20 : Dingin

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."
.

.

.

"Nomor yang anda tuju sedang sibuk atau berada di luar area jangkauan. Silakan ...."

Kevin menjauhkan ponselnya dari telinga dan menatap layar dengan tatapan dingin.

"Aku hanya bisa terdiam melihat kau pergi dari sisiku, dari sampingku. Tinggalkan aku seakan semuanya, yang pernah terjadi, tak lagi kau rasa."

Suara berat itu terdengar menyanyikan Ada Yang Hilang dari Ipang. Sebuah lagu yang dirilis pada tahun 2020. Lagu tersebut menceritakan tentang seseorang yang merasa kehilangan, tetapi tak tahu apa yang sebenarnya hilang dari hidupnya. Hal ini membuatnya merasa hampa dan terus mencari jawaban atas kekosongan yang ia rasakan.

Entah sudah berapa lama Rinjani meninggalkan Jogja. Gadis itu seakan lenyap ditelan Bumi. Tak ada lagi perbincangan yang tercipta antara ia dan Kevin, meskipun hanya sekadar lewat chat.

Hari-hari belakangan ini memang terasa dingin. Wajar, mentari kerap tertutupi awan hujan. Setiap angin yang berhembus menerpa, membuat perasaan pria dingin itu semakin dilumat kebekuan.

"Ada yang hilang dari perasaanku, yang terlanjur sudahKuberikan padamu. Ternyata aku tak berarti tanpamu, berharap kau tetap di sini."

Malam ini Kevin sedang duduk di sebuah kafe yang masih menyimpan sedikit aroma Rinjani. Meskipun samar dan hampir tak terendus, tapi tiap sisinya menyimpan segelintir nostalgia.

Kala itu Mantra Coffee sudah habis terbakar. Untuk membantu Rinjani mengerjakan skripsi, Kevin sering bertemu dengan gadis itu di tempat ini.

Kini aroma kopi tak lagi menyenangkan. Terlalu banyak kenangan yang muncul dan tak bisa terulang kembali. Masih teringat jelas pertemuan mereka di Mantra Coffee.

Kala itu gerombolan gadis masuk ke Mantra Coffee. Gadis paling belakang berjalan tak mengikuti teman-temannya, ia duduk di depan bar tepat di hadapan Nada.

"Kenapa saya harus beli kopi hitam?" tanyanya pada Nada.

Dari kejauhan, Kevin menatap kedua gadis itu. Dari gelagatnya, Nada sepertinya tak punya jawaban yang mampu memuaskan gadis pengunjung tersebut. Kevin pun berjalan ke arah mereka. Masih hangat ingatan tentang segala yang diajarkan oleh Guru Besar Harits Sagara padanya.

"Karena kopi hitam adalah base dari hampir seluruh menu kopi di dunia," jawab Kevin memecah keheningan. Gadis itu beranjak dari duduknya dan berpindah ke depan Kevin. Ia tersenyum menatap barista tampan bersorot mata dingin di hadapannya.

"Kenapa saya harus beli kopi hitam?" tanyanya lagi seolah menantang Kevin.

"Karena hampir semua menu olahan kopi menggunakan espresso. Espresso sendiri merupakan bagian dari keluarga kopi hitam. Kopi hitam itu unik. Padahal terlihat kelam dan terasa pahit, tapi ada banyak metode untuk menarik keluar karakter aslinya," jawab Kevin.

Gadis itu tampak tertarik. Entah tertarik pada Kevin, atau jawabannya.

Kevin kembali melanjutkan. "Kenapa harus membeli kopi hitam? Karena setiap menu olahan kopi di sini menggunakan kopi hitam sebagai base nya, jadi kalau kakak tidak mau membeli kopi hitam, kakak bisa membeli menu non coffee. Kalau Kakak tidak suka kopi pahit, kakak bisa pilih yang manis seperti es kopi susu gula aren yang merupakan salah satu signature kita. Ada juga short macchiato, latte, cappucino, flat white, piccolo, mocha, atau kalau kakak mau yang lebih asik dan agak beda bisa coba affogato."

Gadis itu menyilangkan kedua tangannya di depan dada sambil mengangkat kaki kanan dan bertumpu pada kaki kirinya. "Merupakan bagian dari keluarga kopi hitam?"

"Espresso, americano, long black, tubruk, doppio, ristretto, cold brew, vietnam drip ... itu semua adalah menu kopi hitam di sini. Tentunya dengan metode pembuatan yang berbeda dan tingkat tekstur bubuk yang berbeda antara satu metode dan metode lainnya. Setiap metode akan menghasilkan rasa dan aroma yang berbeda. Ada banyak jenis biji kopi yang tersedia juga. Setiap biji kopi punya karakter yang berbeda. Kenapa harus membeli kopi hitam? Karena kopi hitam luas untuk diulik, kopi hitam juga penuh dengan filosofi, dan lebih spesial dari menu kopi campuran."

Gadis itu tersenyum. "Penuh filosofi dan lebih spesial?"

"Enggak semua orang bisa menikmati kopi hitam. Itu yang membuat kopi hitam spesial. Bukan rasa yang dicari dari secangkir kopi hitam pahit, tetapi cerita di balik tiap seruputnya," jawab Kevin. "Kopi hitam yang jujur tidak butuh cumbuan gula. Tidak perlu bermanis mulut tanpa ragu menunjukkan jati dirinya pada sang penikmat."

Gadis itu menyodorkan tangannya untuk bersalaman. "Rinjani Maharani, mahasiswi tingkat akhir yang lagi nulis skripsi seputar pengaruh komposisi jenis kopi terhadap karakteristik kopi."

Kevin membalas jabat tangan itu. "Kevin," jawab pria itu singkat.

"Boleh aku sering ke sini buat ngopi sambil gangguin kamu?" tanya Rinjani. "Aku butuh lebih banyak pengetahuan buat nulis skripsi."

Siapa yang menduga bahwa waktu yang singkat itu mampu menumbuhkan rasa. Sebuah rasa yang bahkan Kevin tak sadari hingga sosok Rinjani hilang dari hidupnya.

"Permisi."

Kevin menoleh. Ditatapnya seorang pria berambut gondrong. Kira-kira sepanjang Deva, tetapi agak sedikit bergelombang.

"Boleh numpang di sini?" tanyanya.

Memang semua meja sudah penuh. Hanya meja Kevin saja yang masih menyisakan satu bangku tersisa.

"Duduk aja," jawab Kevin.

Pria itu duduk, lalu mengikat rambutnya. Tak lama berselang, secangkir kopi datang di atas meja.

"Minum, Mas," ucapnya.

Kevin mengangguk.

Dari suaranya, pria itu sepertinya merupakan seorang pendiam seperti Kevin, tetapi memiliki attitude sehingga mampu menempatkan diri. Terlihat ketika ia meminta izin mengambil satu kursi di tempat Kevin dan menawarkan pria dingin itu minum.

Kevin sesekali memperhatian orang itu. Rupanya ia adalah salah satu penampil band beberapa saat lalu. Ia adalah pemain cajon.

Dari arah panggung, seorang pria lain berjalan menghampiri Kevin dan si gondrong. "Sak, gua duluan," ucapnya sambil menenteng tas gitar di tangan.

Pria gondrong itu mengangguk, tapi tak mengeluarkan sepatah kata pun untuk teman satu bandnya.

Begitu si pemain gitar melihat Kevin, ia memberikan senyum tipis. "Oi, titip salam buat Nada."

Kevin memicing. Ia merasa pernah melihat pria dengan gitar itu, tetapi lupa di mana melihatnya. Wajahnya familiar.

Setelah menitipkan salam, sang gitaris pergi meninggalkan si gondrong dan Kevin berdua. Kevin masih menatapnya mencoba mengingat di mana ia melihat pria itu. Dari kaca, terlihat ia naik ke atas vespa biru dan pergi meninggalkan kafe.

"Kalian kenal?" tanya suara berat si gondrong.

Kevin menggeleng.

"Oh." Si gondrong sibuk menatap layar ponsel sambil sesekali menyeruput kopi hitamnya.

Kevin menatap tangan pria itu. Ia mengenakan sarung tangan seperti Nada, tetapi berbeda warna. Jika Nada mengenakan sarung tangan hitam, pria ini mengenakan sarung tangan putih.

Malam semakin larut, tak ada kata yang terucap lagi di antara dua orang bermata dingin itu hingga si gondrong beranjak dari duduknya.

"Tunggu."

Ia menoleh ke arah Kevin. Namun, tak ada kata yang terucap. Matanya seolah berkata 'apa?'.

Kevin berdiri dan mengenakan jaket bomber berwarna hitam. Sepertinya ia juga ingin pergi. "Yang tadi namanya siapa?" tanya Kevin.

Si gondrong tampak berpikir. "Siapa?"

"Gitaris," balas Kevin singkat.

"Oh, dia." Pria itu terdiam sejenak. "Rama."

Mata Kevin berkedut. Kini ia baru menyadari bahwa pria dengan gitar itu merupakan anggota Satu Darah yang sempat menolong Nada ketika diculik oleh Dogma. Mengingatnya saja membuat Kevin bergidik ngeri.

"Kenapa?" tanya si gondrong dengan nada penuh tekanan. Ia menyadari ada perubahan ekspresi di wajah Kevin. "Lu kenal Rama?"

Kevin merinding. Raut wajah si gondrong mendadak berubah ketika melihat ekspresi Kevin yang berubah setelah mendengar nama rekannya.

Aura kelam yang menyelimuti pria di hadapannya membuat Kevin merinding, tetapi sebagai seorang pembunuh dari keluarga Wijayakusuma ia dengan tenang menyembunyikan ketakutannya. Otaknya bergerak untuk memikirkan jawaban yang sekiranya akan menyelamatkannya dari situasi ini. Sejujurnya, Kevin merasa sedang berhadapan dengan kematian.

"Enggak kenal" jawabnya singkat. "Tapi wajahnya enggak asing. Setelah diinget-inget, dia temen kampus Nada."

"Di mana kampus si Nada itu?" lanjut si gondrong.

"Instiper."

Mendengar semua jawaban Kevin, pria itu tersenyum. Aura kelam yang menyelimutinya hilang. "Oh, kirain kenal dari mana." Ia menjulurkan tangan pada Kevin.

Kevin ragu untuk membalas uluran tangan itu, tapi tak ada alasan untuk tidak menjabat tangan berbalut sarung tangan putih tersebut.

"Raksaka Mintaraga," ucapnya memperkenalkan diri.

"Kevin Wijaya," balas Kevin.

"Oke, sampai ketemu lagi. Makasih tumpangan mejanya." Raksaka berjalan meninggalkan Kevin.

Begitu Raksaka pergi, Kevin terduduk kembali. Mendadak lututnya lemas. Namun, begitu rasa takutnya hilang, dingin kembali mengerubunginya. Rasa perih karena ditinggalkan Rinjani kembali merajai.

Begitu Kevin hendak membayar pesanan, ia mengerutkan dahi.

"Tadi tagihannya udah dibayar sama Raksaka, Mas," ucap seorang barista.

Kevin menatap ke arah jendela. Sosok pria gondrong mematikan itu sudah tak berada dalam lingkup pengelihatannya.

"Oh, oke. Titip terimakasih kalo dia manggung lagi," ucap Kevin.

"Siap."

Pria dingin itu berjalan keluar. Begitu membuka pintu, kehangatan yang tersisa pun ikut pudar dari semesta. Kevin diam sejenak sambil menoleh ke belakang. Ia menatap bayang-bayang masa lalu, saat ia dan Rinjani saling berbincang di meja yang tadi ia tempati. Meskipun perbincangan mereka bukanlah perbincangan yang melibatkan rasa, tetapi asmara sudah terlanjur hadir di antara mereka.

Ia kembali melangkah maju hingga sampailah di samping motornya. Sebelum naik, Kevin menatap langit malam.

"Aku harap kita punya rindu yang sama."

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top