33 : Senja Terakhir
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Jaya duduk seorang diri menatap mentari terbit di pantai Parangtritis ditemani riuh ombak dan desir angin.
Iris datang dan duduk di sampingnya. "Kamu yakin enggak apa-apa?"
Pecah sudah lamunan panjang itu. Gundah dan sedih menyelinap dalam senyumnya, seakan angin pantai ikut merasakan getir yang Jaya tahan.
"Mantra itu adalah akar pertama saya di sini, yang mengubah kota asing ini menjadi rumah yang hangat. Mereka yang nolong saya dari kolam darah tepat di tempat ini dua tahun yang lalu."
Iris merapatkan tubuhnya pada pria itu, ia raih tangan penuh luka milik Jaya dan mengusapnya lembut sambil menyandarkan kepala Jaya ke bahunya.
Tubuh Jaya bergetar dengan wajah terbenam di bahu Iris. Tak ada kata-kata yang mampu ia ucapkan pada gadis itu. Iris berusaha tersenyum, meskipun getir pria itu membuatnya ikut bersedih.
"Have fun ya, hari ini," ucap Iris mendekap Jaya erat-erat. "Keluarin nangisnya sekarang, biar nanti bisa senyum ke mereka."
Siang ini mobil Kevin tiba di Pantai Parangtritis. Harits, Deva, Melodi, Nada, Cakra, dan Kevin keluar dari dalam mobil. Mereka berenam disambut oleh Jaya dan Ippo yang sudah berada di sana terlebih dahulu karena lokasi tempat tinggal mereka yang lebih dekat dengan pantai.
"Kalo diinget-inget, kita belum pernah punya foto bareng-bareng, foto yuk," ucap Jaya yang sudah menyiapkan kamera dan sebuah tripod.
"Wah, si anak kampung mantep juga persiapannya nyahaha," celetuk Harits.
Jaya tersenyum. "Harus dong."
"Kasih quotes, Rits," sahut Deva.
Harits hendak membuka mulut, tetapi Jaya langsung menyumpalnya dengan tangan. "Nanti dulu, foto dulu. Abis foto baru kita perang quotes," balas Jaya.
Mereka pun berbaris membuat formasi untuk berfoto. Jaya, Deva, Kevin, dan Ippo berdiri di belakang, sementara Harits, Cakra, Nada, dan Melodi berada di posisi depan. Jaya sudah mengaktifkan fitur timer, jadi dalam beberapa detik kameranya akan mengambil gambar dengan flash sebagai tandanya.
Selesai berfoto, Melodi dan Ippo bermain pasir menulis nama mereka, sementara Nada berjalan mengejar kepiting diikuti Kevin. Sisanya tinggal empat pria gabut. Harits menatap ke arah Jaya yang sesekali terlihat melamun.
"Udah, Jay, enggak semua yang terjadi itu harus dipikirin," sambar Harits. "Inget, lu enggak punya otak nyahahaha."
Jaya tersenyum hingga meledak menjadi gelak tawa. "Saya juga punya quotes buat Mas Harits."
"Beri, Jay," sambung Cakra.
"Di dunia ini ada dua hal yang tidak terbatas," ucap Jaya sembari menatap Harits. "Alam semesta dan kebodohan Mas Harits."
Deva dan Cakra tertawa mendengar dua orang itu beradu quotes cringe.
Harits memicing dan mendekat ke arah Jaya dengan langkah tengilnya. "Heh, bukan gara-gara lu males artinya lu rajin ye, Jay."
Jaya pun mendekat memaksa Harits sedikit mendongak menatapnya. "Jangan terlalu ngejaga image, Mas, nanti hidup Mas Harits cuma sebatas JPEG."
"Dandanan lu boleh rohani, tapi kelakuan lu rohalus, Jay nyahaha," timpal Harits.
"Mas, ketawa emang bisa jadi obat, tapi khusus Mas Harits itu butuh obat," balas Jaya.
"Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Enggak usah sok kul lu anjing," sambung Harits.
"Gila ini orang dua enggak abis-abis humornya," balas Deva sambil menggeleng tipis.
"Humor aja enggak cukup, Poy," balas Harits. "Masih banyak yang milih bergelimang harta ketimbang bergelimang haha nyahaha."
"Tapi biarpun gitu, saya enggak akan berhenti doain Mas Harits. Karena selalu terselip nama Mas Harits di dalam setiap dosa saya."
Harits tampak berpikir untuk membalas Jaya. Namun, dari jeda itu, Deva tiba-tiba menangkapnya dari belakang. "Ah, kelamaan mikir lu!"
"Weh, ngapain lu, Poy?" tanya Harits.
"Jay, ceburin, Jay, dia kelamaan mikir. Yang kalah ceburin ke laut," ucap Deva.
"Wah, kagak beres lu pada." Harits berusaha memberontak.
Cakra terkekeh dan ikut mengangkat Harits yang terus memberontak. "Udah, nikmatin aja."
"Bacot lu pada! Turunin woy!"
Mereka bertiga mengayunkan Harits ke kanan dan ke kiri. "Satu, dua, tiga! Lempar!" seru Deva.
Harits terlempar ke laut, tetapi tangannya yang lincah menarik Deva dan Cakra sehingga kedua pria itu ikut tertarik bersama Harits. Belum sampai di situ, Deva dengan upaya terakhirnya menyelengkat Jaya dan ikut menariknya.
"Waduh!" pekik Jaya yang ikut tertarik sambil tersenyum. Sebetulnya bisa saja Jaya menghindar, tetapi kali ini ia pasrah ditarik oleh Deva sehingga ikut tercebur.
Byuuurr!
"Bangke ye, untung enggak bawa hape sama dompet nyahaha."
"Sama, gua juga gua tinggal di mobil," balas Deva.
"Sama," balas Cakra juga.
"Ceburin yang masih kering yuk," cetus Jaya.
Mereka berempat sontak menatap ke arah empat orang yang masih kering di tepi pantai. Seperti zombie, mereka berlari dari lautan.
Melihat keempat orang yang berlari dengan niat buruk itu, Ippo menarik Melodi segera menjauh dari sana, tetapi tiba-tiba Deva muncul di hadapan mereka dengan topeng tumenggung di wajahnya.
"Kalian pikir bisa pergi gitu aja?"
Ippo memicing. "Cih!" Ia mendorong Melodi. "Lari!"
Namun, bukannya lari, Melo malah terjatuh di pasir. Melihat itu membuat Harits tertawa setengah mati.
"Wayoloh! Wayoloh! Wayoloh!" Deva dan yang lain bertepuk tangan meledek Ippo.
"Eh, maksud aku tuh baik biar Melodi enggak ketangkep," ucap Ippo membela diri.
Melodi menggenggam pasir, lalu melemparnya ke arah Ippo. "Jahat ah, kasar, males." Gadis itu ngambek rupanya.
Deva membuka topengnya. "Eh, lu aus enggak?" tanya Deva pada Harits.
"Yuk minum," balas Hartis.
"Saya yang traktir deh es kelapanya," sambar Jaya.
"Wah, tumben baik Jay," sahut Cakra.
Sementara Ippo dan Melodi bertengkar, Deva dan ketiga pria basah lainnya berjalan menuju penjual es kelapa di tepi pantai tak jauh dari posisi mereka seolah tak terjadi apa-apa.
"Oi, ini gimana dong?" tanya Ippo yang terdiam menatap mereka berempat sambil dilempar pasir oleh Melodi. "Aaaaaaa ... maafin aku."
"Mbak e, es degan e papat," ucap Harits pada si Mbak penjual es kelapa. "Sing siji ra pake gula."
"Tumben lu," balas Deva.
"Mas Harits emang enggak suka manis," celetuk Jaya.
"Iya deh iya yang apal banget soal Harits," ledek Cakra.
Jaya tersenyum menatap ke sembarang arah. "Kalo ngomongin kopi tuh Mas Harits enggak pake gula, Deva gulanya satu sendok makan, Cakra sama Kevin gulanya satu setengah sendok teh, Melodi enggak suka kopi item, jadi takarannya pake takaran kopi susu, kalo Nada sukanya ngeteh, kadang kayak Mas Harits yang enggak pake gula, tapi kadang kalo lagi mau manis, gulanya sedikit kayak Deva," ucap Jaya. "Karena sering berdiri di dapur, saya hampir hafal semua komposisi minum orang-orang."
"Keren lu, enggak salah belajar dari Master Harits Sagara nyahahaha."
Jaya kembali tersenyum, tetapi kali ini diikuti embusan napas sendu. "Saya bersyukur dan berterimakasih karena udah diterima di Mantra dan jadi bagian dari kalian semua."
Kevin dan Nada menyusul dan ikut duduk bersama mereka. Harits kembali memesan empat es, sekalian untuk Melodi dan Ippo yang masih berusaha meminta maaf pada Melodi di tempat yang sama.
Sekitar sepuluh menit, Ippo dan Melodi baru ikut bergabung. Hanya saja ekspresi Melodi masih agak kurang bersahabat.
"Udah, saya dan teman-teman minta maaf karena tadi iseng," ucap Jaya pada Melodi. "Ippo cuma berusaha jauhin kamu dari kita biar dia yang ketangkep, sementara kamu bisa lari."
"Tau lu, Doy," sambung Harits. "Dulu aja waktu Ippo mati setiap hari nangis lu, nulis-nulis puisi sedih anjayyy. Sekarang bersyukur lu harusnya Melodoy."
"Iya, iya, elah!" balas Melodi.
"Nyahaha gitu dong cemberut."
"Udah, udah, langsung aja ke intinya. Sebetulnya saya punya alasan ngajak main ke pantai dan ngumpulin kita semua di sini," ucap Jaya. "Ada yang mau saya obrolin dari kemarin, tapi waktunya kurang tepat. Saya rasa, sekarang adalah waktu yang tepat buat ngomong."
"Ya elah kayak mau ke mana aja sih lu," kata Harits.
"Ke hatimu, Mas," balas Jaya dengan bumbu guyon.
Mereka semua malah jadi mengobrol dan bercanda. Jaya kembali menjauhi alasannya mengumpulkan para Mantra hari ini, hingga pada satu titik, Deva, Harits, Jaya, dan Cakra pergi ke mobil untuk mengganti baju, lalu berpindah tempat ke sebuah rumah makan saung yang menjual aneka ragam makanan laut.
Mereka makan siang di sana dengan memesan menu yang cukup banyak. Di meja makan panjang itu ada beberapa jenis ikan, lobster, kepiting, cumi dan udang. Malahan nasinya yang sedikit.
Mantra berada di rumah makan itu sampai sore hari. Setelah sore tiba, barulah mereka kembali ke pantai dan duduk di atas karpet pasir sambil menatap ke arah laut.
Setelah bersenang-senang, Jaya menatap semuanya. Senyum cerah itu perlahan luntur menjadi mendung seiring dengan warna langit yang berubah jingga.
"Buat semuanya ... terimakasih udah mau jadi teman pertama saya ... terimakasih udah nerima saya di sini. Saya sadar bahwa ujung dari sebuah pertemuan ialah perpisahan, dan saya adalah pria yang sudah melalui banyak perpisahan. Rasanya sakit, rasanya sedih, tapi berkat luka dan kesedihan itu saya bisa jadi saya versi saat ini. Dalam proses itu, kalian punya banyak peran penting. Saya harap kita semua bisa berkumpul lagi di waktu dan kesempatan yang akan datang."
Nada memicing menatap ke arah Jaya. "Maksud kamu gimana, Joyo?"
Jaya masih berusaha tersenyum menutupi laranya. "Kayaknya kemarin itu hari terakhir saya kerja di Mantra Coffee. Alasan saya ngumpulin kalian semua, karena saya mau pamit."
"Emang mau ke mana?" tanya Melodi.
"Ke tempat yang jauh," jawab Jaya.
"Sampe kapan, Jay?" tanya Cakra.
"Entah, saya pun enggak tahu."
"Terus kuliah lu gimana?" sambar Deva.
"Saya mutusin buat berhenti kuliah."
Harits menoleh ke arah pria itu. "Kalo gitu semua sia-sia dong? Pengorbanan Wengi, Om Bayu ... lu bilang kalo lu mau hidup normal? Lu bilang lu mau sekolah, kuliah, dan hidup kayak orang biasa?"
Jaya tersenyum getir. "Saya sudah pikirkan baik-baik beberapa waktu ini. Saya pikir saya enggak bisa egois. Biarin hidup normal dan biasa itu dirasakan sama Petrus dan Isabel, tugas saya sebagai Kakak sekaligus kepala keluarga mereka adalah memastikan mereka bisa hidup dengan layak. Saya merasa setiap kita dilahirkan dengan sebuah peran, dan peran saya adalah menjadi ketua Peti Hitam sekaligus anggota intelejen Dharma."
"Jadi ini semua berhubungan sama tugas?" tanya Ippo.
Jaya mengangguk. "Dharma sedang dalam tahap pemulihan. Sejak insiden terakhir, kami banyak kehilangan kekuatan dan itu membuat para pengguna ilmu hitam banyak menunjukkan eksistensinya. Terutama sejak Satu Darah dibubarkan, para dukun-dukun ini semakin bebas bergerak seolah ingin menjadi puncak rantai makanan. Satu Darah memang kelompok yang berbahaya, tetapi di satu sisi, adanya mereka mampu menekan banyak pengguna ilmu hitam lain."
"Ke mana?" tanya Kevin singkat.
Jaya mengerti maksud dari pertanyaan singkat tersebut. "Yang jelas keluar pulau Jawa."
Keadaan mendadak hening sampai matahari tenggelam di ufuk barat, membiaskan warna-warni aksen oranye dan merah jingga. Angin senja mengusap lembut wajah mereka, seolah ikut merangkul momen ini.
"Pertama-tama, saya mau berterimakasih sama Melodi," ucap Jaya menampar keheningan. "Meskipun hati saya pernah dipatahkan, tapi saya bersyukur gara-gara patah hati itu, saya bisa menemukan kebahagiaan lain."
Jaya ingat lagi momen-momen itu, ketika ia memutuskan untuk mematahkan hatinya, tetapi tidak membunuh gengsinya.
"Keren! Satu suap es krim buat pacarku yang keren!" Melodi menyuapi Deva es krim vanilla yang ia ambil dari kulkas.
Harits menatap Jaya. Pria itu sedang memperhatikan Deva dan Melodi yang tampak bahagia. Tak seperti langit malam ini yang cerah, raut wajahnya menyiratkan luka. Hanya bermodalkan minuman seharga lima ribu rupiah, Jaya berada di Mantra Coffee hingga menjadi pelanggan terakhir.
"Maaf, Jay. Kita mau tutup," ucap Melodi.
Jaya tampak canggung, ia tak berani menatap mata Melodi. "Di sini ada lowongan kerja enggak? Saya mau kalo ada."
Deva berjalan ke arah pria itu. Sejujurnya, saat ini Mantra tak mampu membayar pegawai baru. Mengingat omset mereka yang masih belum stabil. Baru saja Deva hendak menolak mentah-mentah lamaran pekerjaan Jay. Suara itu lebih dulu keluar dari mulut Harits.
"Ada." Semua mata menatap Harits. Termasuk Abet. "Buat part time ada. Besok ke sini lagi ya, bawa jadwal kuliah. Nanti kita cocokin jadwal," lanjut Harits tanpa menoleh ke arah teman-temannya.
Kembali ke masa kini.
"Saya juga berterimakasih buat Deva, yang mana meskipun pernah benci sama saya, tapi ternyata jadi pahlawan yang membebaskan saya di malam Walpurgis," lanjut Jaya.
Doni menarik pelatuknya. Sebuah peluru melesat ke arah kepala Jaya. Suara tembakan itu membuat kubu putih semakin tertekan. Bahkan Bayu hanya bisa diam menatap detik-detik peluru itu akan menembus kepala Jaya.
Di tengah ketegangan itu, sebuah petir menghantam menara eksekusi hingga menimbulkan ledakan.
"JAYAAAA!" teriak Bayu.
Doni menurunkan senapannya. Menara itu penuh kobaran api. Semua wajah-wajah baik termenung meratapi kegagalan mereka. Mereka gagal menyelamatkan Emil Jayasentika dari eksekusinya. Keadaan hening seketika.
Di tengah keheningan itu, tiba-tiba sebuah teriakan terdengar dari puncak menara. Teriakan yang membuat bumi bergetar. Dari kobaran api, terlihat siluet orang yang berlari keluar dari menara. Ia melompat dari ketinggian itu dan mendarat tanpa rasa sakit. Teriakan itu adalah teriakan kebebasan. Emil Jayasentika berdiri di tengah-tengah mereka semua menggunakan topeng Bapang, membuat seluruh musuhnya merinding.
Petir tadi bukanlah petir biasa. Di atas menara masih ada seorang lagi. Ia berdiri menatap semua orang yang berada di bawah. Sambil melepas topengnya, ia membuka bungkusan permen lolipop dan memasukannya ke mulut. Jaket jeans yang digunakannya sebagai penutup leher bak syal, kini berkobar diterpa angin laut.
"Waktunya serangan balasan," tutur Deva.
Kembali ke masa kini.
"Saya juga berterimakasih banyak buat Nada yang udah banyak ngajarin hal-hal baru, dan jadi temen ngobrol saya di dapur. Ada Cakra juga yang suka ngasih nasehat kalau saya lagi butuh sebuah nasehat. Terus ada Kevin juga, tim dapur yang sebetulnya saya takutkan. Saya takut pacar saya pindah ke lain hati gara-gara dia ganteng, tapi untungnya enggak, karena saya lebih ganteng. Terakhir buat Ippo, yang ... sebetulnya enggak kenal-kenal banget, tapi dia baik hehe."
Pada satu titik, Jaya menatap ke arah satu orang terahir yang belum ia berikan ucapan perpisahan. Pria dengan perban di kepala itu menatap Harits berkaca-kaca. Ia bangkit dan mendekat hingga berada di hadapan pria bertopi biru tersebut.
"Kalo bukan karena Mas Harits, saya enggak akan ada di sini. Terimakasih karena udah jadi orang pertama yang mengulurkan tangan buat saya. Saya tahu kalo gaji saya ketika awal bergabung itu adalah separuh uang penghasilan Mas Harits."
Jaya berusaha tersenyum di hari terakhirnya mungkin bertemu dengan teman-temannya. Namun, ia tak mampu membendung getirnya yang berbuah air mata.
"Satu hal yang saya paling sesalkan sampai saat ini," lanjut Jaya. "Saya pernah bikin Mas Harits babak belur, tapi Mas Harits jadi orang pertama di sini yang datang ketika malam Walpurgis. Di satu sisi saya merasa bahagia, tapi di sisi lain saya pun takut. Saya takut kehilangan lagi."
"Goblok. Lu ngomong apaan sih dari tadi." Haris menarik lengan Jaya dan ikut berdiri di hadapannya. Pria itu menjulurkan tangannya melepas perban yang melilit kening Jaya.
Sebuah tato peti mati berwarna hitam terpampang jelas di kening Jaya. Harits melepas topi biru yang menjadi saksi hidupnya dan meletakkannya di kepala Jaya. Ia posisikan topi itu menutupi tato yang selama ini Jaya sembunyikan.
"Kalo lu udah jadi bajak laut hebat, balikin topi itu lagi. Silakan pergi arungi lautan kehidupan ini sejauh yang lu mau, Jay. Gua tetep di sini nunggu lu. Kalo suatu saat lu capek, lu cuma harus pulang," ucap Harits. "Inget, rumah lu ada di Jakal atas, Mantra Coffee."
Seperti anak kecil, Jaya menangis karena momen perpisahan ini. Harits langsung memeluk sahabatnya. Ia menepuk-nepuk pundak Jaya.
"Sebenernya gua jijik sih, tapi seseorang pernah bilang kalo sebuah pelukan dan tepukan pelan di punggung bisa bikin orang yang lagi sedih merasa lebih baik. Jadi gua lakuin meskipun gua jijik."
Melihat itu, Melodi tersenyum. Bukan hanya Melodi, tetapi juga yang lainnya.
Jaya tersenyum. Ia menepuk punggung Harits. "Orang yang ikut nangis enggak berhak ngomong begitu, Mas. Tapi terimakasih."
"Bangsat, anjing! Kenapa enggak bilang-bilang dari kemarenan sih?" tanya Harits Dengan suara gemetar. "Kerdil udah pergi, sekarang lu. Apa sih!"
"Saya enggak tahu kapan, tapi yang jelas suatu hari nanti saya akan pulang setelah jadi empat kaisar laut dan balikin topi ini ke pemiliknya," ucap Jaya. "Saya pun jijik pake topi aneh begini, tapi saya akan jaga topi ini karena topi ini adalah hal yang berharga milik salah satu keluarga saya, yaitu Mas Harits."
Deva berdiri dan ikut memeluk kedua sejoli itu. Cakra dan Kevin pun ikut merapat pada mereka bertiga. Melihat semuanya berpelukan, Ippo, Nada, dan Melodi pun ikut merangkul dan berhimpun dalam satu baris lingkaran kecil.
"Jangan lupain saya, ya," ucap Jaya dengan ingus yang meler hingga ke bibir.
"Jangan mati lu, bego. Kalo lu butuh bantuan jangan sungkan minta tolong. Kalo lu mau mati lagi, kabarin gua, nanti gua sama anak-anak dateng nolongin lu lagi," ucap Harits.
"Oke, Mas. Saya rasa saya harus pergi sekarang. Malam ini saya dan anggota Peti Hitam harus bergerak."
"Hati-hati, Jay. Selamat jalan lu," ucap Harits.
Jaya melepaskan diri dari mereka dengan senyuman. "Selamat tinggal, sampai berjumpa lagi di lain kesempatan. Semoga kita masih dikasih waktu buat kumpul lagi kayak hari ini, saya nantikan hari itu."
Mereka semua, dengan mata berkaca-kaca dan senyum-senyum kepedihan, berkumpul di tengah pantai yang dipenuhi jejak-jejak kenangan. Ombak menyaksikan momen ini, menyusun catatan tentang perpisahan seorang sahabat.
Jaya, dengan langkah perlahan, berjalan pergi. Ia menoleh sekali lagi ke arah teman-temannya, mencoba menyimpan setiap detik dalam memorinya.
"Sampai jumpa, Mantra," bisiknya, sambil menyeka air mata yang mengalir di pipinya. Ia terus berjalan hingga tubuhnya mengecil di pandangan ketujuh sahabatnya.
Seiring langkah Jaya yang menjauh, suara ombak yang riuh semakin terdengar jelas. Seolah-olah alam itu sendiri ikut merasakan perpisahan ini, menciptakan simfoni perpisahan yang penuh dengan kenangan indah.
Hening, kecuali suara angin dan ombak yang masih setia bersama mereka. Perjalanan bersama telah menjadi bagian tak tergantikan dari hidup mereka. Mereka mungkin berpisah, tetapi kenangan dan ikatan persahabatan mereka akan tetap abadi.
Dalam senyap, mereka berdiri di tepi pantai, menyaksikan cahaya matahari yang semakin meredup. Perjalanan baru dimulai, tetapi jejak langkah mereka yang tertinggal di pasir pantai Parangtritis akan selalu menjadi bagian dari kisah hidup mereka.
Di sisi lain, Iris, Yuza, dan Arai memandang gerombolan Mantra dari kejauhan. Untuk sesaat, Arai mengingat orang-orang di kampung halamannya, dan juga Satu Darah. Tak seperti Mantra yang bagaikan keluarga, Satu Darah hanya terikat pada Adistri saja. Saat Sang Ratu pergi, saat itu pula mereka bubar tanpa perpisahan.
Arai membuang asap rokok di mulutnya. "Ayo kita pergi, cahaya sudah memudar dari muka bumi." Ia memutar arah dan melangkah pergi.
Iris dan Yuza pun memutar arah dan ikut berjalan di belakang Arai. Sebentar lagi mereka akan dijemput dengan helikopter di sisi lain pantai.
Pada satu titik, langkah mereka bertiga dipertemukan dengan Jaya. Saat ini mata sembab itu tak lagi terlihat sedih. Ekspresi wajah Jaya terlihat datar.
"Jadi ke mana tujuan kita setelah ini?" tanya Arai.
"Menjemput anggota terakhir di sisi lain Hutan Terlarang," jawab Jaya.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top