32 : Getir yang Tertahan

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

Malam minggu ini Mantra Coffee ramai di isi oleh gelak tawa dan canda para pelanggan. Melodi mengiringi suasana di Mantra dengan alunan gitar dan vokal indahnya. Selesai ia memainkan lagu, Melo menatap ke arah beberapa pelanggan yang sedang menontonnya.

"Ada yang mau request atau barang kali mau nanyi ke panggung maybe? Boleh."

Seorang pria berdiri dari duduknya. Ia berdiri dari balik meja bar dan berjalan menghampiri Melodi dengan senyum yang terlihat dipaksakan.

Melihat Harits berjalan ke arah panggung, Deva ikut berdiri. Sesaat, saat ia berdiri, Melo menatapnya. Deva seolah memberikan kode bahwa jika Harits hendak bernyanyi, bolehkah ia yang mengiringinya.

Melodi pun peka terhadap kode itu karena sudah bermain musik lama bersama Deva. Ia tersenyum dan turun dari panggung meninggalkan gitarnya.

Deva segera berjalan cepat menyusul Harits naik ke atas panggung dan duduk di sebelahnya dengan sebuah gitar yang habis digunakan Melodi.

Rasanya canggung ketika sudah lama tak memegang gitar. Entah kapan terakhir kali Deva memainkan instrumen itu, ia pun sudah lupa.

Harits mendekatkan mulutnya pada mic. Sejenak ia menutup mata, lalu menghembuskan napasnya seolah sedang membuang sisa-sisa lara yang masih mengendap.

"Gua punya temen," ucap Harits ditemani senyum tipis di bibirnya. "Dia tuh selalu ada buat gua, dan ...." Ia menjeda kalimatnya dan menarik napas kembali sebelum melanjutkannya. "Dan selalu ada di setiap peristiwa yang terjadi di dalam hidup gua. Waktu gua susah, seneng, sedih, kecewa, bahagia, apa pun itu ... dia selalu ada."

Para pelanggan terdiam dan saling memandang. Beberapa dari mereka mengharapkan nyanyian, tetapi pria di atas panggung itu malah curhat perihal temannya. Namun, berbeda dengan ekspresi pelanggan yang bingung, wajah-wajah Mantra justru terlihat sendu.

"Gua enggak pernah ngerti dia ngomong apa, meskipun dia juga enggak ngerti gua ngomong apa sih nyahaha aneh emang," lanjut Harits. Pada satu titik matanya menyipit diiringi senyum tipis. " Tapi kita saling memahami dalam makna lain."

Dari balik bar, Nada menahan getirnya. Gadis itu yang pertama kali membawa Kerdil ke rumah sakit hewan sebelum kucing itu menjadi anggota keluarga mereka.

"Kerdil ...," gumam Nada lirih sembari mengingat kenangan-kenangan bersama kucing itu.

"Dia baru aja meninggal beberapa hari yang lalu, dan kepergiannya membuat gua sadar, bahwa berada di sisinya adalah hal yang paling gua inginkan saat ini." Harits menghela napas kembali. Suasana di Mantra Coffee mendadak hening dan sendu. Semua mulai merasakan kesedihan pria di panggung itu.

"Yaa ... gimana ya, namanya hidup, pertemuan dan perpisahan itu udah jadi satu paket," lanjut Harits, "sorry kalo banyak bacot, tapi gua cuma mau bilang ke semua yang ada di sini. Selagi mereka yang ada di sisi lu masih ada, jangan disia-siain deh. Ukir kenangan baik sebanyak-banyaknya. Sebab nanti, ketika mereka udah enggak ada lagi di sisi kita ... waktu enggak akan bisa balik ke masa-masa itu. Cuma kenangan yang tersisa. Kelak, kalian yang di sini dateng sama temen-temen kalian nikmatin kopi dan waktu, mungkin suatu hari nanti akan kehilangan masa-masa ini."

Harits kini menatap para pelanggan di Mantra Coffee yang serempak sedang menatapnya. "Malam ini gua akan bawain lagu Here With Me, buat orang-orang yang selalu ada di sisi kita."

Sejenak, Harits menoleh ke arah Deva. "Here with me, D4vd," tuturnya lirih.

Deva mengangguk. Ia mengikat rambut gondrongnya, lalu mulai memetik senar gitar. Terukir senyum di bibir Deva.

'Ah, rupanya aku masih suka gitar.' Batin pria itu.

"Watch the sunrise along the coast, as we're both getting old, I can't describe what I'm feeling ...."

Semua semakin ditelan dalam sunyi ketika Harits bernyanyi. Tak ada yang memiliki ekspetasi terhadap suara pria itu. Namun, malam ini mereka semua terdiam seolah terkena sihir dari suara seorang Harits Sagara.

Tanpa sadar, Melodi tersenyum menatap Harits. Jauh sebelum hari ini, ia sudah tahu tentang suara emas pria itu. Melo hanya tak menyangka bahwa hari ini akan tiba, di mana pria kecil itu bernyanyi di depan orang-orang.

Pada bagian reff, beberapa pelanggan ikut bernyanyi mengikuti tempo alunan gitar Deva.

"I don't care how long it takes, As long as I'm with you, I've got a smile on my face. Save your tears, it'll be okay ...."

Selesai lagu tersebut dibawakan, para pelanggan yang mulanya hanya datang menikmati kopi dan waktu bersama orang-orang terdekat mereka pun bangkit dan memberikan standing applause untuk Harits.

"Makasih, Poy," ucap Harits pada Deva. Ia bangun dan turun dari panggung, kembali ke dunianya semula.

Di sisi lain Melodi naik kembali untuk mengisi kekosongan. Deva masih berada di sana memandang Melodi.

"Mau duet kayak dulu lagi?" tanya Melodi.

Deva tersenyum. "Ayo."

Rekustik kembali mengudara setelah beberpa tahun tak lagi pernah terdengar. Deva mencoba untuk menikmati setiap permainannya seperti dulu lagi. Benar kata Chica, jika ia ingin melupakan Melodi, bukan artinya harus melupakan dan meninggalkan segala yang pernah mereka lakukan bersama. Sebab, cara termudah untuk melupakan adalah bukan dengan cara menghapus kenangan buruk, tetapi membuat kenangan yang jauh lebih indah dari sebelumnya.

Waktu bergulir hingga Mantra Coffee tutup. Tak sengaja Harits yang baru selesai membereskan dapur menatap Jaya yang sedang duduk sambil melamun.

"Wey, ngelamun jorok lu ya?" tanya Harits.

Pecah sudah lamunan Jaya, ia menoleh ke arah Harits. "Iya nih," jawab Jaya.

"Wah parah lu." Harits menghampiri Jaya sambil menoleh ke arah Melodi yang sedang duduk bersama Nada dan Ippo. "Doy, si Jaya ngelamun jorok masa."

Melo menoleh ke arah Harits. "Ya terus?"

"Mikirin Ippo dia nyahaha."

"Yeh, bisa aja lu bihun kering," sahut Ippo.

Di ruangan itu tak ada Cakra dan Kevin yang kebetulan memang tak berjaga hari ini.

"Mas, saya mau ngobrol," ucap Jaya.

Harits pun ingat, kemarin Jaya pun ingin berbicara padanya, tetapi tak jadi. "Ya udah, ngobrol dah." Ia duduk semeja dengan Jaya.

Jaya terdiam cukup lama. Rasanya ada resah yang tertahan di bibirnya. Menyadari wajah sendu itu, Harits pun bertanya.

"Ngapa bego lu?"

"Besok kan senin, Mantra Coffee libur. Mantai yuk?"

Melo, Nada, dan Ippo sontak bergabung dalam pembicaraan. "Boleh tuh! Udah lama kita enggak refreshing," ucap Melo. "Mau, Nad?"

Nada mengacungkan jempolnya sebagai jawaban.

Kini Melodi menoleh ke arah Ippo. "Ikut yuk?"

Ippo tersenyum. "Yuk."

"Ya udah, sisa si Cakra sama Kevin," balas Harits.

"Gua enggak lu tanyain?" tanya Deva.

"Ikut enggak lu?" tanya Harits.

"Gassss!" jawab Deva. "Nanti gua tanya Kevin di kamar, lu coba tanya Cakra. Kalo mereka gas juga, mantep dah ini."

Jaya tersenyum. "Kalau gitu, saya pamit dulu." Jaya pergi keluar dari Mantra. "Selamat malam."

Harits menatap pria itu dari kaca bagian dalam. Sebagai tandemnya sedari Mantra Coffee di Maguwo, ia merasa ada yang aneh dari Jaya.

Jaya berjalan ke motornya dengan wajah tertunduk. Pahanya bergetar akibat sebuah panggilan telepon. Pria itu sontak menghentikan langkah dan mengambil ponselnya, menatap layar ponsel dan menjawab panggilan tersebut.

"Halo," ucap Jaya.

"Gimana, urusan di sana udah selesai?" tanya suara di balik telepon.

"Besok saya selesaikan," jawab Jaya.

"Ya udah kalo gitu, semoga semua urusan cepet selesai. Lebih cepat lebih baik."

Panggilan berakhir. Jaya memutar arah tubuhnya dan menatap ke arah Mantra Coffee. Senyum penuh kesedihan itu muncul ketika menatap Harits dan kawan-kawan lain yang sedang tertawa dan bercanda di sana. Ia kembali memutar arah, menghela napas sejenak, lalu melanjutkan langkahnya menuju si Mamat.

.

.

.

TBC



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top