35 : Luka dan Perpisahan

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."
.

.

.

Waktu terus bergulir, hari silih berganti, tak terasa hari ini adalah hari terakhir di mana Harits dan Melodi tenggelam dalam kepura-puraan. Di satu titik, mereka hanya bisa pasrah karena gagal menenangkan kedua hantu kecil mereka dan membuatnya pulang ke Alam Suratma.

Harits dan Melo duduk di taman Mantra pagi ini ditemani kicau burung yang bernyanyi. Tak ada kata yang terucap di antara mereka, hingga pada satu momen, Melo menarik napas.

"Cel, gua mau tanya. Selama lu bantuin mereka, ini baru pertama kalinya lu gagal, apa sebelumnya udah pernah gagal juga?" tanya Melodi.

"First time," jawab Harits singkat.

Wajah Melodi terlihat sendu. "Maaf ya, gara-gara gua lu jadi punya histori jelek."

"Santai enggak sih? Toh ini juga pertama kalinya gua ketemu kasus aneh. Biasanya cuma seputar pembasmian sama bantu nemuin kepingan puzzle yang tertinggal sebelum mereka meninggal, tapi khusus kasus Adi sama Ratna agak beda. Meskipun kita tau harus apa, tapi rasanya di satu sisi kita enggak tau apa-apa. Rasanya bukan kayak kehilangan kepingan puzzle, tapi kehilangan tempat nyusunnya. Kita udah punya semua kepingan, tapi enggak tau harus nyusun di mana."

"Nanti malem ada acara enggak?" tanya Melodi.

Harits menggeleng. "Enggak ada sih, kenapa?"

"Jalan yuk. Yaaa ... nikmatin waktu-waktu terakhir kita jadi orang tua itu bocah dua aja."

"Ke mana?" tanya Harits.

"Kalo enggak salah nanti malem ada pasar malem Sekaten deh," jawab Melodi.

"Ya udah gas aja. Sama anak-anak juga?"

"Iya, anak-anak kita," jawab Melo.

Harits tertawa mendengar ucapan Melodi. "Anak-anak kita, ya? Lucu juga. Padahal yang gua maksud tuh ajak Deva dan yang lain enggak?"

"Oh." Melodi ikut terkekeh. "Enggak usah lah, malah jadi akward yang ada. Toh, ini momen terakhir sama Adi dan Ratna juga. Mungkin setelah ini kita masih jadi orang tua angkatnya, tapi kan ... ibarat kata, kita udah cerai."

"Mama! Kejar Adi ayo!" seru Adi yang melayang di dekat pohon samping garasi.

"Tuh, Mama," ucap Harits.

"Iya, iya." Melodi beranjak dari duduknya. "Jangan sampai ketangkep ya, Kapten!" Melodi berlari kecil mengejar Adi.

Adi menembus tembok dan melesat ke sisi lain Mantra, membuat Melodi berdengus kesal. Melihat itu Harits terkekeh. "Buset, curang bener itu bocah nyahaha."

Melodi dan Adi bermain kejar-kejaran, sementara Ratna duduk di samping Harits. Anak yang satu ini sebenarnya agak seram, mengingat ia selalu diam dengan ekspresi datar dan tatapan kosong.

"Saya tahu kalian itu bukan orang tua asli saya dan adik saya. Saya hanya ingin berterimakasih karena kalian sudah mau menjadi orang tua kami dan membuat Adi merasa senang. Saya pun tahu kalian lelah mengurus kami dan berharap kami cepat pergi, tapi kami belum bisa pergi karena masih ada sesuatu yang tertahan di sini."

"Kamu udah bisa pergi, kan? Tapi sayangnya adik kamu belum. Sesuatu yang tertinggal itu adalah kebahagiaan adik kamu," balas Harits. "Masalahnya, apa kebahagiaan yang adik kamu cari dari kami?"

"Kami para arwah kehilangan beberapa kenangan kami, terutama apa yang membuat kami merasa tidak tenang dan penasaran. Jadi saya sendiri pun tidak tahu apa yang adik saya cari selama ini," jawab Ratna.

Harits menghela napas. "Yaaa—enggak apa-apa juga sih. Suatu hari nanti, kalian pasti bisa pulang kok, kumpul lagi bareng orang tua asli kalian."

"Orang tua asli, ya? Tapi saat ini, bagi saya kalian berdua itu adalah orang tua asli kami. Kami tidak pernah sebahagia saat bersama kalian. Dalam ingatan saya tentang keluarga saya dahulu, hanya ada kehancuran dan kepedihan."

"Tapi bagaimana pun juga, keluarga itu ya keluarga. Mau keluarga kamu jahat, tetep aja, itu keluarga kamu. Aku pikir, di alam sana, orang tua kamu menyesal atas apa yang mereka lakukan terhadap kalian, terutama Ayah kalian." Harits bangkit dari duduknya. "Yuk masuk, udah mulai panas." Ia berjalan menuju bangunan utama Mantra Coffee.

Ratna menatap heran ke arah Harits yang berjalan ke arah kafe. "Panas?"

Malam pun tiba. Melodi dan Harits pergi ke Sekaten bersama dua bocil hantunya. Sebetulnya malam ini mereka berdua ada shift di Mantra Coffee, tetapi mereka menukarnya dengan shift Maya dan Rizky, tentu saja sudah berkordinasi dengan yang bersangkutan.

Malam ini Harits mengenakan celana pendek dengan atasan jaket bomber berwarna hitam, ia agak berbeda karena sudah beberapa hari belakangan tak mengenakan topi biru khasnya yang ia berikan pada Jaya. Sementara itu, Melodi mengenakan kaos putih dengan bawahan celana denim pendek di atas lutut.

Cahaya lampu warna-warni menyinari setiap sudut Sekaten. Harits, Melodi, Adi, dan Ratna berjalan beriringan di antara keramaian pasar yang ramai. Di mata orang-orang, mereka hanya berdua saja.

"Ippo enggak apa-apa nih?" tanya Harits. "Tadi kayaknya sedih aja liat mukanya, jadi enggak enak."

"Ya mau gimana lagi? Toh ini juga hari terakhir kita pura-pura, kan?"

"Iya sih, tapi jangan sedih begitu dong, Cantik," goda Harits.

"Idih alah, geli banget dengernya," balas Melodi.

"Papa, mau itu," ucap Adi menunjuk sebuah gerobak dagangan.

Harits dan Melodi pun berjalan ke arah gerobak gulali warna-warni yang ditunjuk oleh Adi.

"Sijine piro, Pak?" tanya Harits.
(Satunya berapa, Pak?)

"Lima ngewu, Mas," jawab pedagang itu. "Buat mbak e?"

"Enggak, bukan buat saya, Pak," sanggah Melodi. "Emang dia aja seleranya agak kekanak-kanakan, maklum masih dalam tahap pertumbuhan."

"Enggak apa-apa, aku kan suka yang manis-manis kayak kamu," ucap Harits dengan jurus gombal turunan Andis.

"Apa sih." Melodi memalingkan wajah dan berjalan agak menjauh dari pria itu.

Harits terkekeh melihat tingkah Melodi. Ia membayar dua buah gulali dan memberikannya satu pada gadis itu. Adi dan Ratna memandangi permen gulali tersebut dengan antusias. Tanpa basa-basi, mereka menyerap sari-sari kehidupan gulali tersebut hingga kering.

Begitu selesai dengan makanannya, Adi berlari ke arah wahana permainan diikuti Ratna. Harits terkekeh melihat semangat anak itu. "Ayo, jangan mau kalah!" Ia menarik tangan Melodi dan berlari mengejar dua anak setan itu.

Melodi terdiam, langkahnya bergerak mengikuti tangannya yang digandeng oleh Harits. Ia menatap pemuda itu dalam tayangan lambat dengan wajah memerah.

"Nyahaha kocak!" ucap Harits.

Pecah sudah lamunan Melodi. Ia mendongak ke arah wahana Tong Setan, yang mana ada beberapa motor yang berputar-putar dengan kecepatan tinggi di dalam sebuah lingkaran. Perlahan ia pun ikut tertawa ketika melihat Adi dan Ratna duduk melayang seolah sedang dibonceng oleh para pengendara tersebut.

"Mama! Papa!" teriak Adi sambil melambaikan tangan.

Melodi tersenyum dan membalas lambaian tangan Adi. Kini giliran Harits yang terpesona melihat senyum manis gadis itu. Ia langsung memalingkan wajah sebelum lebih jauh terseret tipu daya Melodi.

Setelah itu Adi kembali berlari diikuti oleh Ratna. Kedua orang tuanya sudah lelah. Harits dan Melodi pun berjalan santai mengikuti Adi dan Ratna. Namun, mereka sepertinya tak sadar bahwa tangan mereka masih bergandengan layaknya pasangan sungguhan.

Di sisi lain Adi yang berlari dengan girang sontak berhenti. Ia terdiam dengan pandangan lurus ke arah salah satu wahana permainan.

"Kapan-kapan kita ajak Papa naik juga, ya. Adi mau, kan Papa nemenin Adi main?"

Air mata bocah itu luruh ketika terbesit sebuah kenangan di masa lalunya yang sempat hilang darinya. Melihat satu wahana itu, terbesit sekelebat ingatan di benaknya, tentang kenangan bersama Ibu dan Kakaknya saat bermain di Sekaten. Adi pernah berharap, Papanya ikut melengkapi satu kursi yang kosong di wahana itu.

"Mama! Papa! Mau itu!" Tunjuk Adi dengan mata berbinar.

Harits dan Melodi menoleh, menatap wahana Bianglala. "Berani, Doy?" tanya Harits.

"Ya elah gituan doang masa takut?"

"Kan naeknya bareng setan nyahahaha."

"Iya juga sih, tapi enggak serem setannya, Cel hahaha."

"Ya udah yuk, naik," ucap Harits tersenyum.

"Yuk," balas Melodi membalas senyum Harits.

Mereka berdua berjalan bergandengan tangan hingga di depan wahana. Begitu hendak naik, mereka baru sadar dan saling melepaskan tangan.

"Eh, sorry, kelamaan kan tuh nyahaha."

"Hahaha santai," balas Melodi.

Melo dan Harits naik ke dalam Bianglala diikuti Adi dan Ratna yang menembus tanpa membayar. Perlahan Bianglala naik dan menampilkan pemandangan Sekaten yang penuh dengan lampu-lampu terang.

Harits dan Melodi duduk berseberangan, sementara Adi dan Ratna tampak bersemangat duduk di sebelah orang tuanya. Melo menoleh ke arah luar.

"Pemandangannya bagus ya," ucap Melo berbasa-basi.

"Iya, bagus," jawab Harits yang terpana memandang Melodi. Gadis itu tak sadar jika sedang dipandang oleh Harits.

Pada satu titik, Melo menoleh dan menatap ke arah Harits. Pandangan mereka bertabrakan, tetapi tak ada yang mau mengalah dan berpaling, seolah ada sebuah daya tarik-menarik di antara kedua bola mata tersebut.

Wajah Melodi perlahan memerah ketika sadar sedang berpandangan dengan Harits yang tampil tak dengan topinya lagi. Dalam sekejap, ruang di sekitar mereka terasa hening yang canggung. Meskipun Bianglala terus berputar dan pemandangan Sekaten semakin indah di bawah mereka, Harits dan Melodi seperti terperangkap dalam dunianya sendiri.

Melihat reaksi Harits dan Melodi saat ini membuat Adi tersenyum sambil menyipitkan matanya.

"Hah? Ta-tadi lu bilang apa?" tanya Harits yang salah tingkah karena ditatap Melodi.

Melodi tergagap sejenak, seolah merangkai kembali kata-katanya. "Eh, i-iya, gua bilang pemandangannya bagus."

"Ta-tapi daripada pemandangan di luar, kayaknya yang di dalem lebih bagus deh," ucap Harits.

"Ma-maksudnya gimana tuh?" tanya Melodi.

"Ya-ya-ya ... malem ini lu cantik, tu-tumben," jawab Harits.

"Ma-makasih," balas Melodi dengan senyum malu-malu.

Di tengah suasana akward itu, tiba-tiba Melodi menatap sekitar. "Eh, Cel."

"Ya? Kenapa?"

"Itu anak dua mana?" tanya Melo.

Harits pun baru menyadari bahwa saat ini hanya ada mereka berdua di dalam Bianglala tersebut. Suasana pun semakin canggung mengingat kedua bocah itu sudah menghilang lagi.

"Ah, paling nembus tembok," ucap Harits.

Mendengar jawaban Harits membuat Melodi tertawa. "Kamu lucu banget sih," kata gadis itu.

"Kamu juga lucu," balas Harits.

Sesaat mereka kembali ditelan keheningan. Tak ada lagi kata yang terlontar di antara mereka, tetapi dua pasang mata mereka masih saling melirik dan pandangan mereka kerap bertabrakan. Keadaan terus begitu hingga mereka berdua turun dan menapakkan kakinya di tanah kembali.

"Kita cari Adi sama Ratna yuk, terus pulang," ucap Melo. "Udah mendung langitnya."

"Yuk."

Melo dan Harits berjalan berdekatan, tetapi kali ini mereka tak bergandengan tangan. Dua pasang mata itu kini fokus menemukan keberadaan dua anak transparan yang berkeliaran di tengah keramaian. Namun, berkeliling sebanyak apa pun, mereka masih tak mampu menemukan Adi dan Ratna.

"Kita pencar deh yuk, nanti ketemu lagi di abang-abang gulali," ucap Harits.

"Oke."

Mereka pun berpencar untuk efisiensi waktu. Sesekali Melodi dan Harits meneriakkan nama Adi dan Ratna sampai beberapa orang ikut membantu mencari, padahal mereka tak bisa melihat kedua anak setan itu.

Sampailah di mana Harits dan Melo saling bertemu kembali. Mereka berkeringat dan terlihat ngos-ngosan.

"Ketemu?" tanya Harits.

Melo menggeleng. "Kamu gimana?"

Harits juga menggeleng.

Seorang pria menghampiri mereka. "Yang sabar ya, Mas, Mbak, nanti juga anaknya ketemu. Lapor saja ke petugas, biar nanti diumumkan menggunakan pengeras suara."

"Oh, oke," balas Harits.

Tanpa sadar, mereka menjadi pusat perhatian di Sekaten. Orang-orang ini menganggap bahwa Harits dan Melodi adalah pasutri muda yang kehilangan anak mereka di karnaval ini.

Tak lama setelah itu, hujan pun mengguyur Bumi. Harits dan Melodi berteduh di salah satu tenda besar, mereka tak bisa kembali ke mobil karena jarak yang cukup jauh dan volume hujan yang deras.

Harits memperhatikan Melodi. Ekspresi gadis itu terlihat sedih. Ia meneguk ludah dan memberanikan diri mengusap kepala Melodi.

"Sabar, nanti juga ketemu," ucap Harits.

Mata Melodi berkaca-kaca. "Aku khawatir sama mereka. Kalo mereka ketemu roh jahat kayak waktu itu gimana coba?"

Melodi menggenggam jaket Harits dan membenamkan wajahnya di lengan pria itu. Matanya ikut hujan seperti langit Jogja malam ini.

Hujan malam ini membawa hawa dingin dan kabut tipis yang menyelimuti kota Jogja. Harits berusaha menjaga kewarasannya setengah mati, sebab ada hati yang sedang ia jaga. Pria itu pun mendorong tubuh Melodi lembut, membuat jarak tipis di antara mereka. Ia membuka jaket dan memakaikannya pada gadis itu, lalu menarik kupluknya menutupi wajah Melodi yang sedang menangis.

"Salah sendiri pake baju begitu, jadi dingin, kan? Pake aja jaket ku dulu, biar sekalian bisa ngumpet. Udah, enggak apa-apa kalo mau nangis, keluarin aja."

Harits sudah menyadari sesuatu yang Melodi tak sadari. Bahwasanya, hujan ini merupakan sambutan untuk jiwa yang berpulang. Kabut tipis yang menyelimuti Sekaten pun menjadi penegas bahwa saat ini ada maut yang sedang menjemput jiwa tersebut.

Harits tersenyum tipis, tetapi ekspresinya terlihat seolah sedang menahan getir. Ia menutup matanya diiringi setetes air yang keluar dari sela-sela matanya.

"Terimakasih, Mah, Pah ...."

Melodi dan Harits saling berpandangan kembali setelah mendengar samar-samar bisikan tersebut.

"Harits ...," panggil Melodi.

"Mereka udah pulang," ucap Harits.

Melodi menangis sejadi-jadinya. Gadis itu mendekatkan dirinya pada Harits dan menangis di dada pria tersebut. Harits menutup mata, masih berusaha bertahan agar tidak menangis. Ia mendekap Melodi sambil menepuk-nepuk pundaknya.

"Jangan sedih, nanti mereka ikut sedih," ucap Harits.

Padahal Melodi sangat ingin kedua hantu itu cepat pergi dari Mantra, tetapi seperginya Adi dan Ratna dari kehidupannya ... rupanya ada luka yang membekas dan melubangi hati gadis itu.

Tak ada lagi gelak tawa menyebalkan yang selalu mengikutinya, tak ada lagi suara anak-anak yang selalu saja memanggilnya, dan tak ada lagi seruan bocah yang mengajaknya bermain.

Perpisahan bukanlah akhir, melainkan awal dari kenangan yang abadi. Luka yang terasa hari ini adalah saksi dari cinta yang pernah begitu besar. Dalam setiap kepergian, kita belajar bahwa sayang tak selalu datang dengan kehadiran, namun bisa tetap melekat di hati yang penuh kenangan. Luka ini akan sembuh, tapi kenangan dan cinta akan terus bersinar dalam gelapnya malam.

Luka adalah saksi perpisahan, tetapi juga tanda bahwa kita pernah memiliki sesuatu yang berharga. Biarkan rasa sakit mengalir, tapi jangan biarkan ia merampas keindahan kenangan. Dalam setiap luka, ada kekuatan untuk membangun kisah baru dan menciptakan kebahagiaan.

Seiring perpisahan, luka menyelinap masuk seperti hujan ke dalam tanah kering. Namun, dari setiap tetesan air hujan, akan selalu tumbuh kekuatan baru.

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top