19 : New Vibes

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."
.

.

.

Hari ini Nada tak ada kelas. Meskipun sudah jarang terjadi gangguan mistis, tetapi rasanya masih agak iseng. Namanya juga masih anak-anak, ada saja gangguan kecil yang ditimbulkan oleh Adi dan Ratna.

Untungnya, sekarang ia sudah tidak sendirian. Hari ini ada Maya dan Ippo di kafe. Nada memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama kedua orang itu.

Berkat peran media sosial, Mantra Coffee menemukan banyak penikmat. Wajar, orang-orang seperti Melodi dan Deva yang memiliki banyak followers sangat berdampak. Ditambah Melodi sering menjadi talent promosi untuk Mantra Coffee.

Meskipun tidak seramai ketika sore dan malam, tetapi ada saja pengunjung yang datang. Mayoritas mereka memang orang sekitar, atau wisatawan yang kebetulan berada di Kaliurang. Beberapa mahasiswa UII yang kebetulan tinggal tak terlalu jauh dari Mantra Coffee pun juga sesekali datang membawa laptop. Ya meskipun tak ada koneksi Wifi, ternyata masih ada orang yang datang dengan tugas-tugasnya bermodalkan koneksi pribadi. Setidaknya, Mantra Coffee menyediakan lingkungan yang asri untuk menenangkan pikiran.

Ippo terlihat sedang berbincang dengan beberapa pengunjung membawa daftar menu. Sementara itu Maya dan Nada sama-sama duduk menunggu pesanan tanpa bicara. Ya, begitulah Nada. Gadis itu kurang terbuka dengan orang baru dan lebih gemar menyembunyikan suara.

Maya sebenarnya orang yang cukup suka mengobrol, tetapi karena Nada diam, maka ia pun diam. Wanita itu paham, bahwa Nada bukanlah orang yang senang bicara.

Namun, ya ... rasa gatal tak akan hilang hanya karena digaruk.

"Kamu kuliah di mana?" tanya Maya.

Nada yang kebetulan sedang mengoret-ngoret kertas menuliskan nama kampusnya di kertas dan menyodorkannya pada Maya.

"Wah, Instiper. Jauh juga ya dari sini ke sana," sambung Maya. Dibalas anggukan kepala oleh Nada. Setelah itu hening kembali merajai kesunyian.

Lonceng di pintu berbunyi. Ippo masuk membawa catatannya. Ia menatap Nada. "Satu Lemon Verbena, satu Peppermint tea, sama satu ...." Kini pria itu berpindah tatap ke arah Maya. "Form us."

Nada langsung bergerak untuk mengurus Lemon Verbena dan Peppermint Tea.

"Yang mana yang minta form us, Po?" tanya Maya.

Ippo menunjuk seorang wanita berambut pirang yang sedang tertawa. Wanita itu terlihat paling enerjik dan penuh semangat ketimbang teman-temannya.

"Siapa namanya?"

"Dini," jawab Ippo.

Form us merupakan menu baru yang dibuat ketika Amaya datang ke Mantra Coffee kemarin. Ya, lebih seperti tantangan untuk Mantra Coffee juga. Jika ingin dikenang, maka buatlah pengalaman yang berbeda untuk para penamu. Menu ini merupakan representatif dari pemesannya, makanya pemesan menu ini juga wajib menyetor namanya. Sebab ada hadiah kecil di belakang.

Jujur, ketimbang Cakra, gadis yang satu ini lebih mirip dengan cara kerja Ajay di eranya.

Maya melihat wanita itu dengan cermat, mencoba mencerna suasana hatinya dari kejauhan. Diambilnya sejumlah biji kopi dan langsung menggilingnya dengan hati-hati. Setelah itu, Maya mengisi gelas kaca dengan kopi yang sedang diseduh, membiarkannya mengalir dengan cermat. Sentuhan terakhir, ia mengambil sebuah piring kecil dan menempatkan cokelat parut di atasnya.

Barista wanita itu mengambil kertas dan menulis sesuatu untuk pemesan menu form us pertamanya.

Aku melihat semangat dan keceriaan dalam diri, Kak Dini. Cokelat parut memberikan sentuhan manis dan kegembiraan pada kopi. Aku mau bikin pengalaman ngopi Kak Dini lebih spesial dan sesuai dengan kepribadian kakak yang bersemangat. Selamat menikmati.

Form us, for Kak Dini :)

Rasa kopi yang kaya dan kompleks dipadu cokelat parut memberikan sentuhan akhir manis yang lezat. Menurut Maya, menu itu adalah yang paling cocok untuk karakter seperti pengunjung bernama Dini tersebut.

Ippo meletakkan tiga menu yang sudah dibuat di atas nampan, lalu berjalan keluar untuk memberikan pesanan itu pada penikmatnya.

Maya dan Nada menatap Ippo yang sedang menyuguhkan minuman dan sesekali tertawa. Entah apa yang mereka bincangkan di luar. Tapi dari gelagatnya, Ippo seperti menjelaskan ulang apa yang tertulis di kertas pemberian Maya.

Wanita berambut pirang itu menaburkan cokelat di atas kopinya, lalu menyeruput pelan minumannya. Tergambar senyum di wajahnya kala itu.

Ippo menunjuk ke arah Maya. Sontak pelanggan itu menatap ke arah sang barista dan melepaskan senyum ramah diikuti lambaian tangan. Maya pun membalas lambaian tangan tersebut.

"Alhamdulillah dia kayaknya suka," ucap Maya sambil mengelus dada. Raut wajahnya tak kalah bahagia dengan pelanggannya.

Melihat itu Nada ikut tersenyum. Jarang-jarang ia ikut hanyut dengan kebahagiaan seseorang.

"Kamu keren, mirip Cakra, tapi lebih keren," ucap Nada.

Maya menoleh. Daripada kepuasan pelanggan, rasanya ia lebih senang karena mendapatkan perhatian dari gadis yang berdiri di sebelahnya.

"Kamu udah enggak takut sama aku?" tanya Maya.

Nada tersenyum sambil menggeleng. "Maaf kalo agak gimana. Aku enggak pandai bersosialisasi sama orang baru."

Maya tertawa kecil. "Kamu juga keren. Jujur, kalo enggak ada kamu enggak tau gimana deh nasib Lemon Verbena sama Pepermint. Aku enggak paham sola teh."

"Mau aku ajarin?" tanya Nada.

Ya, sebetulnya itu memang kewajiban Nada untuk mengajarkan ilmu per-teh-an kepada orang baru. Karena selama ini hanya Jaya yang agak mengerti dan berada satu level di bawah Nada. Sementara Harits dan Kevin agak bebal.

Maya mengangguk. "Mau dong. Kalo enggak, aku bisa babak belur kalo enggak ada kamu."

Nada mengajarkan cara mengolah teh berdasarkan jenis tehnya. Meskipun pendiam, rupanya ia cukup banyak bicara dan pandai menjadi guru. Terbukti, ia juga sudi menjadi tester untuk percobaan Maya.

***

Senja kembali, pertanda gelap akan segera hadir. Maya sudah selesai dengan pekerjaannya, tetapi karena suka dengan pekerjaan sebagai barista, ia masih berada di shift malam bersama Harits dan Jaya.

"Jay, hidup tuh harus selalu serius," ucap Harits. Kini mode gurunya aktif.

Jaya duduk menghadap Harits. Ia menunggu puchline yang akan dilontarkan oleh pria di depannya. Namun, Harits terdiam. Ia melakukan aktivitas lain dan berhenti memberikan Jaya quotes. Merasa masih diperhatikan, Harits menatap Jaya kembali. Pria dengan perban di kening itu masih menunggu lanjutan quotes Harits.

"Nungguin, ya? Nyahahaha."

"Lanjutin, Mas. Udah kepalang tanggung, saya penasaran."

"Sengaja nyahahaha."

"Lah, ini ditunggu sama pembaca juga. Udah lama, Mas Har enggak ngasih quotes jenius."

Jenius. Satu kata itu men-trigger Harits yang haus pujian.

"Hidup itu harus selalu serius. Serius aja blangsak hidup lo!  Gimana bercanda? Nyahahaha."

Jaya tertawa dan memberikan tepuk tangan yang meriah. "Jenius nih orang," gumamnya.

"Kamu jangan sampe ketular mereka," ucap Deva yang sedari tadi memperhatikan para barista.

"Semoga enggak sih." Maya tersenyum. "Tapi aku suka suasana di sini. Semua orang seakan enggak punya tekanan hidup. Baik pelanggan maupun internal Mantra."

"Emang di tempat yang sebelumnya gimana?" tanya Deva.

"Lebih strict aja gitu," jawab Maya. "Lebih seru di sini dari sisi pegawai. Di luar usianya masih pada muda dan seneng bercanda, tapi tuh serius juga kerjanya. Profesional gitu. Enggak yang sebatas jual kopi terus dibeli, udah. Apa ya ... di sini haus berkembang. Dari segi menu pun selalu update dan punya moto harus buat pengalaman yang beda buat para pelanggan. Aku suka."

Deva tersenyum. "Emang tau menu Mantra Coffee dulu? Kok bisa bilang selalu update?"

"Mungkin kalian enggak sadar, tapi dulu aku sering mampir ke Mantra Coffee waktu masih di Maguwo. Aku sering riset sendiri ngunjungin kafe-kafe buat ambil apa yang bisa diambil."

"Keren," balas Deva. "Sekarang kamu enggak perlu riset sendirian. Kalo ada ide apa atau butuh ide bisa brainstorm sama barista kita. Di sini ada Harits, Nada, Jaya, sama Kevin kok. Meskipun mereka aneh, tapi bisa diajak mikir. Otaknya masih ada dikit."

Maya tertawa. "Aneh gimana?"

"Nada sama Kevin tuh pendiem. Buat orang baru, mereka itu lebih terkesan kayak batu daripada manusia. Coba aja ngomong sama batu deh. Nah, sekalinya yang enggak pendiem ada Harits sama Jaya. Nilai sendirilah mereka berdua gimana."

"Kan masih ada, Mas Deva sama, Mas Cakra," balas Maya. "Melodi, Ippo, sama Rizky juga kayaknya normal deh."

Deva terkekeh. "Ya udah, intinya kalo butuh apa-apa ngomong aja ya. Kalo emang merasa stuck dan mau riset ke tempat lain, ajak aja Harits. Dia seneng kayak gitu-gitu juga."

"Oke!"

Pelanggan mulai berdatangan kembali. Deva meninggalkan Maya menuju pelanggan yang baru saja datang. Ia membawa senjata berupa daftar menu dan buku catatan kecil.

Maya menatap Harits dan Jaya yang kembali normal setelah mendapatkan pesanan. Mereka terlihat bekerja serius, tetapi menikmati.

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top