41 : The Raven

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

"Pin, oi di mana lu?" Ippo berdiri di depan kamar Kevin yang pintunya terbuka, tetapi tak ada siapa pun di dalam. "Lah, ke mana tuh orang?"

"Kevin di halaman belakang," celetuk Cakra yang baru saja naik.

"Sama Raksaka?"

Cakra menggeleng. "Sendirian, lagi olah raga."

"Aaaaa ... makasih."

Ippo berjalan melewati Cakra dan menuruni tangga. Ia melangkah hingga menangkap kehadiran Kevin dengan matanya di halaman belakang. Rupanya Kevin sedang melatih teknik dasar bela diri. Pria tampan itu mengenakan kaos putih lengan buntung dan joger berwarna hitam.

"Pin, gua pinjem baju sama handuk cadangan lu ya, gua nanti langsung jaga toko, enggak pulang dulu soalnya kejauhan."

Kevin mengangguk. Ukuran badannya dan Ippo hampir sama, meskipun Kevin masih agak lebih tinggi.

"Tenang aja, cuma itu kok, kalo sempak gua udah beli sendiri di toko deket sini," sahut Ippo lagi. "Enggak tega gua pinjem sempak orang ganteng, tar ancur."

Kevin hanya diam tak berkomentar. Sementara itu, melihat Kevin yang sedang berlatih membuat Ippo tertantang.

"Ayo, kita sparing tipis-tipis, udah lama," ucap Ippo.

Kevin menoleh ke arah Ippo, melihat senyuman nakal di wajah temannya. "Ayo," balas Kevin.

Ippo tersenyum lebar. "Enggak usah nahan diri karena mata kanan sama tangan kiri gua ya. Meskipun kondisi gua kayak gini, gua masih kuat."

Kevin mengangguk setuju. "Oke."

Mereka berdua berdiri di halaman belakang, siap untuk memulai pertarungan tipis-tipis. Keduanya memasang kuda-kuda andalan mereka.

Ippo dengan cepat melesat ke arah Kevin, menciptakan bayangan tubuhnya yang bergerak gesit di atas rerumputan. Dengan tangan kedua tangan, ia melancarkan serangkaian pukulan tinggi ke arah Kevin.

Di sisi lain, Kevin menjawab dengan blok tangan yang kuat. Ia diam di posisi dengan kuda-kudanya yang kokoh sambil menangkis serangan-serangan Ippo.

Terdengar desisan angin ketika Ippo melancarkan serangan-serangan kilatnya. "Gimana, Pin? Bisa ngimbangin, hah?" tanya Ippo sambil tersenyum.

Pada satu titik, Kevin bergerak ke sisi kiri Ippo dan menendangnya hingga terpental mundur beberapa meter.

"Jangan salah sangka, ini baru dimulai," ucap Kevin.

Ippo terkekeh. "Boleh juga."

Ippo dan Kevin melanjutkan permainan catur manusia mereka. Belum ada pergerakan yang berarti, mereka berdua melangkah mengitari lawannya saling membaca gerakan. Terjadi simulasi menyerang dan bertahan di dalam pikiran mereka masing-masing.

Pada satu momen, Ippo melesat dan melancarkan tendangan tinggi yang membuat angin berdesis. Kevin, dengan kelincahan kakinya, menghindar dari tendangan Ippo dan membalasnya dengan pukulan kuat ke arah rusuk kanan.

Ippo menarik kakinya kembali, mengejutkan Kevin dengan tendangan tipuannya. Tangan kanannya bergerak dengan cepat ke arah pipi kiri Kevin dan tepat sasaran.

"Satu sama, Pin," ucap Ippo.

Kevin menyentuh lembut bagian pipinya yang terkena serangan Ippo, lalu kembali memasang kuda-kuda.

Ronde ketiga menjadi puncak pertarungan Kevin dan Ippo. Wajah mereka dipenuhi keringat dan semangat bertarung. Serangkaian pukulan dan tendangan saling bertukar, meskipun hanya sparing tipis, tapi tak ada yang mau mengalah.

Di sisi lain, Cakra datang membawa satu botol kaca berukuran besar ke halaman belakang. Ia menghampiri Rizwana yang sedang duduk mengamati pertarungan Ippo dan Kevin sambil tersenyum.

"Senyam-senyum, mau ikut sparing?" tanya Cakra.

Rizwana menoleh ke arahnya. Senyum itu semakin lebar ketika menatap Cakra. "Mau sparing?"

Cakra menelan ludah, meskipun Rizwana terlihat tenang, tetapi rasanya ada tekanan tersendiri yang membuat Cakra merinding. "E-enggak dulu deh."

"Oke, lain kali," balas Rizwana. Ia menatap botol yang dibawa oleh Cakra. "Lemon infus?"

"Iya, buat Ippo sama Kevin, tapi kalo lu mau juga masih bisa sih, buat empat sampe lima gelas mah cukup kok. Bentar gua ambil gelasnya." Cakra berjalan meninggalkan halaman belakang menuju kafe untuk mengambil gelas.

Kembali pada Ippo dan Kevin. Kini keduanya menghentikan serangan mereka dan saling berhadapan di tengah arena yang hening. Setiap napas terdengar berat.

"Udah ah, Pin, capek." Ippo terduduk di hamparan rumput.

Kevin menatap Ippo yang bernapas terengah-engah di tanah.

'Kalo dia dalam kondisi normal, mungkin gua udah kalah dari tadi. Bukan artinya gua nahan diri, tapi sejak bangun koma, kemampuan Ippo turun drastis. Bukan cuma masalah kekuatan, tapi juga stamina.'

"Gila, jago lu, Pin," sambung Ippo.

Kevin ikut duduk di sebelah Ippo. "Lu juga."

"Oi, minum dulu sini!" seru Cakra yang datang membawa empat gelas kaca.

Ippo dan Kevin berjalan ke meja yang berada di teras kamar Nada dan Melodi. Di sana mereka berempat duduk bersama.

"Saka mana?" tanya Ippo. "Belum keliatan dari tadi."

"Oh, waktu lu beli sempak tadi, dia udah pulang. Katanya ada urusan dadakan. Dia juga izin enggak masuk hari ini," jawab Kevin.

"Mas Risky juga enggak bisa back up, jadi hari ini shift pagi cuma ada lu sama Mbak May," sambung Cakra.

"Lah, ini si cengir enggak bisa back up?" tanya Ippo sambil menatap Rizwana.

"Enggak bisa, ada agenda lain siang ini di Keraton," jawab Rizwana masih dengan senyum khasnya.

"Mandiin tombak lu ya?" tanya Ippo.

Rizwana mengangkat bahunya tanpa komentar.

"Ya udah, gua mau prepare ngampus dulu," ucap Cakra. "Lu ada jam pagi kan, Vin? Gua bareng lu ya."

Kevin mengangguk, mereka berdua pergi untuk bersiap-siap ke kampus.

"Gua juga pergi dulu," sambung Rizwana yang bangkit dari duduknya.

"Aaaaaa ... tinggal sendiri dong gua?"

Ippo terduduk seorang diri di teras kamar Melodi. Ia masih menikmati pagi ditemani lemon infus buatan Cakra. Sesekali ia tatap langit cerah pagi ini dengan sorot mata yang tajam, kemudian ia seruput air minumnya sambil setelah itu berkata.

"Tak apa sendirian. Toh, di dalam sepi, kita punya waktu untuk menjelajah diri sendiri, menenangkan kegelisahan, dan menemukan jawaban yang entah apa pertanyaannya. Kesendirian bukanlah kelemahan, melainkan pintu menuju kedamaian batin yang menyentuh jiwa," ucap Ippo bermonolog. "Anjay! Pas gua ngomong keren begini enggak ada saksinya woy! Ya sudah."

Siang ini agak mendung, tapi justru suasana seperti inilah yang membuat perasaan menjadi damai.

"Kamu enggak kangen sama Melodi, Po?" tanya Maya.

"Kangen," jawab Ippo singkat. Pria itu membuang tatapnya dari Maya, dan memandang ke arah luar jendela. "Tapi pernah ngerasain kangen yang lebih parah, jadi yang ini enggak ada apa-apanya."

"Oh, ya?"

"Iya, tapi bukan cuma ke Melodi. Jelas sih kalo kangen dia, tapi ada juga beberapa orang yang aku kangenin dan enggak punya obat penawarnya," jawab Ippo. "Dari kecil aku enggak tau siapa orang tua ku, tapi anehnya aku kangen mereka. Setiap liat orang yang bahagia dengan keluarganya, jauh di lubuk hatiku, aku mau. Terus kangen juga sama sahabatku yang udah meninggal, Reki namanya. Satu lagi ...."

"Enggak usah diterusin juga enggak apa-apa, Po, santai aja," ucap Maya yang sedang memandang senyum getir Ippo.

"Terakhir ... kangen kakaku, Mbak. Dia itu kriminal yang jahat, tapi biar gimana pun jahatnya dia, dia tetep keluargaku, ada secuil ruang buat merindu dia."

"Bahasa mu kadang tinggi, kadang sok tinggi, kadang kerendahan, Po, aneh."

"Aaaaa ... namanya juga orang, Mbak Ayam."

"Cuma kamu yang manggil aku Ayam, Po, aneh," balas Maya.

"Aaaaa ... kan Maya kalo di balik jadi Ayam, Mbak."

"Ya udah, terserah Oppi deh kalo gitu," balas Maya sambil meledek balik.

Sebuah panggilan masuk muncul di ponsel Ippo. Begitu melihat siapa yang menelponnya, terukir senyum tulus di wajahnya.

"Mbak, aku angkat telepon dulu ya."

"Melodi pasti?" tanya Maya.

"Aaaaa ... benar! Sepuluh ratus buat, Mbak Ayam."

Ippo berjalan ke pintu, hendak keluar. Begitu ia membuka pintu dan melangkah keluar, ada dua orang pelanggan yang datang sambil mengenakan payung merah dan berpapasan dengannya. Dalam tayangan lambat, mata Ippo dan seorang pria bermata sayu bertatapan.

Hingga waktu kembali normal. "Aaaaaa ... apa kabar Alunan ku?" tanya Ippo yang berjalan melewati mereka sambil menatap lurus ke depan.

Gemerincing lonceng di pintu berbunyi. Kedua pelanggan itu masuk dan meletakkan payung mereka di pinggir pintu.

"Selamat datang di Mantra Coffee, bisa saya bantu catat pesanannya?" Maya datang menyodorkan menu pada kedua pelanggan tersebut.

"Aaaaa ... aku juga kangen," kata Ippo yang masih berbicara dengan Melodi lewat ponsel genggamnya. "Cium jauh buat kamu, mumumumumu."

"Po."

Dengan bibir monyong, Ippo menoleh ke arah Maya yang tiba-tiba datang menyusul.

Maya mengerutkan kening menatap pria itu. "Alay banget."

"Aaaaaa ... sial ada Mbak Ayam." Wajah Ippo mendadak merah. "Ngapain sih, Mbak? Hus, hus, hus, sana pergi."

"Itu ada pelanggan aneh," ucap Maya.

"Aneh kenapa?" tanya Ippo.

"Aneh aja gitu, ditanya mau pesen apa, jawabanya pesen Satu Darah mulu. Mbak jadi takut."

Mendengar nama Satu Darah disebut, mata Ippo berkedut. Sorot matanya berubah. "Nanti aku telepon balik, ada urusan mendadak." Ippo mematikan panggilan dari Melodi.

Gemerincing lonceng di pintu berbunyi, kedua pelanggan itu menatap ke arah Ippo yang baru saja masuk kembali bersama Maya. Maya berjalan ke dapur, sementara Ippo menghampiri kedua pelanggannya.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya Ippo ramah.

"Satu Darah, di mana?" tanya pria dengan mata sayu.

"Aaaaaaa ... kita enggak jual menu itu, Kak. Di sini tempat minum kopi beneran kopi, bukan warkop vampir."

Pria berambut putih bangun dari duduknya dan menatap Ippo dengan sorot mata yang tajam. Sementara itu temannya ikut bangun dan berusaha menenangkan.

"Kita di sini mencari Satu Darah, kan? Ini urusanku, nanti kalau ada adegan bertempur, baru itu peranmu, Sangkala."

"Aaa-ha-ha-ha, jadi pesan apa, Kak?"

"Satu Darah," jawab Rawantu.

"Maaf, bisa ikut saya sebentar," ucap Ippo. "Saya tinggal ke belakang dulu ya, Mbak May." Ippo berjalan keluar Mantra diikuti oleh dua orang itu.

Maya merasakan firasat buruk, ia cepat-cepat menghubungi Kevin dan Cakra. Di sisi lain, Ippo membawa kedua pelanggannya ke halaman belakang. Pada satu titik ia menghentikan langkah dan memutar arah dengan sorot mata yang tajam ke arah dua orang tersebut.

"Di sini bukan tempatnya Satu Darah," ucap Ippo.

"Waktu aku bertanya pada wanita di depan, sorot matanya jujur terlihat jujur. Ia sama sekali tak tahu apa itu Satu Darah," ucap Rawantu. "Tapi sorot mata mu berbeda, kau tahu tentang kelompok itu."

"Ya, aku tau mereka, karena aku pernah berperang melawan mereka," jawab Ippo.

"Saat kau berkata bahwa di sini bukan tempat Satu Darah, sorot matamu berbohong," tegas Rawantu. Ia menutup kedua matanya, kemudian sebuah bola mata besar berwarna merah muncul di atas kepalanya. "Aku bisa melihat isi hati seseorang dari pandangannya. Jangan mengelak lagi. Percakapan kita dimulai dan diakhiri dengan pandangan, bukan kalimat."

Ippo terbelalak melihat bola mata besar di atas kepala pria itu dan segera mundur menjaga jarak. "Satu Darah itu kriminal, untuk apa mereka di tempat ini?"

Rawantu mengeluarkan darah dari kedua matanya yang tertutup. "Rizwana dan Raksaka, ya?"

Kedua mata Ippo berkedut ketika Rawantu menyebutkan nama kedua rekan barunya yang memang merupakan mantan anggota Satu Darah.

Rawantu tersenyum. "Heeee ... kau juga pernah mengalahkan salah satu anggota Satu Darah, ya? Kau cukup kuat rupanya."

"Orang ini pernah menghabisi Satu Darah?" tanya Sangkala menunjuk ke arah Ippo.

"Kau punya waktu bermain-main sebentar, mau bermain dengan orang itu, Sangkala?"

Sangkala menyeringai. Ketika seringai itu muncul, Ippo sontak bergidik ngeri dan memperlebar jarak dengan mereka.

"Siapa sebenarnya kalian?" tanya Ippo.

Sangkala berjalan maju sambil memandang Ippo seolah tertarik padanya. Air liurnya menetes-netes dari balik seringai.

"Kami siapa?" tanya Sangkala sambil terkekeh dan tertawa gila, hingga pada satu titik, tawa itu sirna menjadi keheningan. "Kami adalah gagak."

Ippo merinding mendengar jawaban Sangkala. Jika istilah untuk manusia yang bisa pergi ke Alam Suratma adalah peziarah, dan arwah yang kembali dari kematian ke Alam Dunia disebut dengan belatung, maka iblis Alam Durjana yang bisa pergi ke Alam Dunia disebut gagak.

Gagak dianggap sebagai simbol buruk atau tanda bencana dalam beberapa kebudayaan. Mereka dapat dianggap sebagai pembawa berita buruk. Karena sering terlihat memakan bangkai, kehadiran mereka di tempat-tempat pembakaran jenazah atau kuburan pun memberikan konotasi kematian pada burung ini. Sama halnya seperti gagak yang berburu bangkai, para Iblis ini pun memburu jiwa manusia dan memakannya.

Perbedaan antara belatung dan gagak adalah, para belatung tak bisa mati kecuali oleh para peziarah, dan para gagak bisa saja dibunuh. Hanya saja, dari segi kekuatan, gagak jauh lebih kuat berkali-kali lipat daripada para belatung.

Gagak, atau Iblis berkulit manusia memiliki beberapa tanda, salah satunya memiliki tanda berupa ukiran tato-tato aksara kuno. Dan saat ini Sangala sedang menunjukkan tanda itu pada Ippo.

"Pasang kuda-kudamu kalau tidak mau mati, manusia," ucap Sangkala yang secara gestur siap menerjang. "Ayo kita main!" Iblis itu melesat cepat ke arah Ippo.

Di sisi lain, Ippo memasang kuda-kuda dan bersiap memblokir serangan Sangkala dengan tanan kirinya. Benturan terjadi. Ippo terpental mundur cukup jauh beberapa meter sambil mempertahankan kuda-kudanya. Tangan kiri palsunya mengeluarkan asap karena benturan dengan Sangkala, dan tanah pun meninggalkan jejak lurus seperti roda kendaraan. 

Sangkala bersiul. "Tidak banyak manusia yang bisa hidup setelah serangan pertama. Ku akui, kau berada di level yang sama dengan beberapa Satu Darah yang sudah ku kalahkan. Aku berharap kau lebih daripada mereka. Sebab, kalau kau lebih lemah, artinya kau akan bernasib seperti mereka pula."

Ippo memandang tajam ke arah lawannya. "Aku memang bukan Satu Darah yang kau cari, tapi kalau kau ingin mati, aku siap mengantarmu ke gerbang Alam Suratma, sialan. Jangan kotori tempat ini dengan aura busuk kalian."

.

.

.

TBC



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top