2 : Malam Tenang

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."
.

.

.

Harits mengendarai motor dengan santai. Maklum, hari sudah mulai gelap dan ia sama sekali tak mengenakan jaket, pria itu merasa kedinginan. Kaliurang merupakan dataran tinggi, sudah pasti udara di sini akan terasa menusuk.

"Brrrr ...." Harits mulai menggigil, ia mempercepat laju motornya mengingat jarak rumah tinggal sedikit lagi. "Gas aja dah daripada mati pelan-pelan."

Benar saja, tak sampai lima menit plang Mantra Coffee sudah terlihat. Harits terus melaju dan berbelok tepat di gang samping plang tersebut. Ia masih menarik gas motornya hingga melewati gapura, tetapi tiba-tiba lajunya semakin pelan ketika lampu motor menyorot siluet seseorang tak jauh di depan.

'Siapa tuh?' batin Harits.

Rem pun ditarik hingga kecepatan menjadi nol. Harits memicing menatap Cakra yang sedang berdiri di tengah jalan.

"Lu ngapain, Cak?"

Wajah Cakra agak pucat tersorot lampu motor, ia mengambil ponsel seperti ingin menghubungi seseorang. Tak sampai satu detik, ponsel Harits bergetar. Ya, Cakra melakukan panggilan kepada Harits.

"Ha-halo," ucap Cakra. Ia ingin memastikan siapa yang berada di hadapannya.

Dengan wajah datar Harits mengangkat panggilan tersebut sambil menatap Cakra. "Halo, dengan biro jodoh, ada yang bisa dibantu, Kak?" tanya Harits dengan nada tak kalah datar.

Cakra menghela napas, ia terlihat lega. Namun, di satu sisi ia terkesan menyembunyikan sesuatu.

"Lu ngapa si?" tanya Harits lagi.

Cakra menggeleng. "Kagak, gua udah laper. Lu lama banget dah, jadi gua susulin sekalian jalan ke depan, siapa tau ada yang jualan apa gitu."

"Serius lu?"

Cakra mengangguk. "Iya, kenapa?"

"Muka lu kayak orang abis liat setan, pucet," balas Harits.

"Jangan ngaco! Ini tempat kayaknya agak serem, enggak usah sompral, Rits."

Harits terkekeh. "Ya udah, ayo dah makan dulu."

Cakra mendekati Harits dan naik di jok belakang. Mereka pun segera pulang ke Mantra untuk menikmati makan malam dan beristirahat.

***

Ada sedikit balkon di lantai atas sehingga bisa menikmati angin dari ketinggian. Harits dan Cakra membunuh waktu setelah makan di teras sambil menikmati malam yang syahdu. Mereka berdua menikmati kopi buatan Harits.

"Lu beli kopi di mana, Rits?" tanya Cakra setelah menyeruput kopinya. "Selalu mantap."

Selain membawa nasi padang, rupanya pria bertopi itu membawa sebungkus kopi biji yang ia beli di jalan. Memang, Harits lebih senang mengkonsumsi kopi dari biji yang ia grind sendiri, ketimbang membeli yang langsung bubuk.

"Tadi di jalan ada yang jual, sejenis toko kiloan gitu. Dia jual produk lokal Kaliurang."

"Oh gitu."

"Kalo lu?" tanya Harits.

Cakra memicing. "Kalo gua?"

"Iye, lu kenape? Liat setan?"

"Enggak, lu ngapa sih setan-setan mulu?"

Harits menghela napas. "Kalo pake logika ya, ngapain lu jalan kaki ke depan? Mana nyeker lagi. Kalo lu laper, harusnya lu telpon gua nanya posisi gua, atau enggak cek di aplikasi online. Terus, muka lu kayak orang ketakutan sih tadi, ditambah tiba-tiba lu nelpon gua di depan congor."

"Yaaa ...." Sejenak Cakra memikirkan alasan. Sejujurnya, ia ingin menyimpan memori horor itu seorang diri, atau paling tidak Cakra tak ingin bercerita di tempat ini. Namun, rupanya Harits tak mudah dibohongi. Wajar, dulu ia adalah seorang pemburu hantu waktu kemampuannya belum hilang.

"Nada juga keliatan takut, tapi gua enggak tau apa yang dia takutin. Terlalu banyak opsi buat jadi jawabannya, tapi kalo lu merasa ada yang janggal, mungkin itu juga yang Nada rasain," timpal Harits.

"Kalo menurut lu?" tanya Cakra balik.

"Ada. Di setiap tempat itu pasti ada mereka, dan kebetulan di sini gua pun sempet ngerasain energinya."

"Anggap aja gua liat. Ya, mungkin mereka cuma mau kenalan aja. Jangan cerita ke yang lain, nanti mereka takut," ucap Cakra.

"Cuma mau kenalan, ya?" tanya Harits. "Ya ... pilihannya cuma ada dua sih. Kalo mereka suka, mereka akan ikutin."

"Kalo mereka enggak suka?" tanya Cakra.

Harits diam sejenak. "Teror. Mereka akan teror sampe kita enggak betah dan pergi dari rumah ini."

Cakra kembali menyeruput kopinya tanpa kata.

"Sosoknya apa?" tanya Harits.

"Lu," jawab Cakra singkat. "Makanya tadi gua nelpon depan komuk lu, itu buat mastiin lu asli apa palsu. Soalnya waktu gua bangun tidur gua ngeliat lu, terus abis gua mandi lu ilang. Waktu gua nyari lu, ada suara dari dalem lemari tua di kamar. Gua coba beraniin buka dan ternyata lu lagi ngumpet di dalem lemari, terus nongol ngagetin gua. Pas gua lega karena lu cuma iseng, enggak lama lu nelpon gua, padahal lu yang ada di depan gua itu sama sekali enggak bawa hape. Mana itu sosok ngomongnya looping."

"Terus lu lari?"

Cakra memicing. "Bentar dah ... waktu gua lari, gua liat sosok anak cewek kecil pake piama putih, rambutnya panjang."

"Terus?"

Cakra menggeleng. "Tiba-tiba dari depan ada cahaya, lu dateng. Begitu lu muncul, sosok itu udah enggak ada. Awalnya gua pikir anak tetangga ...."

"Lah, tetangga mana? Samping kita sawah-sawah sama kebon, Cak. Kalo pun ada tetangga, kayaknya agak jauh deh. Bocil mana yang berkeliaran maghrib-maghrib begini?"

"Nah, makanya itu. Mana dia ngomongnya sama kayak yang sosok lu."

"Sejujurnya sih, gua emang punya insting ke lemari di kamar kita. Kenapa gua ngambil kamar itu, karena gua tau di situ ada. Gua enggak mau Depoy atau siapa pun itu takut, jadi sengaja gua ambil tu kamar. Sialnya, langsung kejadian sama lu."

"Terus gimana? Udah lunas ini rumah ...."

"Ya, woles aja sih. Di mana pun kita tinggal, kita emang akan selalu berdampingan sama mereka. Paling untuk sementara kita rahasiain aja dulu, jangan sampe yang lain takut," ucap Harits.

"Ya udah, ganti topik deh. Jangan bahas ginian, merinding gua," balas Cakra.

"Nyahaha okelah." Harits kembali meneguk kopinya yang sudah lama dingin. Setelah menyeruput, ia menatap cangkirnya dengan ekspresi pasrah. "Ini tempat agak bangsat ya ...."

"Kenapa?" tanya Cakra.

"Ditinggal ngobrol bentar udah diperkosa angin kopi gua, langsung jadi es kopi dah."

Cakra terkekeh. "Emang bangsat sih, tapi kalo boleh jujur gua suka di sini. Udaranya seger, anginnya sejuk, emang sih agak serem dan EMANG SEREM sebenernya, tapi di balik negatifnya, positifnya juga banyak."

"Setuju," balas Harits.

Mereka terdiam sejenak menikmati nyanyian alam yang terkomposisi dari suara-suara serangga dan gemerisik dedaunan. Sisi teras tak memiliki tembok sehingga pemandangan alam terlihat jelas. Cahaya rembulan yang memancar di antara pepohonan menambah keindahan malam itu.

Suasana malam itu begitu damai dan tenang, membuat mereka merasa terhubung dengan alam dan merasakan kedamaian yang sulit ditemukan di tengah hiruk-pikuk kota.

Harits dan Cakra saling berbagi cerita, bertukar pengalaman, tertawa bersama, dan terdiam untuk menikmati keheningan malam. Ya, mereka merasa bahagia bisa berada di sana bersama teman-temannya dan merasakan kedamaian yang langka.

"Gua enggak sabar ngeliat reaksi anak-anak nanti begitu udah tinggal di sini, mereka suka enggak ya?" tanya Cakra.

"Gua pikir kenapa kita semua sepakat ... bahkan Nada yang takut pun ikut sepakat itu karena mereka suka sama tempat ini sih. Gua pikir—enggak, mereka pasti suka kok."

Harits beranjak dari duduknya. "Masuk yuk, lama-lama keasikan di sini bisa masuk angin anjay."

Cakra terkekeh. "Benar juga."

Mereka berdua masuk ke dalam dan menutup pintu sekaligus menutup cerita malam ini.

***

Pagi pun tiba. Harits dan Cakra tertidur kembali setelah shalat subuh berjamaah di kamar. Sinar mentari tak membangunkan mereka. Ya, mungkin udara dari jendela yang terbuka memanjakan mereka sehingga rasanya masih terlalu nyaman untuk terlelap

Tin! Tin! Tin!

"Bangsat!" Harits terpaksa bangun karena riuhnya klakson mobil dari arah depan. "Siapa sih? Rusuh amat!"

Ia dan Cakra beradu tatap, lalu bangun. Mereka berjalan ke depan. Begitu membuka pintu dan berdiri di teras, mereka berdua menatap satu mobil dan rombongan motor sudah berada di bawah.

"Bangun para pemalas!" teriak Melodi. "Waktunya bersiap-siap!"

Rombongan itu adalah Deva, Kevin, Jaya, Nada, Melodi, dan jasa ekspedisi yang datang membawa segala peralatan yang dibutuhkan oleh kedai kopi mereka.

Cakra bingung melihat kehadiran mereka semua. "Lah, katanya ...."

"Lebih cepat lebih baik, kan?" celetuk Jaya.

"Enggak usah nunggu awal bulan, kalo bisa minggu ini udah opening!" balas Deva.

Harits dan Cakra tersenyum. "Ya udah, jangankan sekarang. Gua sama Cakra udah siap dari kemaren! Nyahahaha," ucap Harits dengan rambut yang masih acak-acakan tanpa topi birunya. "Langsung dah kita beberes."

Mereka pun bergegas menurunkan barang-barang dan menata rumah baru mereka. Rasanya lelah dan banyak menyita waktu, tetapi tak mengapa. Jika bersama rasanya menyenangkan.

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top