4 : Pertemuan

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."
.

.

.

Malam kian larut, Nada berharap ia masih tak sadarkan diri. Sialnya gadis itu siuman di tengah malam dan tak bisa tertidur lagi. Lampu kamarnya sudah gelap.

Gadis dengan ujung rambut menyentuh bahu itu beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan ke tempat tidur kembarannya membawa selimut. Sialnya, kejadian tadi terngiang-ngiang di kepalanya. Kini Nada menatap Melodi yang tertidur di tempat tidurnya.

"Melo," panggil Nada. Namun, Melodi masih tidur sambil membelakanginya.

Perasaan takut itu masih melekat pekat hingga membuat Nada mematung di posisinya. Ia ingin tidur seranjang dengan Melodi karena takut sendirian, tetapi kini untuk maju pun ia takut. Di sisi lain Nada juga tak ingin kembali ke tempat tidurnya yang agak jauh dari Melodi. Tempat tidur mereka dipisahkan oleh satu meja belajar dan dua rak lemari kotak kecil.

Nada memberanikan diri untuk kembali melangkah maju. Tiba-tiba Melodi berbalik arah.

"AAAAA!" Nada terjatuh ke belakang hingga punggungnya menabrak dipan tempat tidur.

Melodi sontak terbangun dengan gestur terkejut. "Kamu kenapa, Nad?"

Lagi-lagi pertanyaan yang terdengar familiar. Nada jadi gemetar.

Melodi menyalakan lampu yang berada di atas rak lemari kecil di sampingnya. Ia bangkit dari tidurnya dan mendekat ke arah Nada. Namun, Melo mengerutkan kening melihat ekspresi Nada.

"Kamu kenapa, Nada?" Melodi mendekat.

"Kamu Melodi, kan?" tanya Nada.

Melodi menghentikan langkahnya, kini ia baru sadar jika Nada takut padanya. Melo kembali mundur dan duduk di tepi kasur. "Iya, aku Melodi Regita Mahatama. Tanyain aja sesuatu yang cuma aku yang tau."

"Siapa nama Bunda?" tanya Nada.

"Aqilla Maharani," jawab Melodi.

"Berapa tinggi Bunda?"

Melo mengerutkan kening. Ia tampak sedang berpikir atau mungkin menerka. "Enggak tau."

"Bagus, kamu Melodi yang aku kenal," ucap Nada.

Melo memasang wajah datar. "Udah percaya?"

Nada mengangguk sebagai jawaban.

Melo menghela napas. "Sebisa mungkin kamu ngomong ya, jangan cuma gerak pake gestur. Sejujurnya aku juga takut."

Nada memberikan jempol andalannya, tetapi ketika ia menyadari permintaan Melodi, gadis itu terkekeh. "Oke, Melo."

"Terus, kamu mau ngapain jam segini?" tanya Melodi.

"Aku takut, terus mau numpang tidur di kasur kamu."

Melodi kembali ke kasur. "Ya udah sini, kita tidur berdua. Besok kita rombak ulang aja biar tempat tidurnya lebih deket kalo kamu masih takut."

Nada memberikan jempol andalannya. Melodi menatap datar.

"Oh iya lupa. Oke, Melo," ucap Nada.

Melo menggeser posisi tidurnya sehingga Nada bisa berbaring di sampingnya. Untungnya tubuh mereka berdua kecil dan ramping, jadi kasur single bed itu masih cukup luas meskipun mereka berdua. Setelah menempel dengan Melodi, Nada bisa tertidur nyenyak.

***

Malam pun berlalu dengan cepat. Keesokan paginya mereka semua berkumpul di ruangan utama Mantra Coffee untuk sarapan. Seperti yang sudah-sudah, Harits yang memasak untuk sarapan, tetapi kini ia dibantu Cakra, tandem sekamarnya.

"Selamat pagi," ucap Nada yang baru saja masuk ke dalam kafe dengan rambut masih berantakan.

"Cuci muka dulu, Nad," ucap Cakra yang memperhatikan.

Nada menguap sambil berjalan ke arah westafel. Ia mencuci muka kemudian duduk bersama Deva dan Kevin. Tak lama berselang Melodi muncul dan ikut bergabung.

Berkisar sepuluh menit, Cakra datang membawa sepiring nasi goreng dan ikut bergabung dengan mereka.

"Lah, lu doang?" tanya Deva.

"Ambil sana, jangan manja," balas Cakra.

"Tau lu, Poy. Males banget lu kayak tapir! Nyahaha," celetuk Harits.

"Iye, iye." Deva dan yang lain beranjak untuk mengambil sarapan mereka.

Setelah semua mengambil porsi dan duduk bersama, barulah Deva membuka pembicaraan mengenai apa yang terjadi semalam.

"Jadi gimana semalem, Nad? Udah bisa cerita?" tanya Deva.

Raut wajah Nada berubah, ia terdiam beberapa detik.

Melo meraih tangan Nada yang terbalut sarung tangan hitam dan mengusapnya. "Enggak apa-apa kalo masih belum bisa cerita."

"Semalem aku lagi pipis, terus tiba-tiba pintu kamar mandi diketuk. Aku pikir itu Melodi dan aku buru-buru selesai deh. Nah, tiba-tiba suara ketukan pintu itu agak cepet temponya, sama lampu mendadak mati. Aku tau Melodi itu iseng, jadi enggak kepikiran yang gimana-gimana, cuma takut gelap aja."

"Ternyata bukan Melodi?" tanya Cakra yang merasa familiar.

"Iya," jawab Nada.

"Terus sosok Melo ngomongnya diulang-ulang?" tanya Cakra lagi.

Nada mengangguk. "Iya." Tiba-tiba ia memicing. "Kok kamu tau?"

Cakra menghela napas. "Waktu trial malem pertama di sini, aku udah diganggu duluan waktu Harits keluar beli makan. Sosok itu jadi Harits dan ngomongnya diulang-ulang kayak boneka."

"Rits, lu kan expert di dunia beginian, lu punya solusi enggak?" tanya Deva.

"Beda sama kalian semua yang masih punya kemampuan, bisa dibilang gua udah bukan lagi anak indogi. Gua enggak bisa ngerasain, apa lagi ngeliat keberadaan mereka," jawab Harits.

Sejujurnya jika Harits saja tak tahu harus berbuat apa, apa lagi yang lain?

"Tapi ya enggak usah panik atau gimana, nanti gua coba urus deh," sambung Harits.

"Caranya?" tanya Melodi.

"Nanti gua pikirin." Harits menatap Kevin. "Pin, nanti lu belanja biji kopi sendiri ya. Kalo bingung video call aja, nanti gua bantu. Gua ada urusan laen hari ini,"ucap Harits.

"Oke," jawab Kevin singkat.

Tingkah Harits di pagi itu agak aneh. Ia lebih agak pendiam dan terlihat murung. Setelah menghabiskan sarapan ia pergi begitu saja entah ke mana.

***

Waktu terus bergulir hingga matahari naik ke titik tertingginya. Gadis bersarung tangan hitam dengan kaos hitam lengan buntung, celana pendek biru, dan topi jerami itu terduduk di halaman yang sudah terlihat makin rapi. Sesekali Nada mengusap keningnya yang berkeringat.

Sambil beristirahat, Nada menatap layar ponselnya. Ia terlihat seperti sedang menunggu sesuatu.

"Lagi ngapain?" tanya Cakra yang tiba-tiba muncul membawakan segelas es jeruk untuk Nada.

"Makasih." Nada mengambil es jeruk itu dan meminumnya. Setelah itu ia menatap Cakra. "Lagi duduk, alhamdulillah beres urusan halaman."

Cakra tersenyum. "Ikut seneng kalo kamu seneng." Pria itu mantap ponsel Nada. "Lagi nunggu chat dari siapa?"

"Oh itu, dari temen lama," balas Nada.

Cakra menatap langit. "Seingetku kamu enggak terlalu banyak punya temen. Pasti kamu ngajak dia dateng malam ini, kan?"

Nada mengangguk. "Tapi enggak akan dateng sih. Selama ini chat ku enggak pernah dibales, telepon juga enggak pernah diangkat."

"Mungkin dia sibuk?"

"Mungkin," balas Nada. "Kalo kamu, nanti ngajak Johana?"

Cakra tampak sedang berpikir. "Ngajak kayaknya deh, sama Bu Ajeng juga."

"Oh."

Mereka berdua terdiam sambil membuang tatap, entah rasanya agak akward saat ini, tetapi tak ada yang mau mengalah untuk pergi. Cakra dan Nada masih duduk bersama di halaman.

***

Sementara itu Kevin baru saja datang. Melihat mobil Kevin yang baru saja tiba, Deva langsung bergegas memakai sandal dan berjalan keluar, mendekat ke arah mobil Kevin.

Selesai parkir, Kevin membuka bagasi belakang lalu turun dari mobil. Ia dan Deva mengangkut sisa bahan dapur yang belum sempat dibeli sebelumnya.

Kondisi Mantra Coffee sudah rapi dan siap untuk membunuh penat para pelanggan. Radhi sudah memoles bagian dalam Mantra dan Nada mempercantik bagian luarnya. Seharian ini Deva yang mengurus sisanya.

"Nanti Rava mau dateng katanya," ucap Deva. "Tantra kumpul."

"Chandra?" tanya Kevin.

"Bilangnya sih dateng, tapi enggak tau. Dia jauh banget kan," jawab Deva.

Mereka berdua tiba-tiba saja terlihat murung. Bukan tanpa sebab, Deva dan Kevin memikirkan seorang anggota Tantra yang sempat bermasalah dengan mereka.

"Apa kabar itu orang ya?" ucap Deva.

Kevin hanya mengangkat bahu sebagai jawaban. Sama seperti Deva, ia pun tak tahu bagaimana kabar Kirana.

Mereka berdua lanjut membereskan satu bagian terakhir yang berantakan, yaitu dapur. Tak banyak bicara, Deva dan Kevin lebih banyak bergerak.

***

Berbeda dengan masing-masing orang yang memiliki teman beraktivitas, saat ini Melodi sibuk menyendiri di kamar.

Setelah lelah membereskan kamar, ia langsung mandi dan bermalas-malasan. Namun, di tengah rasa malasnya, tiba-tiba dadanya terasa sakit. Lagi-lagi ia ditikam rindunya sendiri.

Melodi beranjak dari kasur dan duduk di kursi. Ia membuka sebuah buku yang masih kosong, lalu menuliskan sesuatu dengan pulpen hitamnya.

"Halo. Kalo kamu pikir setelah buku ku habis, aku selesai ngehujat kamu, kamu salah. Aku enggak akan berhenti ngutuk kamu sampai rindu di dadaku sirna. Masalahnya, semakin hari menjauhi pertemuan terakhir kita, bukannya terkikis, aku malah semakin rindu. Kalo kamu beneran suka sama aku, aku harap kamu bertanggung jawab. Jangan curang, jangan bersembunyi di balik takdir."

Melodi terkekeh. "Apa sih ...." Ia menutup bukunya dan kembali berbaring di kasur menatap langit-langit. "Kalo cuma pergi ke ujung dunia, aku bisa kejar, tapi iki piye lho?" Ia berusaha meraih langit-langit kamarnya. "Kamu terlalu jauh, Po ...." Gadis itu menutupi kedua matanya dengan lengan kanan.

Melodi lelah, tetapi bukan karena seharian ini memberesekan kamar. Ia hanya lelah disetubuhi rindu tanpa dibayar pertemuan.

***

Bagaimana dengan Harits? Tak ada yang tahu sedang apa pria itu seharian ini. Yang jelas, ketika hari mulai menggelap dan lampu-lampu taman di Mantra Coffee menyala, ia datang bersama dengan seorang gadis. Tak jauh di belakang motornya, terlihat Jaya mengikutinya bersama seorang gadis juga.

"Kamu duduk aja dulu, aku mau mandi sebentar," ucap Harits.

Sekar mengangguk, ia memilih tempat di bagian luar dan duduk bersama Iris. Bisa dibilang, mereka berdua merupakan pelanggan pertama Mantra Coffee yang baru.

Tak lama berselang mulai berdatangan beberapa wajah lama.

Deva tersenyum melihat kedatangan pria kekar dengan tato di sekujur tubuhnya.

"Wah, gokil. Apa kabar, Mas Abet?"

Abet menjabat tangan Deva. "Baik, kamu apa kabar, Dev?"

Deva terkekeh. "Enggak kalah baik kok, Mas."

Abet menatap sekeliling. "Pantes pindahnya jauh banget, tempatnya APIK!"

"Harus itu!" celetuk Melodi yang tiba-tiba mendekati mereka.

"Udah lama enggak ketemu, makin cantik aja kamu. Gimana, sekarang udah nemu pengganti Deva?"

Melodi menyeringai. "Udah dong. Seribu persen lebih baik malah."

"Yah, Dev. Gimana coba itu?" ledek Abet.

Deva hanya bisa tertawa. "Baik dan buruk itu tergantung dari sisi mana kita melihat sih, Mas. Jadi tenang aja."

"Jadi penasaran orangnya yang mana," ucap Abet. "Udah dateng?"

Melodi kehilangan senyum tulusnya. Kini senyum itu pudar dan terlihat palsu.

"Aku ke dalem dulu ya, Mas, Dev." Melodi pergi begitu saja dari hadapan Abet dan Deva.

Deva mendekatkan wajahnya ke telinga Abet. "Orangnya udah meninggal, Mas."

Abet menepuk jidat. "Aduh, kamu enggak bilang sih, Dev."

"Mana saya tau kalo Mas Abet mau nanyain itu," balas Deva.

"Prekognisi dong, prekognisi."

"Ya elah, enggak sesimpel itu, Mas."

Abet terkekeh. "Ya udah, Mas mau liat-liat dulu deh sekalian ngobrol lagi sama Melodi."

"Oke, Mas."

Abet pergi meninggalkan Deva. Deva menatap Abet yang berjalan ke arah Melodi. Mereka berdialog entah apa, yang jelas Abet pasti sedang berusaha menghibur Melodi sebagai permintaan maafnya.

Semakin gelap hari, Mantra Coffee semakin ramai. Johana, Ajeng, Wira, Dewi, dan para pelanggan setia Mantra hadir memenuhi setiap sudut tempat ini. Sementara itu Nada masih duduk di balik bar sambil menggenggam ponselnya. Sesekali ia pandang dan berharap balasan pesan dari seseorang. Hingga pada satu titik ia tersenyum dan mulai menyerah untuk menunggu.

Nada menghela napas. "Ya udah deh, mungkin udah lupa. Udah lama juga."

Gemerincing lonceng di pintu berbunyi, Nada meletakan ponselnya dan segera berdiri untuk menyapa pelanggan yang baru saja tiba.

"Selamat datang di Mantra Coffee," ucapnya. Ingin gadis itu melanjutkan ucapannya dengan bertanya perihal pesanan, tetapi seketika mulutnya kaku.

Seorang pria berjalan masuk menghampiri Nada, ia menyematkan senyum ramah. "Hai."

Tak ada kata yang mampu diucapkan Nada saat ini meskipun banyak hal yang ingin ia ceritakan pada orang di hadapannya.

"Apa kabar?" tanya pria itu.

Nada tak berani menatap wajahnya, entah rasanya sudah lama sekali ia tak melihat wajah itu.

"Maaf enggak bales chat sama angkat telpon kamu, tapi aku dateng kok."

"Kenapa?" tanya Nada. Akhirnya gadis itu berbicara.

Pria itu menggaruk kepala. "Maaf ya. Toh, aku juga enggak enak sama pacar kamu kalo masih sering kontakan sama kamu."

"Faris ...."

Faris celingak-celinguk mencari keberadaan seseorang. "Yang mana orangnya, Nad?"

"Aku sama Cakra udah putus ...."

Faris terdiam. Kini giliran ia yang tak mampu berbicara. "Kenapa enggak bilang?" Ia merasa bersalah, jadi alasan kenapa akhir-akhir ini Nada sering mengubunginya adalah karena butuh seseorang untuk bercerita.

"Aku coba, tapi kamu enggak tersedia," balas Nada.

"Sekarang aku udah ready stock," timpal Faris. "Apa udah terlalu terlambat buat jadi pendengar cerita kamu?"

Cakra tiba-tiba muncul dan langsung berdiri di samping Nada. Ia mengajak Faris untuk berjabat tangan. "Cakra."

Faris membalas jabatan tangan itu. "Faris."

"Salam kenal," balas Cakra sambil tersenyum. Ia menatap Nada. "Sana ngobrol, udah lama nungguin Faris, kan? Biar aku yang urus bagian kamu."

"Cak ...."

"Udah sana." Cakra mendorong pelan Nada hingga gadis itu berdiri tepat di sebelah Faris. "Malam masih panjang."

Nada mengangguk. Ia berjalan keluar diikuti Faris. Memang, spot di luar lebih nyaman untuk membunuh waktu. Nada dan Faris duduk di luar, tepat di sebelah jendela.

"Ge-we-es," ucap Harits yang baru tiba dan langsung bermain dengan peralatan dapur.

"Santai," balas Cakra. Ia memandang Nada dan Faris yang berada di balik jendela. Bohong kalau Cakra tidak merasa cemburu.

"Gua bilang sih nyerah aja. Faris itu terlalu over power buat siapa pun yang mau dapetin Nada."

"Dan gua pun sadar, Faris itu kuat. Dia enggak memaksakan perasaannya dan malah nyuruh Nada buat bertualang sendiri. Sejauh apa pun Nada pergi, pada akhirnya Faris jadi tempat dia pulang," balas Cakra. "Susah cari pengganti Nada karena dia yang terbaik."

"Gua ngerti perasaan lu, Cok."

Cakra memicingkan mata. "Cok?"

"Mulai sekarang gua bakalan manggil lu begitu, biasain diri aja nyahaha. Yah, intinya ...." Harits memandang Sekar yang juga duduk di bagian luar Mantra. "Selalu ada yang lebih baik dari yang terbaik."

Ketika Harits sibuk menghibur Cakra, Faris sibuk menghibur Nada dan semua sibuk berbahagia. Ada seorang gadis yang mencoba ikut senang seperti yang lain, tetapi mau dihibur seperti apa pun, rasanya tak akan bisa. Melodi sendiri yang tanpa sadar menutup pintu kebahagiaannya sendiri dan lebih memilih tinggal di dasar nestapa.

Gadis itu duduk di panggung kecil. Ia sedang menyetel gitar sambil sesekali melirik ke arah teman-temannya yang sibuk menyapa para pelanggan. Berbeda dengan yang lain, Melodi menyapa semua dengan lagu-lagu yang akan ia nyanyikan.

Begitu jari-jari lentik Melodi menari di atas senar, semua mata terpusat pada permainannya.

Di tengah permainan gitar Melodi, sebuah mobil baru saja tiba. Dari mobil itu turun tiga orang dan langsung berjalan menuju kafe.

Deva yang sedang berdiri di pintu terbelalak menatap kehadiran mereka.

"Chandra."

Chandra berjalan diikuti kedua temannya di belakang. Ia tersenyum pada Deva. "Yo, long time no see."

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top