24 : Tentang Arwah
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Sabtu pagi memiliki aroma yang khas untuk Harits. Saat ini ia sedang tak mengenakan topi birunya. Pria itu sedang berjongkok dengan satu kaki di depan, mengikat tali sepatu.
"Nyok." Ia berdiri, lalu memulai langkah demi langkah meninggalkan Mantra Coffee.
Yup, hari ini Harits lari pagi ditemani Kerdil yang tak pernah absen mengikutinya.
Daerah Kaliurang memang yang terbaik untuk kegiatan olahraga. Udara di tempat ini segar dan sejuknya membuat Harits tak merasakan letih.
Track Harits pagi ini hanya menyusuri pedesaan di belakang toko kopinya. Sejak pindah ke tempat ini Harits belum sempat berpetualang. Sebab itu, ketika ada waktu luang ia memutuskan untuk berpetualang sambil berolahraga.
"Pagi," sapa Harits ramah pada setiap warga yang ia jumpai di jalan.
Yaa—meskipun setelah itu wajahnya datar kembali. Jangan lupa bahwa Harits adalah seorang aktor ulung.
Pada satu titik, ia melintasi area persawahan. Dari kejauhan terlihat sebuah rumah tua kesepian. Rumah itu agak jauh jaraknya dari rumah-rumah lain. Hanya ada sawah di kanan, kiri, belakang, dan sebrangnya.
Seorang kakek terlihat keletihan mengangkat kayu panjang di bahunya. Harits melipir untuk membantunya.
"Saya bantu, Pak," ucap Harits dengan nada sopan.
Pria tua itu menoleh, lalu menginjak kaki Harits.
"Aaasss ...," pekik Harits sembari mengangkat kakinya yang merasakan sakit.
Begitu Harits mengangkat kaki, pria tua itu melepaskan beban di pundaknya sehingga kayu panjang itu membebani Harits seorang diri.
"Bangssss ...." Akibat berat dan pondasi pijakan yang kurang bagus, Harits pun ambruk bersamaan dengan kayu yang ia pikul.
"Kan, kan," gerutu kakek itu. "Anak kecil bisa apa?"
Kerdil menggeram menatap kakek itu. Namun, tak berani menyerang.
"Dil, ayo lanjut." Harits mengangkat kayu yang menimpanya, lalu bangkit. Ia tak mau memperpanjang urusan dan memilih pergi meninggalkan pria tua itu tanpa sepeser pun ucapan.
Untungnya fisik Harits tergolong kuat. Ia pun kembali berlari seperti tak terjadi apa pun. Namun, sepanjang jalan ia terus mengumpat kasar.
Hingga langkahnya berujung pada sebuah rumah minimalis bernuansa kuning. Di halaman rumah itu ada seorang wanita yang Harits kenal. Ia sedang menyiram tanaman, tetapi bukan Nada.
"Rumah lu di sini, May?" tanya Harits yang berdiri di depan pagar kecil rumah Maya.
Maya menoleh. Ia mengerutkan kening menatap Harits seolah tak kenal.
"Siapa, ya?" tanya Maya.
Harits menunjuk rambutnya. "Topi biru."
"Ahh—Harits. Maaf, aku pangling. Baru liat wujud asli kamu tanpa si biru."
Maya mempersilakan Harits untuk mampir ke rumahnya, dan Harits pun istirahat sejenak di beranda asri rumah Maya. Pisang goreng panas dan teh hangat menemani mereka berdua yang sedang duduk menatap pemandangan desa. Tak lupa ikan asin unutk Kerdil.
"Aku baru liat kamu di sekitar sini deh," ucap Maya.
"Emang baru sempet menjelajah sih," balas Harits. "Eh, May ngomong-ngomong tadi waktu jalan ke sini ada rumah di persawahan. Itu rumah siapa?"
"Oh itu. Itu rumah pak Kuswandi."
"Dia galak, ya?" tanya Harits.
"Sebenernya sih baik, tapi kayaknya pak Kuswandi emang enggak suka sama anak kecil deh."
Harits memicing. "Anak kecil?"
"Iya, anak kecil. Kenapa deh?"
Pria itu tersenyum sebal. "Enggak kok."
Setelah dirasa cukup waktu beristirahat, Harits dan Kerdil pamit. Mereka menuju Mantra, tetapi dengan jalur yang berbeda dari sebelumnya.
***
Waktu kembali berputar. Dalam prosesnya, semua berjalan normal dan baik-baik saja kecuali Melodi. Belakang ini wajah gadis itu agak kurang segar, terutama pada bagian mata yang terlihat lelah.
Seperti beberapa malam kemarin, malam ini pun Melodi tak bisa tertidur nyenyak seperti Nada. Wajar, Nada tak pernah mendengar gangguan dua anak kecil penunggu Mantra Coffee.
Si kecil Adi lebih intens menangis belakangan ini, sementara Ratna hanya diam. Kedua bocah itu duduk di kursi depan kamar si kembar.
Melodi yang sudah tak tahan pun memberanikan diri dan bangun dari kasur. Gadis cantik itu berjalan ke pintu dengan wajah kesal.
"Berisik banget," gumamnya bermonolog.
Ketika hendak menyentuh gagang pintu, tiba-tiba Melodi terdiam.
"Kak, aku kangen Mama ...."
Rasa emosinya perlahan sirna berganti iba. Melodi kini terlihat sedih.
"Kalo kamu terus sedih, kita enggak akan ketemu sama Mama lagi," balas Ratna dengan suara datar. "Kita enggak bisa pergi dari dunia ini dengan perasaan yang mengganjal."
Keadaan hening seketika. Namun, keheningan itu tak bertahan lama. Tiba-tiba saja Adi tertawa riang seperti sedang bermain.
'Apa mereka tertawa bukan untuk menakuti manusia? Apa selama ini mereka tertawa hanya untuk sekadar membuang resah yang tertinggal pada mereka selama hidup dahulu?'
Melodi kembali berjalan menuju tempat tidurnya. Ia memutuskan untuk berusaha terlelap tanpa mengganggu kedua hantu di luar kamarnya.
***
Keesokan harinya Melodi datang menghampiri Harits yang seperti biasa sedang memasak sesuatu untuk sarapan mereka.
"Cel, ikut gua sebentar deh. Gua mau ngobrol." Tanpa permisi Melo menarik tangan Harits.
"Bentar dulu, buset!" Harits menahan langkahnya dan mematikan kompor. "Cak, lanjutin bikin telor dadar."
Cakra mengangguk. Ia menatap dua orang yang tiba-tiba pergi keluar kafe itu.
Kini Harits dan Melodi sudah berada di luar. Gadis itu menuntun Harits ke salah satu kursi dari batu.
"Cel, kita harus bantu anak-anak itu," ucap Melodi.
"Anak-anak siapa?" tanya Harits.
"Ya anak-anak kita."
Hening. Seketika suasana mendadak akward.
"Bikin aja belum pernah nyahaha."
"Cel!"
Wajah penuh canda itu tiba-tiba berubah ketika menatap raut Melo yang mendadak sedih.
"Kita harus bantu mereka buat tenang," lanjut Melodi.
"Caranya?" tanya Harits.
"Nah itu dia. Gua enggak bisa sendirian, kita harus kerja sama mainin peran jadi ayah dan ibu mereka."
Kini giliran Harits yang terlihat sendu. "Gua enggak bisa."
Melodi mengerutkan kening. "Tunggu, jangan-jangan lu udah tau cara nenangin mereka dari dulu?"
"Keluarga Sagara erat hubungannya sama roh. Keluarga Sagara itu ibarat jembatan yang menyebrangkan antara dunia dan akhirat bagi para arwah yang tertahan di dunia," ucap Harits. "Sayangnya, beberapa dari mereka itu punya penyesalan atau energi negatif yang solusinya unik. Salah satunya kasus dua anak ini. Si adik enggak bisa pergi karena dia mau ngerasain punya keluarga yang harmonis, dan si kakak enggak bisa pergi karena kegundahan adiknya."
"Nah! Ayo kita bantu mereka, Cel."
"Enggak sesimpel itu. Kalo menurut lu jadi orang baik itu mudah, lu keliru," balas Harits. Pria itu menatap dalam sepasang mata Melodi.
Melodi pun menatap mata Harits dalam-dalam. "Kenapa?"
"Lu punya Ippo, gua punya Sekar. Kita sama-sama punya orang yang kita suka dan kita jaga. Kalo kita mainin peran ini, gimana perasaan mereka? Pada dasarnya tidak selingkuh itu cuma permasalahan status, tapi tidak selingkuh bukan artinya setia. Dalam prosesnya, bisa jadi lu suka sama gua ...."
"Ya enggaklah. Gua enggak akan suka sama lu," balas Melodi.
"Bisa jadi gua yang suka sama lu," lanjut Harits. "Hati manusia itu terombang-ambing kayak laut, Mel. Kalo sampe di antara dua kemungkinan itu terjadi, apa lagi ada kemungkinan ketiga ... katakanlah kita masih sama-sama setia sama pasangan kita, tapi soal hati gimana? Apa kita masih bisa dikatakan setia?"
Melodi terdiam meresapi semua perkataan Harits yang mulai masuk akal, tetapi tetap saja rasanya ia tak tega bila harus membiarkan dua anak itu tertahan di dunia. Terkadang, untuk yang masih hidup saja dunia ini bagaikan pernjara, lantas ... bagaimana bagi para arwah yang gentayangan di luar sana selama puluhan, atau bahkan ratusan tahun? Tertahan bersama lara abadi.
"Gua udah lama berkecimpung di dunia astral. Seumpama kalo harus milih antara mereka yang udah mati atau mereka yang masih hidup ... jawabannya udah pasti. Gua akan jaga perasaan Sekar daripada nolongin hantu mana pun." Harits menepuk pundak Melodi. "Udah berapa lama lu nungguin Ippo? Jangan buat dia terluka cuy." Pria itu berjalan melewati Melodi.
"Gua tau ... gua tau!" seru Melodi. "Gua paham isi kepala lu Harits Sagara!"
Langkah Harits terhenti. Pria itu kembali menoleh.
"Gua tau kita punya orang yang harus kita jaga, iya gua paham! Tapi dua arwah ini tuh masih kecil, Rits ... lu pikir kenapa mereka tertahan di dunia? Apa berada di sini itu kemauan mereka sendiri? Keinginan mereka sederhana kok."
"Enggak sesederhana itu, Melodoy," balas Harits.
"Kita punya seseorang yang kita jaga, dan mereka pun pasti jagain kita. Masalahnya dua anak ini enggak punya siapa-siapa. Jangankan punya siapa deh, yang bisa liat mereka aja cuma kita berdua doang, terus gimana?" Mata Melodi berkaca-kaca. "Seandainya Ippo waktu itu beneran mati dan arwahnya tertahan karena keresahan dia ... gua enggak bisa bayangain kalo enggak ada yang mau nolongin dia. Gua yakin ada banyak yang mau nolongin, tapi mereka semua enggak bisa."
Kini giliran Harits yang terdiam meresapi kalimat demi kalimat yang Melodi lontarkan. Pria itu menatap langit pagi sambil menghela napas berat. Sejenak tak ada kata di antara mereka, hingga Harits kembali menatap Melodi.
"Gini deh ... nanti gua bawa Sekar ke sini pas shift kerja Ippo. Kita diskusi bareng mereka dulu dan ceritain keadaannya. Kalo ternyata baik Ippo atau Sekar keberatan, gua rasa lu enggak perlu repot-repot ngurusin dua arwah itu lagi."
"Oke, sepakat." Melodi mengajak Harits bersalaman. "Tapi kalo mereka sepakat, kita harus kerja sama buat mulangin Adi sama Ratna."
Harits pun menjabat tangan itu. "Oke."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top