94 : Keluarga dan Rumah

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Sedari siang ini Jaya sibuk dengan perkara kuliah dan juga tugas sampingannya sebagai Dharma, ia menitipkan Isabel dan juga ... Vandra di Mantra. Kebetulan Nada sedang off hari ini, Cakra juga berada di sana.

Waktu terus bergulir hingga memasuki waktu preparation. Nada dan Cakra cukup sibuk, tetapi bocah cool berpakaian hitam itu berusaha membantu.

"Enggak usah, kamu duduk aja," ucap Cakra ramah.

Sementara itu Isabel sedang main di luar bersama kucing mereka, Kerdil. Sepertinya Kerdil tak suka anak-anak, ia berlari menjauh.

"Hey tunggu, jangan jauh-jauh." Merasa takut menghilangkan kucing milik Mantra, Isabel terus mengejarnya. Mengejar hingga tak sadar ia sudah agak jauh dari kafe.

Seorang pria menangkap Kerdil. Ia tersenyum pada Isabel. "Ini kucing kamu?" ucapnya setelah melihat kalung yang dikenakan kucing itu.

Isabel mengangguk pelan dengan wajah polos. Pria itu tersenyum dan berjalan ke arah Isabel. Ia memberikan Kerdil. Isabel memeluk Kerdil, lalu berjalan kembali. Sebuah sapu tangan membekap mulutnya. Dalam hitungan detik, Isabel kehilangan sadar.

Singkat cerita, Kerdil pulang, tetapi tak ada tanda-tanda Isabel mengikutinya. Petru--Vandra menurunkan masker buff hitam tengkoraknya. Samar-samar ia mencium sesuatu yang asing. Vandra berjalan ke arah Kerdil. Aroma itu semakin pekat untuk penciumannya yang tajam. Matanya terbelalak. "Kloroform ...."

Kloroform adalah nama umum untuk triklorometana. Kloroform dikenal karena sering digunakan sebagai bahan pembius, akan tetapi penggunaanya sudah dilarang karena telah terbukti dapat merusak liver dan ginjal.

Vandra tiba-tiba berlari keluar, hal itu membuat Cakra dan Nada saling melempar tatap. Bocah itu berjongkok, lalu menempelkan telinganya di tanah sembari memejamkan mata. Derap langkah kaki terdengar di telinganya. Dari semua langkah yang terdengar, ia berfokus mencium aroma Kloroform. Matanya tiba-tiba terbuka, bocah itu berlari ke salah satu arah yang ia duga adalah arah Isabel berada.

Pekat aroma itu menempel pada sebuah mobil van hitam berkaca gelap. Namun, gelapnya kaca itu tak membuat pandangan Vandra lumpuh. Masih jelas terlihat sosok Isabel yang tertidur di kursi depan. Seorang pria menatapnya dari dalam mobil, ia duduk di kursi kemudi sebelah Isabel. 

Vandra mengeluarkan sebuah proyektil peluru karet dari dalam kantong celananya. Ia menempelkan benda itu di ujung kuku jempol dan badan jari telunjuknya, lalu menyentilkan itu ke mobil.

Pengemudi itu hampir saja terbunuh. Sebuah proyektil peluru karet mampu melubangi kaca mobilnya yang tebal dan melubangi kursinya. Jarak antara lubang dan kepalanya hanya beberapa inci saja. Dengan spontan ia injak pedal gas dan memutar arah mobil menuju jalan besar.

Stefano Petrus Kivandra. Bocah itu tak ingin kehilangan siapa pun lagi. Mengingat Jaya yang tempramental, bocah itu merasa bertanggung jawab. Ia harus membawa Isabel kembali sebelum Jaya tahu hal ini. Ia berlari memotong, berharap mobil itu masih bisa dikejar. Kedua tangannya sudah bersiap menembakkan kembali proyektil peluru karet.

Benar saja, mobil itu muncul di depan Petrus yang memotong jalur. Ia melesatkan peluru itu lagi, tetapi tak mengenai pengemudinya. Mobil itu melaju cepat dan menghantam bocah itu hingga terpental ke jalan.

Beruntung bocah itu lihai, ia mendekatkan diri ke arah mobil, lalu melompat sambil memutar tubuhnya untuk meminimalisir luka. Bahu kirinya cedera, tetapi selain bagian itu tak ada masalah selain lecet kecil.

"Seharusnya aku incar bagian kaki benda hitam itu. Cih!" ucapnya kesal. Warga berbondong-bondong menghampiri untuk menolongnya. Mobil van hitam itu sudah menghilang dari pandangan.

***

Malam itu memandu duka. Semua merasakan hal yang sama perihnya, terutama Nada dan Cakra. Mereka harusnya lebih aware pada kedua anak yang mereka jaga.

"Jangan salahkan diri sendiri. Saya pun enggak ada saat kejadian itu berlangsung. Kakak macam apa saya ini, lagi-lagi hal buruk terjadi pada adik saya. Isabel bukan petarung, ia rapuh," ucap Jaya.

Vandra cukup lega melihat Jaya yang terlihat tenang. Setidaknya, ia tak langsung membabi buta seperti biasanya. Jaya menatap Vandra. "Pet--Vandra, berapa angka di depan mobil itu."

Yang dimaksud adalah plat nomor. Tentu saja bocah hutan itu tak mengerti jika ditanya plat nomor. Namun, berbeda jika pertanyaannya diganti dengan angka di depan mobil.

"AB 1678 AI," jawab Petrus.

Dengan bantuan Nada, Kevin berada di antara mereka. Mengerti dengan situasinya, Kevin menggunakan klervoyans untuk mencari keberadaan mobil itu. Dengan kemampuannya, ia susuri ring road dan sekitarnya.

"Mobil van hitam, ya?" Harits melirik ke arah Deva. Deva juga sadar siapa pelakunya. "Ravenous."

Deva memberikan koordinat pada Kevin. Sebuah tempat yang ia tahu menjadi tempat transaksi antara Ravenous dan juga penculik yang mereka hadapi beberapa bulan lalu. Namun, tak ada apa pun di sana. Malam ini Mantra Coffee tutup. Mereka semua berusaha mencari Isabel.

***

Hari silih berganti. Tak ada petunjuk apa pun tentang keberadaan Isabel. Hari ini Jaya terlihat getir di kampus. Setelah selesai jam kuliah, ia segera berlari menuju parkiran motor untuk melanjutkan langkahnya mencari Isabel.

Mungkin karena terburu-buru, Jaya terjatuh akibat menabrak seseorang. Ponselnya terpental mengenai kaki orang tersebut. Ippo, tatapannya gelap. Ia mengambil ponsel itu dan sejenak melihat walpapernya yang tak sengaja terlihat. Terpampang foto Jaya dan keluarganya. Ada Isabel di dalam foto itu.

"Maaf, saya lagi buru-buru," ucap Jaya.

"Aaaaa ... lain kali hati-hati." Ippo memberikan ponsel itu pada Jaya. Sejenak langkahnya berhenti, ia menatap Jaya yang tampaknya sedang kesulitan.

"Woy, Kumar! Tunggu dah," seru Ippo. Jaya menghentikan langkahnya sembari menoleh. Matanya menyipit menatap Ippo yang sedang menatapnya. "Kumar?"

"Ada masalah apa? Jangan-jangan berhubungan sama Alunan?"

"Bukan. Kemarin saya kehilangan adik perempuan saya. Menurut penuturan adik laki-laki saya, adik perempuan saya diculik."

Memang, Ippo menyadari bahwa ada dua anak kecil dalam foto itu. "Ikut gua, mungkin gua bisa bantu." Ippo membawa Jaya ke Panti Asuhan Kolong Langit.

Setelah sampai di sana, Ippo mengerahkan pasukan-pasukan kecilnya untuk berpencar mencari anak gadis yang terpampang di dalam foto. "Kalo ketemu sama orang mencurigakan, langsung lari sambil teriak," ucap Ippo. "Kalo nemu tempat yang mencurigakan, lapor."

"Siap!" Anak-anak itu berpencar meninggalkan Ippo.

Bunda keluar dari dalam rumah. Ia menghampiri Ippo dan Jaya. "Pada main apa ini?" tanya Bunda.

"Petak umpet," jawab Ippo sembari melangkah pergi.

"Kamu udah makan siang, Nak?" tanya Bunda.

"Enggak laper," jawab Ippo ketus.

Bunda menghela napas, sejujurnya ia tak tahu masalah apa yang sedang dihadapi anak itu.

Beberapa jam berlalu, seorang anak panti menemukan dua orang pria dewasa sedang berbincang di sebuah gang. Ia perlahan mendekat untuk menguping pembicaraan mereka.

"Nanti malem dateng ke markas yang deket Stadion Maguwo. Petinggi udah setuju buat bayar mahal anak itu."

'Menjual mahal anak itu?' si bocah hendak pergi untuk melapor, tetapi langkahnya terhenti lantaran menabrak seseorang. Sontak ia berteriak hingga dua orang yang sedang bertransaksi itu menoleh ke arahnya.

"Ngapain kamu?" tanya Reki yang diam-diam mengikuti anak itu.

"Mas Reki ...." Anak itu ingin menangis karena ketakutan.

"Hey! Siapa itu?" teriak salah satu pria.

Reki mengusap kepala anak itu dengan lembut. "Jangan ke mana-mana. Tunggu Mas di sini." Reki dengan santai berjalan menunjukan wujudnya pada kedua pria itu.

"Ngapain di sini?!" bentak salah satu pria.

"Ini tempat umum, kan? Kenapa?" balas Reki ketus.

"Kamu denger percakapan kita?"

Reki memicingkan matanya. "Percakapan apa?" Sejujurnya ia tak tahu menahu tentang hal ini. Salah satu pria berjalan ke arahnya membawa sebuah tongkat besi. Tanpa basa-basi ia melayangkan tongkat itu pada Reki.

Reki menahan sabetan itu dengan tangan kirinya. Matanya menyorot tajam ke arah pria itu. "Sakit, tau ...." Ia merebut tongkat itu dan memukul balik kepala pria di hadapannya sampai terjatuh tak sadarkan diri.

Satu pria lainnya kini menodongkan senjata api. Ia menarik pelatuknya, mengincar kepala Reki.

"Badama ...." Reki menangkis setiap peluru yang mengarah padanya. Pria yang tersisa tampak panik, ia hendak melarikan diri, tetapi Reki melempar tongkat besi di tangannya dan mengenai kepala orang itu hingga tak sadarkan diri seperti rekannya.

Secara diam-diam, Reki menaruh alat pelacak mini pada dua orang itu. Sengaja ia tak laporkan polisi, agar para penjahat itu kembali ke sarangnya. Setelah itu, Reki berjalan menuju salah satu adiknya di Panti. Ia berjongkok menatap anak itu. "Jelasin, ini kenapa?"

"Mas Ippo minta tolong buat nyari orang mencurigakan, tempat mencurigakan, soalnya adik temennya diculik," ucap anak itu.

"Orang-orang ini barusan ngomongin apaan? Kamu tau?" tanya Reki.

"Menjual mahal anak itu ... mereka mau ketemu di Maguwo."

Jawaban anak itu membuat Reki terbelalak. Ia menatap serius pada anak itu. "Jangan bilang-bilang Mas Ippo. Oke?"

Anak itu mengangguk sebagai jawabannya.

"Pinter. Biar Mas Reki yang urus sisanya. Kamu pergi sana." Anak itu pergi meninggalkan Reki.

Reki menghubungi Kevin, ia memberikan dua koordinat alat lacaknya. "Vin, pantau terus dua koordinat yang gua kirim. Jangan sampe Ippo tau."

Setelah melapor, Reki berjalan pulang ke Panti. Sesampainya ia di panti, anak-anak itu berjejer menceritakan apa yang mereka temui. Ippo dan Jaya tak menemukan jawaban apa pun.

"Udah makan kamu, Rek?" tanya Bunda.

"Apa menurut Bunda, Ippo udah tau tentang Baskara?" ucap Reki.

Raut wajah Bunda berubah. "Kamu pantau Ippo, jangan sampai lepas. Kamu tau apa yang harus kamu lakukan berdasarkan situasi."

Reki menghela napas. "Oke." Ia beranjak pergi dari hadapan Bunda.

***

Malam kembali bertahta. Seperti biasa, Ippo pergi tanpa diketahui keberadaannya. Namun, tak masalah. Reki punya sebuah koordinat. Kevin berkata jika kedua alat lacak itu kini berada di tempat yang sama. Dekat Stadion Maguwoharjo. Lokasi yang persis diberi tahu salah satu adiknya siang tadi.

Reki mengendarai motornya menuju kos. Ia mengambil beberapa pedang berkamuflase pedang kayu. Sebuah tas baseball besar menjadi aksesorisnya malam ini. Reki juga membawa topeng putihnya. Setelah siap dengan semuanya, Reki langsung tancap gas menuju titik koordinat.

Sementara itu Ippo duduk di meja. Sebuah gelas minuman berdiri tegak di atas meja. "Kamu lapar?" tanya Baskara pada Ippo.

Ippo tersenyum penuh sendu. "Banyak hal yang selama ini mau aku tanya."

"Malam masih panjang, habiskan semua pertanyaan kamu," jawab Baskara.

"Bisnis apa yang kakak jalani selama ini? Aku merasa ini enggak benar. Bahkan kubu kakak pernah berdiri di samping Kencana Selatan."

"Dunia ini kejam. Sebelum ia membuatmu terluka, kau yang harus melukai dunia," jawab Baskara. "Kami ini orang buangan. Untuk mencari uang, kami melakukan apa pun. Membunuh, mencuri, menjual barang haram ...."

"Aaaaa ... merampas milik orang lain itu bukan sesuatu yang benar, Kak. Aku mengharapkan pertemuan yang manis," balas Ippo.

"Semua orang berubah. Banyak keadaan yang bikin semua enggak lagi sama. Ada sebab akibat kenapa aku begini. Aku butuh bantuan. Kakak percaya, kalo ada Ippo, kita bisa pelan-pelan berubah. Kalo bersama, kita enggak terkalahkan. Kakak itu satu-satunya keluarga Ippo, Ippo juga cuma punya kakak. Apa kalo kakak jadi begini, Ippo enggak mau nerima keadaan kakak?"

Ippo terdiam. "Entah, Ippo belum tahu jawabannya." Ia beranjak dari duduknya. "Ippo mau cari udara segar dulu."

Baskara mempersilakannya.

Ippo berjalan sembari menghela napas. Ia dilema. Ia tahu bahwa Ravenous bukanlah sebuah organisasi yang baik. Bahkan nama mereka termasuk pada buronan kelas atas. Namun, keberadaan Baskara merubah semuanya. Ippo juga berpikir untuk hidup bersama satu-satunya keluarga yang ia punya.

Di tengah getirnya, Ippo tak sengaja melihat sebuah transaksi gelap. Salah satu anggota Ravenous sedang berbincang dengan seseorang. Matanya membulat utuh ketika melihat wajah yang cukup familiar. Orang itu membawa Isabel dalam kondisi mulut tertutup dan tangan terikat. Ippo menghamipir mereka.

"Ada apa ini?" tanya Ippo.

"Ah, ini ada barang bagus, Bos Riffo," ucap anggota Ravenous.

"Cuma satu?" tanya Ippo.

"Barang lagi susah, Bos. Kebetulan yang ini bagus, jadi kita hargai mahal."

Sebuah tinju bersarang di wajah anggota Ravenous. Ippo juga langsung melumpuhkan orang yang satunya.

Beberapa anggota Ravenous yang melihat kejadian itu segera membunyikan alarm. Baskara menatap Ippo dari jendela lantai dua.

Ippo menggendong Isabel. "Kamu aman sekarang."

Para anggota mafia ini mengeluarkan senjata dan menodongkannya pada Ippo. Baskara beserta dua Komandannya juga ikut turun dan menghampiri Ippo.

"Riffo, berikan anak itu," ucap Baskara.

"Selama ini aku percaya kalo Kakak diculik. Aku membenci kasus penculikan. Anak ini manusia, bukan barang," balas Ippo.

"Ini perintah Kakak mu."

Ippo tertawa. "Aku lupa bilang. Adik kecil mu ini sulit diatur!" Ippo mengayunkan lengannya. Seketika itu pasukan Ravenous tersapu akibat pukulan atma milik Gardamewa itu. Alex dan Danial juga ikut terhempas, beruntung mereka memiliki pertahanan atma. Sementara itu Baskara tak bergeser sedikit pun. Ada prisai atma yang menyelubunginya.

"Kita bisa tak terkalahkan jika bersama, Riffo."

"Miris, orang yang selama ini dicari ternyata enggak sesuai ekspetasi kita. Itu yang kakak rasa, dan aku pun merasakan. Terlepas entah kebusukan apa yang Bunda punya, seenggaknya dia tahu bagaimana caranya merawat anak-anak."

Baskara mengarahkan tangannya ke arah Ippo. Ia menghela napas. Perlahan ia seolah meremuk sesuatu.

Ippo gemetar, keluar darah dari mulutnya. Jantungnya serasa diremas. Sambil mencengkeram dadanya, Ippo menatap Isabel. "Lari ...."

Isabel yang ketakutan segera berlari, tetapi Baskara menangkap kaki gadis itu dari jauh. Ia juga seorang Gardamewa. "Mengecewakan."

Seuara knalpot motor menggeber di area itu. Sebuah pedang melesat ke arah Baskara. Pedang itu terlempar ketika membentur prisai atma, tetapi Baskara jadi melepaskan cengeramannya pada Ippo. Ia tak bisa bertahan dan menyerang di waktu yang sama.

"IPPO!" sebuah tas terlempar mengeluakan pedang-pedang kayu berujung runcing.

"Aaaaaa ... nice timing." Ippo menempelkan atma yang ia kendalikan pada pedang-pedang itu seolah ia adalah seorang telekinesis. Dengan cepat Ippo menghujani markas Ravenous dengan pedang-pedang kayu itu.

Ippo langsung berlari membawa Isabel. Ia melompat ke atas motor. Baskara berusaha menghentikannya, tetapi Ippo tak membiarkannya. Ia duduk menghadap belakang untuk mengantisipasi serangan Baskara.

Dalam waktu singkat, Baskara kehilangan Ippo dari pandangannya. Ia menoleh ke arah Danial. "Riffo memilih jalan yang salah. Siapkan api, bakar Kolong Langit," ucap Baskara.

Ippo masih berusaha bernapas lega. Jantungnya hampir hancur diremuk kakaknya sendiri.

"Gua hampir aja bunuh lu," ucap Reki. "Kalo lu salah ambil langkah, gua udah siap buat bunuh lu sebelum lu jadi ancaman serius."

"Lu udah tau tentang Baskara ini?"

Reki diam. Ippo tahu, diamnya Reki bermakna' ya'.

"Bangsat! Kenapa enggak pernah bilang? Berapa tahun kita hidup bareng, dan lu nyembunyiin ini semua dari gua?!"

"Sekarang lu tau kebenarannya ...." balas Reki. "Lu punya sisi keadilan yang bagus. Pantes lu direkrut Chandra. Seandainya gua bilang dari dulu, apa lu siap? Dengan keadilan yang setengah-setengah. Baskara itu pinter ngomong. Seandainya lu ada di sisi sebelah. APA LU NGERTI PERASAAN GUA KETIKA HARUS BUNUH LU DENGAN TANGAN GUA SENDIRI? SEBELUM LU JADI ANCAMAN!"

Ippo terdiam.

"Lu itu udah gua anggap kayak saudara gua sendiri, Po. Gua punya keluarga, beda sama lu yang enggak punya. Lu harus tau ... keluarga itu bukan sesuatu yang terikat dengan hubungan darah. Lebih dari itu! Berapa banyak waktu yang kita habisin bareng dari kecil dulu, ketimbang waktu gua sama keluarga gua sendiri? Rumah itu bukan sebuah bangunan, tapi tempat di mana lu hidup dan bertumbuh dengan orang-orang di dalamnya. Cuma satu yang perlu lu inget. Rumah lu cuma Kolong Langit."

Tak ada kata yang terucap di antara mereka hingga Reki memulangkan Isabel ke Mantra, dan pergi lagi untuk pulang.

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top