99 : For Revenge
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Semua terdiam, entah apa yang harus mereka katakan perihal kabar buruk ini. Chandra mengambil kursi dan duduk di sana. Sejenak ia menghela napas sambil menguatkan mental. "Reki terbunuh."
Semua terbelalak mendengar kabar itu.
"Ippo bilang dia mau jemput Reki. Ini bohong, kan?" tanya Nada.
"Sayangnya ini beneran," jawab Dewa dengan raut wajah yang lesu.
"Udah berapa malem ini kita berjaga di Panti Asuhan Kolong Langit. Ini bukan hal yang baru. Resiko kita mati tinggi. Camkan itu baik-baik," ucap Chandra pada seluruh anggota Katarsis. "Sekarang kita fokus cari Ippo. Dia bergerak sendirian dan pasti berpikir mau balas dendam. Ippo berpikir ini masalahnya sendiri dan mau menyelesaikan ini sendiri. Sebelum semua makin memburuk, kita harus cegah. Cukup Reki yang pergi ...."
Kevin dan yang lain mulai melakukan tugasnya masing-masing. Kintan membawakan perangkat milik Kevin sehingga Kevin bisa bekerja di mana saja. Sementara itu anggota lain berpencar mencari Ippo sambil menunggu arahan Kevin.
"Panti Asuhan?" tanya Melodi.
Nada menepuk pundak Melo. "Kamu enggak tahu? Selama ini Ippo tinggal di Panti, dia yatim piatu."
Melodi jadi satu-satunya orang yang tak tahu tentang hal ini. Pantas saja ketika di Sindu Kusuma Edupark, Ippo tampak iri pada sebuah keluarga kecil yang tampak bahagia. Ippo bukan pria yang sulit dimengerti. Hanya satu keinginannya, yaitu memiliki keluarga yang utuh.
Harits mengeluarkan mobil, ia ikut dalam operasi ini. Melodi sontak berlari dan masuk ke dalam mobil. "Aku ikut!"
"Lu ngapain si?" gerutu Harits.
Surya memberikan kode untuk membiarkan gadis itu. Harits mengalah. Melodi duduk di tengah bersama Deva. Sementara Harits di depan bersama Chandra.
"Sekarang mau ke mana kita?" tanya Harits.
Chandra tampak sedang berpikir. "Kaliurang atas," jawab Chandra. Instingnya mengatakan untuk pergi ke Kaliurang.
"Roger that." Harits bergegas menuju Kaliurang atas. Suasana mendadak tegang.
***
Ippo turun dari motornya. Ia mengenakan topeng putih milik Reki dan berjalan santai menenteng sebuah tas baseball. Seolah mendeklarasikan perang, Ippo melepaskan hasrat membunuhnya.
Baskara dan Alex sempat merinding dengan aura yang menjalar hingga menembus kulitnya. Namun, Baskara tak gentar, ia justru menyeringai. "Muncul juga."
Danial berdiri menatap pria bertopeng yang berjalan menenteng tas baseballnya. Matanya seolah tak percaya dengan kehadiran sosok itu. "Memangnya kau pikir kau itu hantu? Trik murahan apa lagi ini? Apa yang di taman itu juga bagian dari trik licikmu?"
Pria bertopeng tak menjawab. Ia membuka tas itu dan melemparkannya ke udara. Sontak belasan pedang keluar dari tas itu dan berjatuhan menuju pusat gravitasi. Sebelum menyentuh tanah, pria bertopeng mengendalikan pedang-pedang itu menghujani markas Ravenous. Satu pedang yang tersisa ia genggam dengan erat dan berlari melesat menerjang apa pun yang berada di hadapannya.
"Kau bukan Reki," gumam Danial yang paham perbedaan kemampuan Ippo dan Reki. "Ippo."
Danial mengeluarkan senjata dan membidik pria bertopeng. Namun, sebelum ia melepaskan tembakan ... belasan pedang yang bergerak sendiri seperti mandau terbang miliki Arai Purok itu menusuk tubuhnya dari berbagai arah. Danial tergeletak tak bernyawa.
"Game over ...." tutur Ippo dari balik topeng.
Melihat Komandannya tewas, pasukan yang berada di garis depan kehilangan nyali. Satu per satu mereka dibantai oleh Ippo tanpa ada satu pun yang bernapas.
Kejadian itu berlangsung begitu cepat. Keadaan hening seketika, membuat Baskara dan Alex saling melempar tatap. Kini pria bertopeng masuk ke dalam sebuah ruangan yang menjadi tujuan akhirnya. Baskara dan Alex sudah menunggunya.
Raut wajah Baskara berubah. "Aku pikir siapa."
Alex menatap kepala Danial dalam genggaman pria bertopeng itu. Pria bertopeng melemparkan kepala itu hingga bergelinding mengenai kaki Alex.
"Danial bilang kau sudah mati, baru kali ini ia berbohong," ucap Alex. "Wajar. Harga dirinya tinggi dan merasa tak mau gagal dalam menjalankan misi."
Baskara dan Alex mengira bahwa yang ada di hadapan mereka adalah Rekian Saksana. Ippo pandai bersandiwara rupanya. Ia menjelma menjadi seorang Saksana yang lihai bermain pedang.
Tanpa berucap, Ippo melesat mengincar kepala Baskara, tetapi Alex muncul dan melesatkan pukulan pada Ippo. Pukulan itu merobek sedikit bajunya. Ada atma yang mengalir tajam pada setiap lesatan tinju pria itu.
"Kau pikir sedang berhadapan dengan siapa?" tutur Alex.
Ippo tak berkomentar. Ia menyelimuti pedangnya dengan atma.
"Badama, ya? Menarik ...," gumam Alex lirih.
Pria bertopeng melesat cepat dengan gerakan yang begitu aneh dan tak bisa ditebak. Setiap pergerakannya mematikan. Baskara masih duduk mengamati pertarungan mereka. Melihat bawahannya terdesak, Baskara malah menyeringai.
Alex benar-benar tak dibiarkan menyerang. Kemampuan Alex setara dengan satu Komandan Kencana Selatan. Namun, kali ini dihadapan Ippo, ia seperti seorang amatiran.
'Orang ini kuat ....' batin Alex.
Ippo mengumpulkan badama di pedangnya sambil mengambil sebuah ancang-ancang. Ia lemparkan atma itu langsung ke arah Alex. Alex mampu menahan lesatan atma itu, tetapi sebuah pedang terlempar lurus menuju kepalanya. Lagi-lagi, Alex menghindar dengan menggeser posisi kepalanya. Namun, tiba-tiba pedang itu berubah arah dan memotong leher Alex dari samping. Kini kepala itu terlepas dari tubuhnya.
Baskara terkejut. Ia memberikan tepuk tangan pada pria bertopeng di hadapannya. Pria bertopeng kini menatap Baskara.
"Cerdas sekali. Kau membuat kami berpikir bahwa kau adalah seorang Saksana. Semua atribut itu--kau berpura-pura menjadi Reki rupanya," tutur Baskara.
Ippo membuka topengnya. "Apa itu kalimat terakhirmu?"
"Membuat Alex berpikir kau adalah Saksana, dan ketika pikiran itu semakin tertanam. Kau membuat sebuah plot twist besar dengan mengendalikan pedang itu dengan atma. Alex mati tanpa mengetahui bahwa lawan di hadapannya adalah Gardamewa."
Ippo tak tahan lagi, ia menarik pedang itu dengan atma dan melesatkannya ke arah Baskara. Namun, Baskara masih duduk bersantai sembari menghisap cerutunya. Pedang itu terpental seolah ada dinding yang menghalanginya untuk memboyong nyawa Baskara.
"Kau serius ingin membunuhku?" tanya Baskara. Ia membuang asap cerutunya sambil menatap tajam ke arah Ippo.
"Kalian membunuh Reki. Darah dibayar darah, nyawa dibayar nyawa," balas Ippo.
"Doni yang membununya. Kau sudah membunuh Doni."
"Sayangnya Doni mendapatkan perintah dari seseorang," balas Ippo.
Baskara menyeringai. "Dan siapakah orang itu?"
Ippo menunjuk ke arah Baskara dengan tatapan marah. "Bajingan itu dalang segala petaka ini terjadi. Seharusnya Bunda membunuhmu malam itu."
Baskara bangkit dari duduknya. "Kau sadar apa yang kau ucapkan?"
Ippo diam masih sambil menunjuk Baskara.
"KAU SADAR APA YANG BARUSAN KAU UCAPKAN?!" Pria itu menghempaskan Ippo keluar bangunan dengan kemampuan atmanya. Baskara mengarahkan Ippo pada jendela kaca yang berada tak jauh di sampingnya.
Ippo terkapar di tanah. Baskara berjalan dan menatap Ippo dari lantai dua, ruangannya berada.
"Jawab aku. Apa kau sadar apa yang kau ucapkan barusan?"
Ippo bangkit dengan sorot mata yang tajam. Ia seolah menarik Baskara dengan tangannya, tetapi tak ada reaksi. Baskara memiliki perisai atma yang begitu tebal. Jangankan serangan bertipe atma, bahkan serangan fisik bisa dimentahkannya dengan mudah.
Baskara menyeringai lantaran Ippo tak mampu menyentuhnya dengan pengendalian atma miliknya. "Level kita terlalu jauh," tutur Baskara. Ia menampilkan sebuah tato di pinggangnya. Ippo terbelalak menatap tato Satu Darah. "Bahkan Arai Purok tak bisa melukai Kakakmu ini, Riffo!"
"Arai Purok bukan orang yang ditakdirkan membunuhmu, TAPI AKU!" Ippo mengeluarkan dek kartu dan melesatkan kartu-kartu itu sembari berlari mendekati Baskara.
"Apa kematian Reki membuatmu semarah ini? Aku cemburu."
"Jangan pernah sebut nama Reki dengan mulut kotormu!" teriak Ippo sambil berlari mengambil salah satu pedang Reki yang tergeletak tak jauh dari jasad Danial. Ippo melesat ke arah Baskara.
"BADAMA!" Ippo mengerahkan banyak atma pada pedang di tangannya. Ia berlari kencang dan melempar pedang itu ke arah Baskara. Pedang itu patah ketika membentur perisai atma Baskara. Begitu juga kartu-kartu milik Ippo yang berserakan di tanah, tak mampu menembus perisai atma yang menyelimuti Baskara.
Baskara melompat dari lantai dua. Ia terlihat baik-baik saja tanpa segores pun luka. "Ini kesempatan terakhir. Kau beruntung bahwa kau ini adalah adik kandungku, Riffo. Bergabunglah denganku, kita bangun Ravenous kembali. Ravenous dengan formasi terkuat, aku dan kau sebagai pondasinya."
Ippo tertawa terbahak-bahak. "Jika ditanya begitu, Reki pasti akan tertawa. Guyonan model apa itu?"
"Jangan berpikir aku tidak tega membunuhmu," ucap Baskara yang mulai hilang kesabaran. "Kau terlalu banyak membuang waktuku."
Ippo menyeringai, raut wajahnya seolah sedang tertantang dengan adrenalin pertarungan hidup dan mati. "Waktu? Kau sudah kehabisan itu!" Ippo kembali melesat. Kali ini ia kumpulkan atma di tangannya, seperti yang dilakukan Alex. Ippo melayangkan tinju, tetapi tangannya seperti memukul tembok. Rasanya begitu keras atma yang berada di sekitar Baskara.
"Rizwana yang pernah kau perangi itu juga bagian dari Satu Darah, dia adalah si nomor dua belas. Urutanku dalam Satu Darah adalah nomor delapan. Jangan samakan kemampuan kami." Baskara mengambil ancang-ancang untuk memukul. Dengan cepat ia melesatkan pukulan telapak tangan pada ulu hati Ippo. Ippo terpental sambil memuntahkan darah. Serangan Baskara telak melukai bagian dalam tubuhnya.
Ippo berusaha bangkit dan mengambil pedang lainnya. Ia kembali memasang badama dan melesatkan pedang itu untuk membunuh Baskara. Namun, lagi-lagi pedangnya patah. Baskara dengan cepat meraih patahan pedang itu dan melesatkannya ke wajah Ippo secara vertikal. Darah mengucur dari mata Ippo. Serangan barusan membutakan satu mata Ippo. Baskara kembali menghantam Ippo dengan telapak tangannya, membuat Ippo kembali tersungkur di tanah.
"Sangat disayangkan ... aku harus membunuh adik kecilku sendiri." Baskara berjalan pelan menghampiri Ippo. Pria itu berjongkok di hadapan Ippo yang menahan sakit. "Setelah membunuhmu, aku akan membakar Kolong Langit dengan tanganku sendiri. Membunuh Sofia dan rekan-rekan keluarga agungmu itu. Terakhir gadis yang kau puja-puja itu ... aku akan menjadikannya makanan penutup."
Tangan Ippo berhasil mencengkeram rahang Baskara. "Jangan pernah sentuh Melodi."
Baskara terkejut. Selama ini belum ada yang mampu menembus perisainya kecuali empat pembawa kiamat dari Satu Darah. Namun, apa-apaan ini? Ippo berhasil mencengkeram rahangnya. Cengkeraman itu semakin keras. "JANGAN SENTUH GADISKU!" Pukulan Ippo bersarang di wajah Baskara, membuat pria berjas hitam itu terpental.
Ippo berusaha bangkit. Ia tertawa seperti orang gila. Kewarasannya ditelan kegilaan. Tangannya berdarah-darah akibat memaksa masuk ke dalam perisai atma Baskara. Kini kedua tangan itu gemetar. Selama ia dijuluki orang terkuat ketiga di bawah Yudistira, ini adalah lawan terberatnya. Bukan karena Baskara adalah Kakaknya, tetapi karena memang Baskara sekuat itu.
"Cara para Gardamewa menggunakan kemampuan manipulasi atmanya ternyata bervariasi, ya?" tutur Ippo. Seumur-umur baru kali ini ia menghadapi pertahanan mutlak yang membuatnya putus asa menyerang. "Pertahanan adalah serangan terbaik ... bagaimana jika pertahan mutlakmu itu berhadapan dengan serangan terbaik yang pernah ada?"
Baskara beranjak bangkit, ia tak mengalami luka serius hanya karena pukulan barusan. "Serangan terbaik? Bahkan dari semua seranganmu, baru satu yang berhasil melukaiku, itu pun lemah."
Ippo menatap langit. Ia ragu untuk menggunakan kemampuan ini. Sebuah kartu AS yang dimiliki Gardamewa terdahulu. Namun, sepertinya memang tak ada jalan lain. "Setidaknya, Baskara harus mati ...." Kini Ippo menutup satu matanya yang tersisa dan berkonsentrasi tinggi. Ia menghela napas dari hidungnya dan membuangnya perlahan dari mulut. Perlahan ia buang semua emosi yang tidak penting untuk memberishkan dirinya dari angkara murka. Kedua telapak tangannya kini saling menempel menghadap ke atas. Atma di sekitarnya seperti tertarik masuk ke dalam tubuh Ippo.
***
"Apa musuhnya sekuat itu sampai harus khawatir?" tanya Harits.
Chandra menghela napas. "Gua yakin Ippo bisa dengan mudah menghabisi mereka, tapi dia yang sekarang ditelan amarah. Pesta berdarah pasti sedang berlangsung di suatu tempat. Terlebih, seandainya ada satu musuh aja yang lebih kuat dari dia, itu bisa bahaya."
Sang Yudistira itu tampak khawatir. "Gardamewa memiliki sebuah kartu AS yang membuat mereka begitu spesial di mata Yudisitra terdahulu. Sayangnya, teknik itu terlarang dan secara turun temurun sudah dihapuskan keberadaannya."
"Jangan bilang Ippo bisa nguasain kemampuan itu?" celetuk Deva.
"Inget yang terjadi sama Wira? Lebur Saketi bukanlah sembarangan ilmu. Teknik itu bisa membakar habis penggunanya sendiri. Ada harga yang mahal dibalik teknik yang kuat," balas Chandra.
"Apa kartu AS itu sangat berbahaya?" tanya Melodi.
"Lebih dari berbahaya. Ippo yang sekarang punya potensi buat gunain itu. Musuhnya kali ini adalah Kakaknya sendiri yang seorang Satu Darah."
"Satu Darah?" Harits dan Deva terkejut mendengar nama kelompok itu.
"Dengan kemampuan ini, seorang Gardamewa bisa menjadi lebih kuat sepuluh kali lipat dari keadaan sebelumnya," lanjut Chandra.
"Bagus dong kalo gitu, Ippo bisa menang," ucap Melodi.
Chandra menghela napas. "Iya, Ippo bisa menang, tapi sayangnya buat apa menang kalo penggunanya meninggal?"
Semua terdiam mendengar ucapan Chandra.
"Kemampuan itu menyerap atma disekitarnya dengan skala yang besar. Lambat laun, Gardamewa yang menggunakan jurus ini tidak akan bisa mengontrol atma sebesar itu lagi. Dan alhasil atma itu akan membunuh dirinya sendiri dengan meledakkan wadahnya sendiri, yaitu penggunanya. Teknik ini seratus persen akan membuat penggunanya meninggal. Ketika seorang Gardamewa mengaktifkan kemampuan ini, sama aja dia sudah bersiap bunuh diri. Kamikaze."
Deva melirik ke arah Melodi yang sangat tidak tenang. Jelas terbaca dari gelagatnya, Melodi sangat khawatir.
Gadis itu menatap keluar jendela dengan tatapan getir. "Ippo ...."
Chandra menutup mata dan menatap beberapa kejadian di masa lalu pada era Yudistira terdahulu. Kemampuannya sebagai Yudisitara membuat jalur koneksi antara masa lalu dan masa kini terbuka lebar. "Nama teknik ini adalah ...."
***
Perlahan Ippo membuka matanya, menyorot tajam ke arah Baskara.
"Dasa Hasta Antargata."
Sepuluh Tangan Tersembunyi
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top