97 : Terbiasa

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Tak terhitung berapa hari yang sudah ku lewatkan tanpa kita. Dulu aku dan kamu pernah tertawa bersama sembari menuliskan kisah indah itu di lembar kosong, hingga menjadi sajak-sajak penuh cinta. Kini semua itu sirna tanpa bekas. Tak ada lagi kita. Yang tersisa hanyalah pena tak bertinta dan selembar kertas yang dibiarkan kosong tanpa kisah.

Terbiasa. Baik Deva dan Melodi sudah terbiasa dengan keadaan mereka masing-masing. Tak ada lagi gelak tawa yang memeriahkan gendang telinga. Jangankan bersenda gurau, berbicara pun secukupnya. Bukannya tak ada lagi rasa. Hanya saja mereka sudah terbiasa tak saling mengisi hampanya hari.

Awalnya Deva ingin mengajarkan arti cemburu pada Melodi dengan cara melekat pada Jashinta. Namun, Melodi membalasnya. Bukan secara sadar seperti Deva, Melodi perlahan mulai nyaman dengan keberadaan Ippo.

Sebenarnya tak ada yang berubah. Ippo masih saja mendapatkan penolakan, tetapi Melodi tak merasa harus menghindari pria itu lagi seperti dulu.

Hari ini Tama dan Aqilla tiba di Jogja. Hal itu terjadi akibat kerinduan yang bertumpuk tanpa dibayar pertemuan. Wajar. Liburan semester kemarin kedua putrinya tak pulang ke Bandung. Setelah tragedi berdarah di Parang Tritis, si kembar itu sibuk memulihkan diri.

"Main yuk ke Sindu Kusuma Edupark," ajak Aqilla. Tentu saja hal itu disambut baik oleh anak-anak Mantra yang jarang pergi bersama.

Mereka pun pergi dengan mengendarai dua mobil. Mobil pertama berisikan formasi utuh keluarga Mahatama. Sementara mobil kedua diisi oleh sisanya.

"Yang gua heran apa?" tanya Harits dengan wajah datar. Ia mengemudi pelan di belakang mobil Tama.

"Apa?" samber Jaya.

"INI ORANG DUA NGAPAIN?!"

Ippo tersenyum sembari merangkul Reki. Dua orang itu duduk di kursi paling belakang mobil yang dikendarai Harits. Harits dan Jaya berada di depan, sementara Cakra dan Deva duduk di tengah.

"Kita ngapain sih?" tanya Reki dengan wajah datar. Bahkan ia pun bingung untuk apa ia ada di sana.

"Aaaaaa ... kita harus menarik perhatian orang tua Alunan sama Nada selagi mereka di sini," ucap Ippo. "Kita ambil restunya."

"Gimana nih, Dev," ucap Cakra sembari terkekeh.

"Terserah," balas Deva datar. "Bukan urusan gua."

Di antara komplotan di mobil kedua, Deva dan Harits kurang menyukai Ippo. Alasan Deva jelas, karena Ippo belakangan ini semakin dekat dengan Melo. Sementara Harits, ia menjadi korban bullying.

Singkat cerita, mereka tiba di taman bermain yang terletak di Jalan Magelang itu. Nada menghampiri Jaya. "Adik kamu enggak diajak?"

"Isabel masih takut pergi keluar semenjak kejadian waktu itu, jadi mau enggak mau Petrus nemenin dia di rumah," balas Jaya.

Selagi Tama membeli tiket masuk untuk mereka semua, Ippo menghampiri Melodi. "Alunan, main kuda-kudaan yuk?"

Melodi mengerutkan dahinya. "Hah--kuda-kudaan?"

"Astagfirullahaladzim," celetuk Harits dengan cengkok arab sambil menggelengkan kepala.

"Cabul parah sih ini," sambung Deva sembari ikut menggeleng.

Ippo memicingkan matanya sembari menatap Reki. Ia menggerakkan bibirnya tanpa suara. "Kenapa sih?"

"Komedi puter, Po. Namanya komedi puter," ucap Reki yang malu gara-gara kelakuan Ippo.

Ippo kembali menatap Melodi. "Aaaaaa ... itu ... kuda-kudaan yang muter-muter."

"Ih, enggak mau. Aneh." Melodi pergi meninggalkan Ippo. Ia menggandeng Vian berjalan menuju Aqilla yang sedang duduk seorang diri.

"Ini semua gara-gara Pongki sama Badrul." Ippo menatap Harits dan Deva dengan sinis. Kemudian ia menoleh ke arah Jaya. "Kumar, kita berteman, kan? Sesama anak ISI."

Jaya menggeleng sembari merangkul Harits. "Saya berpihak pada Mas Pongki."

"Pongki, pongki tai! Apaan si kagak jelas." Harits melepaskan diri dari Jaya. Ia berjalan menjauh dari kerumunan dan mulai membakar satu batang tembakau gulung.

Tama mengisyaratkan pada Aqilla dengan menggerakan kepala sedikit ke kanan, arah pintu masuk. Aqilla menyuruh anak-anak untuk berkumpul karena tiket sudah selesai dibeli.

"Nanti main roller coaster, ya," ucap Aqilla.

Tama meneguk ludah. Usia boleh bertambah, tetapi Tama tetaplah Tama. Memang ia kurang berekspresi seolah tak takut apa pun, tapi faktanya Tama takut hal-hal berbau ketinggian dan juga kecepatan.

"Aku ...."

"Oh, ya udah. Kalo kamu enggak mau, aku minta temenin sama berondong," potong Aqilla.

"Aku mau," balas Tama secara singkat, padat, jelas, dan berkeringat.

Aqilla memasang senyum psikopatnya. "Makasih Tama." Kemudian ia berjalan masuk ditemani anak-anaknya.

Harits, Deva, Cakra, Jaya, Ippo, dan Reki ikut menelan ludah. Tak ada yang menduga bahwa wanita secantik Aqilla yang selalu memukau di acara televisi ternyata semengerikan itu.

Permainan pertama yang mereka coba adalah roller coaster. Ippo berusaha mengajak Melodi untuk duduk bersebelahan, tetapi Melodi langsung menuntun Vian dan memilih duduk bersama adik kecilnya.

Cakra hendak berjalan mengajak Nada, tetapi Ippo yang baru saja gagal, menyadari itu. Sontak ia menarik Cakra dan membuat pria itu duduk di sebelahnya. Sejujurnya Reki bingung, bisa-bisanya Ippo meninggalkannya sendirian, tetapi rencana Ippo yang sebenarnya adalah ....

"Aku duduk di sini, ya." Nada duduk di samping Reki.

Reki mengangguk, wajahnya seperti biasa saja, tetapi tubuhnya gemetar.

"Kamu takut?" tanya Nada yang menyadari pucat di wajah Reki.

"Enggak juga," jawab Reki.

Di sisi lain Deva duduk sendirian di kursi paling belakang. Di depannya ada Harits dan juga Jaya. Sesaat sebelum wahana ini dimulai, semua baik-baik saja. Begitu kereta mulai bergerak, Jaya memegangi dadanya.

"Ngapa lu?" tanya Harits.

Insting buasnya berkata bahwa ini tidak benar. "Kok perasaan saya enggak enak, ya?" Kereta terus naik hingga sejenak berhenti pada satu titik. Jaya menatap seluruh area taman bermain dari atas sana. Kepalanya terasa pusing. Dalam waktu yang singkat, kereta turun dengan kecepatan yang tinggi.

"BAPAAANG!"

"GOBLOK, ANJAY!" teriak Harits yang melihat Jaya sudah mengenakan topeng Bapang. Pimpinan Peti Hitam itu berteriak histeris, ia ketakutan.

Jaya hendak melompat, tetapi Harits menahannya. Harits memegangi Jaya. "Jay, lu gila, ya?!"

"LEPAS!"

Harits tidak takut dengan wahana ini, tetapi kelakuan Jaya yang membuatnya takut. Harits takut jika Jaya bertindak bodoh dan membuat kereta itu celaka.

Selepas wahana berhenti dan semua turun dari kereta, Harits masih terdiam karena shock. Sementara Jaya langsung kabur menjauh dari kereta itu. "Tempat jahanam apa ini!" umpat Jaya.

Mereka semua lanjut dengan agenda masing-masing. Tama, Aqilla, dan Vian memilih bermain wahana kora-kora, dan sisanya berpencar. Semua itu berlangsung hingga waktu makan siang. Saat makan siang, mereka semua berkumpul kembali untuk makan bersama. Sengaja mereka makan di dalam area taman, agar bisa menikmati sore di Bianglala yang cukup iconic.

Saat makan siang, ada satu orang yang menghilang dari rombongan, yaitu Ippo. Reki izin untuk mencari Ippo. Sebenarnya ia juga merasa tak enak jika harus ikut makan dengan anak Mantra, mengingat dirinya dan juga Ippo adalah eksternal.

Namun, keberadaannya nihil. Reki terlihat panik, ia takut jika Ippo kabur dan bertindak sembarangan untuk mencari Baskara.

"Kamu kayaknya panik banget, kayak kehilangan pacar aja," ucap Melodi yang sedang membeli minum dan kebetulan bertemu dengan Reki.

"Aku pulang dulu, Ippo kabur," ucap Reki. Namun, begitu Reki membalik tubuhnya, Melo menarik bajunya.

"Tunggu, dia lagi ada masalah, ya? Mukanya kayak kurang tidur selama beberapa hari ini, kamu juga gitu. Kalian baik-baik aja, kan?"

"Iya, aman," jawab Reki berbohong.

"Kalo gitu dia pasti masih di sini, aku bantu cari deh. Kalo emang enggak ketemu, baru kamu boleh pulang." Reki sepakat, kini Melodi membantu Reki untuk mencari Ippo.

Entah sudah berapa kali berkeliling, Reki tak menemukan Ippo. Namun, berbeda dengan Melodi. Matanya menangkap sosok yang dicari-cari. Ippo sedang duduk dekat wahana Bianglala. Matanya menyorot pada seorang anak yang sedang bermain dengan keluarganya. Bukan keluarga besar. Hanya seorang ayah, ibu, dan dua anak laki-lakinya.

Sebuah benda yang menyentuh tengkuknya membuyarkan Ippo dari lamunanya. Sontak ia menoleh. Melodi berdiri di belakangnya membawa bungkusan makanan ringan.

"Ambil, kamu belum makan, kan? Tadi semua udah makan, kamu doang yang ilang. Reki sampe khawatir," ucap Melodi.

"Aaaaaa ... maaf, maaf. Tadi abis ketemu temen lama," balas Ippo.

"Siapa?"

"Bukan seseorang yang diharapkan kehadirannya," jawab Ippo tersenyum.

"Bukan artinya aku suka atau ngasih kamu harapan, tapi kalo kamu emang enggak punya pendengar buat dengerin segala resah kamu, kamu boleh cerita ke aku," ucap Melodi.

Ippo tersenyum mendengar itu. "Mungkin aku akan banyak bercerita perihal sesuatu yang membahagiakan, tapi enggak dengan segala kesedihan."

"Kenapa gitu?"

"Karena kesedihan bukan sesuatu untuk dibagikan. Ibarat sebuah kue, aku akan ngasih kue terbaik yang aku buat, bukan kue tergagal," jawab Ippo.

"Kadang kala, kesedihan itu juga perlu diluapkan," timpal Melodi. "Jangan sok kuat."

"Betul," balas Ippo. "Diluapkan, bukan berarti diceritakan. Kadang kala, seorang pria butuh tempat menyendiri untuk sekadar menangis. Karena ada beberapa hal yang cuma bisa luruh bersama air mata."

"Aku cuma mau membantu ...," gumam Melodi lirih.

"Kamu punya keluarga yang baik. Ayah yang bisa diandalkan, Bunda yang penyayang, Kembaran yang selalu mendukung, dan Adik kecil yang enggak nakal. Setiap manusia punya jalan keluar masing-masing dari sebuah nestapa. Mungkin, kamu terbiasa mencurahkan isi hati, tapi selama ini aku enggak punya siapa pun buat mencurahkan hal itu. Jadi ya, aku tumbuh seperti ini karena emang selalu begini. Bukan artinya aku enggak percaya dan enggak mau cerita. Cuma ... aku udah terbiasa begini."

"Mau main Bianglala?" tanya Melodi.

"Kamu aja, aku lagi enggak ...." Melodi meraih lengan Ippo. Gadis itu menarik Ippo dan masuk ke bianglala berdua.

"Jahat, masa aku disuruh naik sendirian," ucap Melodi sembari membuang tatap keluar jendela.

Ippo tersenyum. "Kamu aneh."

"Anehnya?"

"Semakin aku berusaha dapetin kamu, semakin kamu menjauh, tapi ketika aku hampir menyerah, malah kamu yang dateng, seolah enggak ngebiarin aku pergi," balas Ippo.

"Cuma kebetulan," sanggah Melodi.

"Aku harap ini takdir," balas Ippo.

Di sisi lain, Reki tersenyum menatap Ippo yang rupanya tidak kabur. Pria itu justru mendapatkan momen besama Melodi.

"Ayok, Reki. Kita intilin mereka!" Nada tiba-tiba menarik Reki dan masuk ke dalam bianglala selanjutnya. Rupanya gadis itu diam-diam ikut mencari Ippo yang sempat menghilang. Entah, Nada sangat penasaran dengan hubungan Melodi dan Ippo. Tanpa ia sadari, Nada mengajak orang yang selalu salah tingkah dibuatnya.

Reki terdiam di dalam bianglala. Otaknya seakan terbakar, tak mampu berpikir. Sesekali ia melirik Nada yang sedang sibuk memperhatikan bianglala Melo dan Ippo dengan sebuah teropong yang entah dari mana ia bawa-bawa.

Ippo mengeluarkan sesuatu dari jaketnya.

"Jangan ada mawar lagi di antara kita!" ucap Melodi.

Pria itu terkekeh. Kali ini ia tak membawa hal semacam itu. "Ini tiket pameran jurusan fotografi. Minggu depan jurusanku ngadain pameran tiga angkatan. Bukan sesuatu yang besar, tapi aku harap kamu dateng."

Melodi meraih tiket itu. "Ini sih masuk sarang singa," gumamnya. "Yang aku risih dari kamu itu, salah satunya adalah temen-temen kamu. Setiap kita ketemu, mereka berisik! Bikin malu tau enggak?"

Ippo terkekeh. "Santai, buat hari itu mereka aku suruh jinak."

"Liat nanti deh. Aku sibuk orangnya," balas Melodi.

"Siap, nyonya sibuk."

Sejenak mereka terdiam ketika tiba di puncak. "Padahal kalo pas lagi matahari terbenam, pemandangannya bagus. Entah kesambet setan apa, malah naik bianglala siang-siang begini."

"Sekarang pun pemandangannya indah."

Melodi melirik ke arah Ippo. Pria itu sedang menatapnya. Ditatap seperti itu Melodi merasa malu. Ia membuang tatap keluar jendela tak mau menatap balik pria itu.

Ippo mengeluarkan ponselnya, ia berpura-pura seolah sedang bermain ponsel. Nyatanya Ippo adalah pencuri. Ia mencuri gambar Melodi dan pemandangan awan secara diam-diam.

***

Matahari sudah berada di penghujung hari. Melodi dan Nada beserta anak Mantra menghabiskan waktu di dalam bianglala lagi. Namun, Ippo dan Reki tidak. Mereka berdua duduk di kursi dekat wahana itu. Mereka sudah puas untuk hari ini.

"Gimana rasanya bareng Nada?" tanya Ippo.

"Entah," jawab Reki singkat. "Lu sendiri gimana? Tiba-tiba punya waktu bareng Alunan berduaan gitu?"

Mereka berdua perlahan tersenyum. Senyum itu berubah perlahan menampilkan deretan gigi, hingga berubah menjadi tawa.

Dari atas, Melodi menatap Ippo dan Reki yang sedang tertawa. Itu kali pertamanya ia melihat Reki tertawa sepanjang ia bertemu dengan pria itu di kampus dan juga di Mantra Coffee. Senyum tipis menghiasi bibirnya.

"Senyum kenapa kamu?" tanya Bunda.

"E-enggak. Siapa yang senyum?"

"Kamu putus sama Deva, ya?"

Melodi hanya mengangguk.

"Sekarang pacar kamu si Ippo, Ippo itu?"

"Bukan!" sanggah Melodi. "Bunda sembarangan aja!"

"Melo suka sama Ippo, Bun, tapi pura-pura enggak sadar," celetuk Nada.

Matanya membulat utuh seakan ingin keluar. Melodi menatap Nada dengan wajah marahnya. "Nada!"

Ledekan-ledekan tipis menghiasi sore hari Melodi. Setelah itu, Melo kembali pada dirinya yang anti Ippo.

.

.

.

TBC






Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top