Mantra Coffee : Operasi Kopi Tubruk

Yogyakarta, 16 Agustus 2014

Pagi ini syahdu. Seorang pria berkaus hitam lengan buntung sedang duduk menikmati secangkir kopi hitam tanpa cumbuan gula. Ia adalah Dirga Martawangsa. Barista sekaligus pemilik Mantra Coffee yang terletak di Maguwoharjo.

"Besok kan hari ulang tahun kemerdekaan negara kita. Dekor kafe yuk," ucap seorang pria bertopi beanie cokelat yang sedang menggambar di kertas menggunakan sebatang pensil.

Dirga membuang asap rokok, dan meletakkan rokoknya di pinggir asbak. "Ribet."

Andis Sagara, pria itu memicingkan matanya. "Yeh, kita itu harus mengingat jasa para pahlawan, Dir."

"Gua inget, cuma enggak perlu repot-repot dekor. Paling juga seminggu doang, terus dekor ulang kalo vibes nya udah lewat. Capek."

Andis menghela napas. Ia menatap pria dengan rambut berpotongan tipis di pinggir yang sedang duduk membaca buku. "Lu ikut, Jay?"

Fajar Utomo, atau yang akrab dipanggil Ajay itu menoleh ke arah Andis. "Ke mana?"

"Dekor kafe jadi nuansa kemerdekaan."

"Ikut aja," jawab Ajay.

"Kalo lu?" Kini Andis menatap satu pria terakhir. Seorang pria bersarung tangan hitam yang sedang duduk bermain konsol permainan. Pria paling putih, tinggi, dan tampan di antara mereka bertiga.

Retsa Pratama namanya. Ia hanya mengacungkan jempolnya tanpa kata, tanda setuju. Tama memang pendiam, atau lebih tepatnya hemat bicara. Baginya, diam itu emas. Ya, benar saja, sebagian wanita memanggilnya emas Tama.

Andis menatap Dirga. "Kalah suara lu, Boy!"

Dirga menatap balik dengan sinis. "Kan gua bilang gua enggak ikut. Terserah lu semua mau ngedekor, enggak apa-apa. Ini bukan musyawarah, jadi enggak ada voting. Gua enggak ikut."

"Nasionalis dikit dong. Enggak ada salahnya memeriahkan hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia, kan?"

"Nasionalis ...," ucap Dirga sambil terkekeh. "Lu obrolin dah tuh tentang jiwa nasionalis sama para pejabat biar hukum di negeri ini enggak tajem ke bawah dan tumpul ke atas. Banyak rakyat yang belum merasa merdeka, Dis. Dijajah ape? Dijajah bangsanye sendiri. Tragis kagak tuh? Nangis para pahlawan ngeliat portet bangsa saat ini."

"Jangan bawa-bawa pejabat dulu. Semua dimulai dari diri kita sendiri, Dir. Tumbuhin dah tuh rasa nasionalis dalam diri lu biar kelak nanti anak-anak kita dan generasinya bisa lebih baik dalam mengaplikasikan makna kemerdekaan," balas Andis.

Di tengah perdebatan itu tiba-tiba waktu berhenti untuk mereka semua. Seorang pria bermahkota, dibalut jubah hitam masuk ke dalam Mantra Coffee menatap keempat orang yang sedang mematung. Ia mengeluarkan sebuah kotak hitam dan meletakkannya di antara Dirga dan Andis. Pria itu membuka tudung jubahnya dan tersenyum menatap mereka berempat. Rupanya ia adalah Erzullie, Sang Dewa Semesta Mantra!

"Belajarlah dari masa lalu." Ia menjentikkan jarinya.

"Ya terserah lu deh, Dis. Gua ...." Dirga menghentikan kalimatnya. Ia memicingkan matanya menatap kotak hitam di lantai, tepat di antara dirinya dan Andis. "Kotak apaan nih, Dis?"

Andis menatap tak kalah heran. "Lah, mana gua tau."

"Perasaan tadi enggak ada." Ajay mendekat ke arah mereka berdua.

Tama yang penasaran pun ikut merapat. Mereka berempat saling bertukar tatap. Hingga Dirga berjongkok dan mengambil kotak itu. Ia menatap ketiga sahabatnya, ketiga orang itu mengangguk pelan. Dirga meneguk ludah, dibukanya kotak hitam misterius tersebut.

"Enggak ada apa-apaan," ucap Dirga menatap kotak hitam yang rupanya kosong itu.

"Lah, diprank setan," timpal Andis.

DUAAAR!

Suara ledakan sontak membuat mereka terkejut dan langsung berlari keluar. Dirga terbelalak menatap keadaan di luar.

"Holly shit ...."

Sebuah hal aneh di luar nalar terjadi. Dirga dan teman-temannya sedang melihat tempat yang berbeda dengan yang seharusnya. Tak ada jalanan ring road di depan ruko mereka. Hanya ada rumah-rumah jadul dengan bata merah dan pohon-pohon menjulang. Rumah-rumah itu hanya dilindungi oleh pagar kayu.

"Dir!"

Dirga refleks menoleh ke arah Ajay. Pria itu sedang menatap ke belakang, arah tempat tinggal mereka. Dirga berpindah tatap mengikuti arah pandang Ajay.

"What the ...." Dirga memegangi kepalanya.

Istana kopi mereka hilang. Kini hanya tersisa rumah dengan bata merah yang separuh hancur.

"Steek je hand omhoog!"
"Angkat tanganmu!"

"Wasu! Kaget," ucap Ajay yang melihat beberapa orang berpakaian tentara berjalan ke arah mereka sambil menodongkan senapan. Dari parasnya, para tentara ini bukanlah orang Indonesia.

"Prank?" tanya Andis.

Melihat mereka berempat tak ada yang mengangkat tangan, salah seorang prajurit menembak.

Dor!

"Ayam! Ayam!" Ajay refleks mengeluarkan latah no jutsu nya.

"Oi ...." Mereka bertiga menatap ke arah Tama. Pria pendiam itu kini bicara sambil menunjuk batang pohon yang berlubang akibat tembakan barusan.

"PELURU BENERAN, SLUR! LARI!" Dirga berteriak menyuruh rekan-rekannya kabur. Sementara ia masih menatap para tentara asing ini. Dirga tak akan lari sebelum ketiganya pergi duluan. Ia adalah pemimpin, tapi menolak berdiri di depan. Sebab ketika ia berdiri di depan, Dirga tak tahu apa yang terjadi di belakang. Ia tak bisa melindungi punggung sahabatnya.

Andis, Ajay, dan Tama lari, disusul Dirga di belakang. Mereka berlari sambil ditembaki oleh orang-orang ini. Sebuah peluru melubangi topi beanie yang dikenakan Andis.

"Mamak! Tolongin Andis, Mak!" Andis berlari sambil menangis. Ia masih belum mau mati.

"Otaknya si Andis ketembak! Lari lebih cepet!" teriak Dirga.

Mereka berempat memacu kakinya untuk berjuang, berlari, dan melampauinya. Hingga dari balik pepohonan tiba-tiba muncul orang-orang bersenapan lainnya.

"Mampuslah kita ...," gumam Dirga lirih.

"Justru sebaliknya, mampuslah mereka," timpal Ajay.

Dirga mengerutkan keningnya, tak mengerti dengan ucapan Ajay.

Orang-orang bersenapan yang muncul ini langsung mengarahkan moncong senapannya ke arah para tentara asing. Dalam waktu singkat, mereka dapat dilumpuhkan.

Sementara itu mereka berempat langsung terduduk dengan napas terengah-engah. Andis masih gemetar akibat peluru yang melubangi topinya. Turun beberapa inci saja, tengkoraknya yang berlubang.

"Dari mana lu tau kalo mereka sekutu?" tanya Dirga.

"Mukanya enggak bule," jawab Ajay.

"Cepat mengungsi! Di sini berbahaya!" ucap seorang pria yang berjalan ke arah mereka. Pria itu diikuti oleh para tentara yang tadi bersembunyi dan menyergap musuh.

Dirga dan ketiga lainnya saling bertatapan. Mereka kenal pria ini dari buku pelajaran sejarah. "Jendral Soedirman ...," gumam mereka lirih secara bersamaan.

Ya, sosok pria itu adalah Jendral Soedirman dan pasukan geriliyanya. Dirga menghampiri salah satu pejuang. "Maaf, sekarang tahun berapa, ya?"

Orang itu mengerutkan keningnya. "Sekarang tahun 1948."

"Sekarang tahun 1948 dia bilang ...," ucap Dirga semakin bingung.

"19 Desember 1948. Agresi militer kedua di Yogyakarta," tutur Tama. Pria tampan itu menatap ketiga rekannya. "Kita kembali ke masa lalu."

"Hah! Gimana caranya?" tanya Andis.

"Retrokognision ...," jawab Dirga lirih.

Ketiga rekannya menatapnya seakan meminta jawaban.

"Kalo prekognision adalah kemampuan untuk mengintip sekilas masa depan, retrokognision adalah sebaliknya."

Ajay menatap saarung tangan hitam Tama. "Tapi bukannya psikometri adalah kemampuan untuk melihat masa lalu?"

"Masalahnya, kita bukan hanya melihat," tutur Andis yang menunjukkan lubang di topinya. "Kita juga hadir di sini sebagai pelaku sejarah."

"Ya, retrokognision adalah kemampuan untuk kembali ke masa lalu. Gua cuma tau sekilas dan selama ini belum ada yang mampu membuktikan hal ini. Gua pikir kemampuan itu cuma rumor," lanjut Dirga.

"Gua bisa ngeliat mereka yang enggak terlihat," ucap Andis. Kini ia menatap Dirga. "Lu punya prekognision yang bisa ngeliat masa depan, Tama punya psikometri yang bisa ngeliat masa lalu sebuah objek ketika dia nyentuh objek tersebut dengan tangan telanjang, dan Ajay bisa baca emosi manusia. Siapa yang gunain retrokognision sampe kita bisa ada di tahun ini?"

Dirga seakan mengingat sesuatu. Bukan hanya Dirga, mereka secara naluriah langsung saling bertatapan. "Kotak hitam misterius ...."

"Mana kotaknya?" tanya Ajay.

Dirga mengecek seluruh kantong yang ia punya, tetapi tak ada. "Pasti ketinggalan di tempat tadi."

"Mampuslah kita! Terjebak di era penjajahan," timpal Andis.

Dirga menghampiri salah seorang Tentara Nasional Indonesia. "Pak, kita arep neng ndi?"

"Pengungsian," jawab tentara itu.

Dirga menghela napas. "Gua yang akan bertanggung jawab. Nanti kita ketemu di pengungsian." Dirga melompat dari mobil dan berguling di tanah. Mobil sontak berhenti.

"Hey, ngapain?!" tanya seorang tentara.

Pemuda itu berlari ke dalam hutan dan menghilang dari pandangan mereka semua.

"Duh, ribet deh urusannya," ucap Ajay.

***

Singkat cerita, mereka bertiga tiba di tempat pengungsian. Andis, Ajay, dan Tama membaur dengan para pengungsi.

"Gimana nih?" tanya Andis.

"Ya gimana ... nungguin Dirga," jawab Ajay.

Tama yang merasa bosan berjalan-jalan sebentar hingga tak sengaja mendengar percakapan dua orang tentara.

"Bandar Udara Maguwo diserang. Pesawat-pesawat kita hancur. Logistik juga semakin tak memadai. Bagaimana ini?"

"Aku dengar Belanda juga sudah menguasai beberapa wilayah lain selain Maguwo. Berada di sini terlalu lama bukanlah ide yang bagus."

"Kita hanya bisa menunggu perintah dari atas."

Tama kembali pada kedua temannya. "Jay, cari Dirga. Kita enggak bisa nunggu terlalu lama di sini," ucap Tama dengan suara beratnya. Dalam keadaan ini diam bukan solusi.

Ajay menghela napas. Ia duduk bermeditasi dan bernapas dengan ritme tertentu sembari memejamkan mata. Tak lama berselang, ia buka matanya kembali dan berdiri. Ditatapnya Andis, Tama, juga raganya sendiri yang tengah berduduk sila.

Andis yang bisa melihat arwah, kini menatap roh Ajay. "Kabarin secepatnya." Dibalas dengan anggukkan kepala oleh Ajay. Ajay melayang di udara dan terbang menjauh dari mereka berdua untuk mencari Dirga.

Proyeksi astral atau rogo sukmo adalah kondisi di mana roh meninggalkan raga. Ada sebuah tali tak kasat mata yang menghubungkan antara roh dan raga, tali tersebut bernama tali perak.

Ajay menyusuri jalan tadi dan tiba di tempat mereka memulai semua ini. Ia terbelalak menatap seorang tentara Belanda menemukan kotak itu dan membawanya.

"Haish! Dirga mana dah? Diambil bule kan tuh, ah!" Ajay yang pusing memutuskan mengikuti tentara itu.

Di sisi lain, Dirga sedang berdiri di depan seorang gadis. Moncong-moncong senapan mengarah pada mereka.

"Jangan takut ...," gumam Dirga lirih. Ia mendadak melakukan Tari Topeng Malangan. Melihat Dirga yang seperti itu membuat para tentara merasa was-was.

Seorang berpangkat tinggi mengarahkan pistol pada Dirga. "Schieten!" (tembak)

Dor! Dor! Dor!

Mereka semua heran. Sosok Dirga menghilang dari pandangan mereka. 

Seorang tentara menunjuk ke arah cabang pohon. "Daar!" (di sana) Tentara Belanda kembali mengarahkan senapan mereka ke arah cabang pohon yang dimaksud.

Dirga berdiri menggendong gadis itu di depan dengan wajah tertutup topeng berwarna merah. Topeng Tumenggung namanya. Dalam sejekap, Dirga kembali menghilang dari pandangan tentara Belanda.

Gadis itu menatap wajah Dirga yang tertutup topeng sambil tangannya melingkar di leher pemuda itu. Ia kagum pada sosok yang baru saja menolongnya.

"Tinggal di mana?" tanya Dirga.

"Desaku sudah hancur karena mencoba bertahan. Aku satu-satunya yang selamat dari para pejuang. Sisanya di pengungsian."

Dirga tak tahu harus berkata apa. Ia menurunkan gadis itu di balik pohon dekat dengan bangunan pertama kali ia datang. "Tunggu di sini." Dirga kembali menghilang. Ia mencari kotak hitam itu, tetapi tak ia temukan.

"Walah, ilang!" Dirga menggaruk kepalanya. Karena tak menemukan yang ia cari. Dirga kembali pada gadis itu. "Ayo kita ke pengungsian."

"Tidak! Aku tidak akan pergi ke pengungsian. Aku akan berperang."

"Kalo enggak ada aku, tadi mungkin jadi akhir hidup kamu."

Gadis itu membawa sebuah tas. "Namaku Ayu. Aku sudah mempersiapkan diri untuk mati!" Ia menunjukkan bom di dalam tasnya.

"Wah, si paling jihad." Dirga menggeleng.

"Tolong, aku butuh bantuan mu. Dengan kemampuan mu barusan, kau bisa menyusup ke markas Belanda dan meletakkan bom-bom ini. Kita hancurkan mereka."

Dirga menggeleng. "Maaf." Ia berjalan pergi meninggalkan Ayu. Namun, Ayu tak mengikutinya. Hal itu membuat Dirga berhenti melangkah dan menoleh kembali. Ayu justru berjalan ke arah sebaliknya.

"Woy! Mau ke mana?" tanya Dirga.

"Bandar Udara Belanda. Merebut kembali Maguwo," jawab Ayu.

Dirga menghela napas. Ia membalik tubuh dan berjalan mengikuti Ayu sambil menyalakkan rokoknya.

***

Ajay telah kembali pada raganya. Ia bercerita bahwa seorang tentara Belanda membawa kotak hitam itu ke pangkalan udara mereka.

"Kita harus ambil si kotak hitam sebelum itu orang yang pake, dan kita enggak bisa pulang."

"Dirga gimana?" tanya Andis.

"Kita pikirin nanti! Sekarang gimana caranya kita rebut itu barang dulu."

"Lu tau tempatnya?"

Ajay mengangguk menatap Andis.

Andis menyeringai. "Kita jalankan Operasi Kopi Tubruk."

Ajay dan Tama memicingkan mata sambil bertukar tatap heran. Pada satu titik mereka menatap ke arah Andis. "Apaan tuh?"

"Tubruk. Aduk terus sampe mampus!" jawab Andis.

Andis, Ajay, dan Tama mengendap untuk keluar dari pengungsian.

***

Singkat cerita mereka berhasil keluar dan berjalan menuju Bandar Udara Belanda lewat jalur hutan. Di tengah perjalanan mereka melihat tentara Belanda yang sedang membuang air kecil. Ajay dan Andis bertukar tatap.

"Mampus kita ...," bisik Ajay.

Tama mengendap di belakang tentara itu. Membuat Andis dan Ajay meneguk ludah. "Jay, dia ngapain? Mau ngintip?"

"Duh, Tam ... jangan aneh-aneh." Ajay menggaruk kepalanya.

Tama menyekap tentara itu dari belakang sambil menutup mulutnya. Melihat itu. Andis dan Ajay bergeriliya membantu Tama.

Mereka berhasil menumbangkan seorang prajurit. Tama membuka sarung tangannya dan menyentuh orang itu. Sekelibat ingatan terpampang dalam benaknya. Keluar darah dari hidungnya ketika kemampuannya aktif. Pada satu titik, Tama kembali pada sadarnya. "Kertas."

Ajay menggeledah pakaian tentara Belanda dan menemukan selembar kertas, lalu memberikannya pada Tama.

"Pensil," lanjut Tama.

Andis merogoh kantong celananya. Ia menemukan pensil yang ia gunakan untuk menggambar sebelumnya. Tama mengambil pensil dan kertas itu, lalu menggambar sebuah denah berdasarkan psikometrinya barusan. Tama menunjuk titik demi titik. "Ini Gudang Logistik, ini Gudang Peluru, ini Hangar. Orang yang bawa kotak hitam itu ada di Gudang Peluru."

"Gimana cara kita ngambilnya?" tanya Andis.

Ajay dan Tama tampak berpikir.

"Kita ledakin bandar udara mereka dan ambil kotaknya di Gudang Peluru," celetuk Dirga.

"Nah, ledakinnya pake ap ...." Andis tampak berpikir. Ia dan ketiga yang lainnya menatap ke arah Dirga yang muncul tiba-tiba. "What the ... kok lu di sini?"

Dirga melirik gadis di belakangnya. "Tanya dia noh. Kenapa gua ada di sini."

Andis menggeleng menatap gadis itu. "Wah ... kita cariin, malah ena-ena in the forest dia."

"Bego! Kagak begitu. Ini cewek tukang ngerakit bom. Dia bilang mau ledakin bandar udara musuh sendirian buat balas dendam desanya yang dibantai Belanda. Gua enggak bisa biarin dia mati konyol," balas Dirga.

"Ya udah, sekarang gimana?" tanya Ajay.

Dirga menatap gambar Tama. "Coba jelasin lagi seluk beluk markas udara mereka." Tama menjelaskan kembali apa yang ia ketahui.

Dirga mulai memahami area ini. Ia tampak sedang berpikir. Dirga menatap Ayu. "Berapa lama waktu yang dibutuhin buat ngerakit satu bom? Berapa bom yang kita butuhin?"

"Aku punya dua. Kita butuh satu lagi. Mungkin ada sesuatu yang bisa digunakan di Gudang Peluru. Temani aku ke sana. Seumpama bahannya lengkap, bisa dibuat kurang dari sepuluh menit."

"Oke, Sekarang gini. Gua akan mengalihkan perhatian mereka dan ngumpulin mereka di satu titik. Lu semua bantu masang bom ini dengan waktu singkat. Tam, pasang bom di salah satu pesawat yang ada di Hangar sama Gudang Logistik. Jay, Dis, temenin Ayu ke Gudang Peluru dan cover dia. Berapa durasi sampe bom meledak?"

"Tiga puluh detik setelah sumbu terbakar," jawab Ayu.

"Tam, sisain Hangar buat gua. Kasih tanda pesawat yang udah lu pasang bom. Kasih kode kalo semua bom udah selesai dipasang. Kita keluar serempak setelah sumbu dibakar. Tiga puluh detik waktu kita keluar, atau kita mampus."

Semua mengangguk. "Gerak!" ucap Dirga. Semua berpencar mengambil perannya. Sementara Dirga masih berdiri pada posisinya sambil menatap ke arah Bandar Udara Belanda. Ia mengenakan Tumenggung dan menghilang dalam sekejap.

"Hey! Wie is dat?" (hey siapa itu?) Seorang tentara Belanda menatap sesosok pemuda yang sedang berdiri di depan gerbang depan. Penjaga yang menjaga area itu sudah dilumpuhkan.

Dirga secara terang-terangan berdiri di hadapan Belanda. Suara tembakan menjadi garis start teman-temannya. Tama berlari kencang menyusup ke dalam Hangar yang tak terjaga. Semua terpusat pada Dirga. Setelah memasang bom di salah satu pesawat tempur, Tama mengendap untuk sampai ke Gudang Logistik.

Di sisi lain Ayu, Ajay, dan Andis tengah berada di Gudang Peluru. Ayu mengumpulkan bahan dan mulai merakit bom.

"Hey! Wie is dat?" (hey siapa itu?)

"Wah, goblok! Kaget gua." Ajay dan Andis menunduk. "Gimana nih, Dis?"

"Tahan sepuluh menit!" ucap Ayu.

Andis mengeluarkan granat dari dalam kantong. Ia tersenyum menatap Ajay. "Kita jadiin dia orang goreng, Jay."

"Dari mana itu?!" tanya Ajay heran.

"Dari tentara yang kita culik tadi." Andis menarik kunci granat dan melemparnya. Ajay menutup telinga, tetapi matanya menatap tangan Andis yang masih memegang granat. Pemuda bertopi itu salah lempar.

"Bodoh! Manusia bodoh!" ucap Ajay menunjuk granatnya. "Manusia sampah!"

Andis berkeringat dingin. Ia melempar granat itu pada Ajay. "Lempar, Jay! Panik gua. Astagfirullah!"

"Go-go-go-goblok, ye!" Ajay hanya menatap granat itu. "Yeh, meledak dah udah."

"Bodoh lu, Jay! Lempar buru!" ucap Andis menutup telinga.

Ayu yang sudah selesai merakit bom dan menempelnya di Gudang Peluru, berlari merebut granat tersebut, lalu melemparnya ke arah tentara Belanda. "Kalian berdua bodoh!"

Suara ledakan itu ditangkap Dirga sebagai sinyal. Ia segera menghilang dari pandangan pasukan Belanda menuju Hangar. Tama sudah menandai pesawat yang ditempeli bom dengan satu sarung tangannya yang tertinggal.

Ayu, Dirga, dan Tama membakar sumbu bersamaan. Tama dan Dirga aman, tetapi tentara berbondong-bondong berkumpul di Gudang Peluru. Suara ledakan granat memancing mereka untuk datang.

"Gimana ini?!" teriak Andis. Mereka tak bisa kabur. "Mati dong!"

"Lari!" teriak Dirga yang muncul dan menghajar para tentara. Ia mengambil granat dan melemparnya pada kerumunan itu membuat celah untuk mereka bertiga. Andis, Ajay, dan Ayu berlari keluar dari Gudang Peluru.

"Mampuslah kita! Enggak cukup waktu!" ucap Andis.

Api berkobar diiringi ledakan keras.

"Lompat!" teriak Ayu. Mereka bertiga melompat ke depan untuk menghindari ledakan.

Dirga, Ajay, Tama, Andis, dan Ayu menatap pesta kembang api di hadapan mereka. Dirga menunjukkan kotak hitam yang mereka cari. Salah seorang tentara membawanya ketika di Gudang Peluru. Untungnya Dirga melihat itu dan berhasil mencurinya.

Ayu mengambil bendera merah putih dari dalam tas dan mengikatnya pada sebatang bambu, lalu menancapkannya di tanah. Bendera itu berkibar di markas musuh. Tama menatap haru Sang Saka Merah Putih sambil memberi hormat.

"Padamu negeri ...."

Semua menatap Tama yang berkaca-kaca menatap Sang Saka Merah Putih. Tama memejamkan matanya menahan tangis. "Kami berjanji." 

Andis memukul dadanya sambil berdiri tegak. Matanya ikut berkaca-kaca. Perlahan ia pejamkan matanya. "Padamu negeri kami berbakti."

Ajay tersenyum, ia ikut memejamkan mata seraya bernyanyi seperti kedua temannya.  "Padamu negeri kami mengabdi." 

Dirga berdiri tegak dengan air mata yang perlahan gugur. Ia memejamkan matanya yang disetubuhi haru. "Bagimu negeri jiwa raga kami."

https://youtu.be/vUuHn--eB-k

Keadaan hening. Mereka perlahan membuka mata dan saling melempar tatap. Aroma kopi dan roti memenuhi hidung mereka. Kini Dirga, Andis, Tama, dan Ajay berdiri di dalam kafe yang memang seharusnya jadi tempat mereka berpijak.

"Kita balik, Coy!" Andis menghapus air matanya.

"Tam, Jay ...."

Tama dan Ajay menatap punggung Dirga. Pemuda tangguh itu membelakangi ketiga temannya.

"Cari gambar-gambar pahlawan. Tempel di dinding. Lu desain dah sekeren mungkin, Tam. Lu kan desainer."

Tama dan Ajay saling bertatapan melempar senyum.

"Dis, temenin gua cari bendera. Kita kibarin Sang Saka Merah Putih di depan ruko. Sekalian beli dekor lainnya."

Andis terkekeh bangga menatap Dirga. "Siap, Kapten!"

Dirga berbalik, ia tersenyum menatap teman-temannya. "Mempertahankan kemerdekaan adalah hak dan kewajiban kita bersama. Balik ke masa lalu bikin gua paham bagaimana perjuangan para pahlawan yang bertaruh nyawa demi generasi di depan. Tugas kita belajar dan mengabdi pada negeri. Enggak lupa mengingat jasa mereka dan terus menjaga bara semangat dalam diri kita."

"Oke, kalo gitu ... Operasi Kopi Tubruk, dimulai!" ucap Andis.

"Apaan tuh?" tanya Dirga heran.

"Aduk terus ampe mampus!"

Mereka berempat terkekeh, lalu menjalankan tugas masing-masing untuk mendekorasi layout kafe dalam rangka memeriahkan HUT RI ke 69.

Tamat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top