36 : Persiapan KKN
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Melodi terduduk diam di hammock yang terletak di halaman belakang. Pandangannya kosong menatap ke arah pepohonan. Sebuah kaleng dingin menyentuh pipinya, membuyarkan lamunan Melodi di sore ini.
"Jangan bengong, nanti kesurupan," ucap Ippo yang baru saja datang dan menempelkan minuman kaleng ke pipi Melo.
"Itu yang aku harapin sih," balas Melodi sambil mengambil minuman kaleng yang dibawakan oleh Ippo. Tiba-tiba saja senyum mirisnya keluar. "Aku harap kesurupan setan kecil yang biasanya ada di sini."
"Mereka udah pergi?" tanya Ippo.
Melodi hanya membalasnya dengan anggukan kepala.
"Kamu sedih gara-gara mereka pergi atau ...."
Melo memicing. "Atau?"
"Atau kecewa gara-gara selesai main mama-mamahan sama Harits?"
Melo bangkit dan mencubit lengan Ippo. "Ya enggak lah! Najong banget."
Ippo terkekeh sehabis meledek Melodi. "Bagus deh."
"Udah cukup rasa khawatir kamu, Po, sekarang semua udah normal lagi kok. Maafin aku ya."
Ippo mengelus rambut Melodi. "Enggak apa-apa, toh tujuan kamu baik. Selama kamu tau tempat kamu pulang, itu udah cukup."
"Makasih udah ngertiin aku," balas Melodi. "Eh, ngomong-ngomong kamu udah mau pulang?"
"Shift pagi udah beres sih, udah gantian juga sama si Mamay, tapi belum mau pulang."
"Terus mau ngapain?" tanya Melodi.
Ippo mencubit pipi Melo. "Aaaaaa ... pikir aja sendiri."
Melo terkekeh diiringi dengan satu alis yang terangkat naik seolah meledek. "Ada yang kangen nih?"
"Aaaaa ... gimana ya." Sejenak Ippo menghentikan ucapannya dan menatap mata Melodi dalam-dalam. "Sebentar lagi kamu KKN, kan? Waktu kita buat ketemu makin mengikis. Setelah KKN, kamu skripsi, terus lulus. Abis lulus kamu mau pergi lagi, kan?"
Melodi menghela napas. "Itu kan baru rencana, Po, tapi tuh aku berarap ngikutin jejak yang Bunda lewatin dulu buat ke Jepang. Langkah demi langkah udah aku tapaki sampai ke titik ini, aku enggak bisa berhenti."
"I know," balas Ippo. "Makanya sekarang aku mau nikmatin waktu-waktu yang masih ada ini sebaik mungkin. Aku enggak mau ada penyesalan."
"Terus rencana kamu setelah ini apa?" tanya Melodi.
"Enggak muluk-muluk sih. Aaaaaa ... cuma mau jadi cowok yang mapan waktu kamu pulang ke Indonesia nanti. Mau cepet-cepet matenin kamu biar enggak diambil orang, sebelum kamu sadar."
"Sadar apa?" tanya Melo.
"Aku jelek," jawab Ippo.
Melo tertawa kecil sambil menggeleng. "Tumben sadar?"
"Dari dulu sadar kok, apa lagi sekarang sebelah mata sama tangan ku ...."
Kedua tangan Melodi meraih pipi Ippo dan menghadapkan wajah mereka hingga saling berpandangan. "Kita udah pernah bahas ini, kan? Enggak peduli gimana rupa kamu. Aku tau kamu lebih dari siapa pun, Po. Enggak ada cowok yang pernah seserius itu suka sama aku, kecuali kamu. Kamu harus bangga sama diri kamu sendiri, karena bisa luluhin perasaan aku dan ngalahin banyak cowok. Bagi aku ... kamu sempurna."
Ippo tersenyum. "Aaaaa ... terimakasih, Alunan."
Melodi ikut tersenyum. "Udah lama aku enggak denger kamu manggil aku begitu. Aku suka."
Ippo dan Melo duduk di hammock sambil menatap mentari terbenam di halaman belakang Mantra. Mereka bersulang dan meminum minuman kaleng yang Ippo bawa sambil membicarakan banyak hal.
Sementara itu di dalam Mantra Coffee, Harits duduk di belakang bar sambil menatap ke arah satu kursi kosong di bagian dapur. Hari ini ia mengenakan kaos putih lengan panjang digulung se-siku dan apron hitam, lengkap dengan celana kargo berwarna mocca. Hanya saja, tak ada lagi topi biru yang selalu bertahta di kepalanya. Pada satu titik, Harits terlihat menghela napas.
"Kangen Jaya?" tanya Nada yang sedang memperhatikan Harits.
"Enggak lah, ngapain nyahahaha."
"Harits, Harits, Harits." Nada menggeleng-gelengkan kepala diiringi senyum jahat. "Kita udah saling kenal dan duduk bareng di dapur Mantra hampir tiga tahun. Aku bukan cewek polos yang bisa kamu bohongin."
Harits menunjuk ke arah belakang Nada. "Apaan tuh?"
"Apaan?" Nada menoleh ke belakang, tetapi tak ada apa pun.
Harits kembali menghela napas. "Aku bukan cewek polos yang bisa kamu bohongi, ya? Ya, ya, ya, percaya."
Tatapan Nada berubah sinis. "Curang."
Di tengah percakapan mereka, Cakra datang membawa sebuah catatan. "Americano satu, chamomile satu, sama tubruk susu satu."
"Kerja, Nad, jangan banyak cincong dah nyahaha." Harits bangkit dan segera membuatkan dua pesanan tersebut.
Nada juga langsung bergerak membuatkan satu tea pot teh chamomile. Tak ada lagi perbincangan ketika mereka berdua bereksperimen di dapur, hingga ketiga menu tersebut selesai dibuat dan siap disajikan kepada pelanggan.
Cakra mengantarkan pesanan kepada pemesannya, lalu kembali ke depan bar dan duduk di sana.
"Jaya udah pergi. Enggak lama lagi kalian berempat juga," ucap Cakra. "Sepi deh. Ngomong-ngomong, kamu udah dapet kelompok KKN, Nad?"
Nada mengangguk. "Udah kok."
"Udah ada rencana juga?" tanya Cakra lagi.
Nada sedang berpikir, seperti berusaha mengingat memori beberapa hari terakhir. "Hmm ... kemungkinan ke Jawa Timur kalo enggak salah."
Cakra tersenyum. "Masa kalo enggak salah? Gimana sih."
"Kemungkinannya sih, Cak," balas Nada.
Kini pandangan Cakra berpindah pada Harits. "Kalo lu? Udah dapet tempat magang?"
"Udeh, di Jakarta," jawa Harits.
"Cepet juga dapetnya."
"Ada koneksi dari kakak tingkat yang udah lulus di sana. Jadi magang di production house sih jatohnya," balas Harits.
"Deva sama Melodi gimana?" tanya Cakra.
"Melo udah dapet kelompok, tapi masih belum jelas mau ke mana," sahut Nada. "Kalo Deva kurang tau."
"Sama dah, gua juga kagak tau," timpal Harits.
"Empat orang rantai pertama pergi, kayaknya harus nambah amunisi nih," ucap Cakra. "Mas Kiki, Mbak Maya, Ippo, aku sama Kevin kayaknya kurang."
"Ya udah, oprec aja part time, paling juga banyak," kata Harits. "Nanti gua buatin flyer-nya."
Cakra tersenyum. "Oke, makasih, Rits. Open dua slot aja, ya. Enggak usah banyak-banyak."
"Yang ilang empat nih buat beberapa bulan ke depan, yakin dua cukup?" tanya Harits.
"Yakin," jawab Cakra.
"Aku ada temen, nanti aku tanya. Kalau dia mau, mungkin dibuat satu aja," sahut Kevin yang tiba-tiba bergabung dalam pembicaraan. Rupanya sedari tadi ia pun berada di dapur, tetapi sibuk dengan menu makanan.
Harits menghela napas. "Gua juga ada sih, atau enggak nanti gua tanya orangnya deh, kalo dia mau, mungkin dua orangnya temen gua sama temen Kevin aja gimana?"
"Ya oke, no problem sih," balas Cakra.
Deva duduk bersama tujuh rekan ber-almamater karung goni, alias cokelat mudanya. Mereka tampak serius membahas sesuatu.
"Jadi aku karo Buluk wes nge-riset nang kawasan Mangli, Magelang, nang kaki Gunung Sumbing," ucap Deva. "Rencanane proker kita nantinya bakal mbangun mitra karo pemberdayaan masyarakat lewat sastra."
(Jadi gua ama si Buluk udah riset ke daerah Mangli, di Magelang, kaki Gunung Sumbing," tutur Deva. "Proker kita nantinya membangun Kemitraan dan pemberdayaan masyarakat melalui sastra)
"Tujuan prokernya buat apa, Pak?" tanya seorang mahasiswa jangkung berambut gondrong tergerai indah.
"Pertama pelestarian budaya, kedua peningkatan kesadaran budaya, terus pemberdayaan komunitas, peningkatan keterampilan literasi, pengembangan potensi kretaif, membangun jaringan kemitraan, pemberdayaan ekonomi lokal, pengembangan pendidikan, sama penyebaran nilai positif."
"Terus kegiatannya nanti ngapain aja, Dev?" tanya seorang gadis berhijab.
"Nah, ini gunanya raker, kita pikirin bareng-bareng, yang jelas contohnya kayak... ngasih pelatihan menulis kreatif buat pelajar dan masyarakat dengan tujuan untuk mendorong mereka untuk mengekspresikan ide dan cerita melalui tulisan. Pelatihan ini mencakup teknik penulisan kreatif, pengembangan karakter, sama penerapan berbagai gaya penulisan," jawab Deva.
Pembahasan seputar program kerja KKN pun berjalan alot dan kritis. Deva ditunjuk menjadi ketua kelompok karena prestasinya saat menjabat sebagai ketua BEM. Meskipun memusingkan, tetapi brainstorming malam hari ini berjalan lancar dan membuahkan hasil. Deva dan beberapa perwakilan akan mengajukan proposal ke daerah tujuan mereka di Magelang, kaki Gunung Sumbing.
Mereka semua pun berjalan keluar ruangan. Saat hendak pergi, Deva menoleh ke arah seorang gadis yang merupakan sekertaris kelompok.
"Vi, jangan lupa ya, kalo bisa minggu ini proposalnya udah jadi, biar kita lempar ke kampus sama desa tujuan," ucap Deva.
Devi tersenyum. "Siap, Pak ketu!"
"Ya udah, aku pulang duluan."
"Hati-hati, Dev," ucap Devi.
"Yo, kamu juga."
Deva berjalan pergi menuju parkiran. Saat hendak naik ke atas motor, tiba-tiba dering ponselnya berbunyi, pertanda ada sebuah chat masuk. Sejenak Deva membuka pesan tersebut, dan saat itu juga muncul senyum tipis di wajahnya. Deva menyempatkan diri membalas pesan itu, lalu pergi meninggalkan area kampusnya.
***
Menempuh waktu sekitar setengah jam, akhirnya Deva tiba di Mantra Coffee. Ia memarkirkan motor, lalu berjalan ke salah satu meja pelanggan yang berada di area luar.
"Hey."
Seorang gadis berkacamata dengan rambut disanggul menoleh dan memberikan senyum untuk Deva. "Hey," balasnya.
"Sendiri aja nih?" tanya Deva pada Chica.
"Tadi ada temen sih, tapi udah duluan."
Deva menatap ke arah tab milik Chica. "Lagi gambar apa?"
"Biasa," jawab Chica. "Gambar skets buat komik."
Deva menatap ke arah bangku di depan Chica. "Boleh aku ...."
"Oh, silakan. Aku tadi chat kamu nanya kamu di mana, maksudnya kalo lagi di sini minta temenin ngobrol gitu. Tapi kalo kamu lagi di luar mah enggak usah ...."
"Udah selesai kok, pas banget bubaran rapat tadi," celetuk Deva. "Santai."
"Oh, oke. Eh ngomong-ngomong rapat apa nih anak UGM?" tanya Chica yang sedang tersenyum memandang almamater yang Deva kenakan.
"Yah, biasalah semester tua, abis bahas KKN tadi."
"Oh, udah mau KKN aja, ya? Cepet banget. Sebentar lagi lulus dong?" tanya Chica.
"Kalo aku lulus jangan kangen, ya," ledek Deva diiringi kekehan.
"Pasti kangen," balas Chica. "Enggak banyak temen ngobrol aku di Jogja. Baru juga nemu temen yang seru, eh udah enggak lama durasinya di Jogja ternyata."
Deva terkekeh. "Durasi. Udah kayak film aja."
"Semoga lancar ya KKN nya."
"Aamiin, makasih, Ca."
"Oh iya, Dev." Chica memberikan tabnya pada Deva. "Aku buat alur gini, menurut kamu gimana?"
"Coba mana liat." Deva mengambil tab tersebut dan menatap satu per satu panel gambar yang Chica buat. "Keren, tapi masih ada kurangnya sih menurutku."
"Oh ya? Apa tuh?"
"Gimana kalo tokoh si Dirga ini punya kemampuan Braja?"
Chica memicing. "Braja?"
"Dalam bahasa Sansekerta, maknanya petir," jawab Deva.
"Tapi terlalu fantasi enggak sih? Tau sendiri kan, konsep ku tuh enggak yang overpower gitu tokoh utamanya."
"Menurutku sih perlu, tapi ya di nerf juga. Mungkin ada efek samping tertentu seumpama dia pake jurus Braja. Toh, di dalam tubuh manusia itu sebenernya ada medan listrik alami, yang tugasnya ngatur berbagai fungsi organ, mulai dari otak sampe jantung."
"Tapi menurutku tetep enggak logis, Dev."
"Nih ya, pasang kuping kamu yang kenceng, aku kasih paham." Deva menarik napas panjang, lalu membuangnya. "Listrik di dalam tubuh berasal dari tiga elemen utama, proton, elektron, sama neutron. Proton mengandung muatan positif, neutron mengandung muatan negatif, dan neutron muatannya netral. Dalam kondisi ideal, atom mengandung muatan positif dan negatif dalam jumlah seimbang. Nah, saat atom dalam kulit kelebihan elektron, maka tubuh akan banyak menghantarkan muatan negatif," ungkap Deva.
Chica hanya diam dengan takjub mendengar penjelasan Deva.
"Hal sebaliknya pun terjadi saat tubuh kelebihan proton. Muatan negatif selalu bergerak ke arah muatan positif. Pertemuan dan perpindahan kedua muatan tersebut menyebabkan reaksi statis kayak sengatan listrik. Enggak heran waktu atom pada kulit kelebihan elektron dan bersentuhan dengan seseorang yang kelebihan proton, muatan negatif kita akan bereaksi dengan muatan positif milik orang lain itu dan kerasa kayak kesengat listrik. Jadi sangat mungkin kalo ada orang yang bisa bikin orang lain kesetrum akibat ketidakseimbangan muatan proton dan elektron dalam atom tubuh."
"Tetep aja, Dev. Yaaaa—mungkin aku masukin ke catetan, tapi bukan yang ...."
Deva mengajak Chica bersalaman. "Yang apa?"
Sesaat gadis itu terdiam, seolah terpana oleh paras Deva yang terlihat memandangnya. Perlahan ia ulurkan tangannya dan menjabat tangan pemuda itu. "Enggak apa-apa, Yang."
Ketika kulit mereka saling bersentuhan, Chica langsung menarik tangannya kembali ketika merasa tersengat listrik. Melihat sikap Chica, Deva tersenyum.
"See? Kesetrum," kata pemuda itu sambil tersenyum.
Chica menatap heran. "Kok—bisa?"
"Kalo kamu butuh jagoan, sekarang dia ada di depan kamu," jawab Deva.
Chica tersenyum. "Oke, enggak heran kamu tau tentang prekognision. Jadi ...." Ia mencondongkan tubuhnya ke depan. "Siap jadi referensiku, jagoan?"
Deva pun ikut mencondongkan tubuh ke depan. "Siap."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top