11 : Polycoria
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Hingga Mantra Coffee tutup, Harits masih tak sadarkan diri. Ia berbaring di ruang tengah lantai dua. Deva menatap Cakra yang sama khawatir dengannya. Merasa ditatap, Cakra menoleh ke arah Deva.
"Gimana nih, Dev?"
"Kubur dah," jawab Deva.
Cakra terkekeh. "Ya udah, suruh si Kevin gali kubur kalo gitu."
Mereka berdua masih sempat bercanda dan menertawakan kekhawatiran yang mereka pendam.
"Deva, Cakra, gimana keadaan Harits?" tanya Melodi yang mengintip bersama Nada dari pintu. Kedua gadis itu tak berani masuk ke daerah yang memang bukan wilayahnya.
Deva berjongkok dan menampar-nampar pipi Harits. "Kagak bangun-bangun."
"Deva ih!" Melodi cukup dibuat geregetan oleh kelakuan Deva. "Kasian si boncel."
"Iya, iya bercanda. Pelan juga kok namparnya," balas Deva sambil tersenyum.
"Permisi." Kevin datang melewati Melodi dan Nada masuk ke dalam ruang tengah. Ia menghampiri Deva membawa tiang infus dan juga infusannya.
"Nah, kayak Kevin tuh baik!" ledek Melo sambil memeletkan lidah pada Deva.
Deva hanya terkekeh. Sebenarnya Deva yang menyuruh Kevin untuk mengambil infusan tersebut di bagasi mobil. Hanya saja Deva tak ingin menunjukan hal baik itu pada Melodi. Perlahan ia menjelma Harits yang seperti Robin Hood.
Meskipun Deva yang menyuruh, tetapi tentu saja Kevin sebagai jurusan kedokteran yang paling paham bagaimana cara memasangkan alat tersebut. Tanpa basa-basi Kevin segera mencari pembuluh vena Harits dan menancapkan jarum infus ke titik yang seharusnya.
"Abis ini di tinggal di sini aja ini orang, Vin?" tanya Cakra.
Kevin mengangguk.
"Paling pakein aja selimut, takut dia kedinginan," celetuk Melodi.
"Cie perhatian," ledek Deva.
Melodi melotot. "Kalo dia mati, kita yang ribet, DEVA!"
"Kenapa kita yang ribet?" tanya Nada heran.
"Kamu mau nguburin si Harits?" tanya Melodi balik.
"Tinggal dikubur," jawab Nada enteng.
"Udah tenang aja deh, Harits enggak akan kenapa-napa kok," ucap Deva. "Kalian kembar psikopat istirahat aja gih. Besok udah pada masuk, kan? Inget, jauh loh kampus kalian, terutama kamu, Mel."
Melodi menghela napas. "Iya, iya, ini mau istirahat kok." Ia dan Nada turun dan kembali ke kamar.
"Bawah udah dikunci-kunciin, Vin?" tanya Deva.
"Udah," jawab Kevin singkat.
"Oke deh." Deva berjalan ke pintu dan menutup pintu lantai dua, lalu menguncinya. "Kita juga harus istirahat."
Baru saja Deva hendak menuju saklar untuk mematikan lampu, tiba-tiba lampu itu mati dengan sendirinya sebelum Deva mematikannya.
"Lah, mati lampu?" tanya Deva heran.
"Kayaknya," jawab Cakra.
Deva menatap ke arah jendela. "Tapi di luar terang, Cak," lanjut Deva.
Memang jika dilihat keluar jendela, di luar sana terlihat terang. Bukan sekadar cahaya bulan, tapi memang cahaya lampu taman dan lantai bawah. Seharusnya jika ada pemadaman listrik, keadaan akan lebih gulita daripada saat ini. Namun, di tengah heran itu lampu tiba-tiba nyala kembali.
Satu, dua, tiga, empat, lima. Deva, Kevin, dan Cakra ... mereka bertiga menatap pada sosok selain Harits yang berdiri di tengah-tengah mereka. Keadaan mendadak akward. Namun, selang beberapa detik, nalar mereka kembali bekerja.
"SETAN!" teriak Cakra. Mereka bertiga berlari meninggalkan Harits masuk ke dalam kamar Cakra. Tak ada yang mau berpisah, mereka bertiga bersandar di balik pintu dengan rasa takut yang sama.
"Itu tadi siapa anjir?" tanya Deva, "kan enggak mungkin Melodi."
Kevin menggeleng tak tahu, tetapi tidak dengan Cakra.
"Waktu gua pertama nginep di sini, itu dia yang ngajak kenalan," jawab Cakra.
"Gua kira kalo rame enggak akan diganggu," balas Deva.
"Enggak tahu gua," timpal Cakra.
"Harits gimana?" tanya Kevin.
Mereka bertiga saling berpandangan. "Coba liatin, Vin," suruh Cakra.
Kevin menggeleng. Rupanya ia hanya tampan, tetapi cukup pengecut jika menyangkut hal ghaib.
Tiba-tiba Deva mengulurkan tangan. "Gambreng dah."
Ketika mereka bertiga hendak melakukan hompimpa untuk mengintip keadaan di depan, tiba-tiba saja suara decit pintu lemari tua terdengar. Ketiga pasang mata itu sontak menoleh ke arah lemari. Pintu lemari tua tersebut terbuka sendiri secara perlahan.
Deva yang berada di pinggir refleks membuka pintu dan berlari keluar sebagai kepala dibuntuti oleh Kevin dan Cakra. Namun, tak berselang lama langkah itu kembali berhenti ketika mereka bertiga menatap Harits yang duduk dengan wajah datar seolah melamun menatap ke arah jendela.
"AAAAAAAA!" teriak Deva.
Harits terlihat kaget dan langsung menatap Deva dan kedua temannya. "Apa sih anjing, kaget!"
Dari gelagatnya mereka bertiga paham bahwa itu adalah Harits yang asli, sontak mereka pun berlari ke arah Harits dan bersembunyi di belakang pria itu. Harits yang merasa risih langsung mendorong Deva, Cakra dan Kevin.
"Apa-apaan sih idiot! Aneh lu pada."
"Ada setan di kamar lu," ucap Deva.
Harits menatap ke arah kamarnya. Ia melihat dua sosok yang sedang berdiri menghadap ke arahnya. Satu sosok wanita kisaran usia sekolah dasar, dan satu sosok laki-laki kisaran usia taman kanak-kanak.
Memang, si gadis kecil itu terlihat menakutkan, tetapi tidak dengan si laki-laki kecil. Ia tampak tertawa melihat Deva dan kawan-kawan yang ketakutan.
"Lagi, lagi, lagi," ucap anak itu.
Begitu anak itu merengek, sontak lampu kembali berkedip. Namun, kali ini jendela tiba-tiba terbuka dan terbanting ke dinding dengan keras.
"Bangsat!" Deva kaget dengan jendela yang terbanting di belakangnya. Pria gondrong itu bergeser ke sebelah.
Anak laki-laki itu tampak senang, jelas sekali ia tertawa bahagia. Seketika itu juga wajah seram si gadis berubah menjadi gadis manis berwajah pucat. Ia tersenyum sambil mengusap kepala anak laki-laki yang berada sedikit di belakangnya.
"Gimana? Serem enggak Kakak?"
Anak laki-laki itu mengangguk. Ia menatap ke arah Deva dengan kedua tangan tertekuk seperti tyrannosaurus rex. Wajahnya dibuat seolah-olah menyeramkan, padahal tidak.
"Uwaaaa!" Ia mencoba menakut-nakuti para manusia di depannya, tetapi kemampuannya belum cukup untuk menampakkan diri.
Harits bingung. Apanya yang menyeramkan? Baginya mereka berdua seperti anak-anak yang sedang bermain hantu-hantuan.
"Lu pada takut ama gituan?" tanya Harits.
Cakra memicing. "Gituan?"
"Kemampuan lu udah balik, Rits?" tanya Deva.
Harits baru menyadari sesuatu. Di mata manusia biasa mungkin hantu-hantu ini menyeramkan, tetapi rupanya jika di lihat dari sisi yang berbeda, hantu-hantu itu hanya sedang bermain. Tidak ada yang menyeramkan. Yaaaa ... mungkin itu hanyalah cara mereka bersenang-senang.
Si anak laki-laki menarik piama putih kakaknya. Ia menatap Harits ketakutan. "Kak, olang yang itu bisa lihat kita ya?"
Si Kakak memandang mata Harits. "Enggak kok, emang enggak sengaja aja dia natap kita." Dua arwah itu bergeser ke kanan dan ke kiri. Namun, semakin mereka bergerak, lirikan Harits ikut berpindah mengikuti arah gerak mereka.
"Lu ngapain si pada mondar-mandir kayak ingus di tarik ulur?" tanya Harits pada kedua sosok itu.
Pada satu titik mereka berdua terdiam. "Ka-ka-kabuuul!" si anak laki-laki berlari masuk ke kamar Harits dan bersembunyi di lemari tua. Sementara itu si sosok gadis masih berdiri menatap sinis.
"Kamu bisa lihat kita?" tanya gadis itu, "wajar sih, kamu emang punya pasukan. Sudah aku duga, kamu bukan orang biasa."
"Pasukan?" Harits menatap sekeliling, tetapi tak ada siapa pun kecuali ketiga temannya yang masih ketakutan. Harits menunjuk ketiga temannya. "Ini pasukan?"
Gadis itu menggeleng. "Bukan mereka."
Dari interaksi barusan, Deva mendapatkan sebuah informasi berharga. Ia yakin 1000% bahwa Harits sudah mendapatkan matanya kembali. Perlahan rasa takutnya mulai pudar. Tidak ada yang lebih bisa diandalkan daripada Harits jika menyangkut hal-hal beraroma ghaib.
Harits beranjak dari duduknya, ia berjalan ke arah gadis itu. "Selama ini lu yang udah gangguin temen-temen gua?"
Gadis berwajah pucat itu terdiam tak mau menjawab. Melihat ekspresinya, Harits refleks menoleh ke arah lemari di kamarnya dan berjalan mendekat ke sana. "Kalo lu enggak mau ngomong, mungkin yang satunya mau."
Gadis kecil itu mengarahkan tangannya ke arah pintu, tiba-tiba pintu kamar tertutup dengan keras membuat ketiga pecundang di ruang tengah terkejut dan berlari ke arah pintu utama untuk keluar. Namun, gadis itu tak membiarkannya, ia menggeser sebuah kursi dari kejauhan hingga menghalangi pintu.
Harits tersenyum melihat gadis itu. "Ceritanya sakti gitu?"
Wajah gadis itu berubah. Ia terlihat menyeramkan dengan kedua mata berlubang. "PERGI KALIAN DARI RUMAH KAMI!" bentaknya disertai angin kencang yang dirasakan oleh semua orang yang berada di ruangan. Bulu kuduk mereka bergidik ngeri termasuk Harits.
Pria bertopi biru itu meregangkan tangannya sambil menutup kedua mata. Kini ia mampu merasakan aliran atma lagi dan mengumpulkannya di pergelangan tangan. Harits menghela napas sejenak, lalu membuka mata perlahan dengan tangan kanan yang siap untuk melenyapkan sosok di hadapannya. Begitu matanya terbuka, mata kirinya tiba-tiba berbeda dengan mata yang kanan. Mata itu memiliki iris kebiruan dengan pupil ganda berwarna hitam.
Kini giliran gadis itu yang dibuat bergidik ngeri oleh mata Harits. Berbeda dengan Tomo yang mengidap Heterochromia sehingga kedua irisnya memiliki warna yang berbeda. Setelah disentil oleh Tomo, dalam kondisi tertentu Harits mengidap Polycoria yang membuatnya memiliki lebih dari satu pupil dalam satu mata.
"ENYAH!" Gadis itu mengarahkan tangannya pada garpu di atas meja makan kecil.
"Harits awas!" teriak Cakra yang melihat garpu itu melesat cepat ke arah kepala Harits.
Dengan santai Harits menggeser tipis kepalanya sehingga garpu itu meleset dan menancap di dinding. Tangan Harits segera tergerak untuk membantai gadis kecil di depannya, tetapi pintu lemari tiba-tiba terbuka. Sosok anak laki-laki kecil itu berdiri di depan si gadis sambil menangis. Meskipun ketakutan setengah hidup, ia tak meninggalkan kewajibannya sebagai laki-laki yang melindungi seorang gadis, meskipun gadis itu adalah kakaknya.
"Jangan!" teriak anak laki-laki itu sambil menutup mata karena takut pada Harits.
Si kakak memeluk adiknya dan berputar arah berusaha melindungi adik kecilnya. Mereka berdua saling memindungi satu sama lain.
Sejenak Harits teringat akan dirinya dan Ghina di masa lalu. Ada keraguan dalam dirinya, tetapi tangan itu sudah terlanjur melesat.
Harits terbelalak ketika tangannya berhenti bergerak. Ada eksistensi lain yang mencengkeram tangannya sehingga gagal untuk melenyapkan dua hantu kecil itu. Ia menatap sosok tersebut dengan sorot mata penuh ketakutan.
Sosok tersebut menatap Harits tak kalah tajam sambil menahan tangan Harits. Keluar asap dari telapak tangannya akibat gesekan dengan atma yang menyelubungi tangan Harits.
"Kedua makhluk ini bukanlah roh jahat. Mereka hanya anak-anak yang usil," ucapnya. Sosok tersebut menatap ke arah dua arwah anak-anak yang takut pada Harits. "Karena kebangkitan matamu, gadis kecil ini merasa terancam dan mulai menyerang."
Harits masih terdiam menatap pria dengan topi fedora berwarna hitam dan setelah jas hitam di sebelahnya.
"Malaikat maut, Yama," gumam Harits lirih.
Tentu saja mendengar kalimat 'malaikat maut' keluar dari mulut Harits membuat Deva, Cakra, dan Kevin semakin tegang.
Yama melirik ke arah belakang Harits. "Silakan saja tanya pada mereka. Karena ada sedikit benturan, mereka jadi tergerak untuk melindungi Rajanya."
"Mereka?" Harits menoleh ke belakang. Ia terdiam melihat apa yang ada di belakangnya.
Dari jendela terlihat banyak mata merah mengintip. Bukan hanya itu, seorang anak laki-laki berjubah hitam duduk di jendela mengamati Harits. Di sebelah anak itu ada makhluk berkaki kuda, bertubuh manusia, dan berkepala banteng. Benturan antara Harits dan anak gadis itu yang memancing mereka untuk bergerak melindungi Tuannya.
Rupanya pasukan yang dimaksud anak gadis itu, 'mereka' yang dimaksud Yama, dan makhluk yang pernah Harits tanyakan pada Sekar adalah makhluk-makhluk dari penjara jiwanya dahulu. Mereka tak pernah pergi dan selalu setia mengikuti Harits meskipun Harits tak pernah menyadarinya. Mereka semua mengakui bahwa Harits adalah Raja mereka.
Atma di tangan Harits menguap, ia menyentuh matanya yang perlahan berkaca-kaca. Masih teringat jelas dalam ingatannya perihal kenapa ia menghancurkan buku penjara jiwa miliknya. Hal itu ia lakukan semata-mata untuk melindungi seorang arwah yang ia anggap sahabat.
"Yo," sapa anak berjubah hitam dengan senyum ganasnya.
"Jika kedua anak ini memang memiliki niat jahat, pasukanmu pasti sudah melenyapkan mereka dari awal," lanjut Yama, "Dalam kasus ini, kedua anak ini hanya ingin bermain-main. Ada cara yang lebih etis daripada melenyapkan mereka. Kau manusia, kan? Yang katanya punya hati nurani. Sebaiknya kau bicarakan saja baik-baik dengan mereka. Manusia dan roh akan selalu hidup berdampingan. Hanya saja terkadang ada hal-hal yang tidak bisa dipahami karena kalian tidak bisa berinteraksi. Tugas orang-orang sepertimu adalah menjadi perantara yang memahami mereka, bukan menghakimi." Yama masih menatap tajam pada sepasang bola mata Harits. "Menghakimi mereka bukanlah tugasmu. Itu adalah tugas Maut."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top