23 : Taman Hiburan

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."
.

.

.

"Nada, ayo kita main itu!" Melodi menunjuk perahu di tepi danau.

Deva, Harits, Cakra, Jaya, dan Kevin berada di sebelah perahu itu. Setelah kalah di medan perang, para pemuda itu memilih untuk meratapi kelemahan mereka di atas danau. Satu per satu pemuda itu menaiki perahu tersebut.

Melodi dan Nada berjalan menuju ke danau. Mereka berdua sudah tak bersama bocil-bocil merepotkan. Kini kedua gadis itu ingin mencicipi permainan pertama mereka.

Namun, belum juga sampai di danau, dari kejauhan mereka memicing ke arah perahu yang dinaiki oleh Deva dan kawan-kawan.

"Lah, mereka kenapa tuh, Nad?"

Di sisi lain, air semakin dalam masuk ke perahu. Belum juga berlayar, kapal para pemuda itu karam. Deva berdiri di tepi dermaga, ia belum sempat naik ke perahu.

"Buru, goblog!" teriak Harits yang berada di ujung depan kapal.

Kevin melompat dari perahu ke tepian. Ia berhasil lolos dari kematian dan segera menoleh ke belakang. Di belakangnya Cakra sudah bersiap melompat. Pria berambut abu-abu itu langsung melompat ke tepi, tetapi hampir tak bisa menjangkau daratan. Beruntungnya Kevin dan Deva berhasil menangkap tangan Cakra sehingga ia berhasil selamat.

Semakin digunakan sebagai pijakan untuk melompat, kapal pun semakin jauh dari daratan. Jaya menguatkan kakinya dan hendak melompat sekuat tenaga.

Sialnya, ketika Jaya melompat, bajunya ditarik oleh Harits yang separuh tenggelam. Pria bertopi biru itu menjadi tumbal karena berada paling belakang.

"Minimal kecebur berdua enggak apa-apa dah," ucap Harits yang pasrah.

Jaya meraih tangan Deva yang berusaha menyelamatkannya. Hingga pada satu titik, waktu seolah melambat untuk Jaya. Ia menatap Deva memejamkan matanya secara perlahan.

"Sorry Jay ...." Deva menarik tangannya yang tak sampai pada Jaya.

"Jangan menyerah, Deva!" teriak Jaya. Ia melirik tangan Harits. "Ini apa sih, tai!" Jaya menpak tangan itu dari bajunya.

Sekali lagi Jaya melompat. Ia jadikan satu kakinya untuk menambah durasi lompatan dengan berpijak cepat di ujung perahu yang masih mengapung.

"Deva!"

Mendengar teriakan Jaya yang penuh semangat, sekali lagi Deva mengulurkan tangannya.

Deva dan Jaya saling tersenyum ketika tangan mereka berhasil saling menjabat.

"Nice try," ucap Deva.

"Thanks," balas Jaya.

Namun, mendadak tubuh mereka merinding. Dari belakang tubuh Jaya, Harits menerjang.

"Oh no!" seru Deva "ma fren, Bapang!"

Byur~

"Dev, main kora-kora yok? Tuh diajak Melo sama Nada," ucap Cakra di tengah drama.

"Yok." Deva berjalan dengan kedua tangan yang bersembunyi di balik kantong celanannya.

***

Setelah puas bermain, mereka semua balik kanan menuju Mantra Coffee. Semua bahagia, kecuali Harits dan Jaya.

Kedua bocah itu hanya sibuk berdiri mengeringkan diri.

Di jalan pulang, kedua orang itu sama sekali tak saling bicara. Mereka seperti sepasang kekasih yang sedang bertengkar.

"Kenapa sih?" tanya Melodi.

"Kecebur," jawa Harits.

"Harusnya enggak," sahut Jaya. "Gara-gara Mas Harits."

"Daripada gua kejebur sendiri. Apa salahnya setia kawan?"

"Penyalahgunaan makna solidaritas," balas Jaya.

"Ya udah sih. Nanti lu bilas duluan aja. Pake baju gua kalo muat, daripada lu masuk angin," ucap Harits.

"Serius?" tanya Jaya.

"Iye."

Jaya memberikan kelingkingnya. "Janji?"

"Ini orang apa dah," balas Harits dengan wajah ilfil. "Ada ketua Peti Hitam ngomong begitu? Janji?"

"Janji enggak?" Jaya masih menunggu.

"Udah ah, tinggal janji doang," timpal Melodi.

"Jijik asu," balas Harits emosi.

Deva dan Cakra menahan tawa. "Udah dah biar cepet," kata Deva.

"Tau, daripada jadi lama ini masalah," sambar Cakra.

"Iye iye." Harits melakukan janji kelingking dengan Jaya.

"Apa?" tanya Jaya.

"JANJI!" jawab Harits. "Asu ...," lirihnya.

Semua menertawakan pria tak bertopi itu. Harits tak mengenakan topinya karena basah.

***

Sesampainya di Mantra Coffee, para pemuda itu langsung berpencar meninggalkan para sesepuh yang belum juga muncul.

Berselang dua menit, mobil Dirga datang menyusul. Pria dengan berewok tipis itu turun terakhir setelah mematikan mesin mobil dan memastikan tak ada yang tertinggal.

"Dirga," panggil Tirta yang berdiri tak jauh di depannya.

Dirga berjalan ke arah Tirta. "Apa?"

Tirta menatap salah satu pelanggan Mantra Coffee. Ia adalah seorang gadis berkaos putih dibalut jaket jeans biru muda dengan lengan yang digulung hingga siku. Gadis itu mengenakan rok hitam sepanjang mata kaki dan sepatu kets berwarna putih.

Dirga terdiam. Matanya membulat utuh melihat gadis yang sedang duduk bergerombol itu. Ia hendak melangkah ke arahnya, tapi Tirta menarik tangan kembarannya.

Sejenak Dirga menoleh ke arah Tirta. Kembarannya itu menggeleng pelan.

"Dia orang yang berbeda," ucap Tirta.

"Ya, gua tau." Dirga tersenyum, lalu melepaskan pegangan Tirta. Ia kembali menoleh ke arah gerombolan itu dan meneruskan langkahnya dengan pendangan lurus menyorot gadis yang dimaksud oleh Tirta.

Seiring langkahnya, napas Dirga memburu bersama debar jantung yang berlari kencang. Darahnya pun ikut mengalir deras bertepatan dengan waktu yang mendadak lambat untuknya.

"Maaf, boleh minta waktunya sebentar?" tanya Dirga pada gerombolan itu. Ia berusaha tenang.

Mereka semua mengangguk boleh.

"Dari kampus mana kalo boleh tau?"

"UII," jawab mereka serempak.

'Bukan UGM, ya?' Dirga menatap seorang gadis dengan senyum sendu.

"Kenapa, ya, Pak?" tanya salah satu anak.

"Mau tanya aja, gimana menu di Mantra Coffee?" tanya Dirga. "Kebetulan anak saya yang ngolah kafe ini."

"Enak kok, kita sih suka. Selain menu, tempatnya juga enak. Harga pun bersahabat buat anak kos-kosan, jadi kemungkinan bakal sering repeat order ke sini."

Dirga tersenyum mendengarnya. "Alhamdulillah."

Seorang pria bertanya pada Dirga. "Pak, anaknya cowok apa cewek?"

Semua menertawakannya. Wajar, ternyata pemuda itu adalah jomblo di sirkel mereka.

"Cowok," jawab Dirga menghancurkan ekspetasinya.

"Oh, cowok," balasnya dengan nada kecewa.

Di tengah tawa teman-temannya, tiba-tiba seorang lagi menyeletuk.

"Chica! Tuh, ada cowok." Orang itu menunjuk ke arah gadis yang menjadi alasan utama Dirga menghampiri meja mereka. "Jodohin sama dia tuh, Pak. Dia jomblo juga."

Dirga terdiam seribu bahasa. Ia hanya tersenyum untuk menyembunyikan getirnya.

Di tengah perbincangan anak-anak itu, Dirga hendak pergi. Namun, langkahnya kembali terhenti.

"Pak, boleh gantian minta waktunya enggak?" ucap pemuda yang tadi tampak kecewa karena anak Dirga bukanlah seorang gadis. Ia membawa ponselnya mendekat pada Dirga. "Kita lagi diskusi mau buat konten nih. Nah, kebetulan mau minta tolong kalo boleh."

"Boleh," jawab Dirga. "Tolong apa?"

Pemuda itu merekan Dirga dengan ponselnya. "Minta jokes bapak-bapaknya dong, Pak?"

"Heh! Lu enggak sopan lu!" celetuk orang yang sempat merekomendasikan gadis bernama Chica pada Dirga.

Dirga terkekeh. "Enggak apa-apa." Ia tampak berpikir. "Han, han apa yang serem?" tanya Dirga dengan jokes bapak-bapaknya.

"Hantu," jawab si pemuda.

"Salah," balas Dirga. "Yang bener Hansip."

"Lah, kok?"

"Soalnya hansipnya pak Umar. Pak Umar galak, jadi serem," jawab Dirga dengan guyonan khas bapak-bapaknya.

Semua sontak menertawakan lawakan Dirga.

Di tengah tawa garing mereka, tiba-tiba gadis pendiam bernama Chica itu mengeluarkan suaranya.

"Bagi pencuri, hansip itu serem."

Ucapan gadis itu membuat semua tawa mendadak sirna dan semua mata serempak memandangnya.

"Lagi-lagi semua hanya soal masalah prespektif. Karena dalam satu objek itu punya banyak nilai tergantung dari sisi mana kita melihat." Gadis muda itu menatap Dirga. "Bener enggak, Pak?"

Dirga tersenyum. "Ya ... benar."

"Enggak bisa liat orang bercanda dikit banget ish si Chica," celetuk salah satu gadis.

"Emang harusnya begitu ...," balas Dirga lirih. "Ya udah, enjoy your coffee, enjoy your time."

Ia berjalan kembali menuju Tirta yang masih berdiri  di tempatnya.

"Udah?" tanya Tirta.

'Yuk.' Batin Dirga.

"Yuk," balas Tirta.

Mereka pun berjalan masuk ke Mantra Coffee.

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top