37 : Baru dan Berbahaya

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."
.

.

.

Sinar matahari memainkan permainan bayangan di bumi. Hari kemarin terlukis dalam bayangan yang menggoda, sementara waktu melangkah maju, merubah bayangan itu menjadi kenangan yang semakin jauh tertinggal. 

Minggu demi minggu silih berganti. Saat ini, Harits sedang duduk di kursi depan sebuah ruangan. Kerap kali ia mencuri tatap ke arah pintu dengan satu buket bunga anggrek di tangannya.

Pintu terbuka. Sekar keluar dari ruangan tersebut dengan seragam putih dibalut almamater biru dan juga rok hitam panjang. Gadis itu langsung dikerubungi teman-temannya, tetapi Harits masih duduk sambil tersenyum ke arah Sekar.

Setelah berfoto dan mendapatkan banyak selamat, Sekar baru menangkap kehadiran Harits. Jika biasanya ia selalu mengetahui keberadaan Harits lewat topi birunya, kini radar itu sudah tak ada. Sekar membalas senyum Harits dan memisahkan diri dari teman-temannya.

"Aku sempet enggak ngeh kalo kamu dateng," ucap Sekar. "Padahal udah sedih hawanya pas keluar enggak liat kamu ada di antara orang-orang tadi."

Harits tersenyum tipis. "Mana mungkin aku enggak dateng ke sidang tugas akhir pacar ku sendiri, kan? Nih, aku bawa anggrek."

"Kenapa anggrek?" tanya Sekar.

"Karena bunga anggrek itu melambangkan keanggunan dan kecantikan, jadi menurutku cocok aja," jawab Harits.

Sekar mengambil bunga itu. "Makasih ya, ganteng."

"Sama-sama. Oh, iya, kamu udah makan belum?" tanya Harits.

"Belum sempet. Niatnya selesai sidang mau makan bareng pacar," jawab Sekar.

"Nyahaha ya udah yuk kita makan."

Harits dan Sekar berjalan menuju Indogrosir yang berada di depan kampus mereka dan makan di food court lantai dua.

***

Sekar duduk menunggu Harits yang sedang memesan makanan. Ia memandang pria itu dengan senyum bahagianya. Sampai tiba waktu Harits datang dan duduk di sebelahnya.

"Kenapa senyam-senyum sendiri?" tanya Harits.

"Aku sempet berpikir kamu enggak akan balik lagi," ucap Sekar. "Aku pikir sekali pun kamu kembali, ada yang berbeda dari kamu."

"Bedanya?"

"Mungkin ada yang tertinggal di Melodi," jawab Sekar.

"Dan ternyata?" tanya Harits.

Sekar tersenyum. "Utuh."

"Ya iyalah. Melodi itu cantik, dia juga berbakat dan punya banyak kelebihan, tapi satu yang Melodi enggak punya, tapi kamu punya," ucap Harits.

"Apa tuh?"

"Aku."

Sekar tertawa mendengarnya. "Iya, ya. Ternyata Melodi enggak seberuntung aku."

"Nyahahaha jelas!"

"Kamu udah beli tiket ke Jakarta?" tanya Sekar.

"Belum sih, kenapa?"

"Bulan lalu aku ikut sertifikasi, terus lolos. Nah, belum lama di kampus ada jobfair juga kan khusus broadcaster gitu, terus aku iseng apply dan nyantumin sertifikat bulan lalu, nah tenyata dapet nih, ada yang tertarik. Terus aku mau ambil, dia kantornya di Jakarta," jawab Sekar. "Perkiraan sih dalam waktu deket ini aku dipanggil ke sana buat tanda tangan kontrak sekaligus mulai kerja."

"Wisudanya gimana? Ijazah belum keluar, kan?"

"Udah diobrolin juga kok, katanya enggak apa-apa nyusul, yang penting kan udah lulus. Kalo wisuda cuma simbolis aja, jadi gampanglah itu."

"Ikut seneng dengernya," balas Harits.

"Niatnya kalo emang bisa bareng, mau bareng kamu ke Jakartanya," ucap Sekar.

"Ya udah, nanti kita cocokin jadwal."

"Oh iya, Mantra gimana? Melodi, Nada, kamu sama Deva bakal pergi, kan?" tanya Sekar.

Harits tersenyum, lalu menghela napas sejenak. "Mereka bertiga KKN, udah pada berangkat semua. Melodi ke Bali, Nada ke Probolinggo, Deva ke Magelang."

"Harits ke Jakarta," sahut Sekar. "Sebentar lagi kalian lulus, terus kamu ada rencana apa?"

Harits tampak berpikir. "Belum tau, belum kepikiran."

"Kalian kuliah demi ngejar cita-cita, kan? Terus Mantra Coffee gimana? Kalo dari cerita kamu kan tentang orang tua kalian, selepas mereka lulus, Mantra tutup."

"Makanya itu belum tau," jawab Harits. "Masih harus dipikirin dan enggak bisa mikir sendiri perihal masa depan Mantra, masa depan kita semua."

Sekar meraih tangan Harits. "Ya udah pelan-pelan aja, semoga ada jalan terbaik buat kalian."

"Aamiin, makasih."

Dua pesanan makanan datang di meja Harits dan Sekar. Pembicaraan mereka pun terputus karena menyantap makanan. Topik berganti saat salah satu dari mereka mulai berbicara kembali.

Selesai kelas, Cakra langsung kembali ke Mantra, mengingat hari ini dua anak baru yang menggantikan empat rantai pertama tiba. Di Mantra Coffee ada Ippo dan Maya yang sedang berjaga, tetapi karena sepi jadi belum banyak aktivitas siang ini.

 "Kevin belum pulang?" tanya Cakra.

"Belum, emang enggak bareng?" tanya Ippo balik.

"Dia duluan tadi, paling jemput temennya," jawab Cakra.

"Nada enggak ditanya?" ledek Ippo.

"Udah tau, dia ada kelas hari ini, pulang sore," jawab Cakra yang hafal jadwal kuliah Nada.

"Cie-cie, masih inget." Ippo mulai terlihat menyebalkan di mata Cakra.

"Semuanya aku inget kok," ucap Cakra dengan senyum tipis. "Perlu aku sebutin satu-satu?"

Ippo terkekeh. "Enggak perlu, bercanda doang."

Di tengah pembicaraan itu, Kevin datang bersama teman laki-lakinya. Pria itu memiliki rambut agak berantakan dan wajah yang terlihat tegas.

"Tunggu sini dulu," ucap Kevin pada pria itu.

"Oke." Ia pun duduk di salah satu kursi pelanggan.

Dengan jempolnya, Kevin menunjuk temannya itu sambil menatap Cakra, seolah berkata bahwa memang dialah orangnya. Setelah itu, si tampan tersebut pergi ke atas untuk mengganti pakaian.

Cakra mengambil formulir pendaftaran dan memberikannya pada teman Kevin tersebut. "Diisi dulu ya, Mas."

"Oke." Ia mengeluarkan pulpen dari dalam kantong jaket, lalu mulai mengisi formulir.

Gemerincing lonceng berbunyi, kali ini bukan Kevin yang muncul, tetapi Harits dan temannya yang tak asing di mata Cakra.

"Ciao," sapa Rizwana.

"Nih, gua bawa penjaga Pantai Selatan buat bantu-bantu di sini," ucap Harits.

"Terus yang jaga Pantai Selatan siapa kalo dia di sini?" tanya Ippo.

"Ubur-ubur nyahahaha," jawab Harits. "Ya enggak perlu dijagain sih, dia aja yang pe'a jagain pasir kayak di toko bangunan nyahaha."

Di sisi lain Rizwana terdiam memandang ke arah pria yang dibawa oleh Kevin, senyum di wajahnya mendadak luntur. Sebaliknya, pria berwajah tegas itu justru tersenyum.

"Yo, Joker," sapanya.

'Joker? Kalo enggak salah itu nama panggilan si kampret waktu di Satu Darah, kan?' Pikir Harits.

Rizwana memandang ke arah sarung tangan putih yang menutupi kedua tangan pria itu. "Ngapain di sini?"

Ia bangkit dan berjalan ke arah Rizwana membawa kertas formulir yang sudah selesai ia isi. Ditunjukkannya kertas itu ke hadapan wajah Rizwana.

"Cari kerja," ucapnya. "Lu sendiri ngapain?"

Rizwana memandangnya dengan tatapan yang tajam. "Sama."

"Siapa dah itu? Lu kenal?" tanya Harits pada Rizwana.

Cakra diam mengamati mereka. Jika dipikir-pikir, memang wajah pria itu agak familiar seperti pernah bertemu entah di mana, tetapi Cakra lupa.

Rizwana menunjuk ke arah pria itu. "Namanya Raksaka Mintaraga. Dia itu ...." Telunjuk Rizwana terangkat naik membentuk angka satu. "Mantan Satu Darah."

Harits dan Cakra diam menganga, pada satu titik mereka meneguk ludah dan saling berpandangan.

"Cak ... gua naek dulu, ya," kata Harits sambil kabur meninggalkan Cakra.

Cakra sebenarnya ingin pergi juga mengejar Kevin dan Harits, tetapi mendadak suasana di Mantra menjadi tegang. Tenggorokannya mendadak kering, untuk meneguk ludah saja rasanya sulit.

Ippo menepuk pundak Cakra. "Sebentar lagi shift saya selesai, semangat berteman dengan para monster ini, Bung."

"Harits ... Kevin ... sialan," gumam Cakra. Ia kemudia menoleh ke arah Ippo. "Lu juga sialan!"

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top