34 : Keinginan

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."
.

.

.

Hari berganti hingga tak terasa sudah satu minggu setelah kepergian Jaya dari Mantra Coffee. Rasanya dapur ini sepi tanpa hadir pria itu. Harits merasa kesepian, duduk sendirian di salah satu sudut ruangan yang biasanya penuh dengan canda tawa sahabatnya. Tatapan kosongnya melayang-layang ke sekeliling, mencari kehadiran yang sudah tak lagi ada.

Dulu, Jaya selalu ada di sini, di tengah hiruk-pikuk suara mesin kopi yang bekerja, tertawa bersama, dan menjadi badut Mantra bersama Harits. Sekarang, kehadiran Jaya hanya terasa dalam kenangan yang terpampang di dinding-dinding dapur.

Harits menatap jendela, rasanya seperti kehilangan bagian dari dirinya. Setelah Kerdil, lalu Jaya. Sama halnya seperti Jaya, Harits pun telah melewati banyak perpisahan dalam hidupnya.

"Mas, satu Americano, ya" panggil pelanggan dari salah satu meja.

Harits menggelengkan kepala, mencoba mengusir rasa sepi yang memeluknya. Dengan langkah berat, ia beranjak ke mesin kopi. Kini aroma kopi terasa lebih pahit tanpa kehadiran Jaya.

Di tengah kesibukannya membuat kopi, Melodi muncul diikuti dua bocil hantu, yang mana hanya Harits yang mampu melihatnya. Melodi berjalan menghampiri Harits.

"Waktu kita tinggal satu minggu nih," ucapnya pada Harits. "Lu ada rencana enggak? Lewat seminggu pura-pura pacaran kita selesai. Ini anak dua gimana?"

Harits menghela napas. "Nanti gua pikirin deh. Sekarang fokus dulu. Selesai shift, kita ngobrol berdua."

"Oke," balas Melodi. Gadis yang sebenarnya sedang off di kafe itu berjalan keluar menuju kamarnya lagi diikuti Adi dan Ratna.

"Mama, main ya," ucap Adi sambil tersenyum menggandeng tangan Melodi.

"Main sono jauh-jauh," balas Melodi dengan logat bercanda.

Malam itu, setelah shift berakhir, Harits duduk di sudut kafe yang sunyi. Melodi duduk di hadapannya bersama kedua hantu anak kecil, Adi dan Ratna yang duduk di samping mereka.

"Mbak e, gimana cara biar mereka bisa pulang tenang nih?" tanya Harits pada Melodi.

Melodi mengedikkan bahu. "Gua juga enggak tau, lu udah kepikiran ide belum? Makanya gua ngajak brainstorm."

"Apa kita harus ciuman kayak film-film Disiniy? Nyahaha."

"Idih najong. Enggak deh, makasih," balas Melodi. "Mending cium karpetnya Aliudin."

"Aladin, Pe'a!" sahut Harits. "Aliudin mah macannya Persija."

"Ma, Pa, Ayo kita main," ucap Adi.

"Duh, gua udah capek banget seharian main sama mereka, Cel. Lu dong gantian."

"Lah, kok gua?"

"Lu bapaknya," jawab Melodi.

"Lah, lu emaknya," balas Harits.

Melodi terdiam sejenak. "Gua tuh bingung. Mereka butuh orang tua dan mereka udah dapetin itu dari kita. Mereka mau apa juga kita turutin. Mereka ngajak main, kita juga selalu ada. Secara, mereka udah ngerasain punya keluarga yang bahagia, kan?"

"Emang lu bahagia?" tanya Harits tajam menohok. "Bahagia lu jalanin ini semua bareng gua? Bareng anak-anak?"

Melodi memikirkan jawabannya. Wajahnya tertunduk tak berani menatap ke arah Adi dan Ratna. "Sejujurnya, sesekali gua ngerasa seneng, tapi dominan ke arah pressure. Apa mungkin itu alasannya mereka belum bisa pulang? Karena sekeras apa pun kita selama ini mencoba, nyatanya kita cuma dua orang yang berpura-pura."

Sekejap mereka berdua ditelan keheningan. Pada satu titik, wajah Harits memerah. "Gi-gimana kalo seminggu waktu yang kesisa ini, ki-kita pacaran beneran? Duh, gimana ya ... maksud gua tuh, apa ya bilangnya ...."

"Ya-ya-ya gu-gua juga mikir gitu sih. Gua ngerasa ka-kayaknya kita juga harus bahagia jalaninnya deh, bukan cuma mereka," balas Melodi dengan wajah tak kalah merah. "Se-minggu enggak apa-apa kali ya?"

"Ka-kalo gitu mulai besok, ki-kita mulai serius?"

Melodi mengangguk malu tak berani menatap Harits. "Ya--udah."


Hari-hari berikutnya, Harits dan Melodi mencoba menjalani kepura-puraan itu dengan serius. Mereka terlihat canggung, tetapi dalam kecanggungan itu, tumbuh keakraban yang membuat hati mereka hangat.

Suatu sore, Harits dan Melodi duduk di sudut taman yang teduh, ditemani oleh Adi dan Ratna yang bermain-main di sekitar mereka. Sehelai daun jatuh dari atas pohon dan mendarat di rambut Melodi.

Harits refleks mengambil daun di rambut Melodi. Dalam momen itu, pandangan mereka bertemu dan terjadi momen freeze. "A-ada daon."

"Oh, i-iya, makasih, Rits."

"Sama-sama."

Dunia kembali hening, menyisakan kicau burung sore yang terdengar sumbang. Di tengah keheningan itu, tiba-tiba Adi menghampiri mereka berdua.

"Mama! Papa! Ayo kita foto bareng!" seru Adi.

"Foto apaan?" tanya Harits.

"Adi mau punya foto keluarga," jawab Ratna mewakili adiknya.

Harits dan Melodi saling pandang-memandang, kemudian serempak mengangguk setuju. Mereka sama-sama berpikir bahwa apa jangan-jangan hantu-hantu itu hanya ingin memiliki foto keluarga? Rupanya begitu, terdengar mudah dan sederhana.

Harits punya ide. Di daerah UGM, ada sebuah studio foto yang mana mereka bisa menyewa satu ruangan untuk private.

"Jadi enggak perlu pura-pura kalo kita lagi berdua doang. Kalo private gitu kita bebas mau ngobrol sama dua krucil itu," kata Harits. "Jadi enggak butuh fotograferlah intinya. Nanti kalo ada fotografer, doi bingung soalnya enggak bisa liat si Adi sama Ratna."

"Oke deh boleh, gua ganti baju dulu sebentar."

"Oke, gua juga mau siap-siap kalo gitu."

"Eh, Rits," panggil Melodi.

"Oit?"

"Jangan lupa, bajunya yang senada, ya. Warna putih ada?"

Harits mengangguk. "Ada kemeja putih kok."

Saat melanjutkan langkah, giliran Harits yang memanggil. "Oi."

Melodi menoleh. "Ya?"

Wajah Harits kembali memerah. "Yang cantik ya."

"Emangnya kapan pernah enggak cantik?" tanya Melodi diiringi senyum tipis meledek.

"Enggak pernah," jawab Harits.

Gantian, wajah Melodi yang dibuat merah. "Ya udah, gua siap-siap dulu, bye."

Mereka pun bersiap-siap untuk melakuan sesi foto keluarga absurd tersebut. Selang hampir setengah jam, mereka pun sudah siap dan segera pergi menuju daerah UGM mengendarai mobil Kevin.

Studio foto di daerah UGM menjadi saksi bisu dari momen unik yang akan terjadi. Harits dan Melodi berdua, bersiap-siap dengan baju yang senada. Harits mengenakan kemeja putih, sedangkan Melodi memilih blouse berwarna putih dan rok hitam sehingga terlihat elegan dan cantik.

"Sekarang kita enggak harus pura-pura buta," ucap Harits sambil tersenyum.

Melodi mengangguk. "Iya, ini kesempatan kita buat ngatur si Adi sama Ratna."

Mereka memasuki ruangan foto dengan latar belakang yang bisa diganti-ganti, menciptakan suasana yang nyaman. Adi dan Ratna duduk di tengah-tengah kedua orang tuanya.

Harits dan Melodi dengan canggung mengambil posisi, merangkul Adi dan Ratna. Terlihat candaan dan tawa dari keempatnya, menciptakan momen yang terkesan natural.

Harits memencet tombol kontroler untuk mengambil gambar. Seketika itu kamera pun berbunyi dan mereka segera melihat hasilnya di layar tablet besar di depan.

"Ih lucu!" ungkap Melodi. "Lagi-lagi-lagi."

Mereka melakukan berbagai macam pose, dari pose kaku hingga tak tahu malu. Hingga pada satu titik, Adi tersenyum menatap ke arah Harits dan Melo.

"Mama sama Papa berdua!"

"Wayoloh, gimana ini?" tanya Harits.

"Ya udah, mau gimana lagi? Udah nanggung," balas Melodi.

"Terus gimana nih?" Harits tak tahu harus berpose seperti apa.

"Yaa ... apa kek, gandeng gua apa gimana gitu. Ma-masa gua duluan?"

"Oh, biar kalo nanti ada salah paham, gua jadi yang mulai, ya?" tanya Harits.

Melodi terkekeh. "Tuh tau! Cewek selalu benar."

"O-oke. Kalo gitu gua izin." Harits meraih tangan lembut Melodi dan menggandengnya.

"Senyum!" ucap Adi.

"Bacot bocah iblis," lirih Harits. Ia memaksakan senyum.

Melihat ekspresi Harits yang kaku, Melo perlahan-lahan malah tertawa. Lambat laun, Harits yang malu pun ikut tertawa. Momen mereka bergandengan sambil tertawa itu terlihat natural seperti pasangan yang romantis dan bahagia. Adi dengan kekuatan supranaturalnya memencet tombol foto dan mengabadikan momen itu.

Waktu bergulir. Setelah setengah jam menggunakan studio itu, sesi pun berakhir. Setelah sesi foto selesai, Harits dan Melodi menatap hasil foto-foto mereka.

"Liat, liat, liat!" seru Adi.

Harits menggendong anak itu di atas pundak sehingga mampu melihat layar tablet besar yang menjadi sarana visualnya. Terlihat kebahagiaan di wajah Adi dan Ratna, seolah menemukan keluarga yang mereka idamkan.

Setelah lelah berfoto, mereka mencari tempat untuk makan malam. Kebetulan Adi ingin makan daging, jadi mereka pergi ke tempat makan all you can eat. Bayar dua, makan berempat hiyahiyahiya.

Saat sedang mengemudikan mobil, Harits melirik ke arah Melodi. "Makasih, ya, Doy."

Melodi tersenyum. "Santai kali. Toh kayaknya mereka juga seneng."

Melodi tertawa. Ia menoleh ke arah belakang. "Adi sama Ratna seneng?"

"Senang!" jawab Adi.

Melihat Adi senang, Ratna pun ikut senang. "Senang," jawabnya datar.

"Tapi kok belom pergi ya, Rits?" tanya Melo lagi.

"Nah itu yang gua heran. Harusnya kalo keinginan mereka terpenuhi, mereka tuh dijemput kabut gitu," jawab Harits. "Tapi ini kagak ada kabut-kabutan Suratma."

"Kena prank dong kita?"

"Ya udahlah, masih ada beberapa hari lagi. Nikmatin aja, siapa tau mereka ilang sendiri nanti," kata Harits.

"Oke deh."

"Tapi kalo mereka betulan pergi, lu jangan suka sama gua beneran ya, Doy," ucap Harits terkekeh.

"Lu kali yang suka sama gua? Ada potensinya, kan? Gara-gara muka gua mirip Nada dan lu suka sama dia dulu. Siapa tau diem-diem masih ngarep lo, Cebol!"

"Yeeee, ngomong apa sih lu tai kering!"

"Dih, kalah sama cewek langsung kasar ngomongnya. Banci!"

"Deh, lu tomboy!"

Melihat tingkah mereka berdua, Adi dan Ratna tertawa dari kursi belakang.

Sesampainya di tempat makan, Adi dan Ratna makan dengan lahap. Namun, Harits dan Melodi seperti kurang menikmati hidangan mereka, sebab sari-sari kelezatan daging-daging panggang itu sudah dirampas dari wadahnya.

"Anying, ini mah sama aja makan daging mentah kagak pake bumbu," umpat Harits.

Melodi tertawa mendengarnya. "Ya udahlah ya, demi anak-anak."

Harits menghela napas. "Apa boleh buat. Nunggu mereka kenyang pun percuma, enggak akan kenyang. Laper mereka itu lebih ke hasrat."

Harits memakan daging panggang tanpa rasa itu dengan akting makan sungguhan seolah menikmati setiap kunyahannya.

Pada satu titik, Melodi bangun dan berdiri, mencondongkan tubuh ke depan dan meraih kerah kemeja Harits. Gadis itu membersihkan setitik noda yang melekat di pakaian pemuda tersebut.

"Baju kamu kotor," ucap Melodi.

Harits terdiam memandang wajah Melodi yang agak dekat dengannya. Ia perhatikan bibir gadis itu. "Kamu pake lipstick?"

"Kenapa?" tanya Melodi.

Harits meneguk ludah. "Bibir kamu merah, manis."

Pada satu momen itu juga mereka tersadar dan refleks melirik ke arah Adi dan Ratna yang sedang tersenyum dengan ekspresi aneh.

"Ngapa jadi aku kamu dah kita?" ucap Harits menjauhkan diri dari Melodi.

Melo pun duduk kembali dan terlihat canggung. "Entah, cuma kebawa suasana aja mungkin. Aneh banget ya."

Setelah itu tak ada momen berarti lagi sampai mereka selesai makan dan hendak pulang. Adi menggandeng tangan Melodi.

"Mama, temenin Adi duduk di belakang, ya."

Melo tersenyum sambil mengusap kepala anak itu. "Oke, Kapten!"

Melodi, Adi, dan Ratna duduk di kursi tengah mobil, sementara Harits seorang diri menyetir di depan tanpa pasangan. Suasana begitu tenang, pemuda itu pun menyalakan radio untuk membunuh sepi.

"Sengaja aku datang ke kotamu. Lama kita tidak bertemu Ingin diriku mengulang kembali. Berjalan-jalan bagai tahun lalu ...."

Radio memperdengarkan lagu Sepanjang Jalan Kenangan milik Tetty Kadi yang dibawakan kembali oleh The Rain. Ia lirik keluarga palsunya dari kaca depan. Muncul kurva di bibirnya saat menatap Melodi yang tertidur dengan kedua bocah yang ikut tertidur bersandar di sisinya.

https://youtu.be/X14Bvh29kbY


.

.

.

TBC


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top