14 : Pengusiran
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Harits menjelaskan semua pada Rizwana. Pria bermata sipit itu pun tersenyum.
"Jujur, gua enggak ngerasain apa pun di sini. Normalnya enggak ada masalah apa-apa secara spirituil."
Deva mengerutkan kening. "Tapi masalahnya ...."
Tangan pria sipit itu terangkat seolah memberikan tanda pada Deva untuk berhenti bicara. "Tapi ya ... namanya ghaib enggak ada yang normal, kan?" Rizwana memberikan kode pada Radika dengan gerakan kepala.
Radika segera meninggalkan mereka semua dan berjalan ke halaman belakang seorang diri. Semua menatap pria berpayung itu tanpa kata. Sungguh pria misterius yang pemberani.
"Sekarang kita bentuk tim," ucap Rizwana pada anak Mantra dan juga Ippo.
"Tim?" tanya Harits heran.
Rizwana menunjuk Cakra. "Lu bisa proyeksi astral, kan?" Ia kembali menatap Harits. "Kita butuh dia sama Radika buat jadi tim penyerang."
Cakra mengerutkan kening. "Hah? Tim penyerang?"
"Gua sama Harits jadi tim pembasmi, terus ...." Rizwana menatap sisanya. "Martawangsa, Jayasentika, Wijayakusuma, sama Gardamewa jadi tim bertahan."
"Aku?" tanya Nada, hanya ia seorang yang tak disebut namanya.
"Ikut bertahan," jawab Rizwana.
"Tunggu dah, mereka enggak ngungsi ke tempat lain aja?" tanya Harits. "Mereka enggak punya pengalaman."
"Walpurgis?" Rizwana menghela napas menatap Harits. "Dalam situasi kayak gini, udah pasti ada lubang di sini. Lu ngerti kan apa yang gua maksud?"
"Gapura Awidya ...," lirih Harits. "Di sini ada tabir ghaib Alam Durjana?"
Gapura Awidya bermakna gerbang kegelapan, sementara Durjana memiliki arti kejahatan. Alam Durjana merupakan dunia Iblis dan para jin. Sebelumnya Harits pernah memasukinya ketika membasmi hantu di sekolah. Saat itu Harits berhadapan dengan Jaran Peteng dan pasukannya. Pria bertopi biru itu yang paling paham betapa kuatnya Jaran Peteng saat itu. Jika tak ada penjara jiwa, bisa jadi saat itu Harits yang kalah.
"Di mana ada gerbang kegelapan, di situ ada eksistensi yang kuat. Kita butuh bantuan karena kita harus nerobos ke dunia mereka," tutur Rizwana. "Radika sama Cakra punya misi buat nyelamatin Melodi karena mereka punya wujud arwah, gua ikut masuk ke sana buat ngebasmi setan yang berusaha keluar dari Alam Durjana, sementara lu ngebasmi yang enggak bisa gua tangin di dalam sana dan berhasil keluar." Rizwana menatap ke arah Deva. "Tim bertahan bertugas jagain raga Melodi. Kalian harus terus berdoa sampe pagi. Kalo sampe Matahari terbit kita gagal bawa Melodi, kemungkinan dia enggak akan bisa balik lagi."
Ippo berjalan menghampiri Rizwana. "Gua yang akan maju. Mana bisa gua cuma diem aja dan berharap sama orang lain."
Rizwana tersenyum dan menatap Ippo. "Arwah yang masuk ke dunia kita itu pasti melemah. Sebaliknya, hal tersebut juga berlaku buat kita yang nerobos ke dunia mereka. Cuma ada satu cara supaya kita enggak kena dampak perlemahan tersebut. Udah paham, kan sampe sini? Kenapa gua minta Cakra dan seorang Kusumadewa buat masuk ke sana nolongin Melodi?"
Selain itu Rizwana juga menyadari bahwa Ippo yang sekarang tak mungkin dapat membantu banyak. Pria berdarah Angkhara itu tak merasakan aliran atma dalam tubuh Ippo. Saat ini Ippo hanyalah orang biasa tanpa kemampuan atma, ia tak bisa menghadapi serangan spiritual.
Ippo hanya bisa menahan luapan amarahnya dengan mengepalkan tangannya keras-keras. Ia pun sadar, bahwa yang diucapkan Rizwana adalah kebenaran.
"Gua enggak bisa nyeret temen-temen gua ke dalam bahaya," ucap Harits.
Deva menepuk pundak Harits. "Temen-temen lu juga enggak bisa ngeliat lu terseret sendirian ke dalam bahaya. Kita emang terkesan ngandalin lu dalam urusan beginian, tapi kalo lu butuh bantuan ya jangan sungkan minta tolong. Gua udah tinggal bareng sama lu cukup lama, gua paham lu orang yang kayak gimana. Selama ada yang bisa kita bantu, kita pasti bantu."
Nada mencubit pelan ujung baju Cakra. "Cak, tolongin Melodi ya ...," ucapnya lirih.
'Ah, sial ... kenapa harus Nada ....'
Cakra sebenarnya takut, tetapi saat ini semua harus mengambil peran. Ia menutup mata dan menarik napas lewat hidungnya, lalu ia keluarkan lewat mulut secara perlahan.
"Aku sebetulnya takut, Nad. Aku juga enggak bisa apa-apa."
Nada terlihat sedih. "Cakra, aku ...."
"Tapi aku akan berusaha buat bawa Melodi balik lagi ke sini apa pun resikonya. Mungkin aku enggak bisa diandelin, tapi aku tau seseorang yang bisa kalian semua andelin."
Semua mata memandang ke arah Cakra. Seketika itu angin mendadak senyap, tetapi itu hanya berlangsung sesaat. Dalam sepersekian detik angin yang senyap itu berhembus kembali bertepatan dengan mata Cakra yang terbuka perlahan.
Bulu kuduk Nada merinding. Gadis bersarung tangan hitam itu berjalan mundur menjauhi Cakra, ia merasakan sebuah ketakutan yang familiar.
"Ah ... kita berjumpa lagi, ya." Cakra tersenyum menatap semuanya sambil membunyikan tulang pada jari-jarinya. Perlahan senyumnya berubah menjadi seringai. "Katakan saja apa yang bisa aku bantu, aku akan lakukan sebaik mungkin."
Semua menyadarinya, ada perubahan pribadi dari seorang Cakra menjadi sosok yang sempat menjadi musuh mereka. Nameless/Utomo.
"Sisi gelap Cakra bangkit ...," gumam Kevin.
"Ini bahaya," balas Deva.
"Enggak ada yang bisa kita lakuin sekarang selain percaya sama dia," ucap Harits. "Kalo dia ada di sisi kita, gua rasa semua bakal baik-baik aja."
"Terimakasih pujiannya," balas Cakra dengan senyum psikopatnya.
Dari arah belakang, Radika berjalan santai ke arah mereka semua. Ia dan Rizwana saling bertatapan.
"Gimana?" tanya Rizwana.
Radika mengangguk pelan. "Sumur," tuturnya singkat.
Rizwana berdiri di hadapan semua orang. "Semakin banyak waktu yang terbuang, semakin kecil kemungkinan kita membawa Melodi," celetuk Rizwana. "Sekarang waktunya bergerak."
Ippo menggendong raga Melodi menuju Mantra Coffee bersama Deva, Kevin, Nada, Jaya, Cakra, dan Radika.
Harits mempersiapkan semua kebutuhan untuk melindungi raga Melodi yang sedang rawan diincar oleh makhluk-makhluk halus yang menginginkan raga kosong. Setelah menyediakan kebutuhan untuk tim bertahan, pria bertopi biru itu bersiap di depan pintu Mantra Coffee menjadi penjaga garda depan.
Sementara Rizwana berjalan ke halaman belakang seorang diri. Ia menghancurkan papan yang menutupi sumur tua dan menginjakkan satu kakinya ke pinggiran sumur tersebut sambil menatap ke dasarnya.
"Baunya busuk ... aroma khas Alam Durjana."
Di sisi lain, begitu tiba di dalam ruangan, Deva dan Kevin menaburkan garam kasar ke setiap sisi dan sudut Mantra Coffee. Sementara Jaya meletakkan beberapa siung bawang putih di bawah jendela dan pintu. Radika dan Cakra duduk bersila di lantai sambil berusaha melakukan proyeksi astral.
"Inget kata Harits, jangan pernah bukain pintu atau jendela apa pun yang terjadi sampai Matahari terbit," ucap Deva. "Setan lihai mengecoh panca indra kita."
Semua meneguk ludah dan mulai berdoa.
Sementara itu Harits berdiri di hadapan pasukannya. "Hara dan para anjing hitam perkuat penjagaan kalian ke seluruh bangunan. Bunuh semua roh jahat yang berusaha masuk ke sini."
Hara menyeringai. "Oke." Diiringi anjing-anjing hitam penuh borok yang menyebar ke sekitaran Mantra.
"Jaran Peteng, bantu Cakra dan Radika di Alam Durjana. Pastikan mereka membawa Melodi dan kembali dengan selamat."
Manusia separuh kuda dan separuh banteng itu berlari ke arah sumur mengikuti instruksi Harits. Ia mengantar roh Radika dan Cakra yang sudah keluar dari tubuh mereka menuju sumur tua yang menjadi gapura awidya.
Di sisi lain senyum di wajah Rizwana pudar. Ini baru pertama kalinya ia mendapatkan kasus yang mengharuskannya masuk ke Alam Durjana setelah peristiwa Nagara. Ia menggenggam tombak dan menghentakkannya sekali. Begitu terdengar samar-samar suara lonceng. Pria itu melompat terjun ke sumur tua tersebut.
***
Jika Alam Suratma memiliki langit merah dan penuh dengan kabut serta dihiasi aroma anyir. Maka Alam Durjana merupakan tempat yang lebih gelap. Tak ada siang di tempat ini, gerhana adalah satu-satunya Raja langit ditemani bebatuan sebagai alasnya. Aroma busuk menghiasi setiap sudutnya diiringi bisikan-bisikan sesat.
Rizwana berdiri di depan gapura besar menatap lurus ke depan. Ada istana megah yang berdiri kokoh tak jauh di hadapannya.
Cakra dan Radika tiba, mereka berdua melangkah maju hingga berdiri sejajar dengan Rizwana.
"Waktu kalian enggak banyak, prioritas kita misi penyelamatan," perintah Rizwana. "Biar gua yang jaga gerbang biar para bajingan ini enggak keluar."
"Ayo." Radika berlari ke arah istana diikuti Cakra dan Jaran Peteng.
Merasakan aura asing yang kuat, para setan dari istana itu berbondong-bondong keluar dan berlari menuju gapura awidya.
Jaran Peteng mengangkat Cakra dan Radika pada masing-masing tangannya dan meletakkan mereka berdua di badannya. "Pegangan yang kencang, kita akan menerobos barisan prajurit lawan."
"Shihihi." Cakra tampak bersemangat, ia membawa dua bilah belati di masing-masing tangannya.
Radika pun siap bertempur meskipun ia hanya diam dan terlihat datar saja.
"Ingat, tugas kita bukan bertempur, tapi menerobos masuk dan meyelamatkan sukma seorang gadis," ucap Jaran Peteng. "Biar orang di belakang kita yang bertempur."
Di belakang Jarang Peteng, Rizwana berdiri mengenakan zirah darah di atas kencana kuda tanpa kepala. Ia menggenggam tombak Cakra Langit dan Karara Reksa sambil memutar-mutarnya. Pada satu titik, kencana Cakra Langit membalap Jaran Peteng dengan kecepatan penuh. Kini Rizwana melaju bersama kendaraannya di hadapan ratusan pasukan setan.
"BUKA JALAN!" teriak Rizwana sesaat sebelum menusukkan mata tombaknya pada salah satu makhluk yang berlari paling depan.
Ia bagaikan membelah ombak, membuka jalan untuk Jaran Peteng dan kedua rekannya. Ketika melihat celah, Jaran Peteng berlari sekuat tenaga melewati Rizwana dan terus melaju hingga memasuki gerbang istana.
Rizwana tersenyum, ia menoleh ke belakang. Karena posisinya berada di depan, kini gapura menuju alam dunia itu tak ada penjagaan. Seluruh makhluk dari istana itu berlarian hendak keluar untuk merebut raga Melodi.
"Kalian pikir mau ke mana?" gumam Rizwana. Ia mengarahkan tangannya ke arah gapura dengan jari tengah dan telunjuk menempel, lalu mengangkat dua jari itu dengan sedikit hentakkan ke atas.
Rupanya di depan gapura sudah menancap empat tombak miliknya. Ketika tangan Rizwana memberikan perintah, tombak Alam Jagad Raya terangkat dan melesat ke arah pemiliknya. Tombak Alam Jagad Raya melesat diikuti gelombang ombak besar yang menghempaskan banyak prajurit lawan. Dari ombak itu muncul sebuah gerbang raksasa. Rizwana menangkap tombaknya dengan mulut.
"Pinjamkan aku pasukanmu, Nyi Roro Kidul."
Gerbang terbuka. Dari dalam gerbang itu muncul pasukan Laut Selatan milik Nyi Roro Kidul. Rizwana membuat dua kerajaan itu saling berhadapan.
Belum sampai di situ, Rizwana menancapkan dua tombak ditangannya dan memanggil dua tombak lainnya. Seketika itu hujan darah dan badai muncul di Alam Durjana. Laut biru menjelma merah darah. Rizwana seorang diri meluluhlantakkan sebagian besar pasukan setan.
Di tengah hujan darah, Rizwana menatap langit hitam dengan napas terengah-engah. Kepalanya mendadak pusing. Alam Durjana melemahkan makhluk fisik yang berada di dalamnya.
"Sisanya tinggal gimana kalian berdua nulis akhir cerita di ujung malam ini."
***
Berpindah pada Cakra dan Radika yang sudah tiba di dalam istana. Mereka berdua turun dari tubuh Jaran Peteng dan berpencar untuk mempersingkat waktu. Cakra berlari ke kiri, Radika ke kanan, sementara Jaran Peteng mengambil jalan lurus.
Setelah berjalan cukup dalam, Jaran Peteng memperlambat langkahnya. Ada aura tak sedap dari arah depan.
"Setelah kehilangan kerajaanmu, kau jadi peliharaan manusia ya, Jaran Peteng?" ucap suara berat di balik kegelapan.
Jaran Peteng menghentikan langkahnya. "Lama tak berjumpa, Burisrawa."
Burisrawa merupakan Raja di kerajaan ini. Makhluk itu berperawakan besar seperti raksasa dan berwajah setengah iblis. Kulitnya berwarna kemerahan, ia juga memiliki taring yang cukup panjang dan tajam.
"Gadis itu milikku, Jaran Peteng," ucap Burisrawa.
Jaran Peteng terkekeh. "Gadis itu adalah rekan seorang Sagara. Kau tahu artinya, Burisrawa?"
Mendengar nama Sagara, mata Burisrawa berkedut. "Jika memang begitu, kenapa tidak Sagara itu saja yang datang sendiri?"
Jaran Peteng mengangkat kapak besar di tangannya. "Dia tidak perlu mengotori tangan sendiri dengan darah kotormu."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top