29 : Hal yang Disukai

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

Malam ini Harits masih terjaga ditemani jarum dan benang. Ia sedang merajut sesuatu.

"Kalo mau tidur matiin aja lampunya, Cak."

Cakra yang sedang berbaring menoleh ke arah Harits.

"Santai. Nanti aja, belum mau tidur juga kok." Ia bangkit dan duduk masih menatap Harits. "Lu bikin apaan?"

Harits tersenyum. "Entahlah. Hadiah ulang tahun maybe."

"Buat siapa?"

"Temen gua. Ya enggak tau sih kapan ulang tahunnya, tapi kasih ajalah. Dicetusin sembarang aja," jawab Harits.

"Yeh, mana bisa begitu, Rits. Namanya ulang tahun kan hal yang pasti," sanggah Cakra.

"Ini buat Kerdil. Gua enggak tau kapan dia lahir. Cuma tau dia ketabrak di depan toko dulu, udah. Tanggal mungutnya pun lupa nyahaha jadi ya bebas ajalah. Dia juga enggak akan protes."

Cakra ikut tersenyum. "Kasih tau kapan mau rayainnya. Nanti gua ikut kasih kado."

"Oke."

"Ngomong-ngomong, gua jarang liat temen kecil lu deh," tutur Cakra.

"Lebih sering di halaman belakang sekarang-sekarang. Mungkin ada betina di sana."

"Semoga dapet jodoh yang baik deh si Kerdil."

"Abis lulus mau gua bawa ke Jakarta. Mau gua taarufin sama kucing sana aja, Cak. Di sini kucingnya medok-medok," ucap Harits.

Cakra terkekeh. "Bisa gitu, ya?"

"Lah, lu enggak sadar?" tanya Harits.

"Ngawur! Di Inggris pun ya kucing mah sama aja."

"Singa beda," sanggah Harits.

"Ya itu, kan ...."

"Macan, jaguar, leopard."

"Iya bener ternyata, keren lu ah," balas Cakra.

"Nyahaha kesel?"

"Tidur dulu gua. Nanti kalo udah selesai tolong matiin lampu, Rits."

Harits menyudahi kegiatannya dan mematikan lampu, lalu tidur. Ia menurunkan ego karena paham bahwa Cakra tak bisa tidur dalam kondisi terang.

Pagi pun tiba. Hari ini Deva memiliki kelas kosong. Ia tak memiliki kegiatan sehingga membantu Ippo dan Maya menjaga toko.

Cring~

Lonceng di pintu berbunyi, tanda kehadiran pelanggan.

"Selamat datang di ...," sapa Deva. Ia terdiam sejenak menatap seorang gadis berpakaian retro dengan kaos putih dibalut jaket jeans oversize biru muda, lengkap dengan celana gombrong berwarna cokelat susu.

Sejenak mereka saling diam dan beradu tatap.

"Hei," sapa Chica.

"Halo," balas Deva.

Gadis itu tersenyum. "Pantes waktu itu kayak De Javu. Ternyata emang enggak asing."

"Sorry?"

"Sebelum kita ketemu waktu itu, aku beberapa kali ke sini. Ternyata kamu baristanya. Pantes kayak pernah liat," jelas Chica.

Deva tertawa tipis. "Oh, kirain apa."

Sejenak keadaan hening dan canggung.

"Aku mau order citrus coffee sama cemilannya onion ring, ya," ucap Chica.

"Oke," balas Deva.

Maya langsung mengeksekusi pesanan tersebut. Sementara itu Deva masih diam di balik meja kasir, menatap Chica yang sedang duduk sambil membuka tab. Gadis itu terlihat sedang menulis sesuatu dengan sytlus pen di tangannya.

"Dev, pesenan kakaknya udah jadi," ucap Maya.

"Oh, oke mbak May." Deva mengambil pesanan Chica, lalu berjalan ke mejanya.

"Satu citrus coffee ya. Onion ring-nya nunggu sebentar, ya."

"Oke, makasih, Dev," ucap Chica.

Deva menatap layar tab milik Chica. Sebuah gambar pria berjaket jeans biru terpampang di sana. Pria itu mengenakan celana abu-abu panjang dan sepatu kulit berwarna cokelat tua.

"Kamu komikus?" tanya Deva.

"Hobi aja sih," jawab Chica.

"Emang ngambil jurusan apa?" tanya Deva.

"Arsitektur."

Deva tersenyum. "Keren."

"Kamu kuliah juga?" tanya Chica.

"Iya. Sastra Jepang di UGM."

Giliran Chica yang tersenyum. "Sendirinya lebih keren."

"Dev, onion nya udah jadi," seru Maya dari balik bar.

Deva mengambil onion ring dan membawanya ke meja Chica.

"Kamu sibuk, Dev?" tanya Chica sambil sesekali gadis itu menatap ponselnya.

"Jam segini enggak sih, kenapa?"

"Aku enggak akan abis makan sendirian. Temenin sambil ngobrol boleh?"

"Santai." Deva duduk di samping Chica.

"Aku tadinya janjian sama temen di Mantra, tapi ternyata dia mendadak enggak bisa."

"Santai, aku temenin." Deva terpukau dengan style gambar Chica. "Gambar kamu keren."

Chica tersenyum. "Makasih."

"Kamu upload di mana? Atau cuma iseng aja?"

"Aku publish di Deeptoon, tapi ya gitu—masih inkonsisten."

Setiap arsirannya tegas dan berani. Deva senang dengan cara Chica membuat outline/line art.

"Tentang apa?" tanya Deva yang mulai penasaran.

"Super hero gitu, tapi enggak yang model-model punya kekuatan super juga sih. Intinya tentang pahlawan gitu," jawab Chica. "Latarnya agak mundur beberapa tahun dari era kita. Jadi tokoh utamanya tuh lumayan jago berantem."

"Lumayan? Bukan yang jago banget?"

Chica tersenyum tipis. "Tapi dia punya unique skill, precognition."

"Kemampuan buat melihat masa depan?"

Chica terdiam sejenak. Pandangannya berpindah dari tab ke layar wajah Deva.

"Kamu tau? Padahal bahasanya enggak terlalu familiar."

"Sedikit," jawab Deva.

"Jadi nih ya." Chica memutar pinggangnya menghadap Deva. Wajahnya terlihat antusias. "Tokoh utamanya itu bukan yang selalu menang. Yang buat dia jadi super hero itu bukan kekuatannya, tapi jiwanya yang rela mengutamakan orang lain ketimbang dirinya sendiri. Setiap dia liat visualisasi masa depan yang buruk, dia selalu berusaha mencegah itu."

"Keren, keren. Siapa nama tokoh utamanya?"

Chica tertawa kecil. "Dirga."

Deva mengerutkan kening. "Dirga?"

"Iya, Dirga. Dia itu masih sekolah di bangku SMA. Makanya waktu Dirga berurusan sama gangster, dia tuh pake topeng gitu. Topengnya boleh ngambil dari sekolah, jadi semacam topeng tradisional. Biar identitasnya enggak ketauan."

Deva makin memicing. Ia merasa heran sebab tokoh utama dalam komik Chica terlihat dan terdengar seperti ayahnya.

"Kamu dapet ide itu dari mana? Konsepnya menarik."

"Kepikiran aja. Bisa dibilang ya—dari imajinasi. Setiap aku bayangin karakter yang aku buat, rasanya kayak nyata. Entah, pokoknya ngalir ajalah."

"Pasti seru. Nanti aku coba baca," balas Deva. "Ngomong-ngomong kamu enggak buka commision?"

Chica tersenyum. "Aku itu idealis, jadi enggak mau ngelakuin sesuatu yang aku suka berdasarkan perintah orang lain. Gambar itu hobi, bukan pekerjaan. Sengaja aku pisah, biar aku enggak benci dan ngerasa bosen sama gambar."

"Tapi orang bilang, pekerjaan yang enak itu adalah pekerjaan yang sesuai sama passion."

"Menurutku sih bullshit. Why? Karena kalo kita bekerja kan pasti di bawah orang lain. Jadi meskipun kita ngelakuin sesuai passion, tapi beda aja. Ibarat aku lagi mau gambar kucing, tapi atasan ku mau gambar jeruk. Aku harus nurunin ego buat memuaskan hasratnya yang rasa jeruk itu. Dalam hobi, aku egois. Aku mau bebas tanpa aturan."

Deva tersenyum mendengar penjelasan Chica. Ia agak tertarik dengan karya yang Chica buat.

"Kamu dari kecil suka gambar, ya?"

Chica menggeleng. "Awalnya waktu SMA kelas satu. Gara-gara mantan." Gadis itu tertawa sambil menggelengkan kepala.

"Kamu lebih hebat dari yang aku duga ternyata," ucap Deva.

Kini gadis itu mengerutkan kening. "Hebat?"

"Iya, hebat. Karena masih bertahan di hobi kamu. Aku yakin, di setiap arsiran kamu ada segores luka yang ikut keluar lewat ujung pena," ucap Deva.

"Kamu kayaknya keliru deh."

Kini giliran Deva yang dibuat memicing. "Keliru?"

"Aku gambar emang karena seseorang di masa lalu, tapi untuk tetap berada di jalan ini—itu adalah pilihan aku sendiri. Karena kecintaanku sama gambar, aku enggak pernah merasa sakit atau apa pun. Baik ada dia dan enggak ada dia, enggak ada yang berubah. Aku mau suka sama apa yang aku suka tanpa syarat," tutur Chica.

Ucapan gadis itu menjadi tamparan untuk Deva. Mendadak wajah pria gondrong itu terlihat sedih dengan senyum palsu yang berusaha ia tutupi.

"Kalo Deva suka apa?"

Mata pria itu berkedut ketika seseorang melempar pertanyaan kompleks tersebut. Namun, ia memilih diam tanpa jawaban.

Chica menepuk pundak Deva pelan. Gadis itu memberikannya senyum sederhana.

"Enggak ada orang yang berhenti dari apa yang dia suka hanya karena orang lain. Alasan kenapa seseorang berhenti dari apa yang dia suka itu adalah karena enggak ada lagi kebahagiaan di dalamnya." Chica menatap mata Deva dalam-dalam. "Kamu bahagia?"

Deva berusaha tersenyum dengan sedikit anggukan kepala yang berusaha membohongi Chica.

"Coba kamu lakuin hal yang kamu suka itu sekali lagi. Seenggaknya, kalo hal tersebut bisa ngurangin beban kamu, ngeluarin kesedihan kamu ... artinya kamu masih suka," lanjut Chica. "Dan kalo kamu masih suka, enggak ada alasan buat berhenti."

"Berat ...," lirih Deva. "Rasanya berat ngelakuinnya. Setiap kali aku ngelakuin hal yang aku suka itu, rasanya sedih karena banyak memori indah yang enggak bisa lagi terulang."

Chica menghela napas. "Hadeh, Deva, Deva. Memori itu kita sendiri yang nyiptain, biar bisa senyum waktu dikenang. Kalo ada hal yang sedih di antara banyak file tersebut dan enggak bisa dihapus, tinggal jangan dibuka foldernya."

"Teorinya sederhana, tapi enggak sesimpel keliatannya, Ca."

"Kita sendiri yang mampu mengontrol itu semua. Sebetulnya sederhana, tapi kita sendiri juga yang bikin susah. Ada banyak kok contoh kehilangan yang membangun, kenapa harus ngambil tutorial yang gagal?"

"Contohnya?" tanya Deva.

Chica menunjuk dirinya sendiri. "Aku."

Deva tertawa mendengar jawaban gadis itu. "Iya juga."

"Maaf kalo terlalu ikut campur urusan kamu atau keliatan menggurui. Itu bentuk peduli aku aja."

"Kenapa kamu harus peduli?" tanya Deva.

"Karena sore itu kamu peduli," jawab Chica. "Bahkan sampe mastiin aku pulang dengan selamat? Kamu orang baik, dan aku suka."

Satu alis Deva terangkat naik. "Suka?"

"Eh—dalam artian beda loh!" balas Chica dengan wajah malu. "Duh salah ngomong. Maksudnya tuh ya suka aja sama orang baik. Duh bukan, bukan ... gimana, ya."

Deva tertawa. Kali ini tak ada kepalsuan di tawa itu.

"Iya, iya, paham," ujar Deva.

"Nah, itu pokoknya."

Di tengah obrolan, dering ponsel Chica berbunyi. Gadis itu mengangkat panggilan telepon tersebut.

"Halo, kenapa?" tanya Chica.

"Lu baca lanjutan chat gua enggak sih? Kelas kedua enggak jadi kosong, dosennya ngeprank."

"Hah?!" Chica sontak bangkit dengan wajah panik. "Iya, iya. Gua otewe kampus!" Ia mematikan panggilannya.

"Kenapa? Heboh amat?" tanya Deva.

"Kelasku enggak jadi kosong. Duh, nyusahin." Chica memasukkan semua barangnya ke dalam tas.

"Biar aku anter," ucap Deva.

"Eh enggak perlu. Aku naik ojol aja."

"Pertama, lama nunggu dapet drivernya. Kedua, lama nunggu dia otewe sininya. Ketiga, enggak tau tipikal drivernya. Kalo kakek-kakek bawa motor tua gimana?"

"Duh, mana iya banget lagi."

"Aku ambil kunci motor dulu." Deva berlari keluar kafe mengambil kunci motor di lantai atas.

Chica membayar pesanan, lalu berjalan keluar menunggu Deva.

Tak berselang lama Deva pun muncul. Ia langsung naik ke motornya dan melaju menuju UII untuk mengantar Chica kuliah.

.

.

.

TBC
















Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top