95 : Kelabu yang Menjelma Harap
Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
.
.
.
Ippo duduk berhadapan dengan Bunda Sofia, sementara Reki dan anggota Katarsis berada di luar.
"Sudah berapa lama kamu berinteraksi sama Baskara?" tanya Bunda.
"Bunda sendiri udah berapa lama menyembunyikan fakta tentang Baskara?" tanya Ippo balik. "Baskara bilang, Bunda hampir ngebunuh dia. Apa itu benar?"
"Kesalahan terbesar bunda adalah membiarkan Baskara hidup."
Mendengar itu Ippo mengepalkan tangannya.
"Apa Baskara cerita, dosa apa yang ia perbuat sampai Bunda harus bertindak serius?"
Ippo diam. Ia tak mengetahui apa pun. Bunda Sofia menghela napas, ia berusaha mengingat kembali tragedi kelam itu. Bunda beranjak dari duduknya dan berjalan hingga berada tepat di depan sebuah lemari tua. Ia membuka lemari itu dan mengambil sebuah album usang. Setelah itu, ia kembali duduk di hadapan Ippo.
"Bukan barang yang asing buat kamu," tutur Bunda.
"Anak-anak angkatan Baskara ...." Ippo membuka kembali foto-foto itu. "Buat apa album ini?"
"Banyak yang datang dan pergi. Kebanyakan mereka beberapa kali mampir membawa kehidupan baru mereka ke sini. Bunda seneng lihat mereka, tapi apa kamu pernah ingat ada wajah-wajah dari album foto itu yang pernah datang ke sini?"
Ippo menggeleng. Selama ia tinggal di Kolong Langit, anak-anak yang berada dalam album foto itu tak pernah ada yang berkunjung, bahkan sekadar menengok kabar Bunda.
"Karena Baskara menjual mereka," ucap Bunda dengan tatapan yang tak bisa Ippo jelaskan.
Ippo terbelalak. "Baskara masih kecil ...."
"Dia punya intelektual yang tinggi," ucap Bunda. "Di usianya yang masih pitik itu, dia mampu mengendalikan atma dengan baik. Anak sekecil itu mampu menjadi penjahat dan menjual keluarganya sendiri. Bahkan sekarang dia jadi salah satu gembong dari komplotan yang paling dicari oleh pemerintah."
"Apa buktinya?" tanya Ippo.
"Satu-satunya orang selain Bunda yang mengetahui bukti itu sudah meninggal," balas Bunda.
"Siapa?"
"Alasan Bunda menghajar habis-habisan Baskara adalah karena dia membunuh satu-satunya anak kandung Bunda. Satu-satunya harta yang dihadiahkan mendiang suami Bunda. Orang pertama yang mengetahui kebusukan Kakak kamu."
Ippo tak bisa berkata-kata mendengar itu. Terlihat jelas raut wajah Bunda yang bertahan untuk tidak mengangis.
"Baskara juga anakku. Malam itu aku tidak bisa membunuhnya. Jadi aku biarkan ia pergi ... Baskara takut jika aku membalas dendam dengan melukaimu. Suatu saat ia muncul menjadi donatur seolah ingin berkata bahwa aku masih hidup. Jangan sentuh adikku."
"Bunda ...." Ippo mencoba menenangkan Bunda.
"Bunda tahu suatu saat dia akan datang dan berusaha merebut kamu dengan segala cara. Baskara itu orang jahat, dia enggak pernah berubah dan malah semakin menjadi-jadi. Kamu itu anak baik, Bunda enggak tahu harus gimana seandainya kamu ketemu sama dia dan milih ikut dia karena dia satu-satunya keluarga kandung kamu. Bunda minta tolong sama Reki buat selalu ngikutin kamu. Seandainya kamu ketemu sama Baskara, Bunda minta Reki buat bawa kamu pulang apa pun caranya! Bunda enggak mau kamu kayak kakak kamu yang jahanam itu! Kalian berbeda."
Ippo terdiam, perasaannya tak karuan. Seandainya ia berada di posisi Bunda entah apa yang akan ia lakukan pada bayi kecil Riffo. Bunda tak memiliki dendam pada Ippo, wanita itu merawat Ippo dengan baik hingga tumbuh menjadi anak yang kuat. Bunda paham, Ippo dan Baskara adalah dua orang yang berbeda. Sofia hanya menimbun fakta bahwa Baskara masih hidup.
"Seandainya dia orang baik, Bunda enggak akan nutupin fakta ini. Bunda harap kamu ngerti. Uang dari dia pun sama sekali enggak pernah Bunda gunakan sepeserpun." Bunda beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkan Ippo seorang diri di ruangan itu.
Reki menghampiri Bunda yang baru saja keluar ruangan. "Orang-orang itu ngejar sampe sini. Beruntung anak-anak Katarsis masih ada di Jogja, seenggaknya Kolong Langit masih aman."
Bunda terlihat getir. "Kamu cari tempat baru. Prioritas kita adik-adik kamu. Temen-temen kamu enggak akan selamanya ada di sini, mereka punya kepentingan juga."
Reki mengangguk. Ia masuk ke dalam ruangan tempat Ippo berdiam diri.
***
Penyelamatan Isabel tentu saja menjadi aksi heroik bagi Ippo dan Reki. Hari ini mendung, tetapi tak beraroma hujan. Melodi berjalan dari kelasnya menuju kantin untuk makan siang, ia bersama dengan Zara.
Zara menyenggol Melodi lantaran Ippo berjalan dari arah sebaliknya. Melodi berusaha tak menatap pria itu, ia mencoba menghindar. Dalam keadaan normal, Ippo tentu saja akan menyadari kehadiran Melodi dan bertingkah heboh, minimal menyapa gadis itu. Namun, kali ini Ippo seakan tak menyadari keberadaan Melodi. Ia berjalan melewati gadis itu begitu saja.
"Tumben enggak sadar," ucap Zara sambil terkekeh.
Melodi menoleh ke belakang. Ippo berjalan menjauh, pria itu benar-benar tak sadar akan kehadiran Melodi. Entah tak sadar, atau memang sengaja mengabaikannya.
"Cieeee ... diliatin," ledek Zara.
"Dia aneh enggak sih?" tanya Melodi yang sejenak menghentikan langkahnya.
"Kalo bertingkah dibilang aneh, diem juga dibilang aneh." Zara menggeleng. "Maunya opo toh?"
Melodi kembali menoleh ke depan, ia melanjutkan langkahnya menuju kantin. Di kantin ia menatap botol minuman dingin yang berbaris rapi di dalam pendingin.
***
Ippo duduk di sebuah bangku dengan tatapan kosong. Sebuah benda dingin menyentuh tengkuknya, membuyarkan lamunan pria itu menjadi sebuah kejut. Sontak ia menoleh, ditatapnya Melodi yang membawa dua botol minuman dingin.
"Jangan bengong, nih minum dulu."
"Alunan ...." Ippo mengambil botol itu sembari menyematkan senyum. Entah, hari ini Ippo terlihat seperti pria normal. Tak ada gelagat abnormal seperti biasanya. Melodi duduk di sampingnya, hari ini ia tak takut dengan Ippo yang terlihat jinak.
"Kamu enggak tidur ya semalem?" tanya Melodi ketika melihat mata Ippo yang merah dan berkantung hitam.
"Aaaaaa ... gitu deh."
Setelah itu tak ada kata yang terucap di antara mereka. Baik Ippo dan Melodi, mereka ditelan senyap.
"Alunan ...."
Melodi menoleh. "Ya?"
"Boleh minta tolong."
"Tergantung, minta tolong apa? Kalo minjem duit enggak ada," jawab Melodi.
Ippo terkekeh, tapi tak berlangsung lama. Sejenak ia terdiam dengan tatapan penuh getir. "Boleh biarin aku sendirian?"
Kini giliran Melodi yang terdiam. Baru kali ini ia melihat pria aneh itu terlihat rapuh. Melodi membuang tatap. "Maaf ... enggak bisa."
Kali ini Ippo tersenyum seperti biasanya. "Aaaaaa ... oke." Mereka duduk berdua tanpa ada kata yang terucap. Hingga Ippo memulai sebuah percakapan. "Kamu naik apa?"
"Tadi dianter Harits," jawab Melodi.
"Pulangnya dijemput?"
Melodi menggeleng. Ia belum mengabarkan siapa pun untuk menjemputnya. Biasanya jika tak ada orang, Melo akan meminta Jaya mengantarnya ke Mantra, terutama jika Jaya sedang ada jadwal kerja, tetapi hari ini ia belum bertemu dengan Jaya.
"Mau aku anter?" Ippo mengajukan diri untuk mengantar Melodi pulang.
Khusus hari ini gadis itu mengangguk. Terukir senyum tipis di sudut bibir Ippo. "Aaaaa ... oke. Mau pulang kapan?"
"Aku masih ada satu kelas lagi. Sebentar lagi masuk. Kamu masih ada kelas?" tanya Melodi balik.
Ippo menggeleng. "Aku tunggu di sini sampai kamu pulang."
"Enggak bosen? Ke mana aja dulu gitu, nanti ketemuan aja di kantin jam tiga. Atau chat aja, kamu kan tau nomorku."
"Kalo aku pergi, nanti kamu ilang. Aku di sini aja," ucap Ippo sambil terkekeh.
Perlahan jiwa cringe dalam diri Ippo kembali. Tanpa sadar Melodi tersenyum. "Padahal udah biasa kehilangan," ledek gadis itu.
"Makasih, ya, Alunan."
Melodi mengerutkan dahinya. "Buat apa?"
Ippo menatap langit-langit. "Segalanya. Enggak ngebiarin aku sendirian hari ini, mau nerima ajakan nebeng pulang hari ini, dan semua penolakan selama ini."
"Aneh," balas Melodi menggelengkan kepala tak habis pikir dengan segala ucapan pria di sampingnya. Gadis itu menatap jam tangannya, lalu bergegas bangkit dari duduknya. "Aku masuk kelas dulu." Ia berjalan menuju fakultasnya.
Ippo menatap punggung itu sembari tersenyum. Siapa yang menyangka, pujaan hati yang selama ini menghindar dan menolaknya, kini sudi menemaninya yang sedang sekarat disayat lara.
***
Waktu menunjukan pukul tiga sore. Melodi keluar dari kelas dan bergegas menuju tempat Ippo menunggunya. Namun, pria itu sudah tak berada di sana. "Ke mana itu orang?"
Menoleh ke mana pun tak ia temukan keberadaan pria itu. Melodi mengambil ponselnya dan menghubungi nomor Ippo yang tak ia save nomornya. Sialnya, nomor itu tak aktif.
Sebuah benda menyentuh tengkuk Melodi, membuat gadis itu meringkuk geli sekaligus kaget. Ia menoleh, ditatapnya Ippo dan setangkai mawar merah. "Yuk, pulang."
Melodi mengambil mawar itu untuk yang pertama kalinya. "Yuk." Ia berjalan di belakang pria yang lebih tinggi darinya itu dengan langkah yang malu-malu.
"Makasih loh udah mau repot-repot nganterin," ucap Melodi.
"Aku yang makasih."
Melodi memicingkan matanya. "Makasih buat apa sih? Perasaan aku enggak ngapa-ngapain."
Ippo tak menjawab. Ia hanya diam sembari melanjutkan langkahnya. Melangkah menuju motornya, sekaligus melanjutkan langkahnya untuk berharap.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top