16 : Kabur
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Cakra berjalan keluar jeruji besi bersama Melodi. Ia menoleh ketika tak mendengar langkah Melodi dan sontak menoleh ke belakang. Rupanya Melodi sedang berdiri di depan pintu jeruji menatap ke dalamnya.
"Ayo pulang, banyak yang nunggu kamu," ucap Cakra.
"Tunggu." Melodi menatap kedua anak yang sedang duduk bersandar di dinding bersama kuntil anak yang tak berdaya. "Kita bawa anak-anak ini."
Cakra memicing. "Buat apa? Mereka, kan hantu."
Melodi menoleh ke Cakra. "Kalo mereka enggak ikut, aku juga enggak."
"Aneh," balas Cakra dengan wajah datar. Pria itu tampak berpikir, lalu kembali menatap Melodi dengan senyuman. "Ya udah, bungkus." Sempat terjadi diskusi singkat antara Utomo dan Cakra inti.
Melodi tersenyum, ia membuka pintu, menatap Ratna dan Adi. "Ayo, pulang."
Kedua anak itu saling bertatapan. Ratna tampak ragu, tetapi Adi bangun dan meraih tangan kakaknya. "Ayo kita pulang, Kak." Ratna pun bangkit dan berjalan bergandengan tangan dengan Adi.
Begitu mereka hendak pergi, terdengar sebuah dentuman yang membuat dinding-dinding bergetar. Cakra menatap sekitarnya dengan waspada.
'Firasatku buruk,' gumamnya berbicara dalam hati.
'Cepat pergi dari sana, Tomo,' ucap Cakra inti.
"Ayo, cepat." Cakra berjalan cepat ke arah pintu utama yang menjadi satu-satunya akses keluar dari area penjara. Pintu itu menghubungkan penjara dengan lorong menuju lobby utama istana. Melodi dan kedua anak hantu itu mengikutinya dari belakang.
Begitu ia keluar dari area penjara, Cakra memicing menatap ke arah lorong. Jalan lurus itu adalah satu-satunya jalur keluar, tetapi terasa sesuatu yang mencekam dari balik kegelapannya.
Satu per satu obor di dinding berkobar api. Kini kegelapan yang berada di depan Cakra menjadi terang benderang. Sesosok makhluk berjalan dari arah depan menuju Cakra dan kawan-kawan.
"Kakak, aku takut." Adi menggenggam erat tangan Ratna.
"Berdiri di belakang kakak." Ratna menjadi tameng untuk adiknya.
"Cak ... itu apaan?" ucap Melodi gemetar.
Cakra terdiam melihat sosok bertubuh besar hampir menyentuh langit-langit lorong istana. Perawakannya tak begitu jelas, tetapi warnanya hitam pekat. Taringnya panjang dilapisi liur yang menetes dan mata merah menyala bagaikan api.
"Buto Dhengen," ucap Cakra. "Para penjaga menyebut nama itu."
"Buto Dhegen?" tanya Melodi.
"Makhluk kuno dari Jawa. Kemungkinan makhluk itu pimpinan sipirnya."
"Terus kita harus gimana, Cakra?" Melodi meneguk ludah. Ia benar-benar takut setengah mati.
"Bocah. Lindungi adikmu dan juga gadis di belakangku. Jika bukan karena dia, kalian tidak akan ikut keluar dari penjara," ucap Cakra.
Ratna mengangguk. Ia berdiri di depan Melodi dan Adi menjadi tameng.
"Saat aku menyibukkannya, kalian lari secepat mungkin. Tinggalkan tempat ini secepat yang kalian bisa."
"Kamu gimana, Cak?" tanya Melodi.
"Pergi saja, jangan banyak tanya," balas Cakra.
"Jangan menghambat Kakak yang cowok," ucap Ratna. "Kita harus lari secepat mungkin biar dia bisa nyusul."
"O-oke," balas Melodi.
Cakra memasang ancang-ancang berlari sambil memutar-mutar belati di tangannya. Ketika makhluk itu sudah masuk jangkauannya, ia segera melepaskan langkah tercepatnya.
"Sekarang!" Ratna berlari mengikuti Cakra bersama Melodi dan Adi.
Makhluk besar itu hanya diam sehingga Cakra dengan mudah menanamkan luka pada kakinya. Melodi dan dua hantu kecil itu berlari melewati Buto Dhengen. Namun, begitu Melodi melewatinya, makhluk itu baru bergerak seolah serangan Cakra tak memberikan dampak.
"Yang gadis jangan sampai kabur," ucapnya dengan suara berat yang menggema di lorong. Dengan tubuh sebesar itu ia memutar tubuhnya dengan cepat dan hendak menangkap Melodi dengan tangan besarnya.
Ratna berbalik arah, ia menahan tangan besar itu seorang diri. "Lari, jangan melihat ke belakang. Bawa Adi pergi dari sini."
Dengan berat hati dan kaki Melodi berlari menggandeng tangan Adi. "Ayo kita lari."
"Kakak!"
"Lari, nanti kakak kamu nyusul bareng kak Cakra," ucap Melodi menarik tangan Adi. Mereka berdua kabur meninggalkan Cakra dan Ratna.
Cakra paham ia tak bisa menang seperti sebelumnya, ia pun memutuskan untuk kabur. Namun, ketika hendak melewati makhluk yang sibuk dengan Ratna tersebut, tiba-tiba Buto Dhegen memutar arah dan menghantam Cakra dengan tangannya hingga pria itu terpental membentur dinding. Raga asli Cakra memuntahkan darah dari mulutnya.
"Mengganggu," ucap makhluk besar itu.
Cakra tak mampu bergerak karena serangan tersebut. Ia menerima dampak kerusakan pada wujud roh dan raganya. Perlahan makhluk itu berjalan ke arah Cakra dengan niat menghabisi. Namun, ketika ia melancarkan serangan untuk yang kedua kalinya, Cakra berhasil untuk mengendalikan diri dan lepas dari stun Buto Dhengen.
"Lari!" teriak Cakra pada Ratna yang hanya berdiri menonton.
Setelah memastikan Cakra tak apa-apa, Ratna pun segera berlari kabur di depan Cakra. Mereka berdua segera menyusul Melodi dan Adi yang berada agak jauh di depan.
Buto Dhegen memang besar, tetapi ia tak selambat yang Cakra pikirkan. Makhluk itu mampu mengecil dan berubah wujud menjadi anjing hitam. Ia mengejar para tahanan yang kabur dari penjaranya. Meskipun wujud Buto Dhegen mengecil, tetapi langkahnya tak bisa berbohong. Lantai yang ia pijak retak dan tak jarang hancur akibat menahan bobotnya.
***
Di sisi lain Radika dan Jaran Peteng terlihat kelelahan, sementara Burisrawa masih segar. Makhluk itu tertawa terbahak-bahak melihat kondisi lawannya.
"Cuma segini kemampuan kalian?"
"Tugas kami sudah selesai," ucap Jaran Peteng.
"Selesai?" tanya Burisrawa.
"Kami hanya mengulur waktu," lanjut Jaran Peteng.
Dari balik dinding Melodi dan Adi muncul. Burisrawa terbelalak melihat calon mempelainya lari dengan seorang tahanan.
"MAU KE MANA KAU?!" teriak Burisrawa.
"Sangkar burung." Radika melepas Qorinnya. Ia membuat penjara untuk menahan Burisrawa.
"Pergi!" tutur Qorin Radika.
Radika segera naik ke atas tubuh Jaran Peteng.
Burisrawa menatap Jaran Peteng yang berlari menuju pintu keluar. Ia memukul sangkar burung milik Radika, tetapi rupanya benda itu cukup keras.
Dari arah dinding, Cakra dan Ratna muncul. Di belakang mereka, Buto Dhegen sudah melompat untuk menerkam Cakra. Namun, waktunya sangat tepat. Jaran Peteng menabrak anjing hitam itu hingga terpental ke dinding.
Di luar istana, Rizwana sudah menunggu dengan kencana Cakra Langit. Ia memberi isyarat pada rekan-rekannya untuk menuju kendaraan pulang mereka.
Melodi dan Adi naik terlebih dahulu, di susul Radika, Cakra, dan Ratna. Setelah semua naik, Rizwana memacu kuda tanpa kepala untuk berlari secepat mungkin.
"JANGAN BIARKAN MEREKA KABUR!" teriak Burisrawa yang berhasil menghancurkan sangkar burung dan menyusul ke depan istana. "BUTO DHEGEN, KEJAR MEREKA!"
Buto Dhegen berlari mengincar kencana milik Rizwana. Kecepatannya sungguh tak masuk akal. Jujur, Radika pun heran, bisa-bisanya Cakra lolos dari makhluk begini.
Kencana mulai tersusul. Rizwana yang menjadi kusir naik ke atas dan berjalan di atas kencananya menuju belakang sambil menggenggam tombak. Namun, tiba-tiba Jaran Peteng datang menghantam Buto Dhegen hingga terpental.
Sesaat mereka lepas dari jerat maut, tetapi itu tak berlangsung lama. Burisrawa melesat ke arah mereka dengan cepat. Namun, lagi-lagi Jaran Peteng menghadangnya. Ia paham tak bisa mengalahlan Burisrawa, tetapi setidaknya upayanya mampu memperlambat makhluk itu.
"Tidak akan ku biarkan kau mengganggu mereka, Burisrawa!"
"MINGGIR!" Burisrawa memotong kaki Jaran Peteng hingga tak mampu lagi berdiri. Dengan kakinya, Burisrawa menginjak kepala banteng itu hingga hancur.
"TUAN SAPI!" Radika hendak membalas dendam, tetapi dari atas, sebuah tombak menghentikannya. Ditatapnya Rizwana yang menggelengkan kepala.
"Jangan," ucap Rizwana. "Jangan buat pengorbanannya sia-sia. Kita pergi."
Radika mengepal keras tangannya sambil menahan amarah.
Burisrawa masih mengejar. Ia melesatkan tangannya untuk menarik Melodi yang berada di dalam kencana. Melodi yang ketakutan sontak menutup mata.
***
Keadaan di Mantra semakin tak kondusif. Deva dan Jaya saling melempar tatap. Pada satu titik mereka sama-sama mengangguk dan berdiri.
"Mau ngapain, Dev? Jay?" tanya Nada.
Tak ada jawaban dari Deva dan Jaya, tetapi jika dilihat dari sorot mata Ippo, ini memang bukanlah suasana yang hanya bisa ditinggal diam saja.
Deva dan Jaya melakukan gerakan Tari Malangan, tetapi antara gerakan Deva dan Jaya cukup berbeda. Melihat mereka berdua Nada merinding.
"Ippo," panggil Nada. "Deva sama Jaya ...."
"Sssttt ...." Ippo menempelkan jari telunjuk di bibir. "Mereka datang."
BRAAAK!!!
Pintu depan dan samping terbuka serempak. Jaya berlari ke depan dan menjadi pintu terakhir untuk para roh jahat yang berusaha mengambil raga melodi. Di sisi lain Deva menghilang dari pandangan Nada dan berpindah tempat ke pintu samping untuk menghalang serangan ghaib di sana. Mereka berdua sama-sama mengenakan topeng Martawangsa.
Harits tak mampu membendung semuanya. Pasukannya banyak yang berakhir menjadi kepulan asap hitam.
"Hara! Prioritas bertahan!" teriak Harits.
Hara berdecak kesal. Ia menghentikan permainan saling bunuhnya dan berlari ke arah pintu depan. Sementara Harits bertahan di pintu samping dibantu Deva.
Di tengah ketegangan itu tiba-tiba saja Melodi membuka matanya. Ia terbangun di pangkuan Ippo dan langsung melihat sekitar.
"A-alunan?" Ippo meneguk ludah. Ia takut jika yang berada dalam raga Melodi adalah eksistensi lain.
"Cakra mana?!" tanya Melodi.
Cakra membuka mata, ia langsung memegangi perut dan pundaknya yang terasa sakit. "Aduh ...."
Radika pun ikut bangkit setelah beberapa saat lalu ia terkapar kehilangan sadar karena Qorinnya ikut bertempur.
Ya, mereka semua berhasil lolos dari Alam Durjana. Tak lama berselang setelah roh Melodi, Cakra, dan Radika kembali ke tubuh masing-masing, terdengar suara ledakan dari arah halaman belakang. Mereka semua beradu tatap, tetapi tak memiliki jawaban.
"Apa tuh?" tanya Cakra.
Semua menggeleng tak tahu menahu.
Di sisi luar, Harits berlari mengecek sumber suara. Dilihatnya Rizwana yang berdiri di depan kobaran api. Pria itu baru saja membakar sumur dan menutupnya dengan tanah.
"Harusnya sih udah berakhir," ucap Rizwana. "Udah enggak ada lagi gapura awidya di sini."
Harits menghela napas lega. Ia terduduk di tanah dengan napas terengah-engah.
"Tapi gua minta maaf. Satu bawahan lu enggak bisa selamat," lanjutnya.
"Jaran Peteng?" Harits mengepal tangannya. Ia menutup mata dan berduka untuk salah satu pengikut loyalnya. "Di sini pun udah selesai."
Makhluk-makhluk yang hampir merebut raga Melodi membubarkan diri begitu roh gadis tersebut telah kembali ke tubuhnya.
Malam ini Harits kehilangan banyak hal, tetapi di sisi lain ia juga mendapatkan kembali Melodi. Dari semua makhluk yang mengikutinya, hanya tersisa satu ekor anjing hitam, Hara, dan Lajaluka. Sisanya menjadi menjadi korban dari keganasan malam.
"Kalo enggak ada Jaran Peteng, kita semua enggak akan bisa keluar," lanjut Rizwana. "Dia berjuang sampai akhir."
"Ah, sialan ...," lirih Harits.
Mungkin bagi orang lain, Jaran Peteng hanyalah makhluk halus biasa, tetapi bagi Harits ia merupakan bawahan yang setia. Kehilangan salah satu Komandan tempurnya membuat Harits menumpahkan air mata sambil menunduk ke tanah.
Di tengah kemenangan ia merasa kalah.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top