31 : Hujan dan Mimpi
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
Mantra Coffee terlihat sepi malam ini. Wajar, air Tuhan turun menjejakkan diri di Bumi. Mengingat 70% nuansa kafe ini adalah outdoor, jelas bahwa hujan adalah salah satu musuh bebuyutan Mantra.
Jaya baru saja tiba di Mantra dengan pakaian yang agak basah. Pria itu sudah mengenakan jas hujan, tetapi karena volume hujan yang deras, jas hujannya agak tembus.
"Komandan mana?" tanyanya ketika tak menemukan Harits di jajaran toples-toples kecil.
"Kamu kira Harits sekecil grinder?" tanya Nada.
"Gedean dikit sih," balas Jaya.
"Dia di atas," sahut Deva yang ikut pembicaraan.
"Bukannya malem ini jadwalnya dia, saya sama Nada yang jaga dapur?" tanya Jaya.
"Santai, kan ujan. Palingan enggak banyak pelanggan malam ini kok," jawab Deva.
"Jay, dia lagi sedih. Kamu hibur dia gih, kamu kan orang yang paling deket sama Harits," sambung Melodi.
"Iya, kasian dia. Jadi sering bengong belakangan ini," timpal Cakra. "Tatapannya kosong, hembusan napasnya penuh kehampaan, sama sering kedengeran jeritan hatinya, Jay."
"Dia kenapa sih?" tanya Jaya.
"Kuntet mati," jawab Kevin yang sedang duduk di salah satu kursi pelanggan menikmati secangkir kopi buatan Nada.
"Kerdil, Vin. Udah berapa kali aku bilang sih? Namanya tuh Kerdil, bukan Kupret," ucap Nada yang pendengarannya terhalang deras hujan di luar.
"Dia bilang kuntet, Nad. Bukan kupret," jelas Deva.
Nada memicing. "Hah? Kepet?"
Jaya terkekeh. "Ya udah saya naik dulu deh ke atas. Kebetulan ada yang saya mau obrolin sama Mas Harits."
"Ngobrolin apa? Tumben?" tanya Deva.
"Sessssswatu lah pokoknya. Nanti juga kalian tau, tapi saya mau Mas Harits duluan yang tau," jawab Jaya.
"Okelah. Ya udah sana. Bikin dia ketawa, Jay. Terus lu nyanyiin gini nih, abis nangis ketawa makan gula jawa," balas Deva.
"Hahaha sesesessslow." Jaya pergi ke pintu utama.
"Jay, payungnya jangan lupa!" seru Melodi.
"Enggak usah." Pria itu membuka pintu, lalu berlari menuju samping sambil menutupi kepalanya dengan tangan.
Hujan malam ini penuh dengan Nostalgia. Harits, berdiri menatap hujan di luar jendela sambil sesekali menghela napas. Pria itu belum terbiasa hidup tanpa Kerdil, mengingat beberapa tahun ini mereka selalu bersama bahkan sampai kucing itu ikut menemai Harits berjualan di Sunmor UGM. Kerdil mengajarkan Harits bahwa terkadang sesuatu yang kecil memiliki arti yang besar.
Ia memegang sebuah bungkusan dan menatap benda tersebut sambil tersenyum sendu. Bungkusan tersebut berisi makanan kucing yang masih banyak.
"Seenggaknya pamit dulu kek," gumam Harits. "Sekarang gimana ini makanan lu? Deva enggak doyan. Siapa yang ngabisin kalo gini? Nyaha ... ha ...."
Harits membuka bungkusnya, lalu mencicipinya satu. Belum juga satu detik, ia melepeh makanan tersebut.
"Tailah! Apaan sih ini? Bisa-bisanya lu doyan, Dil."
Tok ... tok ... tok
"Saya boleh masuk?" tanya Jaya yang berada di balik pintu.
"Enggak," jawab Harits.
Jaya membuka pintu, lalu masuk ke kamar Harits dan Cakra. Ia berjalan hingga berada tepat di samping Harits yang sedang melihat hujan dari balik jendela.
"Kan gua bilang enggak."
Jaya tersenyum. "Saya nanya, saya boleh masuk? Jawabannya cuma dua, Mas. Boleh atau masuk."
"Ngapain lu di sini?" tanya Harits.
"Mau ngomong sesuatu yang penting, tapi kayaknya sekarang bukan waktu yang tepat."
"Ngomong aja, buru," balas Harits.
"Saya suka sama kamu, Mas," sambung Jaya.
Harits menghela napas. "Gua enggak suka sama orang hutan."
Jaya terkekeh. "Semangat dong, Mas!" Ia mengambil makanan di tangan Harits, lalu memakannya.
Harits tersenyum. "Enak, Jay?"
"Enak kok." Jaya mengambil cemilan itu kembali, lalu memakannya lagi. "Kenapa? Mas Harits enggak suka."
"Kerdil yang suka. Menurut gua makanan kucing itu rasanya aneh."
Jaya terdiam sambil memandang Harits. Ia lepeh makanan yang sebenarnya sama sekali tidak ia telan. Jaya hanya menghormati Harits saja.
"Asu! Pantes rasanya aneh. Kok dikasih saya sih?!"
"Lah, dongo! Siapa yang nawarin? Tangan lu sendiri yang ngambil. Gua cuma nanya, enak enggak?"
"Enggak enak!" jawab Jaya jujur
Harits tertawa karena tingkah bodoh Jaya. Melihat Harits tertawa, Jaya pun ikut tertawa. Mereka berdua menertawakan hal yang berbeda.
"Mungkin kalo saya itu Deva, Mas Harits bisa berpikir bahwa omongan saya itu enggak ada gunanya karena Deva belum pernah kehilangan apa pun, tapi saya beda. Saya adalah orang yang sudah banyak melalui perpisahan. Jadi saya paham bagaimana perasaan Mas Harits malam ini," tutur Jaya.
Harits tersenyum. "Sok iye lu, Jay."
Jaya ikut tersenyum. "Kehilangan adalah bentuk sejati dari pembelajaran. Dari setiap pengalaman kehilangan, kita bisa belajar tentang diri kita sendiri, menjadi kuat, dan mengembangkan pemahaman yang lebih dalam tentang makna hidup."
"Kalo gitu, coba jawab. Apa makna kehidupan?" tanya Harits.
"Dari kematian kita belajar, bahwa kehidupan itu mahal. Hidup itu bermakna karena ada kematian. Jadi makna kehidupan adalah maju. Sebab yang tersisa dari kematian hanyalah kenangan. Kenangan itu sifatnya lampau, nostalgia, dan hanya bisa dirindukan. Maka daripada itu, kita yang hidup harus terus maju membawa semua harapan," jawab Jaya.
"Kita enggak bisa selamanya memenuhi harapan orang lain. Terkadang harapan kita sendiri aja sulit."
Jaya terkekeh. "Siapa bilang harus membawa harapan mereka yang pergi? Kita pasti pernah bercerita tentang harapan-harapan kita kepada mereka. Jangan sampai, hanya karena ditinggal pergi, kita lupa tujuan kita."
"Kadang gua bingung. Kita ini apa sih, Jay? Pelawak? Filosofis? Barista? Anak indie?"
"Kita cuma karakter fiktif, Mas," jawab Jaya sambil tersenyum menatap hujan yang mulai reda. "Ibarat dunia ini adalah sebuah novel, kita cuma tokoh-tokohnya. Tugas kita cuma mainin peran sebaik mungkin."
"Anggap lu bener. Terus kalo kita bukan tokoh utama di dalam novel itu gimana?"
"Seenggaknya kita adalah pemeran utama untuk diri kita sendiri, Mas. Setiap orang punya ceritanya masing-masing yang di mana kita semua terkoneksi oleh benang merah yang bernama takdir. Novel ini bernama kehidupan, yang kelak akan melahirkan sekuel Harits, Jaya, Deva, Melodi, dan lain-lain. Kerdil pun punya kisahnya sendiri. Dan cerita tentang Kerdil si kucing setia udah tamat," jawab Jaya. "Tapi ya, karena hidup ini ibarat sastra. Meskipun udah tamat, setiap memorinya bisa dibaca."
Harits tersenyum. "Bangsat juga lu, Jay. Sejak kapan lu jadi pinter ngomong?"
"Selain kerja di sini dan di Dharma membawa bendera Peti Hitam. Saya juga punya usaha bengkel di Bantul. Kebetulan satu montir saya ada yang udah om-om. Dia agak serem sih, tapi setiap ucapannya itu filosofis. Mungkin saya ketular."
"Menarik tuh orang nyahaha."
"Semangat, Mas. Saya mau lanjut kerja dulu." Jaya hendak melangkah pergi.
"Bentar. Tadi lu mau ngomong sesuatu, kan? Makanya lu naek ke sini? Lu mau ngomong apaan?"
"Lupa," jawab Jaya menggaruk kepalanya. "Gara-gara mikirin kalimat filosofis."
"Hadeh, payeh."
"Ya udah, saya turun dulu." Jaya melanjutkan langkahnya keluar kamar.
"Gua ikut." Harits ikut turun bersama Jaya menuju kafe.
Kini malam semakin larut, tapi tak seredup beberapa jam lalu. Cahaya bulan kembali membasuh tanah dan rerumputan yang basah akibat serangan Kayangan.
Lampu kamar Harits sudah padam, tapi tidak dengan sepasang matanya. Selain perasaannya yang sedang dihinggapi lara, ternyata suara dengkuran Cakra malam ini cukup mengganggu gendang telinga.
Pria itu menggenggam topi biru kecil yang ia belum sempat hadiahkan untuk Kerdil. Setitik air mata kerinduan mengalir dari sela-sela mata Harits. Baru kemarin ia ditinggal pergi oleh kucingnya, kini pria itu sudah rindu dengan aroma Kerdil yang perlahan memudar. Harits terkadang sebal jika Kerdil tidur di atas tubuhnya, tetapi malam ini ia justru merindukannya.
Mungkin akibat derasnya volume air mata yang luruh, lambat laun pria itu merasakan kantuk yang sangat dahsyat.
"Harits ...."
"Harits ...."
Harits mendengar suara lirih memanggilnya. Semakin lama, ia semakin tertidur lebih dalam hingga pada akhirnya terlelap seutuhnya.
"Harits."
Harits menoleh. Kini ia berada di sebuah jembatan yang panjang dan penuh kabut seperti dinding di sisi kirinya. Sementara sisi kanannya terbentang laut yang luas. Di tengah herannya, Harits menangkap sesosok pria yang sebaya dengannya. Tinggi mereka hampir sama, tetapi warna rambut pria itu agak ke abu-abuan seperti Cakra, hanya saja warna base-nya bukan hitam, tetapi putih.
Harits memicing menatapnya. "Siapa?"
Pria itu tersenyum pada Harits. "Akhirnya kita bisa ngobrol dengan bahasa yang sama-sama bisa dimengerti."
"Hah? Lu siapa?"
"Kita jualan kopi bareng di UGM. Masa lupa?" tanya pria itu.
Harits berusaha mengingat, tetapi tak mampu menemukan jawaban. Wajah pria itu agak familiar, tetapi di satu sisi pun asing.
Pria itu melakukan gestur lari di tempat. "Lari pagi keliling desa, bantuin hantu tua yang sebatang kara."
Mata Harits kini membulat utuh. "Kerdil?"
Pria itu tersenyum kembali. "Maaf harus pergi duluan, ya."
"Hah?" Harits masih berusaha mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Ia sadar bahwa dirinya sedang bermimpi dalam kondisi lucid dream. "Lu kok orang?"
Kerdil terkekeh sambil memandang ke arah lautan di samping jembatan. "Bentuk permintaan terakhir aja. Seenggaknya mau pamitan dengan bahasa yang bisa kita sama-sama ngerti."
Harits bersandar pada pembatas jembatan. "Entah lu arwah yang lagi main-main, bentuk ilusi mimpi, atau Kerdil betulan, gua anggap lu beneran Kerdil."
"Emang beneran kok. Tanya aja sesuatu yang cuma Kerdil yang tau. Sesuatu yang pembaca pun enggak tau."
"Siapa nama panjang lu?" tanya Harits.
"Kerdils. Nambah satu huruf s doang," jawab Kerdil.
"Salah," sanggah Harits. "Harusnya kalo lu Kerdil, jawaban adalah meow nyahahaha."
Kerdil ikut terkekeh. "Itu kan dulu."
"Yakin cuma nambah s aja?" tanya Harits lagi.
"Satu huruf berjuta makna. S berarti Sagara. Kerdil Sagara. Kita keluarga, kan?"
Harits mendekat pada Kerdil, lalu mendekapnya. "Maaf karena enggak bisa jagain lu dengan baik, Dil."
Kerdil mendekap balik tubuh saudara tak sedarah, tak se-rasnya. "Lu manusia paling baik yang pernah hadir di hidup gua, Rits. Maaf enggak bisa nemenin lu lagi, nemenin setiap langkah lu. Gua harap lu jadi lebih kuat. Inget, lu enggak sendirian. Lu punya temen-temen yang baik."
"Lu juga, Dil. Meskipun lu bajingan, tapi gua akuin lu kucing terbaik di zaman ini. Jaga diri lu baik-baik—eh, tapi udah mati deh nyahaha."
Kerdil memukul wajah Harits pelan sebagaimana dahulu ia melakukannya.
"Terimakasih buat segalanya, Harits Sagara."
"Ya, terimakasih juga. Sampai berjumpa lagi di lain kesempatan." Harits memberikan tos tinjunya.
Kerdil menyambut tos tinju itu dengan tangan mungil berbentuk kucing. Sekejap, ia kembali ke wujud aslinya dan berjalan pergi mengikuti jembatan meninggalkan Harits.
Perlahan sosok Kerdil di lumat kabut dan menghilang dari pandangan Harits.
Perlahan juga mata Harits terbuka akibat alarm tahajudnya. Pria itu pun bangkit untuk mengambil wudhu.
"Solat dulu dah. Doain Kerdil sama Kak Ghina."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top