26 : Rasa Hilang
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
Pagi ini Harits jogging kembali ditemani Kerdil. Ritme langkah dan napas mereka selaras. Begitu hendak melewati rumah Pak Kuswandi, tempo langkah mereka melambat.
Pria tua itu kini sedang mengganti pagar tuanya yang sudah tak terawat dengan kayu baru. Harits memang kesal dengan pak tua sombong itu, tetapi melihat fisiknya yang terlihat rentan, jiwa mudanya tak tega.
"Mau saya bantu, Pak?" tanya Harits.
Pak Kuswandi menoleh dan menatap Harits dengan sinis.
"Saya bukan orang asing kok, cuma orang baru yang tinggal di kedai kopi depan," sambung Harits.
"Jangan ganggu saya. Saya bisa sendiri," ucap pak tua itu dengan nada ketus.
'Ya udahlah ya, bodo amat.' Batin Harits.
Pemuda itu kembali melanjutkan langkahnya meninggalkan si kakek yang sedang bersusah payah memasang pagar seorang diri.
Ia merasa tak tenang. Dalam setiap langkahnya penuh khawatir. Harits menghentikan langkahnya sambil menghela napas panjang. Sejenak ia tatap langit biru yang teduh.
"Sampe sini aja, Dil. Kita pulang," ucap Harits. Ia pun mengambil jalan memutar dan kembali melewati rumah Pak Kuswandi, tetapi kali ini ia lewat begitu saja tanpa permisi.
Suasana bengkel tak terlalu ramai. Hanya ada satu motor yang terlihat sedang menjadi pasien di sana akibat ban bocor.
Dering ponsel berbunyi. Jaya yang baru saja selesai menambal ban pun kini menatap layar ponsel. Ia menatap seorang pemuda.
"Yuza, tolong jaga bengkel dulu, ya," ucap Jaya.
"Siap, Mas," ucap Yuza.
Peti Hitam namanya, sebuah bengkel kecil di daerah Bantul milik seorang Emil Jayasentika. Berkat penghasilannya menjadi intel Dharma di dunia gelap, kini Jaya membuat sebuah bengkel untuk menghidupi anggotanya. Ia ingin semua punya kesibukan. Meskipun tidak semua anggota berada di tempat ini. Seperti Petrus dan Isabel yang sedang melanjutkan pendidikan di Bandung bersama Dirga.
"Halo, Mas. Kenapa?" tanya Jaya yang baru saja mendapat panggilan telepon dari Harits.
"Gua mau minta tolong dong. Sibuk enggak lu?" tanya Harits.
Jaya tersenyum. "Enggak kok. Minta tolong apa?"
Harits menjabarkan permintaan tolongnya pada Jaya, dan Jaya hanya diam menyimak semua ucapan Harits.
"Oke, saya bantu siapin. Kebetulan saya punya temen yang ahli di bidangnya," ucap Jaya menatap seorang pria bertato. "Kalo gitu saya tutup dulu. Nanti saya antar ke Mantra sekalian shift malam."
"Perasaanku tidak bagus," ucap Arai.
"Ayo kita pergi." Jaya terkekeh. "Kita punya pekerjaan."
Arai bangkit dan mengambil jaket kulit berwarna cokelatnya, lalu ikut keluar bengkel bersama Jaya.
"Kita mau ke mana?" tanya Arai.
"Nyari pohon," jawab Jaya.
Saat ini di bengkel Peti Hitam hanya tersisa Yuza sebagai teknisi dan Iris yang lebih aktif di depan komputer.
Hari berganti. Pagi ini Pak Kuswandi hendak melanjutkan pekerjaannya. Namun, begitu keluar dari rumahnya, ia terdiam menatap pagar-pagar kayu yang ia kerjakan sudah tersusun rapi menjadi pagar yang kokoh. Hanya saja ada yang aneh. Kayu yang menjadi pagarnya bukanlah kayu yang ia miliki, melainkan kayu berbeda dengan kualitas yang lebih tinggi.
Pria tua itu berjalan keluar rumah dan menatap ke kanan dan kiri. Seperti biasa jalan di depan rumahnya terlihat sepi tanpa seorang pun yang berlalu-lalang.
"Anak itu, ya?" gumam Pak Kuswandi bermonolog.
Ya, benar. Harits yang melakukan itu semua. Pria bertopi biru itu memutuskan untuk membantu Pak Kuswandi ketika pak tua itu tak melihatnya. Ia bekerja seperti hantu yang tak terendus karena tahu bantuannya pasti akan ditolak. Berdasarkan perkataan Maya, orang tua itu agak dijauhi warga lain karena sikapnya yang selalu merasa bisa melakukan apa-apa seorang diri. Setiap Harits melewati rumahnya, pak tua itu tampak kesepian.
Sebelumnya Harits menghubungi Jaya untuk meminta bantuan mencari kayu berkualitas tinggi. Setelah itu Jaya bergerak bersama Arai yang memang paham soal kualitas kayu. Dua anggota Peti Hitam itu mencari kayu berkualitas tinggi, lalu membawanya ke halaman belakang Mantra untuk diolah menjadi papan. Tentu saja Arai hanya mengantar Jaya, ia tidak ikut karena takut menimbulkan kegaduhan. Karena sejauh ini di Mantra belum ada yang tahu soal bergabungnya Arai Purok ke Peti Hitam.
Setelah sampai di halaman belakang, Harits dan Jaya langsung mengolah kayu tersebut menjadi sebuah mahakarya. Harits bukan tanpa alasan menghubungi Jaya. Emil Jayasentika merupakan mahasiswa dari fakultas seni rupa di ISI. Pekerjaan sampingan lainnya pun berhubungan dengan seni ukir, yaitu membuat topeng. Dengan skill-nya, Jaya mampu membantu Harits dengan cepat dan apik.
Kembali pada waktu yang seharusnya. Tak ada kejadian menarik hingga sore tiba. Kali ini Harits mengubah jadwal larinya menjadi sore hari, mengingat tadi pagi ia sibuk beristirahat karena bekerja lembur semalaman membuat dan memasang pagar besama Jaya di rumah Pak Kuswandi.
Ketika hendak melewati rumah di area persawahan tersebut, Harits tak melihat pria tua itu. 'Mana itu si tua?' Batinnya. Ia pelankan kecepatan dan menyempatkan waktu untuk menoleh.
"Kamu yang ngerjain ini?" tanya Pak Kuswandi yang muncul dari balik pagar.
Harits terkejut detengah budeg. "Wassss ...."
"Saya sudah bilang, kan? Saya bisa sendiri," lanjutnya.
Seperti biasa, Harits berpura-pura bodoh atas kebaikannya. "Bukanlah, ngapain juga saya bantuin kakek-kakek sombong, heh?"
"Sini kamu." Pak Kuswandi membuka pagar rumahnya dan mempersilakan Harits untuk masuk.
Harits menoleh ke kanan dan kiri, setelah itu ia masuk ke dalam pekarangan Pak Kuswandi. Di sana pak tua itu sudah duduk sambil menikmati secangkir kopi hitam. Selain itu juga ada papan catur di hadapannya.
"Temenin saya main satu ronde," ucapnya pada Harits.
Harits pun duduk di sebrangnya, lalu menatap papan catur itu sambil terkekeh. "Oke."
Selama lima belas menit pertandingan berjalan sengit, tetapi Harits mampu menumbangkan Pak Kuswandi dengan kecerdikannya.
"Satu ronde lagi!" ucap si pemarah itu.
"Nyahaha tapi ini yang terakhir, ya! Saya masih ada acara lain."
"Seandainya saya yang menang, ini belum berakhir," ucap Pak Kuswandi.
Pertandingan kembali berjalan, tetapi lagi-lagi Harits yang memenangkan pertandingan. Sejak saat itu Harits menjadi teman main Pak Kuswandi setiap ia melewati rumahnya, dan sejak saat itu wajah pria tua itu tampak lebih segar karena sesekali ia menertawakan kekonyolan Harits.
Sudah hampir satu minggu ini Melodi dan Harits menjalankan peran sebagai orang tua Adi dan Ratna. Masih tersisa tiga minggu lagi, tetapi rasanya belum ada kemajuan yang signifikan. Gadis cantik itu menghela napas sambil menatap keluar jendela.
Di antara lampion dan cahaya senja, matanya memicing ketika mendapati seorang pelanggan tua yang tampak bingung. Ia hanya berdiri seperti orang ling-lung. Melo pun berinisiatif untuk menghampirinya dengan membawa menu, buku catatan kecil dan sebuah pulpen.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" sapa Melodi ramah.
"Saya datang cari orang," ucapnya.
"Sudah janjian di sini?" tanya Melodi menatap Mantra Coffee yang kala itu sepi. Hanya ada beberapa pelanggan, tetapi sepertinya orang yang dimaksud bukanlah salah satu di antara mereka.
"Pria muda yang suka pake topi biru. Dia bilang dia tinggal di sini."
"Oh, Harits? Sebentar saya panggilkan." Melodi berjalan menuju tangga dan naik ke atas.
Tok ... tok ... tok
"Cel, ada yang nyariin lu," ucap melodi.
"Siapa?" tanya Harits dari balik pintu.
"Enggak tau. Kakek-kakek."
Tak lama berselang, Harits membuka pintu dan turun bersama Melodi. Pria itu membawa sebuah papan catur.
"Lu kenal?" tanya melo.
"Kenal," jawab Harits singkat.
"Kakek lu?"
Harits menghentikan langkahnya. "Warga sini. Dia tinggal di belakang, namanya Pak Kuswandi."
"Oh, oke."
Mereka pun berpisah. Melodi masuk ke dalam untuk kembali bekerja, sementara Harits duduk di luar menemani Pak Kuswandi.
"Jadi nama kamu Harits?" tanya Pak Kuswandi.
"Iya, Harits Sagara," tegas pemuda itu. Ia meletakkan catur di meja, lalu kembali berdiri. "Sebentar, saya buatkan kopi hitam untuk teman main kita."
"Kopi hitam tanpa gula," ucap Pak Kuswandi.
Harits tersenyum. "I know."
Pria tua itu menatap sekeliling dan tersenyum. Sudah lama ia tak pernah pergi keluar melihat keadaan sekitar.
"Rupanya tempat ini sudah banyak berubah. Dulu di sini cuma rumah angker," gumamnya.
Sementara itu Harits membuatkan kopi hitam untuk Pak Kuswandi dengan tangannya sendiri.
"Kopi buat meja berapa?" tanya Maya. "Biar aku aja yang buatin. Kamu kan lagi libur, Rits."
"Enggak apa-apa," jawab Harits. "Aku mau buatin pake tangan aku sendiri."
Setelah selesai, Harits kembali ke meja Pak Kuswandi. Sesampainya di sana, papan catur sudah terbuka dan siap dimainkan.
"Kita mainkan permainan terakhir," ucap pria tua itu.
Harits memicing. "Permainan terakhir?"
"Saya ke sini bukan untuk main, tapi mau pamit. Cuma nanggung, belum tentu di tempat baru nanti saya punya teman main lagi."
Pemuda itu tersenyum. "Oke, kita mainkan permainan terakhir."
Sebelum memainkan catur, Pak Kuswandi meminum kopi buatan Harits. Matanya terbelalak, lalu ia tertawa. "Kopi buatan kamu rasanya enak. Sudah lama saya tidak minum kopi seenak ini sejak ditinggal almarhum istri saya."
Mereka berdua memainkan catur itu sambil bercerita banyak hal. Sesekali baik Pak Kuswandi maupun Harits tertawa bersama.
Di sisi lain, Melodi menatap Harits dari dalam kafe. Ia pun ikut tersenyum menatap kedua orang itu. Rasanya mereka seperti seorang ayah dan anak.
"Mbak May, kamu orang sini, kan?" tanya Melodi.
"Iya, kenapa?" balas Maya.
"Pak Kuswandi itu punya anak, Mbak May?"
"Kamu tau Pak Kuswandi dari mana?" tanya Maya.
Melodi menunjuk meja Harits. "Yang itu, kan orangnya?"
"Hus!"
Melodi membuang tatap dari arah meja Harits ke wajah Maya.
"Kenapa?" tanya Melodi ketika melihat ekspresi wajah Maya.
"Pak Kuswandi udah meninggal dua tahun yang lalu."
Mata gadis itu terbelalak. Ia sontak menoleh kembali dan menatap Harits yang masih asik bermain catur.
"Loh? Itu?" Melo masih menunjuk pria tua yang jadi lawan main Harits.
Maya menatap Harits yang sedang bermain catur seorang diri. "Melodi, jangan bercandain orang meninggal. Nanti arwahnya dateng."
Tak percaya dengan ucapan Maya, Melo pun hendak berjalan keluar menghampiri meja Harits. Namun, tiba-tiba tubuhnya gemetar dan berhenti bergerak ketika seorang pria berpakaian serba hitam datang menghampiri Pak Kuswandi.
Melodi memicing. Ia merasa heran, sebab rasanya waktu bergerak sangat lambat untuknya. Di tengah sadarnya, segala sesuatu di sekitar gadis itu bergerak seperti slow motion.
Kabut tipis muncul entah dari mana, setelah itu kabut terus menebal hingga Melodi tak mampu melihat apa pun di sekitarnya.
Di sisi lain Pak Kuswandi bangun dari duduknya. Pada permainan terakhirnya, lagi-lagi ia kalah dari Harits.
"Seharusnya kamu ngalah dong, ini kan permainan terakhir saya," ucap Pak Kuswandi sambil tertawa.
"Maaf, sampai akhir saya enggak mau ngeremehin lawan main saya," balas Harits.
"Terimakasih banyak, Harits Sagara. Sampai berjumpa di lain waktu dan kesempatan ...."
Sosok Pak Kuswandi menghilang bersamaan dengan hilangnya kabut di sekitar mereka.
"Loh, Pak Kuswandi mana?" tanya Melodi.
Harits tak menjawab. "Bisa lu tinggalin gua sendiri?" ucap pria itu dengan suara gemetar. "Sebentar lagi ujan."
Melodi berjalan meninggalkan Harits seorang diri.
Satu hal yang paling Harits benci ketika mengantar mereka yang tertahan di dunia adalah perasaan hilang. Meskipun singkat, tetapi waktu-waktu yang ia habiskan dengan beberapa di antara mereka mampu membuatnya bersedih.
Di tengah dukanya, sebuah payung tiba-tiba muncul di atas kepala Harits. Payung itu tak melindunginya dari apa pun, sebab hujan yang datang bukanlah air langit.
"Maaf payung ini enggak bisa ngelindungin lu dari hujan, tapi semoga payung ini bisa ngelindungin lu dari rasa kesepian." Gadis itu masih berdiri menemani Harits di tengah hujannya. "Gua enggak akan biarin lu sendirian."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top