28 : Renungan Pria-Pria Sedih

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

Minggu pagi adalah hari di mana seorang Nada Regina Mahatama merawat teman-teman hijaunya di halaman Mantra Coffee.

Berbeda dengan minggu-minggu biasanya, pagi ini ada Melodi di sini. Ia terlihat sibuk menyapu daun-daun yang berserakan di beranda kabin belakang.

"Tumben kamu rajin pagi-pagi. Biasanya abis subuhan tidur lagi," ucap Nada.

"Kamu enggak akan ngerti kalo aku jelasin, Nad. Intinya mulai sekarang aku bakal tidur teratur dan bangun pagi," balas Melodi.

"Semangat Melo!"

"Kamu juga, Nad."

Nada memicing mendapati gelagat aneh kembarannya. "Kamu kenapa senyam-senyum, Melo? Biasanya kalo pagi, kamu kan pelit senyum?"

"Enggak ada apa-apa kok. Lucu aja," jawab Melodi.

"Apanya yang lucu?"

Melo menggeleng. "Enggak."

Nada tak tahu, bahwa di sekitar Melodi ada dua anak yang sedang berlari sambil tertawa mengitarinya.

"Mamaaaa kejar!" kata Adi.

Begitu Nada berpindah ke sisi lain halaman, Melodi segera mengejar Adi. Ia memukul anak itu dengan sapu di tangannya.

"Hahaha enggak kena, enggak kena," ucap anak itu riang gembira.

"Wah, Adi hebat, ya," puji gadis brutal itu.

Adi tak pernah menghindari sapuan Melo. Hanya saja sapu itu selalu menembus sosok hologram ngeri alias hantu tersebut. Mungkin jika Adi masih hidup, ia akan mati karena pukulan brutal bertubi-tubi Melodi. Namun, biarpun terlihat bar-bar, mereka menikmati pagi hari ini.

Setelah lelah, Melodi berbaring di rerumputan menatap langit biru. Adi dan Ratna pun ikut berbaring di sisi kanan dan kiri Melodi.

"Mama capek?" tanya Adi.

"Capek banget. Mukulin kamu enggak kena-kena," jawab Melodi.

Di tengah obrolan singkat itu, tiba-tiba ada sesuatu yang naik ke atas tubuh Melodi. Ia sontak menatap benda tersebut, yang ternyata adalah Kerdil. Kucing itu duduk di perut gadis tersebut.

Melodi pun langsung bangun dan menjauh dari Kerdil. Sejujurnya, Melo tak begitu menyukai kucing. Ia hanya terbiasa hidup berdampingan saja, tetapi tak mau berurusan dengan makhluk yang satu ini.

"Kucing itu hewan baik loh." ucap Nada yang kembali ke belakang membawa selang air.

"Kalo baik harusnya dia jajanin kita apaan kek gitu," celoteh Melo.

"Di rumah ada Noir, di sini ada Kerdil. Aku pikir kamu berubah pikiran soal kucing."

"Aku enggak takut, enggak geli, enggak benci juga. Cuma enggak mau berurusan aja sama kucing," balas Melodi.

"Kucing kan enggak gigit, Melo." Nada menghampiri Kerdil dan mengusap-usap kepala Kerdil. Kucing itu anteng dan terlihat keenakan. "Tuh, dia baik kok," sanggah Nada.

"Whatever." Melodi berjalan pergi diikuti Adi dan Ratna.

Nada menghela napas, lalu menatap kucing berbulu abu-abu itu. "Maafin Melo ya, Dil. Dia baik kok, enggak gigit hehehe."

Melodi pergi ke kabin untuk mengambil sepatu sport. Gadis itu ingin berjalan melihat keadaan sekitar Mantra. Jika dipikir-pikir, ia jarang pergi keluar.

"Mama mau ke mana?" tanya Adi.

"Jalan-jalan, mau ikut?"

"Mau!" jawab Adi dan Ratna yang tak pernah keluar dari area rumah selama bertahun-tahun.

Melo tersenyum, ia bangkit dari duduknya. "Yuk." Mereka pun berjalan pergi.

Di sisi kanan Mantra, Melodi tak sengaja menangkap kehadiran Harits yang sedang berolahraga. Pria berkaos hitam lengan buntung itu sedang melakukan gerakan-gerakan bela diri. Menyadari ada yang memperhatikan, Harits pun menghentikan gerakannya dan berdiri menatap gadis itu dalam diam.

"Mau ikut enggak?" tanya Melodi.

"Ke mana?" tanya Harits balik dengan nada datar.

"Nih, main sama bocah dua," jawab Melodi.

Harits menatap Adi dan Ratna yang sedang mengikuti Melodi. Tampang mereka pagi ini cukup segar dipandang.

"Papa ayo ikut!" seru Adi.

Harits menghampiri anak itu, lalu berjongkok. "Papa mau kerja. Main sama mama dulu, ya." Ia kemudian bangkit dan menatap Melodi. "Gua ada urusan abis ini, lu aja enggak apa-apa, kan?"

Melodi mengangguk, tetapi terukir raut kecewa di wajahnya. Gadis itu pun kembali melanjutkan perjalanan. Namun, melihat wajah murung Melodi membuat Harits menghela napas.

"Tunggu, Doy. Gua ikut sebentar deh," ucap Harits.

Melo menghentikan langkahnya, lalu menoleh. "Enggak usah. Kalo lu ada kerjaan, it's oke."

"Tapi muka lu sepet bener, kek pantat bayi," celetuk Harits. "Kenapa sih?"

Melo tersenyum. "Udah dua minggu lewat, waktu kita enggak banyak dan belum ada tanda-tanda kemajuan buat  misi rahasia kita."

Lagi-lagi Harits menghela napas berat. Ia menatap kedua anak itu. "Tunggu sebentar, ya." Pria itu naik ke lantai atas untuk mengambil sepatunya.

Tak lama berselang, Harits turun kembali sudah mengenakan sepatu lari berwarna biru dengan midsole berwarna putih.

"Yuk," ucapnya.

"Yuk," balas Melodi.

Mereka berdua berjalan sebelahan di temani Adi di sisi kiri Melodi dan Ratna di sisi kanan Harits.

"Gua pikir lu ikut pergi sama Deva, Cel," ucap Melodi. "Eh ternyata ada di samping. Tau gitu lu aja yang nyapuin teras tadi."

"Lah?"

"Ngomong-ngomong Deva ke mana?" tanya Melodi.

"Deva, Cakra, sama Kevin pergi bertiga tadi naik mobil. Mereka mau jogging di UGM katanya. Gua diajak, tapi karena ada urusan gua tolak," balas Harits.

"Tapi sekarang lu malah ikut sama gua. Enggak apa-apa nih?" tanya Melo.

"Santai."

"Makasih, ya ...," lirih Melodi diiringi senyum tipis.

"Bukan buat lu. Buat Adi sama Ratna," balas Harits memalingkan wajah.

"I know. Whatever."

Tiga mas-mas getir duduk bersama menatap langit pagi. Secara kebetulan ketiganya menghela napas berat, lalu saling bertatapan sebelum tatapan itu meledak menjadi tawa.

"Dulu kita ngeceng-cengin Harits waktu enggak bisa dapetin Nada," ucap Deva. "Liat kita sekarang?"

Cakra terkekeh. "Kehidupan itu bener-bener kayak roda, ya. Mubeng, Dab."

Kevin hanya diam dengan senyum miris di bibirnya. Berbeda dengan kedua sahabatnya yang gagal move on, Kevin hanya merasa rindu, dan kebetulan rindunya tak pernah tersampaikan.

"Eh, Vin. Lu enggak ada niat ke Lombok buat ketemu sama Rinjani?" tanya Cakra. "Kalo lu emang sekangen itu, coba aja temuin dia."

"Percuma. Enggak ada informasi dia di mana," balas Kevin.

"Dia orang Lombok, kan?" lanjut Cakra. "Kan lu punya kemampuan buat nyari dia?"

"Klervoyans enggak sesederhana itu," jawab suara berat Kevin. "Selama ini juga gua nyoba mantau, tapi enggak pernah nemu."

"Lu gila, Cak? Masa Si Kevin harus gunain Klervoyans buat mantau satu Lombok sih, Cak?" celetuk Deva.

"Siapa tau ketemu gitu, daripada kita, Dev. Ketemu setiap hari sama orang yang kita suka tapi yaaa ... nothing. Mau berusaha pun rasanya gimana gitu, tapi kalo Kevin kan beda."

"Bener juga lu," balas Deva.

Cakra bangkit dari duduknya dan berjalan pergi menenteng skateboard. Pria itu berlari kencang, lalu melempar papan skate miliknya ke depan. Setelah papan skatenya meluncur, ia pun langsung melompat ke atasnya dan melesat cepat di area skatepark.

'Secepat apa pun aku melesat, bayang-bayang kamu selalu menghantui, Nad. Aku harus gimana sekarang? Secara teori, ngelupain kamu itu hal yang mudah, tapi prakteknya nol.'

"Lu masih mau di sini, Vin?" tanya Deva. "Kalo iya, gua tinggal lari, ya."

Kevin mengangguk tanpa ucapan. Mengisyaratkan pria gondrong itu untuk melakukan hal yang ia inginkan. Saat ini rasanya mereka bertiga tak ingin sendiri, tapi butuh waktu menyendiri.

Deva bangkit dan melanjutkan lari yang sempat terhenti akibat merenung bersama kedua sahabatnya. Pada satu titik, ia mengubah pace santainya menjadi sprint di kecepatan terbaik.

Pria gondrong itu memiliki kecepatan yang bagus dalam lari jarak pendek dan ketahanan yang tangguh dalam lari jarak jauh, tetapi karena cedera di kakinya, kecepatannya saat ini sudah berkurang drastis.

Di era prime-nya, Deva sering menyabet juara atletik. Baik lari sprint, marathon, estafet, bahkan sepak bola dan futsal. Namun, hanya karena satu cedera, ia berhenti dari segala yang ia miliki. Persis seperti saat ini. Sebab luka di hatinya, pria gondrong itu berhenti bermain gitar, bahkan menjadikan seorang gadis sebagai pelariannya. Jauh di lubuk hatinya, Deva benci dirinya yang seperti itu. Ia menanamkan bahwa dirinya adalah seorang pengecut yang hanya lihai bersembunyi.

'Aku mungkin bisa lari, tapi aku enggak bisa sembunyi dari perasaan ku sendiri, Mel. Aku paham bahwa aku bukan irama yang kamu cari dalam setiap nyanyian kamu, aku paham itu dan terus berusaha pergi jauh dari kamu, tapi sejauh apa pun aku berlari, nyatanya aku hanya berlari di tempat yang sama.'

Cakra dan Deva sudah pergi, tetapi Kevin masih bergeming di tempat yang sama. Pria tampan bermata dingin itu masih menatap langit yang sama. Memandang awan yang berlalu dan hilang di ujung matanya.

"Menurutmu, ke mana perginya awan-awan itu?" gumamnya bermonolog. Sejenak ia kembali menghela napas.

'Apa langit yang aku lihat di sini sama seperti langit yang kamu lihat di sana? Aku rindu kamu, Jani, tapi tak berdaya. Apa aku salah karena masih diam menunggumu di sini? Aku hanya benci ditinggal tanpa kabar darimu. Paling tidak, katakan jika kamu memang sebegitu inginnya pergi, agar aku bisa lebih memahani makna ikhlas.'

Cakra kembali dengan skateboardnya, dan Deva pun kembali dengan keringat yang bercucuran. Melihat kedua rekannya sudah datang, Kevin pun bangkit dari duduknya.

"Yuk pulang," ajak Deva.

"Yuk," balas Cakra.

Kevin mengangguk sebagai jawaban, lalu berjalan di belakang mereka berdua.

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top