua enggak tau kabar Rio sampe detik ini. Intinya, gua kabur setengah mampus bawa-bawa Noris yang kalah."

"Lu berdua di sini aja. Kalo ada apa-apa hubungin gua," ucap Raksaka. Ia berjalan ke arah pintu lagi, hendak pergi.

"Mau ke mana?" tanya Rama.

Saka menatap Rama dengan sorot mata yang tajam. "Kerja." Ia pun pergi meninggalkan Rama, Noris, dan Rizwana.

Di sisi lain Rizwana pun bangkit dari duduknya. "Gua juga pergi, sebetulnya enggak ada urusan di sini, tapi karena katanya dua makhluk itu nyari Satu Darah, gua nyariin lu buat ngorek informasi aja. Perasaan gua bilang, Raksaka belum tau apa-apa, jadi percuma kalo ngorek dari dia."

"Sekarang lu mau ke mana?" tanya Rama.

Rizwana tersenyum. "Ke medan perang."

Rama memicing. "Di mana?"

"Sekilas, gua merinding. Gua enggak nyangka kalo bisa ngerasain aura ini lagi di tempat ini," ucap Riwana mengusap tengkuk. "Gua enggak tau apakah medan tempurnya sama kayak kalian, tapi khusus pendatang yang satu ini, medan tempurnya udah jelas."

Di dalam gemerlap klub malam yang riuh dengan musik elektronik, seorang pria tua dengan setelan jas hitam, ditemani pria besar penuh tato dengan setelan serupa datang menghampiri dua orang pria yang sedang duduk ditemani wanita-wanita malam.

"Lihat siapa yang datang ini," ucap Sangkala yang terlihat sedang bersenang-senang dengan dua wanita penghibur. "Apa kita sedang berbisnis?"

Sementara itu Rawantu duduk menyendiri tak jauh di dekat Sangkala. Ia tak tertarik dengan hal-hal seperti ini. Rawantu hanya menatap datar dan tajam pada pria besar penjaga si tua bangka.

"Jangan berbasa-basi, Sangkala. Katakan di mana lokasinya," ucap si pria tua.

"Hey, hey, buang jauh-jauh aura membunuhmu itu pak tua sialan." Sangkala melotot dan berdiri di hadapan tamunya. Sekilas ia menatap manusia-manusia yang perlahan tumbang akibat tekanan aura milik si pria tua itu. "Apa kau belum cukup malu karena kerajaanmu diacak-acak oleh para manusia itu, Burisrawa?"

.

.

.

TBC


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top