10 : Sang Penolong
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Harits bernapas dengan tergopoh-gopoh. Mengingat masa lalu yang sempat ia lupakan rupanya menguras tenaga. Kini ia sudah berada di bawah pohon mati lagi. Matanya menyorot pada Mikail yang masih terlihat duduk dengan santai.
"Lu tau kalo suatu saat gua pasti bakal dateng lagi?" tanya Harits.
Senyum tipis itu berubah menjadi seringai.
"Gua anggap ekspresi lu itu bermakna 'iya'," ucap Harits, "jadi sekarang gua mau ambil barang yang selama ini gua titip."
Mikail bangkit dan berjalan mendekat pada Harits. Ia menyentuh dagu Harits dengan punggung tangannya dan membuat pria bertopi biru itu mendongak ke arah wajahnya. "kau tahu, kan? Tidak ada yang gratis di dunia ini. Alam Suratma pun punya prinsip yang sama, hanya saja bukan uang bayarannya."
Mikail mundur dua langkah, lalu berjalan kembali mengitari Harits dengan pelan. "Manusia dan arwah itu memiliki dunia yang berbeda. Sejatinya manusia hanya bisa melihat manusia lain dan dunianya. Namun, arwah tidak begitu ... mereka mampu melihat sesama arwah dan juga dunia manusia. Wajar, mereka pernah tinggal di sana. Pertanyaannya adalah, kenapa ada segelintir orang yang mampu melihat arwah?"
Harits terdiam. jawaban itulah yang ia ingin ketahui. Rahasia di balik mata Sagara dan para indigo.
"Jawabannya sederhana," gumam Mikail, "yang bisa melihat eksistensi arwah hanyalah arwah lainnya."
"Maksudnya apa?" tanya Harits.
Mikail tersenyum. "Secara tidak langsung, ada manusia yang diwariskan arwah leluhurnya sehingga mereka dicap indigo karena bisa melihat sosok arwah gentayangan lewat roh leluhur tersebut. Keluarga Sagara adalah contoh nyatanya. Keluarga Sagara bisa melihat mereka yang tak terlihat karena secara turun temurun mewarisi roh leluhur itu" Mikail masih berjalan mengitari Harits. "Sebagian lain ada yang mencari arwah lewat ritual-ritual khusus sehingga mereka memperoleh pengelihatan astral dari sebuah perjanjian. Dan sebagian sisanya ada yang secara tak sadar disukai oleh suatu eksistensi arwah, sehingga arwah tersebut menempel dan membuat manusia itu mampu melihat apa yang sebelumnya tidak bisa ia lihat dengan mata biasa."
"Gua enggak inget ada yang begitu," ucap Harits, "seharusnya gua tau kalo ada arwah yang ngintilin gua selama ini."
Mikail menunjuk matanya. "Wajar saja. Arwah itu bersemayam di matamu. Kau tidak bisa melihat sosok itu karena ia sudah menjadi bagian dari dirimu sendiri."
"Jadi, apa bayaran buat mata yang lu ambil?" tanya Harits.
Mikail kini terlihat datar. "Sayangnya tidak ada. Mata ini tidak bisa ku kembalikan."
"Terus apa gunanya gua ke sini dong?"
"Aku bilang ada bayaran untuk mengembalikan penghelihatan astral. Bukan bayaran untuk mengembalikan mata ini."
Harits memicing. "Apa maksudnya?"
"Selain lewat leluhur, ada juga ritual yang bisa digunakan untuk memperoleh mata itu. Kau hanya perlu arwah lain."
"Langsung aja ke intinya, apa yang lu mau dari gua? Dan gimana cara gua dapet pengelihatan astral lagi?"
Mikail menyeringai. "Bawa aku keluar dari tempat ini. Aku akan menyediakan semua yang kau butuhkan."
Harits berjalan mengikuti arah putaran langkah Mikail. Mereka saling bertatapan sambil terus melangkah sesuai arah jarum jam. "Kayaknya perbincangan kita cukup sampe di sini."
Raut wajah Mikail berubah dingin. "Kau yakin?"
"Tidak ada kesepakatan dengan Iblis," jawab Harits. Merasa cukup, ia membunyikan lonceng yang diberikan Agha sebagai jalan keluar.
"Apa kau yakin mau pergi begitu saja?" tanya Mikail.
Dari arah belakang Harits, banyak kunang-kunang bermunculan dan melayang di sisi kanan dan kiri. Kunang-kunang itu menyambut dengan nyala bagaikan lampu jalan yang hendak menemani dan menerangi jalan Harits.
"Aku tanya sekali lagi, kau yakin ingin pergi begitu saja?" lanjut Mikail.
Harits menoleh ke belakang. Dari kejauhan terlihat seorang berjubah merah yang sedang menggenggam lentera. Orang itu berjalan di tengah jalur kunang-kunang mendekat ke arah Harits.
Pria bertopi biru itu memutar tubuh dan hendak melangkah pergi, tetapi tiba-tiba dari arah belakang ia merasakan ada aura yang tak menyenangkan dari Mikail. Sontak ia menoleh kembali. Namun, Mikail dan pohon mati yang menjadi tempatnya singgah sudah tak berada di sana. Kabut suratma semakin tebal menutupi pandangan Harits.
Begitu Harits kembali menoleh, ia dikejutkan dengan wajah Mikail yang sudah berada di hadapannya dengan raut gusar.
"Jalan mu hanya satu," ucap Mikail. Dari kedua matanya keluar darah yang mengalir ke tanah Alam Suratma.
Harits terbelalak ketika mendapati sungai merah yang menjadi penghalang dirinya menuju jalur kunang-kunang. Banyak tangan seperti ingin meminta tolong dari dalam sungai tersebut. Sedetik yang lalu tak ada sungai itu di sana.
"Apa-apaan ini?" tanya Harits lirih. Pemandangan ini cukup mengerikan bagi Harits. Terdengar gumam-gumam lirih jeritan meminta tolong dari sungai itu.
"Pria yang di sana itu adalah klien ku," ucap si orang berjubah merah di sebrang sungai. "Aku datang untuk menjemputnya."
"Biarkan anak ini yang memilih," balas Mikail. "Jika ia ingin pergi bersamamu, silakan sebrangi sungai kematian itu sendiri."
Orang berjubah merah hendak melangkah untuk menjemput Harits, tetapi langkahnya terhenti ketika Mikail menatapnya tajam dari sisi sungai yang berlawanan.
"Di sini bukan wilayahmu. Melangkah sedikit saja, aku akan membuatmu binasa," ucap Mikail memberi peringatan.
Orang berjubah merah mundur satu langkah sambil menoleh ke arah Harits. "Maaf, saya hanya bisa menunggu di sini, Tuan."
Harits meneguk ludah dengan keringat bercucuran melihat sungai itu. Mana mungkin orang normal bisa menyebrangi sungai merah tersebut dengan selamat. Pertama Harits tak tahu sedalam apa sungai itu, dan yang kedua sudah jelas ... tangan-tangan itu sepertinya tidak akan tinggal diam jika Harits memutuskan untuk menyebrang.
"Lu cukup licik ternyata," ucap Harits.
Mikail bergeming menatap orang berjubah merah. Ia berucap pada Harits, "Di tempat ini hampir tidak ada bedanya dengan dunia manusia. Roh di Alam Suratma pun memiliki kubu tersendiri dan memiliki teritori yang tidak bisa sembarangan disebrangi. Yang membedakan antara dunia manusia dan Alam Suratma adalah, tempat ini seperti rubik yang bisa berubah sewaktu-waktu. Di satu waktu kau berada di satu titik, tetapi sedetik kemudian kau bisa berada di titik yang lain. Begitulah caramu bisa sampai padaku."
"Dengan kata lain, setiap jiwa memiliki kehendak sendiri ingin berada di titik mana, bukan?" tanya Harits.
"Ingat ini baik-baik, bocah." Sejenak Mikail menghentikan ucapannya. "Semua yang terdengar mudah, tidak semudah yang terdengar."
"Satu pertanyaan sebelum gua menentukan langkah berikutnya." Harits menatap Mikail dengan sorot mata yang tajam. "Apa yang akan lu lakuin ketika lu keluar dari Alam Suratma dan kembali ke dunia manusia?"
Mikail berekspresi datar. Ia berlutut di hadapan Harits dengan tampanh super serius. "Aku ingin melayani seorang Sagara dari era ini."
Harits mengerutkan hidung sehingga kedua matanya menyipit aneh. "Cita-cita bastard macam apa itu?" Ia merasa aneh dengan jawaban Mikail dan memutuskan untuk menyebrangi sungai merah itu saja.
Namun ...
"Wah bangsat! Aernya dalem!" Begitu ia tercebur, sosok Harits tak muncul kembali.
Mikail menatap gelembung di air dengan mulut menganga dan mata membulat utuh, seolah tak percaya bahwa dengan gampangnya Harits lebih memilih hal yang ekstrim ketimbang memiliki bawahan seperti dirinya.
***
Harits yang tenggelam di sungai kematian tiba-tiba membuka mata. Ia bangun dengan napas terengah-engah. Tempatnya berada kini berbeda dari tempat yang sebelumnya. Tak ada Mikail, tak ada orang berjubah merah. Ia berbaring di teras awan. Ada seorang pria yang berdiri membelakanginya tak jauh di depan Harits.
"Tuhan .. apa itu kau?" tanya Harits.
Pria itu berbalik arah dan menatap Harits dengan mata memicing.
"Lu goblok ya?" tanya pria itu, "persis bokap lu dulu."
Wajah itu cukup familiar bagi Harits. Seorang pria kurus dengan rambut berwarna abu-abu. Hal yang paling unik dan cukup membuat Harits mengingat sosok tersebut adalah kedua matanya yang memiliki warna berbeda.
Sosok pria itu merupakan arwah Zahran Utomo. Tomo yang menyelamatkan Harits dari sungai kematian dan membawanya pergi.
"Gua paham kenapa lu ada di sini sekarang. Gua juga paham lu orang yang baik, jadi gua mau bantu."
"Bantu apa?" tanya Harits yang mendadak bodoh.
Tomo menunjuk matanya yang berwarna kebiruan. "Pengelihatan astral, kan?" Ia berjalan mendekat pada Harits. Begitu jaraknya tipis, Tomo berjongkok menatap Harits yang masih terduduk linglung.
"Caranya?"
Tomo tersenyum menimpali pertanyaan Harits. Ia menyentil pelan kening bocah di hadapannya. "Sampai bertemu lagi."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top