3 : Persiapan
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Kaliurang merupakan dataran tinggi, banyak tempat wisata dan juga resort di sini. Mungkin Mantra tak akan seramai di Maguwo, tetapi suasana yang penat di kota membuat tidak sedikit orang mencari udara segar dengan pergi ke daerah Kaliurang. Di Mantra yang sekarang, selain rasa rupanya mereka juga menjual pemandangan.
Mumpung hari jumat tanggal merah, mereka semua memutuskan untuk mulai pindah dan tinggal di rumah baru kamis malam ini, agar besok mereka bisa fokus merampungkan Mantra Coffee. Niatnya hari sabtu mereka sudah siap untuk membuka pintu untuk para pelanggan.
Barang-barang pribadi maupun toko sudah hampir lengkap, tinggal membeli beberapa printilan, juga berpamitan dengan pemilik kos masing-masing setelah menyelesaikan kelas hari ini.
Singkat cerita, malam pun tiba. Harits, Cakra, Deva, Nada, Melodi, dan Kevin sudah resmi pindah ke Kaliurang atas. Mereka merayakan pindahan itu dengan acara barbeku untuk makan malam.
Lampu taman dan hiasan lain membuat Mantra Coffee tampak cantik. Meskipun gelap dan tak sebagus pemandangan di siang atau sore hari, tapi tak mengurangi daya tariknya.
"Besok gua yang jalan cari biji kopi ya," ucap Harits.
"Terserah," balas Melodi. "Gua mau beresin kamar."
"Aku mau ikut Harits, tapi kayaknya enggak bisa," ucap Nada.
"Kenapa gitu?" tanya Cakra.
"Mau rapihin taman. Babatin rumput yang agak panjang sama belanja beberapa tanaman hias lagi," jawab Nada.
"Aku temenin boleh?"
Nada mengangguk sebagai jawaban untuk Cakra.
"Lu besok mau ngapain, Vin?" tanya Deva.
"Ikut Harits," jawab Kevin singkat.
"Gua tinggal nata meja sama ngelapin mejanya biar enggak berdebu," ucap Deva, padahal tidak ada yang bertanya.
"Intinya besok open trial aja dulu malemnya buat pelanggan lama," ucap Harits. "Gimana? Soalnya yang gua liat sih harusnya kita udah ready, paling tinggal beli stok kopi sama beberapa bahan buat dapur sih."
Deva mengangguk. "Oke sih, sekalian syukuran gitu ya?"
"Halah, bilang aja cuma pengen ngajak pacar main ke sini," celetuk Melodi.
"Diam kau jomblo akut!" balas Harits.
Biasanya Melodi tak mempermasalahkan status receh seperti itu, tetapi entah kenapa malam ini ia terlihat murung. Gadis itu paham, besok semuanya akan mengajak orang-orang terkasih mereka seperti malam-malam yang lalu di angkringan Mantra. Entah, jauh di dasar hatinya Melodi juga ingin seperti mereka.
Nada menyadari itu, ia meraih tangan Melodi dan memberikannya senyum. "Enggak apa-apa, Melo. Kan ada aku."
"Makasih, Nada," balas Melodi membalas senyum Nada.
Cakra ikut tersenyum. Gadis kembar itu mulai akur kembali dan saling menguatkan. Ya, memang seharusnya begitu.
"Poy, masih ada daging slice nya?" tanya Harits.
"Masih banyak." Deva menguncir rambutnya. "Ambilin aja."
"Ngokhey." Harits datang membawa piring dan mengambil daging di panggangan. Ia bersiul. "Jatahmu, Buddy." Ia melempar sepotong daging ke udara.
Dari lantai atas berlari seekor kucing abu-abu bak ninja yang turun dengan melompat-lompat dan langsung menyambar daging itu sebelum jatuh menyentuh tanah.
"Meow!" ucap Kerdil.
"Mantap nyahaha," balas Harits.
"Makin Harits aja tuh kucing," ucap Nada sambil tersenyum.
Mereka semua asik makan dan mengobrol di halaman samping dekat tangga. Di tengah kehangatan itu Nada tiba-tiba berdiri dan berjalan ke arah depan.
"Mau ke mana, Nad?" tanya Melodi.
"Ke toilet."
"Kayaknya ada yang lagi mandi deh."
Nada menyilangkan kaki. "Duh, mana kebelet. Aku ke kamar aja deh."
"Mau aku temenin?" tanya Melodi.
Nada berjalan cepat meninggalkan Melodi ke belakang, arah kamarnya. "Enggak usah."
***
Beralih ke Nada yang baru saja duduk di toilet. Mungkin karena suasana yang dingin, gadis itu kerap mondar-mandir buang air kecil.
"Harus beradaptasi nih," gumamnya.
Ketika ia selesai dan hendak mengambil tisu, tiba-tiba pintu kamar mandi diketuk.
Tok ... tok ... tok
"Tunggu, sebentar lagi," ucap Nada.
Tok ... tok ... tok
"Iya, sebentar, Melo."
Begitu Nada membuang tisu dan memasang celana, tiba-tiba lampu kamar mandi mati. Nada paham, Melodi sering meledeknya, tapi meskipun sudah tahu ia tetap saja selalu takut jika berada di dalam kamar mandi dalam kondisi gelap gulita.
"Melodi!" Nada yang tergesa-gesa langsung meraih gagang pintu dan membukanya. "Loh?" Namun, pintu terkunci. Daripada dikunci, lebih seperti ditahan dari luar agar tidak bisa terbuka. "Melo, jangan iseng deh! Jangan bercanda gini!"
Nada berusaha sekuat mungkin membuka pintu, tetapi siapa pun yang menahannya pastilah orang yang kuat, dan tidak mungkin Melodi sekuat itu. Lampu tiba-tiba menyala, tetapi bukannya sedikit tenang, Nada justru bergidik ngeri. Ia baru mengingat alasan yang membuat wajahnya selalu murung jika membahas tempat ini.
Glek ...
Ia meneguk ludah lantaran terdengar suara keran air diputar.
DOR! DOR! DOR!
"BUKA!" Nada menggedor pintu sambil menangis lirih. "TOLONG!"
Suara keran itu semakin deras hingga air di bak mandi tumpah menyentuh kaki Nada. Ya, mungkin ketukan pintu, lampu mati, dan terkunci masih bisa dialihkan menjadi pikiran positif, tapi bagaimana dengan keran di belakang Nada yang terbuka dengan sendirinya?
Degup jantungnya semakin memburu. Terdengar suara seperti sesuatu keluar dari bak mandi.
"TOLONG!" Tangan Nada semakin cepat memainkan tempo gedoran pintu.
Untuk berucap begitu saja rasanya berat. Ingin ia berteriak lebih keras lagi, tetapi tak bisa.
Di tengah histeris itu pintu tiba-tiba terbuka. Nada langsung berlari keluar, tetapi langkahnya berhenti ketika Melodi sudah berada tepat di balik pintu.
"Kamu kenapa?" tanya Melodi.
Nada memeluk Melodi dengan tubuh gemetar. Ia menangis karena takut.
"Aku takut, Melo ...," gumamnya lirih.
Melodi mengusap punggung kembarannya sebagai upaya menenangkan. "Kamu kenapa?"
Nada tak bisa bercerita saat ini, ia hanya mampu menangis dalam dekap Melodi.
***
Kembali ke halaman. Cakra menatap jam tangannya sambil sesekali celingukan. "Nada ke mana?"
"Au dah," jawab Harits. "Nyari kumbang kali."
"Toilet," koreksi Melodi.
Pria dengan warna rambut yang berbeda dari teman-temannya itu beranjak dari duduknya, ia berjalan ke arah depan. Selagi Cakra dan Nada tak berada di sana, yang lain beraktivitas sambil berbincang seperti biasa. Kevin sibuk dengan diamnya, Deva masih berdiri sambil membalik daging-daging yang tampak juicy, lalu Melodi yang disibukan oleh pria bertopi biru bernama Harits.
Melodi memicing ke arah Harits. "Apa lu liat-liat?!"
"Dih, sewot. Upil lu tuh kuning kayak jigong Arai nyahaha," ledek Harits.
"Kulit lu biru kayak Krisna!" balas Melodi.
"Daripada lu ...." Ia tampak berpikir. "Tonggos kayak Wira."
"Lu pendek kayak tai keinjek," balas Melodi dengan cepat tanpa berpikir.
Harits masih berpikir untuk mencari ledekan yang lebih lucu. Tak lama berselang Cakra kembali. Harits sontak menutup hidung. Kini daripada Melodi yang bermulut pedas, ia lebih memilih untuk meledek Cakra yang lebih kalem.
"Ngomong-ngomong soal kuning, gua denger-denger lu bau tai, Cak," ucapnya meledek Cakra.
"Kuping lu bisa nyium?" tanya Melodi. "Freak banget lu."
"Mau gua cium lu?"
"Mending dicium setan!" balas Melodi.
"Gua enggak berak ya," ucap Cakra membalas ledekan Harits. Ia celingak-celinguk mencari Nada. "Nada belum balik? Tadi enggak ada di toilet deh."
"Toilet di kamar belakang, tadi di depan ada orang," sambar Melodi.
Cakra memicing. "Siapa? Dari tadi kita semua di sini, kan? Perasaan enggak ada yang ke dalem."
"Hah? Tadi ada suara jebar-jebur. Siapa yang mandi tuh?" tanya Melodi.
"Enggak ada," jawab Deva. "Harits sibuk makan, tadi Cakra ngobrol sama Nada, Kevin bantu bumbuin daging, kamu sibuk galau, aku manggang."
"Aku denger suara jebar-jebur dari dalem perasaan, makanya aku suruh Nada ke belakang."
Cakra dan Harits beradu tatap. Pertama, mereka tidak mendengar apa yang Melodi dengar. Kedua, Nada sudah terlalu lama menghilang. Sontak Harits membuang piringnya dan berlari ke arah belakang bersama Cakra.
"Mereka kenapa?" tanya Melodi.
Deva mengangkat bahu. "Entah."
***
"Kamu kenapa?"
Nada terdiam. Jelas saja, Melodi bertingkah aneh. Ia mengulang-ngulang pertanyaan dengan intonasi yang sama. Melodi lebih mirip seperti mainan rusak yang bisa berbicara.
"Melo ....."
"Kamu kenapa?" tanya Melodi lagi.
Arah mata Nada secara refleks bergeser ke arah cermin yang menempel di dinding sisi kanan ruangan. Ia terbelalak menatap sosok yang ia peluk di pantulan cermin. Sosok itu bukanlah Melodi, melainkan gadis kecil berpiama putih. Wajahnya pucat agak kebiruan. Menyadari Nada yang memandangnya lewat cermin, dengan cepat sosok itu menoleh ke arah cermin dan menyeringai pada Nada.
"AAAAAAAAA!"
Pintu kamar terbuka. Harits dan Cakra masuk ke dalam kamar. Mereka menemukan Nada yang tergeletak di lantai tak sadarkan diri.
Tak lama berselang Deva, Melodi, dan Kevin datang menyusul karena mendengar teriakan Nada.
"Kenapa, Rits?" tanya Deva.
Cakra membopong Nada ke kasur, sementara Harits masih terdiam seribu bahasa memikirkan sesuatu.
Melodi berlari ke arah Nada, ia tatap wajah Cakra. "Nada kenapa, Cak?!"
Harits menghela napas. "Sebetulnya ada satu kendala di rumah baru kita."
"Apa?" tanya Deva.
"Sesuatu yang enggak bisa diurus sembarangan," jawab Cakra.
"Apa sih?" Melodi tampak tak paham dengan ucapan Harits dan Cakra
"Bukan cuma kita yang tinggal di sini," jawab Harits.
Deva mengerutkan kening. "Maksudnya ...."
"Sesuatu yang jahat menghuni rumah ini," jawab Harits.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top