25 : De Javu

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

"So kiss me and smile for me, tell me that you'll wait for me. Hold me like you'll never let me go ...."

Malam ini Melodi asik menghibur para pelanggan dengan lagu Leaving on a Jet Plane dari John Denver. Gadis cantik itu selalu bermain solo sejak putus dengan Deva, padahal dahulu mereka berdua selalu berada di dalam satu panggung yang sama. Tak terasa, waktu yang singkat ini mampu merubah banyak hal.

"Cause I'm leavin' on a jet plane, don't know when I'll be back again. Oh babe, I hate to go."

Dari kejauhan Ippo menatap Melodi dan menikmati permainan gadis itu. Ia selalu tersenyum ketika Melodi bermain gitar sambil bernyanyi.

"Po, tolong pesenan ini dong buat meja tiga belas," ucap Maya.

"Oke!" Ippo mengambil dua gelas kopi yang sudah siap santap dan membawanya pada meja nomor tiga belas. "Satu Americano sama satu Symphon ya, kak?"

"Bener, kak," jawab salah seorang pelanggan di meja tersebut.

Ippo tersenyum dan meletakkan dua pesanan itu di atas meja. "Enjoy your night, enjoy your coffee." Pria itu mundur setelah memberikan kebutuhan pelanggannya, lalu kembali ke dalam. Matanya masih mencuri-curi pandang pada Melodi. Sesekali tatapan mereka bertabrakan dan meledak menjadi sebongkah senyum.

Gemerincing lonceng di pintu berbunyi. Kali ini bukan pelanggan yang datang, tetapi Harits yang baru saja pulang dari kampus. Pria bertopi biru itu tidak sendirian, ia datang bersama Sekar.

Sejak Harits datang, lirikan Melodi berpindah pada pria itu dan gadisnya. Malam ini sepertinya merupakan malam yang agak berat untuk Melodi dan ketiga orang yang akan terlibat ke depannya.

Selesai memainkan lagu, Melodi meninggalkan panggung kecil dan berjalan ke meja Harits. Gadis itu duduk di depan Sekar, lalu menatap Ippo.

"Ippo, sini deh," panggil Melodi.

Karena belum ada order lagi, Ippo pun ikut bergabung dengan mereka. Kini empat orang yang terdiri dari dua pasangan itu duduk saling bertatap-tatapan.

"Ippo, Sekar."

Ippo dan Sekar kini menatap Melodi yang memanggil nama mereka berdua.

"Sebelum aku ngomong lebih jauh, aku mau tanya. Kalian udah tau tentang keluarga Sagara, kan?"

"Tau," jawab Ippo.

"Tau kok, Harits pernah cerita," jawab Sekar. "Kenapa?"

Melodi tersenyum. "Jarang-jarang loh dia cerita tentang hal-hal berbau mistis ke orang lain."

"Soalnya aku juga bisa ngelihat apa yang Harits bisa lihat sih, mungkin dari situ terkadang topik obrolan kita nyerempet ke hal-hal berbau mistis," balas Sekar.

"Cel, gua pinjem Sekar dulu, ya."

Harits menghela napas. "Gi dah."

Sekar tidak heran, sebelumnya Harits berkata padanya bahwa Melodi ingin membicarakan sesuatu. Hanya saja pria itu belum memberitahu perihal apa Melodi akan berbicara. Kini dua orang gadis itu berjalan keluar Mantra Coffee menuju rumah kabin di belakang.

Pada satu titik, Sekar dan Melodi berhenti di sebelah pohon mangga, sebelum rumah kabin. Melodi menoleh ke arahnya.

"Apa yang kamu liat?" tanya Melodi.

Sekar menatap Adi dan Ratna yang sedang duduk di depan kamar Melodi.

"Kamu juga bisa liat mereka?" tanya Sekar balik.

Melodi tersenyum. "Yang kecil namanya Adi, kakaknya namanya Ratna. Mereka penghuni di sini jauh sebelum Mantra Coffee. Mereka meninggal dengan tragis dan jadi arwah gentayangan karena mereka masih menyimpan setumpuk perasaan negatif."

Sekar mendadak berwajah sendu. "Kasian mereka ...," lirihnya.

"Belum lama ini mataku bisa liat hal-hal kayak yang kamu sama Harits bisa lihat, dan itu bikin aku ngerasa enggak nyaman. Tapi ya ... seiring waktu aku pikir aku akan terbiasa. Bener sih, semakin hari rasa takut aku sama mereka hampir pudar, tapi masalahnya yang ada di balik rasa takut itu rupanya kesedihan. Aku enggak tega dan enggak terbiasa."

"Aku tahu rasanya ....," balas Sekar.

"Aku mau ngomong sama kamu karena aku mau minta bantuan. Aku mau bantu anak-anak itu, tapi aku enggak bisa sendiri. Mereka butuh orang tua. Mungkin mereka mau ngerasain punya keluarga yang harmonis, mengingat di masa lalu keluarga mereka pun enggak baik-baik aja." Melodi menghela napas. "Masalah utamanya, mereka itu pilih-pilih. Kamu coba aja deketin mereka, siapa tau kamu dianggap ibu sama mereka."

"Ibu?" tanya Sekar. "Aku harus pura-pura jadi ibunya?"

"Jujur, aku enggak tau kenapa mereka manggil aku mama dan Harits papanya. Mungkin karena cuma kita berdua yang bisa liat mereka," jawab Melodi. "Tapi kamu coba aja deketin mereka, siapa tau mereka mau ganti mama, aku minta tolong kamu sama Harits bantu mereka, ya?"

"Kalo mereka enggak mau?" tanya Sekar.

Melodi tak berani menatap mata wanita itu. Ia pun mendadak bisu, tak mampu mengutarakan maksud dan niatnya.

Hanya saja Sekar paham. Ia pun tersenyum pada Melodi. "Kalo aku enggak bisa jadi mama buat mereka, kamu mau minta izin sama aku karena harus berperan sebagai orang tua dari dua anak itu sama Harits?"

Melo mengangguk. "Yaa—kurang lebih gitu."

Sekar tersenyum sambil menarik napas. Sejenak ia tatap kedua anak itu, lalu berjan ke arah mereka. Wanita itu berjongkok di depan Adi dan Ratna sambil tersenyum.

"Halo," sapa Sekar ramah.

Ratna dan Adi saling bertatapan. Mereka heran ketika ada orang lain selain Harits dan Melodi yang bisa melihat mereka.

"Orang tua kalian mana?" tanya Sekar.

Adi menoleh ke arah Melodi dan menunjuk gadis itu. "Mama."

Sekar tertawa kecil. "Enggak boleh nakal ya sama mama."

Adi membalasnya dengan anggukan kepala. Setelah itu Sekar pun kembali berdiri dan berjalan mendekat pada Melodi.

"Mereka udah nganggap kamu mamanya, kayaknya emang harus kamu deh."

"Enggak apa-apa?" tanya Melo.

Wajah Sekar mendadak murung, tetapi ia berusaha tersenyum. Berbeda dengan Harits, wanita itu kurang berbakat menyembunyikan ekspresi.

"Jujur sih—apa-apa," jawab wanita itu diiringi tawa pilu. "Kamu itu cantik dan baik. Siapa cewek yang enggak cemburu kalo pacarnya deket sama kamu? Apa lagi harus main peran mama papa."

"Aku sama Harits udah buat kesepakatan, kalo pun enggak boleh ya ...."

"Satu bulan, " ucap Sekar. Ia menatap Adi dan Ratna. "Apa itu cukup buat bikin mereka tenang? Lebih dari itu aku enggak sanggup. Aku takut kehilangan Harits ... dia segalanya buat aku."

"Aku enggak tau bisa apa enggak. Karena aku belum pernah ngurusin yang kayak begini sebelumnya, tapi kalo kamu udah ngasih izin, aku pun harus bertanggung jawab. Sebulan. Dalam waktu satu bulan aku akan buat dua anak itu pulang ke tempat yang seharusnya dan ngembaliin Harits ke sisi kamu," tutur Melodi.

"Jangan ngelakuin hal yang aneh-aneh sama Harits, ya."

Melodi memberikan hormat. "Aku enggak suka sama dia karena Harits bukan tipeku. Selain itu, aku pun punya hati yang harus aku jaga. Dan terakhir, kamu enggak perlu khawatir. Harits emang agak unik, tapi aku bisa pastiin kalo dia itu setia!"

"Aku sebetulnya sedih dan cemburu, tapi aku enggak boleh egois. Sisi lain hatiku bangga karena Harits dan temen-tennya peduli sama sesama makhluk. Mungkin kalo aku ada di posisi kamu, aku akan ngelakuin hal yang sama. Semangat Melodi, ayo berjuang bikin anak-anak itu bahagia biar cepet pulang, ya!"

"Kamu wanita yang baik," balas Melodi. "Biar gimana pun, Harits dan semua anak Mantra itu udah aku anggap bagian keluargaku. Seneng rasanya dia milih kamu di antara jutaan wanita. Kalian cocok."

"Makasih, Melodi."

Setelah berbicara empat mata dari hati ke hati, dua wanita itu kembali pada pria mereka yang masih menunggu di meja. Seperti halnya Sekar, Melo pun menjelaskan keadaannya pada Ippo.

"Ya udah kalo emang gitu," ucap Ippo. Pria itu mengelus kepala Melodi. "Pastiin kamu pulang dalam kondisi cuma aku yang ada di hati kamu, ya?"

"Janji!" balas Melodi.

Harits menghela napas. "Ya udah, kalo udah beres gua mandi dulu, ya." Ia beranjak dari duduknya. "Tunggu di sini dulu," ucapnya pada Sekar. Pria bertopi biru itu pergi meninggalkan Sekar, Ippo, dan Melodi.

Selepas kepergian Harits, Ippo kembali bekerja dan Melodi melanjutkan permainannya di atas panggung.

***

Hari berganti. Harits dan Melodi bersikap seperti biasa. Hanya saja, sesekali mereka terlihat berdua.

"Enggak cemburu lu? Harits sama Melo jadi sering barengan," tanya Cakra pada Deva yang sedang duduk membaca buku ditemani roti bakar dah kopi susu.

"Enggaklah, gua sama dia udah jalan masing-masing," jawab Deva.

"Lu hari ini ngampus?"

Deva menggeleng. "Enggak."

"Tapi outfit lu kayak mau keluar."

"Oh. Iya, mau ketemu sama temen di deket UII, kebetulan dia anak sana," balas Deva.

"Kirain sama Jeje."

"Jashinta lagi sibuk skripsian, semester ini dia sidang kalo lancar."

"Semoga cepet kelar deh," ucap Cakra.

"Aamiin, semoga," balas Deva. Ia melirik jam tangan hitam di tangan kirinya, lalu menutup buku yang ia pegang. "Gua pergi dulu, Cak."

Cakra tersenyum ramah. "Hati-hati lu."

Setelah mencuci piring dan gelasnya, Deva pun pergi meninggalkan Mantra Coffee mengendarai motornya.

***

Siang kini menjelma senja. Deva keluar dari kamar kos teman prianya. Ia berjalan dan di antar ke parkiran kos.

"Kapan-kapan main lagi, Dev. Next, gua bantai Chelsea lu!"

Deva terkekeh. "Pake dah club andalan lu. Chelsea gua enggak gentar!"

Mereka seharian memainkan permainan konsol sepak bola, dan Deva selalu memenangkan pertandingan.

"Hati-hati lu, Dev."

"Yow."

Deva bergerak pergi, tapi di jalan ban motornya bocor dan terpaksa menepi ke bengkel pinggir jalan.

"Yah elah. Dompet gua mana dah?" Deva mengecek kantong jeans dan celananya, tetapi tak ada barang tersebut di sana.

Deva hanya memikirkan satu kemungkinan, bahwa dompetnya tertinggal di kos temannya saat main tadi.

"Mas, saya tinggal dulu ya sebentar. Dompet saya ketinggalan."

Teknisi bengkel itu menatap Deva. "Jauh, Mas?"

"Deket kok, paling saya balik ke sini masnya juga belum kelar," jawab Deva.

"Hati-hati, Mas. Belakangan ini banyak klitih di sini. Mana udah hampir gelap."

"Oh, oke. Makasih infonya, Mas." Deva berjalan cepat menuju kos temannya.

Berjalan sekitar dua ratus meter, Deva tak sengaja menangkap sosok gadis yang hendak menyebrang jalan, ia menenteng plastik belanjaan. Namun, langkah gadis itu terlihat ragu dan berhenti di ujung jalan setapak.

Bukan tanpa sebab gadis itu mengurungkan niat untuk melanjutkan langkahnya. Tak jauh di depan ada gerombolan pria yang sedang duduk-duduk sambil memandang ke arahnya seolah menunggu gadis itu lewat.

Deva menoleh. Jalanan di sini sepi, tak ada kendaraan mau pun pejalan kaki. Mengingat perkataan teknisi bengkel tadi, ia jadi khawatir. Meskipun jalurnya tak sejalan dengan tujuannya, Deva memutuskan untuk terus berjalan hingga langkahnya melewati gadis itu. Sadar ada orang lain yang berjalan melewatinya, gadis itu pun berjalan tak jauh di belakang Deva.

Dari kejauhan, gerombolan itu terlihat memandang ke arah mereka berdua sambil berbisik-bisik. Pada satu titik, mereka bangun dari duduknya. Gadis yang berjalan di belakang Deva mendadak ciut dan hendak berhenti.

"Jangan berhenti ...," lirih Deva.

Gadis itu mendengar bisikan yang Deva lontarkan dan berjalan kembali. Kini jarak si gadis hampir menempel dengan Deva. Mungkin karena takut, gadis itu mencubit ujung jaket Deva.

Benar rupanya, gerombolan tersebut berjalan ke arah mereka. Deva melirik ujung tangan gadis itu, ia merasakan ada getaran kecil dari gadis yang berjalan di belakangnya.

"Jangan takut. Kalo aku ditahan, kamu jalan terus, jangan nengok ke belakang, oke?"

Gadis tersebut membalas ucapan Deva dengan anggukan kepala.

Gerombolan di depan berjalan semakin dekat dengan mereka berdua.

Namun, setelah berpapasan tak terjadi apa-apa. Mereka lewat begitu saja sambil sesekali mengobrol dan tertawa seperti tongkrongan normal.

Deva dan gadis itu menghela napas. Beruntung, yang barusan itu hanya orang nongkrong biasa, bukan klitih.

"Makasih, ya," tutur gadis itu sembari menyematkan senyum. "Sumpah, takut banget tadi."

Deva membalas senyumnya. "Sama-sama."

Gadis itu mengeluarkan sekaleng minuman dari kantong plastik bawaannya. "Ini buat kamu."

"Eh, enggak usah," balas Deva.

"Enggak baik nolak pemberian orang lain, kan?"

Deva mengalah. Ia mengambil minuman kaleng tersebut. "Makasih deh."

Mata gadis itu tiba-tiba memicing masih menatap Deva. "Kita pernah ketemu enggak sih?"

Deva berusaha menginat, tapi tak ia temukan barang secuil pun memori tentang gadis itu. "Kayaknya enggak deh."

"Tapi kok rasanya De Javu, ya?"

"Yaa—sering terjadi sih hehe."

"Sekali lagi makasih, ya ... mas, bang, kak, bro."

"Deva," ucapnya memperkenalkan diri. "Namaku Deva Martawangsa."

"Ah, iya, iya ... makasih ya Deva." Gadis itu menjulurkan tangannya. "Aku Chica. Chica Sri Rahayu. Salam kenal ya, Deva."

Deva menjabat tangan Chica. "Salam kenal."

"Kamu tinggal deket sini?" tanya Chica.

Deva menggeleng. "Enggak, mau ke rumah temen aja sih, tapi sebelum itu mau ke tempat lain dulu."

"Oke, sampai jumpa." Chica berjalan meninggalkan Deva.

Deva pun berjalan dengan minuman kaleng di tangannya. Ia melangkah tak jauh di belakang Chica. Pria itu terus berjalan hingga gadis tersebut masuk ke sebuah rumah bertingkat.

Setelah memastikan gadis itu pulang dengan aman, Deva baru memutar arah dan pergi.

Dari balik jendela Chica mengintip keluar. Gadis itu tersenyum menatap punggung Deva yang menjauh.

"Semoga kebaikan kamu dibales setimpal. Sekali lagi makasih ya, Jagoan," gumam gadis itu.

Di jalan menuju indekos temannya, Deva baru menyadari bahwa ternyata dompetnya berada di dalam tas kecilnya, bukan kantong jaket maupun celana, apa lagi tertinggal.

.

.

.

TBC






Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top