40 : Dialog Sepertiga Malam
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Seorang anak kecil duduk di kursi tengah mobilnya sambil menatap keluar jendela. Anak itu sedang berada dalam perjalanan bisnis menuju luar kota bersama keluarganya. Ayahnya merupakan pengusaha kaya yang cukup tersohor.
Dari jarak yang tidak terlalu jauh di belakang, anak itu memperhatikan sebuah mobil berukuran lebih besar dari mobilnya yang sedang melesat kecang ke arah mobil mereka.
"Ayah, mobil itu mau nabrak kita," tutur anak itu sembari menunjuk ke arah mobil besar yang mendekat ke arah mereka dengan kencang.
Mendengar itu, ayahnya hanya tertawa. "Ini jalan besar, nak. Banyak kendaraan yang melesat kencang."
"Tapi yang satu ini ke arah kita, Ayah."
Belum sempat si ayah membalas ucapan anaknya. Mobil mereka terpental cukup jauh akibat benturan keras dari mobil besar yang disebut-sebut oleh anaknya barusan.
Raksaka terbangun dari tidurnya. Malam ini ia tidur di kamar Kevin, sementara Ippo dan Rizwana di kamar Cakra.
Mimpi buruk perihal masa lalu membuat pria itu terbangun dan kehilangan rasa kantuk. Pada akhirnya, Saka beranjak dan berjalan keluar kamar. Ia turuni tangga dan berlabuh pada salah satu kursi di beranda samping Mantra.
Langit masih gelap, tetapi sudah hampir memasuki waktu subuh. Udara di Mantra Coffee tergolong sangat dingin, mengingat lokasi mereka berada di daerah Kaliurang atas. Untungnya kemarin, Saka membawa jaket tebal dengan bulu-bulu putih di pinggiran kupluknya.
Ia ambil sebatang rokok, lalu berusaha menyalakan api dengan korek zippo miliknya. Hanya saja, korek tersebut kehabisan gas dan tak mampu mengeluarkan api.
"Ah, abis," gumamnya pelan sambil mengocok korek tersebut dan masih berusaha menyalakan api.
Sebuah api menyala tepat di sebelah wajahnya. Saka menoleh, rupanya itu adalah Kevin yang ikut keluar dari dalam kamar dan mengikuti Saka karena khawatir. Wajar, saat mereka semua bersenang-senang semalam, Raksaka tak ikut bergabung bersama mereka, malahan pria itu menyendiri dan terlihat galau.
Ujung rokok pria itu kini terbakar. Saka menoleh ke arah Kevin. "Bukannya lu enggak ngerokok?"
Kevin menggeleng sebagai jawaban, dan tentu saja jawaban dari seorang Kevin Wijayakusuma membuat Saka mengerutkan kening.
"Kenapa punya zippo?" tanya Saka.
"Suka aja, keren," jawab Kevin singkat.
Saka menghisap rokoknya, lalu membuang asap ke arah yang berlawanan dengan Kevin. "Aneh."
"Apa enaknya rokok?" Kini giliran Kevin yang bertanya dengan kespresi datar.
Saka menarik napas dalam, seakan sedang memikirkan jawabannya. "Waktu nyalain rokok, buat gua, api itu ngasih ruang buat merenung. Ngeliat asap yang naik ke langit itu rasanya kayak ngeliat sebagian kecil dari kehidupan yang terbakar dalam sekejap."
"Aneh," balas Kevin yang belum menangkap esensi rokok dari seorang perokok.
"Setiap orang punya cara sendiri buat menemukan kedamaian," timpal Saka.
Mereka duduk di teras kafe ditemani langit gelap yang terlihat tenang dan damai. Saka mencoba menciptakan kenyamanan di antara hiruk-pikuk pikiran yang masih melayang-layang akibat mimpinya beberapa saat lalu.
"Kenapa memilih sendirian tadi malem?" tanya Kevin, mengubah arah pembicaraan.
Saka merenung sejenak sebelum menjawab. "Kadang kala, masa lalu itu kayak bayangan yang sukar dihindari. Dan malam ini, bayangan itu mendekat."
Perlahan, Kevin mulai memahami tatapan mata Raksaka yang terlihat kesepian. "Kadang teman bisa menjadi api yang menyala di kegelapan. Mereka mungkin tidak bisa menghapus bayangan itu, tapi mereka bisa membuatmu merasa tidak sendirian."
"Giamana rasanya?" tanya Saka.
Kevin mengerutkan kening. "Apa?"
"Gimana rasanya hidup dalam sebuah keluarga?"
Giliran Kevin yang dibuat terdiam dan berpikir. "Biasa aja."
Raksaka terkekeh, lalu menghisap kembali rokoknya dan membuang asapnya belawanan arah dengan arah Kevin. Kepulan asap itu perlahan menghilang, melebur bersama angin malam. "Kalo gitu jangan ngomong tentang sendirian." Setelah itu, ia menoleh dan menatap Kevin. "Gua enggak akan denger nasehat orang yang dari kecil punya segalanya. Kadang kala, hal-hal yang terkesan biasa itu mungkin adalah apa yang orang lain inginkan, tapi enggak bisa."
"Enggak ada salahnya denger nasehat orang lain, kan?" tanya Ippo yang datang tiba-tiba. Pria rambut belah tengah itu mengenakan sarung dengan rapi dan jaket parasut berwarna hijau gelap. "Undzur ma qoola wala tandzur man qoola. Lihatlah apa yang disampaikan, dan jangan melihat siapa yang menyampaikan, kata Ali Bin Abi Thalib."
Kevin dan Raksaka saling bertatapan, mereka tak mengetahui bahwa Ippo bisa bahasa Arab dan mampu memberikan sedikit kata-kata yang bermanfaat, biasanya pria yang satu itu selalu saja bercanda dan terlihat tak pernah serius.
"Belum masuk waktu subuh," kata Kevin.
"Kebetulan bangun aja. Kata Bunda, kalo saat malam hari kita terbangun dari tidur kita, artinya Allah kangen. Enggak ada salahnya ngeluangin waktu buat dua rakaat di malam hari, kan?"
"Alim juga ternyata, tapi percuma, prinsip gua enggak akan berubah."
Ippo terkekeh, ia ikut bergabung dengan percakapan. "Tadi gua denger sekilas, kalian lagi bahas keluarga. Terus kenapa sama keluarga?"
"Lupakan, ganti topik obrolan aja," balas Raksaka. "Menurut kalian, di lautan Segitiga Bermuda ada apaan?"
"Dari kecil gua enggak pernah tau siapa orang tua gua, yang gua tau cuma ... gua punya kakak yang masih hidup saat itu," kata Ippo mengalihkan arah topik bengkok yang dilontarkan Saka.
Raksaka menghela napas. "Tadi lu bilang apa sebelumnya? Bunda?" tanya Saka.
"Bunda panti" jawab Ippo tersenyum. "Dari kecil gua tinggal di panti asuhan Kolong Langit tanpa tau siapa orang tua gua. Jadi sekarang, mau dengerin gua ngomong?"
Raksaka terdiam. Meskipun tidak punya keluarga, tapi setidaknya ia sempat merasakan kasih sayang orang tua, tak seperti Ippo. Kini, ia tak berani menatap mata pria berpakaian santri itu.
"Bunda itu jadi keluarga kedua buat gua. Dia ngajarin gua tentang hidup, cinta, dan kebaikan. Meskipun gua enggak tau siapa orang tua gua, tapi gua merasa dicintai di sana," kata Ippo sambil tersenyum melihat langit. "Enggak usah sesali apa yang hilang dan pergi, terkadang kita lupa menghargai apa yang masih kita miliki."
"Apa artinya keluarga buat lu?" tanya Saka.
"Keluarga bukan hanya soal darah, tapi juga tentang ikatan, kebersamaan, dan kasih sayang. Meskipun berbeda, tapi setiap orang punya cerita keluarga masing-masing, kayak di sini misalnya. Keluarga bisa dateng dari tempat yang enggak kita duga. Dan kalian, teman-teman, juga bagian dari keluarga buat gua."
"Bukan hanya soal ikatan darah, ya?" tanya Saka melamun. Meskipun samar, ia mengenang saat Satu Darah berkumpul.
"Meskipun jahat, tapi Satu Darah itu keluarga lu, kan?" tanya Ippo yang mampu membaca arti tatapan melamun Raksaka.
Saka tersenyum, lalu senyum itu melebur menjadi tawa. "Satu Darah? Keluarga?" Ia tertawa semakin gila, sampai pada satu titik, ia berhenti tertawa dan memandang Ippo dengan tatapan paling serius.
"Satu Darah itu adalah kumpulan kriminal yang disatukan oleh Ratu. Sejak bergabung, kami tidak saling tahu-menahu tentang wajah dan watak anggota lain. Kami hanya tahu nama mereka dan kemampuan mereka lewat rumor yang beredar. Beberapa waktu lalu, kami semua dipanggil oleh Ratu untuk sebuah tugas mulia, dan kala itu kami baru saling mengenal. Apakah kami keluarga?" Saka menggeleng. "Bukan. Kami hanya kelompok bengis yang haus darah."
"Tapi sekarang udah enggak, kan? Bukan haus darah lagi, haus kopi malahan," balas Ippo terkekeh.
Saka bangun dari duduknya. "Buat saat ini mungkin iya, tapi enggak ada jaminan situasi damai ini berlangsung selamanya. Suatu saat, Ratu akan bangkit, dan kami akan berkumpul lagi."
"Ya berarti konteksnya kayak anak-anak yang dipanggil mamanya dong, bener enggak?" tanya Ippo. "Keluarga itu namanya, Bung Saka."
"Beda," jawab Saka.
"Ya sama dong," lanjut Ippo dengan wajah tengilnya.
"Beda."
"Dih, aneh lu. Nih ya, analoginya nih ya, dengerin. Ada anak-anak lagi main bola di lapangan, terus ibunya dateng karena udah mau maghrib, tapi anak-anak itu belum pulang ke rumah. Terus ... ARAI! GERHANA! RAMA! RIZWANA! RAKSAKA! PULANG ATAU MAMA KONCIIN BIAR DICULIK KALONG WEWE, ANYING!"
Saka memasang wajah datar. "Deh, enggak gitu konsepnya Bambang."
"Pulang enggak?" tanya Ippo lagi.
"Nih ya ...." Raksaka hendak memberikan klarifikasi dengan logikanya.
"Pulang enggak?" tanya Ippo bersikukuh.
Raksaka menarik napas dalam dan mengalah. "Pulang."
"Nah, eta keluarga! Kumaha atuh, anying!"
"Lu kok jadi ngomong sunda gitu dah?" tanya Saka. "Aneh lu."
"Biar kalo main ke Bandung bisa ngobrol sama calon mertua pake bahasa daerah sana," jawab Ippo cengar-cengir.
"Ya udah lah, terserah." Saka berjalan meninggalkan Kevin dan Ippo menuju kamar kembali.
"Mau ngapain?" tanya Ippo.
"Tidur."
"Weh, shalat dulu, udah mau subuh!" Ippo bangkit dan mengejar Saka dengan langkah kecil yang cepat.
Kevin pun ikut bangun dan menyusul mereka kembali ke dalam.
Sesampainya di dalam kamar, Saka mengambil ponsel. Ditatapnya layar ponsel miliknya sambil memicing, lantaran ada dua belas panggilan tak terjawab dari Rama, padahal ketika ia tidur, tak ada satu pun panggilan yang masuk.
'Rama? Ngapain?'
Raksaka mencoba menghubungi balik, tetapi panggilan tak terhubung.
"Ke mana nih orang dah?" ucapnya bermonolog.
Di sisi lain, seorang pria berambut tebal acak-acakan dengan jaket high neck hitam sedang duduk sambil membaca buku.
Sebuah suara yang perlahan mendekat membuatnya agak merasa terganggu. Ia menatap ke arah asal suara, yang mana berasal dari sebuah lorong gang sempit yang gelap.
Dari balik kegelapan, dua bola mata merah menyala terlihat mendekat. Kehadiran yang tak ramah itu membuatnya menutup buku yang sedang ia baca.
Sreeetttt
Seorang pria beranting dan berkaos hitam lengan panjang dengan rambut berwarna putih muncul dari balik kegelapan menyeret tubuh seorang pria berkemeja putih kemerahan bekas noda darah. Seretan itu meninggalkan bekas darah di aspal jalan.
"Ada apa? Kau sama sekali tidak terlihat senang?" tanya pria yang duduk tadi dengan buku yang tertutup di genggamannya. Ia menatap sekeliling. "Mana pria yang satunya?"
"Lari," jawab pria berambut putih.
"Jadi ... apa mereka kuat?"
Ada kesamaan pada kedua pria yang sedang berdialog itu, mereka sama-sama memiliki tato bermotif serupa di lengan mereka.
"Satu Darah ... mereka hanya sekumpulan manusia penakut."
Pria yang duduk itu segera bangkit. "Jangan murung, mungkin kau hanya sial karena mendapat yang lemah. Ayo kita buru mereka semua, siapa tahu ada yang bisa memuaskan hasrat bertarung mu itu, Sangkala."
"Ya, kau benar, Rawantu. Ayo kita cari lagi orang-orang yang bisa mengalahkan Rangsa dan mengobrak-abrik istana Burisrawa."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top