21 : Kedatangan Tamu

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."
.

.

.

Setiap senin malam Mantra Coffee libur dan kebetulan malam ini semua awaknya memiliki agenda di luar kecuali Harits. Pria bertopi biru itu duduk di balkon ditemani sebatang rokok, secangkir kecil kopi hitam, sebuah gitar akustik dan seekor kucing abu-abu yang duduk di sampingnya.

"Kalo berduaan sama lu jadi inget jaman-jaman ngekos, Dil. Cuma ada lu ama gua nyahahaha," ucap Harits.

Sesekali ia usap kepala Kerdil sampai pada satu titik pria itu memicing menatap kucingnya. "Perasaan dulu lu waktu gua pungut di jalan kagak segede gini dah. Baru berapa tahun udah segede singa bayi aja lu, Dil nyahaha." Ia mendekatkan wajahnya pada Kerdil. "Udah tua lo bego!"

"Meow!" Kerdil memukul wajah Harits tanpa cakarnya.

"Yeeee, udah berani lu sama gua?" Harits membalasnya dengan membenamkan wajah Kerdil di telapak tangan.

Kucing itu langsung bangkit dan berusaha melepaskan diri. "Meow!" Terlihat ia memberontak.

Harits terkekeh, kemudian melepaskannya ketika sudah puas. "Makanye yang kalem aja jadi kucing!"

"Meow ...,"  ucap Kerdil lirih. Tatapan kucing itu seolah menyesal sudah menampar Harits.

"Lu kalo gua ngomong ngejawab mulu, kayak ngerti aja gua ngomong apaan. Emang tau lu?"

"Meow."

"Nyahahaha kocak. Gua juga kagak ngarti dah lu ngomong apaan."

Kerdil berjalan naik ke pangkuan Harits dan duduk di sana. Mungkin udara malam yang dingin membuatnya mencari kehangatan pada pria itu.

Harits menaruh rokok di asbak dan meraih gitar yang tersandar di dinding, lalu meletakkannya di depan Kerdil. Suara petikan gitar terdengar merdu.

"Watch the sunrise along the coast, As we're both getting old ...."

Suara merdu Harits membaur dengan semilir angin malam. Ia menyanyikan lagu Here With Me dari d4dv.

"I can't describe, whoa-oh ... I wish I could live through every memory again. Just one more time before we float off in the wind ...."

Harits termasuk orang yang pemalu. Tak banyak manusia yang tahu bahwa suaranya mengandung sihir. Pria itu mahir bernyanyi. Maklum, suara cempreng yang biasa ia keluarkan untuk menghina dan menertawakan kehidupan orang lain tak memiliki ekspetasi bagi pendengarnya.

Kerdil memejamkan mata, kucing itu seakan menikmati nyanyian yang Harits bawakan. Angin malam dan cahaya bulan membuat malam ini terasa syahdu untuk kedua makhluk itu.

Harits menatap Kerdil sambil tersenyum. Biarpun terkesan nyablak, mungkin Harits adalah orang yang paling menyangai Kerdil. Kucing itu selalu ada dalam setiap peristiwa di hidupnya. Ya, mungkin begitulah cara kucing yang dahulu hampir mati tertabrak itu. Seperti Harits yang tak membiarkannya mati, Kerdil pun tak akan membiarkan penyelamatnya merasa kesepian.

"I don't care how long it takes, As long as I'm with you, I've got a smile on my face. Save your tears, it'll be okay, All I know is you're here with me."

"Nanti kalo gua lulus, gua bawa lu ke Jakarta, Dil. Biar lu kenalan sama cewek sono. Bah, yahud-yahud. Di sini mah apaan ceweknya medok semua nyahaha. Me'ong. Jiakh ... masa gitu me'ong." Harits menekan vokal e sebelum masuk ke vokal o pada logat kucing sehingga terkesan medok.

Tak ada respons dari Kerdil, kucing itu tertidur pulas di pangkuan Harits. Harits pun menghentikan permainannya dan duduk tak bergerak agar Kerdil tak terbangun.

"Selamat malam, kawan." Ia ambil kopi yang sudah dingin di sebelahnya, lalu meneguknya sampai habis.

***

Malam syahdu berlalu, berganti gerimis romantis sebagai pembuka hari. Dari kabin belakang, Melodi dan Nada berjalan dengan payung ke teras depan Mantra. Di sana sudah ada Harits yang duduk menatap rintik hujan dengan kaos biru dongker polos dan celana pendek hitam.

"Ayo," ucap Melodi.

Harits menoleh. Setelah mendapati kedua kembar itu dengan matanya, ia berdiri. Setiap hari selasa Harits tak ada kelas. Jadi kedua gadis kembar itu meminta tolong Harits untuk mengantar mereka ke kampusnya. Perihal mereka pulang dengan apa, itu beda cerita.

"Enggak apa-apa, kan?" tanya Nada. "Enggak ngerepotin?"

"Santai." Harits berjalan ke mobil, lalu naik di depan.  Sementara dua kembar itu duduk di belakang. Mesin sudah panas, tetapi Harits tak kunjung berangkat.

"Cel, ini kok enggak jalan-jalan sih?"

Harits menatap Melodi lewat pantulan kaca depan. "Lu pikir gua sopir? Satu pindah depan."

"Yah elah, bilang kek minta ditemenin. Kayak Cewek lu!" ledek Melodi.

Nada hendak turun, tetapi Melo menahannya. "Biar aku aja. Nanti Harits kesenengan kalo kamu yang di depan."

"Sial," balas Harits.

Melo berpindah duduk di sebelah Harits. "Tracknya Nada duluan. Jadi kalo gua yang di belakang nanti lu rese minta gua pindah lagi gantiin Nada. Jadi sekalian aja. Biar nanti Nada turun, gua enggak pindah-pindah."

"Nyahaha terserah." Harits menurunkan rem tangan. 'Siapa aja terserah dah, sama-sama cakep nyahaha ... astagfirullah, tidak boleh seperti itu'.

Mobil pun berjalan menjauh dari Mantra Coffee. Hari ini bukan hanya Harits yang tak ada kelas. Cakra pun kosong. Ia duduk seorang diri menikmati kesunyian, menatap mobil Mantra yang perlahan menjauh dan hilang dari pandangan. Namun, karena bosan Cakra bangun dan berjalan ke dapur, lalu menatap jadwal pegawai toko.

"Hari ini yang masuk Rizky sama Maya, ya."

Lonceng di pintu berbunyi. Maya masuk ke dalam. Hari ini ia mengenakan setelan kaos putih dan celana jeans biru. Cakra tak mendengar suara kendaraan. Tak ada jas hujan juga yang tergantung. Hanya ada sebuah payung di depan toko.

"Kamu tinggal deket sini?"

"Iya," jawab Maya. Ia menunjuk arah belakang toko, dekat kabin si kembar. "Di belakang Mantra Coffee ada perkampungan. Aku salah satu warganya."

"Oh, oke. Ngomong-ngomong enggak kepagian? Emang sih shift pagi, tapi ini baru jam tujuh. Toko buka jam sembilan. Paling enggak biasanya satu jam sebelum opening baru beberes."

"Bosen sih di rumah. Karena tau ada Mas Cakra, jadi ya udah ke sini aja biar ada temen ngobrol."

"Di rumah emangnya sepi?"

"Ya, gitu deh. Orang tua sibuk kerja," balas Maya. "Eh iya, udah ngopi belum, Mas?"

"Belum."

"Mau aku buatin?"

Cakra tersenyum. "Boleh."

"Oke, aku buatin yang sesuai sama kamu ya ...." Maya tiba-tiba terdiam. Dari mimiknya ia tampak sedang memikirkan sesuatu.

"Kenapa?" tanya Cakra.

"Kadang canggung aja. Mau panggil pake embel-embel kak, mas, pak, atau apa."

"Cakra aja. Aku jauh lebih muda dari kamu kok."

Maya tertawa kecil. "Masih lebih muda, ya."

"Eh sorry, bukan mau nyinggung usia, tapi emang kayaknya dipanggil Cakra aja deh."

"Kalian ini kan bos-bos muda. Aku jadi kadang bingung aja. Ada yang aku panggil mas, kak, mbak. Ada juga yang langsung nama."

"Santai di sini mah," balas Cakra. "Malah kesannya anak-anak di sini yang kurang sopan, karena main panggil nama aja."

"Santai kok," balas Maya.

Lonceng kembali berbunyi. Kini giliran Rizky yang datang.

"Pagi," sapanya.

"Pagi," jawab Cakra dan Maya.

"Wah, kirain bakalan jadi orang pertama yang dateng nih," ucapnya.

Cakra menunjuk Maya yang sedang membuka kulkas. "Kalah sama dia."

"Wah, susah ngalahin dia mah. Kalo Ippo yang jaga sih gampang menangnya," balas Rizky.

Maya membawakan satu botol Cold Brew untuk Cakra. "Ujan-ujan gini sih enak yang anget, tapi enggak tau ya ... kalo buat Cakra kayaknya cocok deh."

"Kenapa gitu?"

"Cold Brew itu punya rasa yang halus dan kompleks. Cocok buat seorang pria yang terkesan santai, tapi punya lapisan misteri yang dalam," jelas Maya.

"Misteri, ya?" Cakra tersenyum. Ia mengambil botol itu dan meneguknya. "Enggak salah sih."

Maya duduk semeja dengan pria itu. "Gimana, suka?"

Cakra mengangguk. "Suka kok."

Wajah Maya terlihat lega. "Alhamdulillah. Kdang tuh deg-degan kalo buatin kopi berdasarkan karakter orang lain."

"Tapi kamu selalu berhasil, kan? Kamu anak psikologi?" tanya Cakra.

"Bukan. Aku dulu kuliah Perhotelan," jawab Maya.

"Kamu mirip seseorang yang aku kenal. Dia pinter nilai karakter orang berdasarkan gelagat dan ekspresinya. Dulu dia juga barista, dan menu ini sebenernya warisan dari dia."

Maya terlihat tertarik dengan pria yang disebutkan oleh Cakra. "Serius?"

Cakra mengangguk. "Iya, beneran."

"Siapa?" tanya Maya.

"Fajar Utomo," jawab Cakra.

Maya berusaha mengingat para punggawa Mantra Coffee di Maguwo dulu. Namun, hanya ada dua orang yang ia tak pernah lihat ketika berada di sini.

"Yang tatoan, ya?"

"Bukan. Itu mah, Mas Abet."

"Aku cuma inget dua orang aja yang enggak ada di sini. Dia sama yang cewek."

"Mbak Fenri. Iya, mereka berdua udah resign."

Maya memicing. "Terus Fajar Utomo?"

Cakra tersenyum. "Itu Ayahku. Dia salah satu dari empat pioneer Mantra Coffee. Jadi sebenernya tuh Mantra Coffee udah ada sejak tahun 2013 dulu, tapi vakum sangat panjang sampai akhirnya kita buka lagi di tahun 2039 lalu. Terus vakum lagi satu tahun dan sekarang buka lagi di tempat yang berbeda. Bisa dibilang, kita semua udah move on dari masa lalu orang tua sih, makanya namanya Origin."

Maya mengangguk. "Keren ya."

Dari kejauhan, dua mobil masuk ke area Mantra dan parkir di halaman. Rizky mengambil payung toko dan berjalan untuk menjemput pelanggan pertama yang datang hari ini.

"May, May, tolong bawain payung, May," ucap Rizky. Ia memegang dua buah payung di tanganya.

"Oke." Maya segera mengambil dua payung lagi dan berjalan mengikuti Rizky.

"Tunggu, ini masih setengah delapan," gumam Cakra. "Itu bukan pelanggan." Ia bangkit dan berjalan ke jendela untuk memastikan siapa yang datang sepagi ini.

Dari mobil yang satu keluar enam orang. Dua pria dewasa, dua perempuan dewasa dan dua anak kecil, satu laki-laki dan satunya perempuan. Lalu dari mobil satunya keluar lima orang yang terkomposisi dari dua pria dewasa, dua perempuan dewasa, dan satu anak perempuan seusia dengan anak-anak di mobil sebelumnya.

Anak perempuan di mobil kedua melihat Cakra yang berdiri di balik jendela kafe. Senyum manis terukir di bibirnya. Ia pun berlari menerjang hujan ke arah Mantra Coffee.

"Kakak!"

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top