17 : Mama dan Papa

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."
.

.

.

Bukan hanya Melodi yang berhasil kembali. Ratna dan Adi pun sudah kembali ke rumahnya. Ada yang berbeda dengan Melodi setelah melewati malam tadi. Pagi ini ia menjadi sorotan utama teman-temannya karena terlihat ketakutan dan bersembunyi di balik tubuh Harits.

"Lu ngapain sih?" tanya Harits heran. "Jangan gini dong, malu diliatin anak-anak. Gua udah punya pacar juga wey."

"Berisik ah!" balas Melodi. Matanya menatap pada satu titik di daerah meja pojok dekat vas bunga.

"Kamu kenapa, Melo?" tanya Nada. "Kok bisa tiba-tiba suka sama Harits?"

"Aku enggak suka sama dia, Nada. Please!" Melodi menunjuk ke arah ujung pandangnya. "I-itu ...."

"Itu apa sih?" tanya Cakra sambil memfokuskan pengelihatannya. "Bunga mawar? Meja? Kursi?"

"Itu loh! Masa kalian semua enggak liat sih?!"

"Apa sih?" tanya Nada lagi. "Meja?"

Hanya Harits yang paham apa yang Melodi lihat, tapi ia tak mengerti apa yang terjadi sebetulnya. Melodi bisa melihat mereka?

"Itu anak kecilnya di sini!" ucap Melodi.

Wujud Ratna dan Ratih agak berbeda ketika kembali ke dunia. Di sana mereka terlihat sedikit agak normal. Sementara di sini kedua anak itu terlihat sangat pucat agak kebiruan dan berekspresi datar. Pinggiran matanya agak hitam dan tercium aroma melati yang sangat pekat dari tubuh mereka berdua.

"Mungkin di Alam Durjana mereka lebih keliatan kayak sebelum mereka meninggal," sahut Harits. "Sementara di sini wujudnya refleksi setelah mereka mati. Jadi banyak luka dan semacamnya. Agak serem, but ... normal."

"Normal apanya?!" balas Melodi.

Semua mengerutkan kening dan saling melempar tatap. "Hah? Melodi bisa liat setan kayak lu gitu?" tanya Deva.

Harits mengangguk. "Awalnya gua enggak yakin, tapi dari tadi dia ngeliat ke arah situ mulu, terus nunjuk-nunjuk. Apa lagi kalo bukan karena ngeliat setan?"

"Bener kamu bisa liat setan, Mel?" tanya Deva.

"Beneran. Aduh ini gimana dong?" Melodi terlihat panik.

"Kamu yang minta mereka lepas, kan?" timpal Cakra. "Sekarang mereka pulang kamu takut. Piye sih?"

Adi berjalan mendekat ke arah Melodi.

"Woy! Mau ke mana lu?!" ucap Melodi pada anak itu dengan raut panik.

Adi tersenyum dengan ekspresi datar. Matanya tak berkedip sama sekali. Ia menunjuk ke arah Melodi. "Mama."

"Pffftt ...." Harits menahan tawa. Ia menjadi sorotan anak-anak menggantikan Melodi.

"Kenapa, Rits?" tanya Nada.

Harits hendak berbicara, tetapi Melodi menutup mulutnya. "Diem!"

"Kenapa sih? Aku kok jadi penasaran ya," balas Nada.

Harits melepaskan tangan Melodi. "Bocahnya manggil Melodi MAMA! Nyahahaha."

"Enggak lucu!" Melodi menjewer telinga Harits.

"Adaw! Sakit, cuk!"

"Mama." Adi sudah berdiri di sebelah Melodi. Melodi refleks menatapnya. Bocah itu tertawa. "Hehehe."

"Astagfirullah!" Melodi sontak kabur. Ia berlari dan bersembunyi di balik Deva. "Deva, tolongin aku, Dev."

"Gimana tolonginnya?" tanya Deva.

Wajah Adi terlihat sedih, kini bocah itu menatap Harits. "Papa."

"Nyahahah ...." Harits berhenti terkekeh. Ia memicing ke arah Adi.

Kini giliran Melodi yang terbahak-bahak. "LU BAPAKNYA!"

"Wah, udah gila." Harits pun heran. Bisa-bisanya ia dipanggil papa oleh anak itu.

"Waktu meninggal, Adi masih terlalu kecil," tutur Ratna. Melodi dan Harits menatap ke arah gadis itu. "Dia masih butuh kasih sayang orang tua."

"Hahahaha."

Harits menatap ke arah bar. Di sana ada Hara sedang duduk sambil menertawakannya. Jujur, saat ini selain Harits dan Melodi tak tahu apa yang sedang terjadi.

"Untuk menenangkan arwah penasaran, kau harus tahu apa yang ia inginkan," tutur Hara. "Setelah semua keinginannya tercapai, barulah mereka bisa tenang."

Harits tak membalas ucapan Hara. Memang begitulah Harits, ia tak ingin orang lain menjadi bingung ketika melihatnya berbicara sendirian. Namun, Melodi berbeda. Sebagai anak indigo baru ia langsung membalas Hara.

"Terus apa hubungannya?" Sepertinya Melodi tak terlalu takut dengan Hara yang terlihat lebih normal.

Hara menunjuk Adi. "Yang kecil mau punya orang tua." Arah tunjuknya berpindah ke Ratna. "Yang gede tenang kalo adeknya tenang."

"Terus?" tanya Melodi.

Hara tertawa terbahak-bahak. Ia turun dari bar dan mendekat ke arah Melodi, lalu berlutut. Melihat almarhum Ashura Widyatama itu berlutut, Harits mengerutkan kening.

"Mulai saat ini saya juga melayani Ratu," ucap Hara sambil menjilat bibir bagian atasnya.

"Ratu pala lu bejat?!" timpal Harits dengan wajah merah.

Melo menatap Harits dengan satu alis terangkat. "Maksudnya apa? Bagus dong dia mengakui gua Ratu. Kok lu iri?" 

"Maaf, untuk apa seorang Raja merasa iri, Nyonya?" sahut Hara tersenyum.

Melodi terdiam mencerna ucapan Hara. Seketika itu juga wajahnya memerah. "A-apa-apaan?!"

Melihat Melodi dan Harits yang seperti berlatih drama, anak-anak meninggalkan mereka berdua.

Harits menghela napas. Ia berjongkok hingga tatapanya sejajar dengan wajah Adi. "Kalo udah puas main keluarga-keluargaanya, pergi ke Nirwana, ya," ucap Harits.

Adi mengangguk.

Kini arah pandangnya berpindah ke Melodi. "Gimana nih, Doy?"

"Gimana apanya?" tanya Melodi.

"Ini bocilnya," jawab Harits. "Lagi juga ada apaan sih di Alam Durjana? Kok bisa-bisanya."

"Gini loh, Cel ...." Melodi bercerita panjang lebar kejadian di Alam Durjana. Dari ketika ia dibawa, lalu dipenjara bersama Adi dan Ratna. Setelah itu Cakra muncul dan sebagainya. 

Harits berusaha mencerna cerita Melodi. Pada satu titik ia menemukan sebuah jawaban. "Pantesan lu panggil mama sama doi. Definisi orang tua bagi anak itu kan tempat berlindung. Ya enggak tahu sih, tapi mungkin sekarang si Adi ini merasa aman di samping lu, makanya dia manggil lu mama."

"Terus kenapa lu dipanggil papa? Kenapa bukan Cakra?"

Harits juga berpikir keras soal itu, tetapi tak menemukan jawaban.

"Karena Harits kuat," celetuk Hara yang masih duduk di atas bar. Sejak awal mereka berdua enggak pernah berulah kalo ada Harits."

Setelah dipikir-pikir benar juga. Cakra diganggu ketika Harits tak ada. Nada diganggu pun gara-gara saat itu ia jauh dari Harits. Terakhir Deva, Cakra dan Kevin pun serupa. Ketika itu tak ada Harits di lantai atas.

"Sosok ibu yang peduli dan sosok ayah yang jadi tempat berlindung. Kalian serasi."

"Biji pala lu kendor," balas Harits.

Melodi menahan tawa, lalu pecah. "Apaan sih biji pala."

"Au apaan, nyahahaha." Harits pun tak tahu apa itu biji pala. Ia ikut tertawa.

Melihat kedua orang tuanya tertawa, Adi ikut tertawa. Melihat Adi tertawa, Ratna pun ikut tersenyum. Sudah lama adiknya tak terlihat sebahagia itu.

"Ya-ya udah kalo gitu. Terus sekarang gimana?" tanya Melodi.

"Mana gua tau. Gua belom pernah punya anak."

"Terus gimana dong?"

"Yaaa ...." Harits tampak berpikir. "Tinggalin aja nyahaha. Orang anaknya enggak butuh makan."

"Bener juga." Melodi bangkit dan berjalan pergi ke rumah kabin.

Harits hanya diam menatap gadis itu pergi diikuti Adi. Sepertinya Melodi cepat beradaptasi, ia terlihat tak begitu takut lagi.

Di satu sisi merasa diperhatikan, Hara menoleh ke arah Ratna. Ia tersenyum sambil menjilat bibir bagian atasnya.

Ratna mengerutkan kening. Aura Widyatama sangat tak nyaman untuknya. Gadis itu memutuskan untuk menjauh dari Harits untuk saat ini.

Harits mendongak menatap langit-langit. "Dulu Andis kerjaannya kayak gini nih. Hadeh, ribet, ribet, ribet, ribet. Ngurusin hidup sendiri aja ribet. Sekarang ngurusin orang mati." Ia berjalan ke dapur untuk mencuci piring.

Pagi ini pun berakhir dan ditutup seperti sediakala. Semua sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Deva yang sedang work out di halaman, Kevin yang sudah bersiap pergi ke kampus, Cakra yang tampak berbincang dengan Nada, Harits yang sedang mencuci piring, dan Melodi yang berusaha terbiasa dengan pengelihatan ekstranya.

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top