22 : Klasik vs Nexgen
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Cakra merasa heran dengan kedatangan keluarga yang mendadak, tapi di sisi lain ia merasa senang. Pemuda itu pun menggendong gadis kecil yang datang memeluknya. Ia adalah Dini, adik kecil Cakra.
"Hello, how are you?" tanya Cakra.
"Im fine! Im fine!" balas Dini sambil tertawa riang.
Keluarga besar Mantra memasuki Mantra Coffee baru. Dirga dan kawan-kawan menatap interior kafe anak-anak mereka dengan takjub.
"Makin keren aja sekarang," ucap Dirga.
Cakra tersenyum. "Harus. Pokoknya harus lebih bagus daripada Mantra Coffee punya kalian."
Dirga menghampiri Cakra. "Boleh juga anak lu, Jay."
Ajay terkekeh. "Bagus, dia percaya diri artinya."
Dirga mengusap kepala Cakra. "Selamat atas pembukaan Mantra Coffee, maaf baru pada bisa dateng."
"Wah, jadi seneng," balas Cakra. "Enggak apa-apa, om. Ini kejutan banget malah pada dateng. Ayo, mau pesen apa?"
"Duluan deh. Masih mau liat-liat di luar." Dirga berjalan keluar bangunan utama diikuti Tirta.
Udara Kaliurang memang sejuk, di tambah padang rumput yang menjadi halaman dan pemandangan alam yang apik, membuat kedua kembar itu bernostalgia, meskipun berbeda lokasi, tapi suasananya persis sama.
"Bon Voyage," gumam Dirga lirih.
"Mirip," timpal Tirta. "Bedanya, yang di belakang kita ini bangunan, bukan mobil bus terbengkalai."
"Ya, rumah beneran," timpal Dirga.
"Bon Voyage juga rumah beneran kok," balas Tirta. "Apa gua salah?"
Dirga terkekeh. "Salah. Bon Voyage itu istana, bukan rumah."
"Oke, kali ini gua sepakat sama lu."
"Dir, Tir, kita ke taman main yang di deket sini bareng sama anak-anak, kan?" tanya Andis yang tiba-tiba muncul.
"Iya, tunggu mereka pulang kampus aja," balas Dirga.
Tak jauh dari lokasi Mantra Coffee ada sebuah taman bermain keluarga. Di sana banyak wahana menarik, dari mulai wahana anak-anak, remaja, bahkan dewasa. Permainannya pun beragam, dari yang santai, hingga yang ekstrim.
"Suruh Cakra kabarin yang lain aja. Bilangin mereka, suruh cancel semua agenda, ini urgent," sambung Tirta.
"Oke." Andis kembali berjalan menuju bangunan utama untuk berbicara dengan Cakra.
***
Kebetulan, hari selasa ini jadwal anak-anak sedang santai. Mereka hanya ada dua kelas dan bisa pulang siang hari. Sebenarnya Nada punya kelas sore, tetapi dosennya tak bisa hadir hari ini.
"Oke, makasih karena udah mau berkumpul di sini luangin waktunya," ucap Dirga pada anak Mantra yang duduk-duduk di halaman. Harits, Nada, Melodi, Deva dan Kevin sudah pulang, di tambah Ippo juga datang karena habis mengantar Melodi.
"Ada hal urgent apa, Yah?" tanya Deva.
"Kita harus main biar enggak gila," jawab Dirga dengan ekspresi serius.
"Lah?" Harits mengerutkan kening. "Main?"
"Mumpung sekolah adek-adek kalian udah pada libur, jadi ayah-ayah kalian pada sepakat cuti dan ngerencanain main ke Jogja," celetuk Aqilla. "Mumpung juga di deket sini ada taman main keluarga, jadi sekalian mau ngajak kalian main, biar enggak sibuk kuliah sama kerja aja."
"Ya, boleh juga sih," timpal Cakra. "Refreshing sejenak. Toh, udah ada pegawai full time. Sekarang Mantra bisa ditinggal."
"Kalo gitu, ayo berangkat!" Andis yang paling bersemangat. Mereka pun membubarkan diri, bersiap-siap untuk rehat sejenak dari penatnya rutinitas.
Maya dan Rizky menjaga toko bersama dengan Ippo. Sebenarnya Melodi ingin Ippo ikut, tapi pria itu merasa jahat jika meninggalkan rekan seperjuangannya. Jadi Ippo memutuskan untuk tinggal, meskipun siang ini bukan jadwal kerjanya.
***
Singkat cerita, mereka semua sudah tiba di taman bermain. Para ibu-ibu membawa anak-anak kecil bermain, sementara para Mantra Klasik sedang menatap tajam anak-anak Origin.
"Kita main paint ball," cetus Dirga. "Semagat para pemuda ini harus dites."
"Oke, siapa takut," balas Deva.
Mereka berdiri sejajar saling berhadapan. Dirga dan Deva, Harits dan Andis, Cakra dan Ajay, lalu ada Jaya dan Tirta, terakhir dua pria dingin Tama dan Kevin.
"Lah, terus kita main apa dong?" tanya Melodi.
Nada hanya diam sambil menggeleng. Ia tak terlalu tertarik pada wahana permainan, dan Melodi pun paham sifat kembarannya tersebut.
"Kita ikutin mereka aja gimana?" Melo menunjuk tiga anak kecil yang berjalan bersama komplotan ibu-ibu.
"Ayo kita main, Vian." Dinda menggandeng tangan kanan Vian dan berjalan di sampingnya.
Merasa cemburu, Dini berjalan cepat, lalu menggandeng tangan kiri Vian. "Mau ikut main!"
Mereka bertiga berjalan sambil bergandeng tangan, dengan Vian sebagai pusatnya.
Nada dan Melodi berjalan ke arah tiga serangkai itu meninggalkan para lelaki gila peperangan.
Singkat cerita, kesepuluh lelaki itu sudah mengenakan pakaian tempur dan memegang senjata. Pengurus permainan pun menjelaskan aturan main.
"Peraturannya simpel. Ada dua point yang harus diperhatikan. Kena cat sama dengan tereliminasi, peluru habis juga tereliminasi."
"Oke!" jawab para Mantra serempak.
Pertempuran pun dimulai.
Pengurus permainan meneguk ludah. Intensitas permainan agak berbeda ketimbang pengunjung lainnya. Para peserta kali ini begitu sabar menunggu dan penuh tekanan.
"Begitu ada celah, bunuh," ucap Dirga dan Deva bersamaan pada pasukannya. Dibalas anggukan kepala oleh yang lain.
Jaya dan Harits saling bertatapan. Harits mengerti arti tatap Jaya, ia pun mengangguk.
"Jaga punggung gua," ucap Harits.
"Siap," balas Jaya.
Harits berlari berpindah dari satu gentong ke gentong lain untuk berlindung. Ketika ia mulai bergerak, Jaya dengan cepat berdiri dan membidik apa pun pergerakan yang terlihat.
Andis hendak mengincar Harits, tetapi Dirga menariknya hingga terduduk kembali. Untung saja Dirga menariknya, jika tidak kepalanya sudah pecah terkena peluru Jaya.
"Jangan gegabah, anak itu Pimpinan Peti Hitam. Dia kuat," ucap Dirga.
Deva berdecak kesal. Ia paham, Dirga baru saja melihat masa depan dengan prekognisi dan menghindari Andis dari bahaya. Ia paham, sebab dalam tayangan Deva, seharusnya Andis sudah tereliminasi.
Deva dan Dirga menjadi pusat pergerakan. Namun, di antara mereka yang tunduk, Cakra tiba-tiba menyeringai.
"Orang tua bodoh itu urusanku!" Sisi kasarnya, Buan, mengambil alih.
"Cakra! Jangan sembarangan maju!" teriak Deva.
Teriakan itu hanya pengecoh. Karena memiliki bidak yang liar, Deva langsung menoleh ke arah Harits.
"Back up," lanjut Deva.
Tanpa kata, Harits langsung maju menerjang.
Dirga terbelalak ketika sepintas melihat masa depan dua rekannya tertembak. Ia melirik Tirta. "Kiri!" serunya sambil mengamankan sisi kanan. Sementara Tirta dan Ajay bersiap di kiri.
Ajay pun sudah bersiap untuk menghajar apa pun yang datang dari arah kiri, tetapi prediksinya dan juga Dirga salah.
Sekelebat waktu, bayang-bayang membuatnya teduh. Ajay menoleh, ia terbelalak menatap Cakra yang melompati gentong dan kini berada tepat di atasnya. Seringai bocah itu membuat Ajay merinding.
"Binggo!" seru Cakra.
Andis hendak membantunya dari sisi kanan, tetapi hawa keberadaan manusia terdeteksi dari titik butanya. Sepintas ia menatap burung hantu yang bertengger di ranting pohon, memandang seluruh medan perang dengan tenang.
Cakra berhasil membuat Ajay keluar arena dengan pelurunya. Selain itu ia juga mampu menghindari peluru Tirta dengan geraknya yang fleksibel.
Dari arah kanan, Harits berlari cepat dan merosot di tanah sambil membidik musuhnya.
"See you," ucap Harits.
Dengan refleks cepat, Andis menembak burung hantu yang menjadi mata Harits. Meskipun ia tertembak, tapi setidaknya pengorbanannya mampu menghancurkan vision dari tentara musuh.
Dalam satu waktu, para veteran kehilangan dua prajuritnya.
Namun, bukannya senang, Harits yang kembali bersembunyi malah merasa tertekan. Pasalnya, hanya ada empat orang di balik barikade.
"Ke mana orang itu ...," lirihnya.
Kevin tiba-tiba merinding. Meskipun tak ada apa-apa, ia menodongkan senapan ke arah kanan, bersiap dengan bahaya yang akan datang. Sesuatu yang mematikan menggetarkan intuisinya. Benar saja, Tama muncul dari sana dengan tangan siap menembak. Julukannya sebagai Tentara Bayangan bukan isapan jempol belaka. Dua pria dingin berparas tampan itu saling menodongkan senjata.
"Pindah posisi!" seru Deva pada Jaya. Mereka bergeser ke kiri untuk menciptakan ruang bagi Kevin, dan juga mengantisipasi jarak jika rekannya kalah.
Kevin dan Tama sama-sama menembak, tetapi mereka berdua pun sama-sama mampu mengelak dengan sedikit gerakan efektif. Tanpa berpindah posisi, Tama kembali membidik dan menembak. Namun, Kevin cepat, ia melompat dan membidik balik, lalu menembak. Tama menggerakkan sedikit kepalanya untuk mengindari peluru Kevin yang melesat tajam mengincar wajahnya. Pertempuran dengan alur cepat dan jarak dekat itu cukup menyita atensi siapa pun yang menyaksikan.
Tama memang tidak berpengalaman di pertempuran seperti Dirga dan Tirta, tapi dalam permainan-ia hampir mustahil bisa dikalahkan.
"Kayak biasa, lu bertahan, gua nyerang," ucap Dirga pada Tirta.
"Jangan sampe kalah," balas Tirta.
Dirga terkekeh. "Lu pikir gua ini siapa?"
Tirta tersenyum. "Berandalan."
Dirga berlari ke depan untuk melindungi Tama, sekaligus meringkus Deva dan Jaya. Sementara Tirta bergeser dengan cepat ke sisi kiri untuk memulangkan Cakra dan Harits.
Tirta memicing menatap helm yang muncul, ia langsung menembaknya. Namun, dari balik gentong itu Harits keluar tanpa helmnya.
"Sekarang!" teriak Harits.
Cakra muncul dari sisi sebaliknya. Mereka berdua mengepung Tirta.
Tirta tersenyum. "Orang tua bertangan satu ini bisa baca pikiran loh," ucapnya. "Dan enggak banyak yang tau, kalo orang tua bertangan satu ini, punya telepati."
Cakra dan Harits terbelalak. Tama dan Dirga mundur kembali segaris lurus dengan mereka. Kini dua veteran itu membidik kepala dua pemuda tersebut.
Jaya langsung bergerak membidik Dirga dari belakang untuk melindungi Harits. Begitu pun Kevin, ia membidik Tama untuk mengakhiri pria tampan itu.
Deva sedari tadi mengawasi pergerakan Tirta. Memang, Dirga yang memimpin, tapi Tirta terlalu tenang. Ia seperti seorang pemimpin bayangan.
"Tembak!" seru Tirta. Pria itu tak memberikan waktu bagi Deva untuk mengintip masa depan. Ia sudah terlalu familiar menghadapi seseorang dengan kemampuan serupa.
Ini juga permainan psikologi. Mendengar arahan Tirta membuat Jaya dan Kevin menembak.
Tirta tersenyum. 'Kalo aku bilang tembak, artinya kalian harus menunduk.'
Dirga dan Tama sengaja terpeleset untuk menjatuhkan diri. Seketika itu juga peluru Jaya menghantam Harits, dan peluru Kevin menghajar Cakra.
Tama dan Dirga berbaring menghadap langit. Mereka berdua membidik Jaya dan Kevin dengan posisi telentang. Begitu peluru mereka melesat, Jaya dan Kevin berhasil dilumpuhkan.
"Sial!" Deva hendak menembak Dirga, tapi peluru Tirta mengenai pakaiannya.
Dalam waktu bersamaan, kelima pemuda itu kandas dilumat para veteran.
"Nice!" teriak Tirta.
Harits menghela napas. Ia kehilangan pengelihatan seluruh arena tempur karena Lajaluka dihajar oleh Andis. Pergerakan Tama yang liar dan tak terendus merupakan kunci kemenangan para veteran. Andis kalah, tetapi sebagai tim ia menang dan berjasa karena sudah melindungi Tama dari pengelihatan Luka.
Setelah perang, mereka semua saling bersalaman dan berpelukan.
"Lain kali aku yang menang," ucap Deva dengan wajah kecewa pada dirinya sendiri.
Dirga mengusap kepala putranya. "Ayah enggak akan pernah ngalah. Kalo kamu merasa udah cukup kuat, silakan dateng."
Tak seperti Deva, Harits tak punya kata-kata untuk Andis, tapi Andis punya.
"Terkadang ada situasi di mana kita harus kalah," ucap Andis. "Yang perlu kita lakukan adalah berpikir, bagaimana kekalahan kita bisa berguna demi kemenangan tim."
"Kadang juga, kita dibenturkan dengan ketidakberdayaan," celetuk Ajay yang hampir tak punya peran dalam perang tadi. "Tapi seseorang pernah bilang ... jangan patah harapan dengan seseorang yang masih berjuang. Intinya, akan ada waktunya di mana kita tidak bisa apa-apa dan hanya bisa percaya pada seorang teman sejati. Maka dari itu, jangan pernah mengkhianati seorang teman sejati."
"Terus berpikir tenang juga penting," sambung Tirta. "Dari ketenangan itu kita bisa melihat banyak hal yang enggak akan pernah bisa dilihat sama orang yang udah kalah sama emosinya sendiri."
Dirga tersenyum sambil menatap Tama yang menjadi kunci kemenangan. "Terus bergerak. Karena cuma dengan usaha, manusia bisa merubah masa depan."
"Ngomong apa sih?" tanya Andis sambil tertawa. "Sok bijak. Udahlah, kita main yang lain."
Dirga, Tirta, dan Ajay ikut tertawa, sementara Tama hanya tersenyum. Mereka berlima saling merangkul dan berjalan meninggalkan para next gen di belakang.
"Kalah ya kalah," ucap Harits. "Yok ah kita menghibur diri."
Semua bangkit dan berjalan sejajar ke arah yang berlainan dengan para veteran untuk mencari kebahagian yang berbeda.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top