15 : Serangan Balik

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."
.

.

.

Malam semakin larut. Gonggongan anjing riuh menghiasi sekitaran Mantra. Banyak makhluk halus yang mencoba menerobos masuk, tetapi anjing-anjing hitam milik Harits tak membiarkannya.

'Mereka bukan dari gapura awidya, tapi jumlahnya enggak masuk akal.' Batin Harits.

"Hara, kenapa banyak setan yang dateng ke sini?" tanya Harits. "Ada sesuatu, kah?"

Hara tersenyum sambil memainkan potongan tubuh setan-setan yang terjerat jaring kematiannya.

"Hari ini hari kamis, di tambah malam satu suro," jawab Hara.

Harits memicing. "Satu suro?"

Hara mengangguk. "Kebetulan Melodi itu salah satu favorit mereka, jadi wajar kalo pada ngumpul."

"Favorit?" Lagi-lagi Harits dibuat heran.

"Pertama, dia lagi haid. Kedua, dia spesial," jawab Hara.

"Hah? Kok lu tau dia haid? Gua aja enggak tau."

Hara menghela napas. "Mati dulu biar tau. Aroma orang haid itu harum, beda sama orang normal."

"Terus maksudnya spesial?" tanya Harits lagi.

"Orang-orang yang punya kelebihan itu sering jadi sasaran sebetulnya. Melodi punya retrokognision, udah pasti banyak jiwa mati yang mau."

"Jadi intinya, bener kalo mereka semua yang dateng malem ini bukan dari Alam Durjana?"

"Yaaa—mungkin. Enggak tahu," jawab Hara.

Harits tampak berpikir. "Berarti ...." Namun, aura membunuh yang kental membuatnya terdiam dan melirik ke arah Hara.

"Berisik ...," lirih Hara.

"O-oke. Sorry ganggu waktu main lu. Silakan lanjutin," ucap Harits.

Hara menyeringai. Ia kembali bergerak membabi buta menerjang segala yang berada di hadapannya. Entah kawan, entah lawan, semua sama di matanya.

Harits meneguk ludah melihat kebrutalan almarhun Widyatama tersebut, tapi ia sadar bahwa ia pun harus bergerak. Pria bertopi biru itu berlari ke arah yang berlawanan dengan Hara.

***

Beralih ke dalam Mantra Coffee. Semua duduk merapat ketika gedoran pintu dan jendela membombardir seisi Mantra.

"Deva aku takut," ucap Nada.

'Sama, Nad.' Batin Deva.

BRAK!!

"Jay buka, Jay! Tolong!" teriak suara Harits dari pintu utama.

Jaya hendak bangkit, tetapi Deva menariknya sambil menggeleng.

"Kalo itu Mas Harits betulan gimana?" tanya Jaya.

"Yakin Harits sudi minta tolong?" tanya Deva balik.

Jaya terdiam. Ia paham gelagat Harits yang gengsi untuk meminta tolong, tetapi sisi kecil hatinya tak bisa membiarkan suara itu menghantuinya.

"Hey." Ippo memanggil kedua pria itu.

Deva dan Jaya sontak menoleh ke arah Ippo. Ippo mengarahkan pandangannya ke arah pintu utama. "Liat garemnya."

Mereka berdua kembali menatap ke arah pintu. Bukan hanya Deva dan Jaya, Nada pun ikut terbelalak ketika melihat garam putih yang sempat ditaburkan sebelumnya berubah menjadi hitam. Selain itu, bawang putih pun ikut membusuk.

Ippo menatap Jaya. "Sampe sini udah paham siapa yang ada di balik pintu?"

Jaya mengangguk pelan.

"Apa pun yang terjadi jangan buka pintunya," ucap Radika.

"Lah? Lu bukannya ...." Deva memicing melihat Radika yang malah tersadar.

"Dia itu Kusumadewa, wajar kalo dia bisa proyeksi astral sambil tubuhnya sadar. Para Kusumadewa bersahabat sama Qorin mereka," timpal Ippo. "Sekarang fokus berdoa."

Bukan hanya dari sisi luar, bahkan gangguan juga terdengar dari atas. Seperti ada yang berlari-lari di lantai atas membuat keributan.

Deva, Jaya, Ippo, dan Nada memfokuskan diri untuk terus berdoa. Sementara Radika berdiri dan mengitari dinding untuk mempertebal pertahanan astral dari Mantra Coffee.

***

Berpindah ke Alam Durjana. Melodi duduk bersandar di dalam jeruji besi. Di dalam ruangan kecil itu ia ditemani dua anak kecil penghuni rumahnya. Seumur hidup, tak pernah Melodi merasa setakut ini, ia duduk berjauhan dengan dua anak tersebut.

"Kakak, aku takut," ucap Adi menggenggam tangan Ratna.

"Jangan takut, ada Kakak," balas Ratna memeluk Adi.

Terdengar ... normal di telinga Melodi. Namun, tetap saja ia masih takut dan shock dengan segala yang terjadi malam ini. Ratna dan Adi terlihat seperti anak normal, hanya saja kulit mereka pucat dan terlihat agak datar ekspresinya.

"Hihihihi."

Bulu kuduk Melodi berdiri ketika mendengar suara cekikikan itu. Ia sontak menoleh ke arah pintu penjara. Di tatapnya seorang wanita berpakaian putih dengan rambut panjang berantakan.

"Gara-gara kalian aku mati!" ucap wanita itu sambil melotot pada Ratna dan Adi.

"Kakak, kenapa Mbak Ratih jadi serem?" tanya Adi yang ketakutan.

"Dia itu arwah penasaran yang mati dibunuh Ayah dan sebelum dia mati, dia menyalahkan kita atas kematiannya sendiri," jawab Ratna. Gadis kecil itu berdiri dan berjalan ke depan adiknya. Ia menatap Ratih dengan sorot mata yang tajam. "Mau apa kamu, Ratih?"

"Aku akan membuat kalian semua menderita!" Ratih menoleh ke arah Melodi dan tersenyum lebar. "Kamu juga."

Ratna ikut menoleh ke arah Melodi. "Aku berusaha keras menakuti setiap penghuni rumah itu agar mereka semua pindah. Siapa pun yang tinggal di sana dalam bahaya. Karena banyak kematian yang tragis, tempat itu mengurung banyak roh jahat. Aku tidak mau kalian menjadi bagian dari mereka semua. Nanti jadi makin repot."

Ratna merupakan arwah yang belum terkontaminasi dengan kejahatan. Sudah berpuluh-puluh tahun ia menjaga rumah itu. Meskipun tubuhnya kecil, tapi Ratna memiliki kekuatan yang cukup besar. Ia merasa harus melindungi adiknya agar tidak berubah menjadi roh jahat seperti yang lain. Ya, mungkin karena mereka masih kecil, belum ada dendam di hati mereka ketika mati.

"Sebentar lagi Tuan Burisrawa akan merubah kalian berdua menjadi roh jahat," ucap Ratih sambil terkekeh. Ia kembali menatap Melodi. "Tenang, kamu tidak akan dihukum seperti mereka berdua."

Di tengah ketakutannya, Melodi sedikit tenang karena setidaknya ia tak akan mendapatkan hukuman seperti dua anak di sebelahnya.

"Kamu kan calon mempelai Tuan Burisrawa."

"HAH?!" Melodi kaget setengah mati mendengarnya.

"Kamu akan dipersunting Tuan ...."

"Enggak mau! Amit-amit," celetuk Melodi memotong. "Pait-paitnya mending sama Harits sekalian daripada sama Burist ... Burist siapa itu."

Ratih cekikikan melihat ekspresi Melodi yang terlihat panik.

Tiba-tiba muncul dua makhluk bertubuh manusia dan berkepala anjing hitam. Mereka berdiri sejajar dengan Ratih.

"Pisahkan anak itu," tutur Ratih.

Kedua makhluk tersebut membuka jeruji besi dan berjalan menghampiri Ratna dan Ratih. Namun, Ratna tak akan membiarkan adiknya dibawa pergi, ia berusaha melawan.

"Minggir!" Salah satu penjaga menghempaskan Ratna.

Ratna berusaha bertahan. Sayangnya, kekuatan Ratna kalah. Ia dilempar hingga membentur dinding penjara. Sementara Adi ditarik dan hendak diseret keluar.

"Kakak!" Adi menangis, ia berusaha meraih Ratna. "Kakak! Tolong!"

"Adi!" Ratna tak mampu bergerak. Ia hanya mampu melihat dan mengulurkan tangan berusaha meraih Adi yang diseret oleh makhluk mengerikan itu.

"Berhenti." Tiba-tiba saja Melodi sudah berada di sebelah makhluk yang menyeret Adi. Gadis itu mencengkeram lengan penjaga dengan kuat. "Jangan bawa anak ini."

Melodi teringat kenangan kecilnya ketika Nada selalu saja ketakutan dan payah dalam hal apa pun. Melodi selalu memasang badan demi melindungi kembarannya. Melihat Ratna yang berusaha keras melindungi Adi, ia tak ingin usaha tersebut sia-sia. Melo mencoba berani dan melawan dirinya sendiri.

Sejujurnya Melodi takut, tapi ia merasa jika tidak bergerak sekarang, maka ia akan lebih menyesal.

"Bawa aku aja, tapi jangan bawa anak ini," ucap Melodi.

Ratih cekikikan mendengar kalimat itu keluar dari mulut Melodi. Ia melayang menghampiri si gadis sok berani. Melodi memang tampak berani, tapi Ratih mampu memabca ketakutan di hatinya.

"Memangnya kau bisa apa?" tanya Ratih.

"Burist ... butuh pengantinkan? Oke, bawa aku, tapi jangan sakiti kedua anak ini."

"BURISRAWA!" teriak salah satu penjaga.

"Ah, iya, iya maaf. Maksudnya Burisrawa," sambung Melo.

Pok ... pok ... pok ...pok ....

Suara tepuk tangan membuat mereka semua menoleh ke arah belakang. Tak ada siapa pun di sana. Ratih melirik ke arah salah satu penjaga.

"Siapa itu?" tanyanya.

Penjaga itu berjalan untuk memeriksa suara tepuk tangan yang terdengar dari luar ruang tahanan tersebut. Namun, setelah pergi memeriksa, hingga beberapa saat ia tak kunjung kembali.

Satu penjaga yang tersisa melepaskan Adi dan bersiap siaga. Ia melangkah pelan ke arah pintu penjara. Tiba-tiba dari arah kiri sebuah kepala terlempar hingga menggelinding di depan jeruji besi.

"Keberanian yang patut diberikan jempol." Cakra muncul dari balik dinding dan melempar potongan jempol pada Melodi.

"Aaa!" Melodi memekik dan menjauhi jempol tersebut.

"Siapa kau?" tanya Ratih.

Cakra tersenyum lembar hingga menampilkan deretan giginya. "Aku siapa?"

Manusia berkepala anjing menerjang Cakra, tetapi Cakra bergerak cepat dan menusuk tenggorokan makhluk tersebut dengan sebilah belati astral ke arah atas hingga melubangi rahangnya. Dengan cepat ia putar belati tersebut ke arah samping dan menekannya hingga memutari leher. Kepala makhluk itu terputus dari tubuhnya.

"Sebut saja hantu," lanjut Cakra.

Melihat kedua penjaga dilumpuhkan semudah itu, Ratih merinding. Ia berjalan mundur penuh ketakutan. "PENJAGA!"

Cakra terkekeh. "Penjaga? Jangan bilang makhluk-makhluk lemah ini adalah penjaganya? Kalo iya, maka penjara ini sudah kosong, sebab mereka semua sudah mati. Shihihi."

***

Di tengah istana, Jaran Peteng bertarung sengit dengan Burisrawa. Makhluk setengah banteng itu mampu mengimabgi Burisrawa, tetapi tak cukup kuat untuk mengalahkannya.

"Kau jadi lemah, Jaran Peteng!" Burisrawa melancarkan pukulan melukai tubuh Jaran Peteng.

Dua kaki  bagian depan itu tak mampu lagi berdiri dan sontak berlutut. Jaran Peteng mendongak menatap Burisrawa.

"Nah, begitu caranya melihat Raja." Burisrawa mengambil kapak Jaran Peteng yang terjatuh di lantai dan hendak mengakhirinya.

Namun, sebuah payung hitam melesat menggagalkan eksekusi tersebut. Radika datang dan berdiri di sebelah Jaran Peteng.

"Masih bisa berdiri ... Tuan sapi?"

Jaran Peteng terkekeh. "Sapi?" Ia berusaha bangkit. "Memang jika berlutut begini aku terlihat seperti sapi, hah?"

"Di sisi kiri jalan buntu," ucap Radika datar. Ia menutup payungnya yang terbuka. "Jadi aku kembali."

"Bantu saja temanmu yang satunya, dia pasti sudah menemukan Melodi. Cepat pergi dari sini, aku akan menahan yang satu ini."

Burisrawa memicing. "Kalian pikir bisa keluar dari sini hidup-hidup?"

Radika menatap tajam dengan wajah datar. "Kita lihat saja." Pria pendiam itu mengusap payungnya yang tertutup, kemudian ia membuka payung hitamnya hingga terbuka lebar sambil menggumamkan mantra-mantra.

Ia mencabut gagang payungnya. Ketika gagangnya tercabut, ternyata benda itu adalah pedang tersembunyi. Payung miliknya melebur menjadi atma hitam dan merasuki tubuhnya. Benda tersebut merupakan wadah jin untuk menyimpan qorinnya. Tak seperti biasanya yang bertarung secara terpisah, kini pria itu melebur menjadi satu dengan qorinnya.

Burisrawa menatap tajam ke arah Radika yang mengeluarkan pancaran aura kelam. "Aku akui manusia yang satu ini agak menyeramkan. Auranya sekuat Raja seperti kita, Jaran Peteng."

Sebuah sayap hitam mencuat keluar merobek wujud rohnya. Dua bilah tanduk tumbuh di kepalanya. Mata hitam dengan bola mata putih itu menatap tajam ke arah Burisrawa. Sebuah tato dengan ukiran pentagram muncul sebagai simbol satanis di tangan kanannya, lalu simbol ular naga yang menyimbolkan hubungan manusia dan qorin terukir di tangan kirinya.

"Kalian pikir bisa keluar dari sini hidup-hidup?" Radika mengutip kembali kalimat milik Burisrawa. Ia mengacungkan pedangnya pada Sang pemilik istana. "Cobalah bertahan dari seranganku. Dasar makhluk rendahan."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top